Masukan nama pengguna
Ini masa SMA. Ku-; -mu, pernah saling bertambat melalui pandangan sipu. Butir keringat menitik-nitiki dahi, sekeliling lengkungan bibirmu juga -ku, bersama desiran darah bak tumpah ruah dari jantung pada sekujur tubuhku juga -mu. Hatimu dan -ku bertambat; ku-saling-mu; mu-saling-ku.
Bilakah aksara lekang-enyah dari bangku kantin Mak Nyun? Tak berguna aksara bila diam pun sudah berbunga-bunga bungah di hatiku; -mu. Aksara menjadi asing ketika kutemanimu membuang pesing di toilet sekolah tak jauh dari kelas Nur. Atas nama setiaku padamu, kulakukan demimu, pada masa SMA-ku; -mu.
Sekala itu kaucintaiku-kucintaimu sekalipun para monyet melonjak-lonjak dari birai koridor kelas di atas perpus, kegirangan plus menggoda-godamu, dan -ku.
"Peduli setan!" umpatku kala itu. Setan pun tak kupedulikan, apatah para monyet di birai koridor itu. Lagi pula ku- dan -mu juga sesama monyet. "Monyet kasmaran mengumpat setan." Menurutku itu ’kalimat’ gagah berani, apalagi kalimat itu terdengar pula pada telinga-ber-anting monyet-betinaku yang dalam andai-andaiku nanti kusunting. Entah bagaimana jika "kasmaran" lesap dari nahu itu. Bakalkah monyet masih berani mengumpat setan sambil berkacak pinggang? ..., atau kau gagal kusunting tak jadi bunting? Jikapun terjadi kemudian, umpatan kan kugubah: peduli monyet!
Namun, putaran lotre nasib pada lintasan waktu membawaku singgah pada kehokian. Sepasang mata pada wajahku memindai lekuk gemulai tubuh sintalmu. Tak dinyana, mengapa engkau, Nyet, pada pindaianku selalu mengguratkan sebentuk angka 8? Engkau kuibarat-ibaratkan serupa monyet betina keluar dari kepompong lalu berubah menjadi kupu-kupu cantik. "Cantik sekali kau, Nyet," gumamku nyinyir.
Lantas irama rancak langkahku berlari-larian mengejarmu, “Nyet, eh …”, taksenonoh. “Pu, ah …”, tak gurih di lidah juga tak terdengar mesra pada telinga.
Kuputuskan ….
"Nyet," desahku mesra berlari-larian mengejarmu di taman berbunga-bunga. Barangkali mataku menipuku. Aku berlari-larian mengejar kupu-kupu cantik, tapi engkau kupanggil ’nyet; monyet’ di pelataran kampus. "Nyet," panggilku lagi berteriak nyinyir.
Anggun lalu kau menoleh, Nyet. Terdiam kau barang sebentar setelah hinggap pada satu putik bunga berwarna putih, padahal kau duduk anggun di satu bangku usang di sisi pelataran kampus. Mataku masih menipuku.
Kau pun tersipu bersama lengkung bibir menguntai jalinan senyum.
Aku menjura bersehadap denganmu, Nyet. Kemudian, sepasang telapak tanganku menangkupi sepasang dengkulmu yang mulus kinclong tanpa goresan.
Pandangan matamu berpendar memantulkan wajahku dilapisi selapis air mata membentuk binar berkaca-kaca. Begitu pula, aku pun demikian.
"Nyet …," lirih bergetar kuujar meski dahak di tenggorokanku grogi.
"Ya, Nyet." Kau mengacak-acak hiasan hitam pekat di kulit kepalaku. "Apa?" desah kautanyaiku; mesra (dalam anggapan monyet jantan berandai-andai).
"Maukah kau kusunting hingga kau rela bunting dan hidup membesarkan monyet-monyet buah cinta monyet kita, bersama-sama, Nyet?"
Delapan menit kau diam, hening, Nyet.
Sepasang matamu berkaca-kaca memantulkan bintang-bintang yang berasal dari langit-langit hatimu, menatapku.
Lalu ….
"Peduli setan!" Nyet, kau setiba kejapan mataku memelukku–erat.
Dadu lotre nasibku membawa hoki.
"Nyet," desahku; -mu, mesra.
Beberapa lama lintas-edar manzilah benda-benda langit kemudian ….
Setiap desah ’nyet’-ku; -mu, senantiasa membarukan cinta monyetmu; -ku, walau ada beberapa dari desah ’nyet’ itu, membuat monyet betinaku bunting lalu melahirkan bayi-bayi yang lucu, di dalam kandang monyet. (^_^) (©)