Masukan nama pengguna
“Kau maniak, Kikonak!” Tunjuk satu dari kami. “Semenjak kematian istrimu, kau jadi begini.” Satu lagi ujar gusar satu dari kami berkata selepas waktu asar di balai kampung. Kikonak disidang; tertangkap basah dia sedang bergelinjang menari-nari gemulai di atas Putik Putra Bunga tadi jam dua siang oleh kami. Tengah asyik dia di saung tempat orang-orang biasa menarik-narik tali bebegig sawah. Tiga dari kami mengintai dia diam-diam. Karena sedang keenakan, Kikonak tak menyadari bahwa lelakunya di saung itu tergerebek oleh kami bersama burung-burung yang beterbangan pergi dari bulir-bulir padi sawah sekeliling saung lantaran kaget. Kikonak pun kaget; mulutnya menganga dengan liur terlihat pada sudut bibir.
“Kau hiper ....”
“Hipertensi!”
“Hiperseksi, bukan hipertensi.”
“Sok tahu! Yang benar itu: hiperseks.” Lagi, satu dari kami berujar di balai kampung melerai sambil menggelak nabi (tersenyum mengejek).
Seseksi-seksinya Kikonak–meski dia lelaki, akan membuat resah, aib, kenirbijaksanaan sesepuh kampung yang dikenal welas asih–akibat kemaniakannya menjadi bola api yang apinya semakin lama semakin membesar hingga panasnya memasuki relung-relung nalar dan emosi warga.
“Ada apa ini, Kisanak?” Seseorang masuk setelah membelah kerumunan kami yang berkerubung mengelilingi Kikonak di balai kampung. Satu dari kami yang berdiri tepat di samping kiri orang itu lantas membisik di telinga dia. Orang itu manggut-manggut, “Kami prihatin atasmu, Kikonak,” ujarnya. “Kamu sudah mencemari kampung ini sekaligus menghambat rezeki berbarokah datang di sini akibat perbuatanmu.”
“Hukum dia!”
“Kebiri saja!”
“Rajam, rajam saja!”
“Bakaaaar!”
Sontak wajah Kikonak menjadi merah laksana terbakar saat mendengar ujar gusar para warga yang sambut-menyambut.
Kijenak, yang biasa irit kata, berkata menukas, “Te, te, te ..., tenang, Sa, Sa, Saudara-saudara.”
Kijenaka mengimbuhi, “Ya, Saudara-saudara, kita semua harus berkepala dingin.” Jenakanya hilang ketika berkata.
Nyisepuh yang berada di sampingku sambil terduduk lalu bertanya, “Apa pembelaanmu?” Pasi wajahnya.
Kikonak terdiam-tekur.
“JAWAB!” seru Nyisepuh bersama kedua buah dada menaik seperti menahan gelegak berang di hati tak keluar berupa caci maki. Namun kunyana Nyisepuh mampu mengendalikan diri. Nyanaku semakin nyata dengan luruh napasnya lirih mengembus keluar dari dua cuping bangir hidungnya. Bagaimanapun, Nyisepuh yang kukenal selama ini takkan sudi dan mampu mengucapkan kata-kata menista itu, dan itu semakin terbukti dengan air mukanya yang perlahan berubah tenang alurnya walau basah pada sudut kelopak matanya.
Sementara itu, yang ditanya masih tetap kelu lidah.
“Bawakan saja untuknya seorang tabib, Nyi.”
“..., atau dukun ....”
Ceracau kicau dari orang-orang yang berkerumun di balai kampung sahut-menyahut menimpalinya dengan pro-kontra.
Tiba-tiba, satu dari kami mengangkat kedua tangannya untuk meredakan ceracau kicau itu. Lalu dia berkata, “Kita sudah punya hukum kampung untuk fenomena Kikonak ini.” Berjeda ucap kemudian dia genapkan, “Apa kita semua sudah lupa? Meski itu hukum kampung, tetaplah harus ditegakkan.”
“Tanpa pandang bulu.” Satu dari kami berkata tanpa terlihat wajahnya karena berada di tengah kerumunan.
Seketika riuh menjadi riuh sangat.
“Usir dia pergi ..., nyawanya.”
Lalu kembali orang itu mengangkat kedua telapak tangan yang serta-merta disambut oleh hening kerumunan di balai kampung. Dua tetua kampung berikut orang itu mendekati kami berdua. Selagi mereka bertiga saling bertukar saran di hadapan kami berdua, Nyisepuh diam menyimak. Sedang mereka begitu selama beberapa waktu, aku hanya mendengarkan buah-buah musyawarah mereka dengan takzim.
Diamnya Kikonak atas pertanyaan Nyisepuh karena dia tertangkap basah. Satu dari tiga orang yang mengintai, menggerebek, dan menangkap basah sudah menceritakannya padaku. Kikonak benar-benar tertangkap basah. Ya, basah, ujarnya membalas tanyaku yang memastikan lagi bahwa apa yang sudah diceritakannya itu benar-benar melalui matanya yang melihat, bukan kupingnya. Sementara itu, Putik Putra Bunga tak kulihat digelandang bersama Kikonak. Aku bisa mengerti kenapa. Sebagai korban, begitu malu dan depresinya dia sehingga menyisi dari kerubungan warga kampung di balai kampung. Karena, ini adalah debut fenomena yang ketahuan terjadi di kampung kami.
Satu dari tiga tetua kampung berbalik badan menghadap para warga kampung, mengangkat dagu, sedikit mendongak, berkata, “Sesuai dengan hukum kampung yang kita junjung, seharusnya Kikonak harus dihukum berat, yaitu ..., mati.” Bergemuruh ruangan balai kampung menanggapi tetua itu berbicara. Dua tetua lainnya ikut pula memunggungi kami berdua. Lantas, tetua itu mengangkat telapak tangan kanannya; redalah perlahan gemuruh itu. “Welas asih masih meruhi perikehidupan kampung ini. Beri Kikonak waktu untuk bertobat. Apa kau mau bertobat, Kikonak?” Sorot teduh mata tetua bertanya dengan pandangan tajam pada wajah tepekur Kikonak.
Kikonak segera menganggukkan kepala. Senyampang anggukan Kikonak, satu tetua yang lain menunjuk satu warga kampung, berkata, “Panggil tabib kampung.” Lalu dia menoleh satu wajah di kerumunan lagi menunjuknya, “Kau, panggil dukun. Ingat! Dukun, bukan dukun beranak.”
Kemudian satu tetua yang lain ikut pula berkata, “Bila sesudah setahun Kikonak berhasil diobati oleh tabib dan atau dukun, lepaskanlah kebencian kalian atasnya ....”
“Kalau tidak?” tanya Nyisepuh dengan titi nada was-was.
“Hukum kampung atas Kikonak harus ditegakkan.”
Seringai puas tampak dari wajah Nyisepuh, begitu pun wajah para warga yang berkerumun. Walau hatiku masygul, bagaimanapun harus kuterima.
“Untuk kalian berdua,” ujar lembut satu tetua kampung seraya membalikkan badan, “Nyisepuh, dan kamu, Nak, sementara menunggu, kalian diberi kebebasan,” ujar Kipulis, tetua kampung. “Kau boleh, bila mau menggugat cerai Kikonak, atau sebaliknya.”
Menurutku, setahun bukanlah waktu yang cukup untuk Nyisepuh menyatukan kembali hatinya yang centang perenang lantaran lelaku Kikonak. Belum lagi trauma yang pasti dialami Putik Putra Bunga. Ah ..., dunia, mengapa ini bisa terjadi padaku dan Putik Putra Bunga?
Tetua itu lantas memberi cahaya berikut mata teduh wajahnya padaku, berkata, “Sebergajul-bergajulnya, dia tetap bapakmu.”
Kerumunan di balai kampung pun beringsut memudar. Kampung menjadi aman-damai-sentosa sedang para warga berharap-harap cemas akan proses rehabilitasi atas Kikonak hingga setahun kemudian. [©]
____________________
-------------------------------
Sudah seminggu ini Ayuuya tidak makan, tidak minum, tidak lagi berak karena nyawanya sudah pulang kampung. Setidak-tidaknya keinginan Ayuuya sudah terpenuhi–lima tahun belakangan ini–walau yang pulang kampung cuma nyawanya, tidak bersama tubuhnya yang teronggok berkemulkan rumput-rumput lapangan setinggi betis.
Orang-orang yang berkerumun di sekitar lapangan tempat Ayuuya yang berkemul sontak kaget ketika menemukannya. Biasanya, paling banter yang mereka temukan cuma bangkai tikus yang tersisa baunya, atau bangkai kucing yang pecah kepalanya lalu dibuang di lapangan berumput setinggi betis akibat mata ban kendaraan rabun senja saat berlari ngebut di jalanan tak jauh dari lapangan, tetapi bangkai Ayuuya, itu merupakan debut bangkai fenomenal yang ditemukan warga sekitar lapangan berumput sebetis. Maka, wajarlah mereka berkerumun mengelilingi Ayuuya yang berkemul, teronggok dengan tubuh dilukis darah yang mengering. Dengan pernik sempak compang-camping berbintik-bintik peju yang kering; beha yang koyak juga rusak pengait talinya, semua itu menghiasi onggokan yang sudah terlukis bersama darah merah mengering di selangkangan, di dada, di leher Ayuuya. Bisa jadi ini adalah salah satu dari karya seni, karya seni dari psikopat pencinta selangkangan yang terpicu dari menonton film-film begituan sehingga si psikopat terbit inspirasinya lalu melakukan beginian.
Namun, ada hal yang membuat nyawa si empunya onggokan bangkai bakal sakit hati, barangkali, ketika tudingan tunjuk-menunjuk menyalahkan rok mini dan pakaian seronok yang sempat dikenakan Ayuuya walau sudah tak terlihat seksi dan sensasional lagi.
“Apa salah rok mini?” tutur tanya perempuan paruh baya yang kebetulan ikut pula berkerumun. Kalimat tanya dia bertiti nada tinggi, entah karena dia tak setuju akan tudingan yang umumnya berasal dari telunjuk para lelaki, entah karena dia sekonyong-konyong merasa khawatir lantaran dia juga ber-rok mini–saat berkerumun–dengan sisa “mini” umurnya.
Lantas, satu perempuan di antara kerumunan berkata, “Bukan salah rok mini!” Dia lantang memihak perempuan paruh baya ber-rok mini, “Itu salah lelaki yang meletakkan biji pelir tidak pada tempatnya. Seharusnya otak dia simpan bukan di selangkangan, bukan biji pelir yang disimpannya di kepala.”
Wajah para penuding seketika padam me-merah dan menurunkan telunjuk lalu memandang tajam pemihak bersuara lantang. Pandangan mereka tajam walau tanpa berkata-kata. Sedangkan, ekspresi wajah perempuan ber-rok mini hilang kekhawatirannya berganti dengan pancaran wajah puas. Jangan-jangan dia pun sempat membayangkan bagaimana letak “yang tidak pada tempatnya” itu. ..., dan jangan-jangan pula Ayuuya yang sudah pulang kampung, nyawanya, ikut pula bersorak-sorai di dimensi alamnya ketika mengetahui bahwa yang patut dipersalahkan adalah orang psikopat yang menjadikan tempurung kepalanya sebagai tempat bersemayam biji pelirnya dan dia memerkosa lalu membunuh Ayuuya.[©]