Masukan nama pengguna
“Mmm …, sekarat dia.”
Ayam jago berbulu hitam kemerah-merahan itu menggelepar-gelepar, mengibas-ngibaskan kedua sayapnya–panik. Oleng tubuhnya tak mampu berdiri tegak, meski ia ingin berlari menghindar dari detik-detik saat kematiannya. Sayatan di lehernya membuat suara ‘kokok’ yang keluar melalui paruhnya tak lagi terdengar jantan. Mungkin ia merasakan perih sekali–mungkin, karena aku belum pernah merasakan sakarat. Belum ….
Aku, temanku, dan Pak De-ku (memegang pisau) menonton “tarian maut”-nya dengan tatapan dingin. Sesekali kami menggeser langkah, selangkah dua langkah ke kiri-ke kanan, ke depan-ke belakang, bergerak untuk menghindari cipratan darahnya yang memercik tak tentu arah. Dan tontonan itu menjadikan mata mata-kami berkedip lebih lama dari frekuensi normalnya.
Ketika sepasang kelopak mataku berkedip dan terbuka lagi dalam sepersekian detik ….
Aku celingukan, celangak-celunguk mencari-cari di mana Pak De-ku juga temanku berada barusan. Selain itu, mengapa pekarangan rumah Pak De-ku kini berubah menjadi tempat yang berbau anyir? Luas, lapang; sedikit pengap dan menjadi temaram.
Ini …, ini tempat seperti aula. Begitu banyak tali menjuntai berbaris rapi. Pada ujung tali-tali itu terikat besi-besi pengait mirip kail pancing berukuran besar. Sepertinya untuk menggantungkan sesuatu–tapi apa?
(Bau anyir.)
Hah! Orang! Rupanya bau anyir itu bersumber dari orang-orang yang tergantung terbalik, telanjang, dan terkait pada besi pengait. Mataku tak berhenti mengedarkan pandang pada sekeliling aula. Aku mengucek-ngucek mata berulang kali; berharap pandanganku kembali melihat ayam jago sakarat, temanku juga Pak De-ku. Namun ternyata tidak!
Perlahan-lahan aku melangkah mundur; melangkah dalam temaramnya aula ini. Kecut hati ini jadinya. Tiba-tiba, aku berbalik, dan berlari hingga sempat terjerembap dan bangun beberapa kali akibat lantai aula yang berceceran darah anyir orang yang tergantung. Kulihat empat orang melangkah masuk dari pintu aula. Aku berlari dan menemukan tempat berlindung di balik drum-drum di pojok aula. Sekerlingan aku melihat isi drum-drum itu, tapi aku belum meyakini apa yang kulihat. Hanya yang pasti, bau anyir tajam keluar dari drum-drum itu.
Dari balik drum, aku mengintip empat orang yang melangkah mengarah kepadaku. Dua wajah tertunduk, dua wajah lagi tidak. Temaramnya aula menjadikan retinaku susah memastikan siapa dua wajah yang tertunduk itu. Hanya saja, hati ini seolah-olah mampu melihat lebih tajam dan memberi tahu aku bahwa mereka berdua adalah temanku dan Pak De-ku. Lantas, dua wajah lainnya, mereka berdua itu siapa? Mau apa?
O …, tidak-tidak, tidak-tidak. Ini semua tidak mungkin. Ternyata penglihatan hatiku benar. Pandanganku juga memastikan hal sama.
Namun, mengapa? Mengapa mereka?
Apakah hanya karena Pak De-ku menyembelih ayam jago, dan temanku ikut menonton “tarian maut” ayam jago itu?
Jika benar begitu ….
Hatiku semakin kecut dan jantungku berdegup takut.
Tangan kiriku berusaha mencari tempat bertopang, sebab kaki-kakiku mulai terasa menggelenyar akibat lama berjongkok di balik drum-drum. Ujung-ujung jari tangan kiriku berhasil mencengkeram bibir drum, sementara telunjukku bersentuhan dengan sesuatu benda yang lembek. Rasa penasaran di ujung telunjukku, menggerak-gerakkannya, dan berhasil mengait pada satu benda lembek itu.
Apa ini?
Telunjukku kini pun sudah di hadapan wajahku dalam temaram bersama dengan benda lembek seperti ular-ular kecil. Kuamati …. Otak! Otak orang! Sejurus agak lama kelopak mataku mengatup, lalu perlahan-lahan, telunjukku mengembalikan otak orang itu ke tempatnya semula. Busuk bau anyir merangsang rasa mual datang. Kutahan, kutahan rasa mual itu dengan menahan napas.
Setelah bola mataku terbuka kembali, kulihat temanku juga Pak De-ku sudah tergantung dengan posisi kepala di bawah, kedua tangan mereka terikat di punggung dan telanjang. Mengapa sedari tadi mereka berdua tidak melawan? Mengapa mereka berdua seolah-olah pasrah begitu saja menerima saat-saat, detik-detik sakaratul mautnya? Mengapa?
Lalu, dua orang itu mengambil bor dengan mata bor bulat pipih bergerigi. Mereka berdua masing-masing menghampiri temanku dan Pak De-ku. Kepala mereka berdua agak sedikit mendongak dan tangan kirinya mengelus ubun-ubun temanku dan Pak De-ku. Aku melihat kejadian-kejadian itu semua dengan tatapan mata tak berkedip. Tetesan air mata keluar perlahan bersamaan dengan rasa takutku akan mati yang tiba-tiba datang. Ciut hatiku. Nyawaku di ujung tanduk.
Mata bor itu kini masing-masing sudah menempel di ubun-ubun kepala mereka berdua. Sesaat kemudian …, bunyi berdesing …. Darah hangat turun menetes deras bersamaan dengan batok kepala mereka berdua yang sudah bulat berlubang. Bulatan sisa batok kepala mereka berdua masing-masing menempel di mata bor bulat pipih yang kini perlahan-lahan bunyi desingannya berhenti.
(Pluk!) Terdengar suara setelah mata bor itu ditarik menjauh dari ubun-ubun temanku dan Pak De-ku.
Suara itu membuatku terkesiap dan mataku nanar; ketakutan melihat itu semua. Tak lama kemudian, meluncur perlahan otak Pak De-ku dan temanku keluar dari batok kepalanya yang kini sudah bulat berlubang. Mungkin mereka berdua sedang merasakan sakit tak terperikan–mungkin, karena aku belum pernah merasakan sakarat. Namun mungkin saja aku, kini, beberapa saat lagi ….
Rupanya tangan-tangan penjagal itu taksabar menanti otak Pak De-ku dan temanku yang perlahan sekali keluar dari batoknya. Dua penjagal itu mencomot otak mereka berdua begitu saja lalu melangkah ke arahku. Tak ayal, aku pun cepat bangkit, berdiri dan berlari secepatnya menuju pintu keluar aula. Mereka terlongong-longong sesaat, kemudian mereka berdua mengejarku.
Mati aku-mati aku-mati aku. Dalam pelarianku menuju pintu keluar aula, sempat aku terjerembap sekali, lalu tiga detik kemudian cepat aku bangkit, kembali berdiri dan berlari secepat-cepatnya tanpa menengok ke belakang. Aku merasa mereka berdua mengejar aku. Aku merasa mereka juga akan mencomot otakku. Aku merasa aku dipermainkan oleh ulah seseorang, tapi siapa? Aku terus berlari mendekati pintu keluar aula.
Berhasil! Aku berhasil meraih gagang pintu dan pintu aula pun terbuka.
Lho?! Sisi bagian luar pintu keluar aula itu ternyata kamar nenekku? Di mana ayam jago yang sedang sakarat “menari” itu? Aku kembali celangak-celunguk, celingukan. Tiga detik kemudian aku naik ke tempat tidur tua Nenek dan berbaring di sana. Aku meringkuk gemetaran sambil menutupi tubuhku dengan selimut.
“Kamu kenapa?”
“Aku takut, Nek.”
“Takut apa? 'Kan ada Nenek di sini.”
Aku diam tak menanggapi.
Kamar nenek ini juga menakutkan bagiku; berisi kursi-kursi tua, lemari tua, dan tempat tidur besi berkelambu–tua juga umurnya.
“Sudah, sekarang kamu tidur. Sudah malam.” Nenek lalu merebahkan tubuhnya dan tidur memunggungiku.
Langsung kupeluk erat tubuh Nenek dari belakang (punggungnya). Cepat sekali Nenek tertidur. Dengkurannya terdengar oleh telingaku. Gemetaran tubuhku melenyap sesaat aku memeluk Nenek. Aku merasa aman, nyaman. Aku pun tidurlah.
Sial! Rupanya mereka berdua masih mengejarku hingga alam mimpi. Rasa takutku akan mati hadir lagi tumbuh merambati sekujur hati. Ke mana aku harus berlari di tengah padang rumput ilalang ini?
Tak perlu jawabannya ‘ke mana’. Kuserongkan badanku ke kiri dan mempercepat langkahku hingga aku berlari-larian berbelak-belok di tengah padang rumput ilalang menghindari waktu ‘kematian’-ku. Terus aku berlari dan berlari mencari ujung ‘pintu keluar’ padang rumput ilalang. Aku merasa mereka berdua tetap mengejarku tanpa pernah merasa lelah dan tersengal-sengal. Sementara aku? Dadaku mulai sesak kekurangan oksigen, tenggorokanku kering dan tiba-tiba kedua tungkai kakiku seperti ada yang menggelayuti; berat–berat sekali aku berlari.
Ini ulahnya …, ini ulahnya. Aku tetap memaksakan untuk berlari meskipun nyatanya aku hanya melangkah agak sedikit cepat, tapi aku menganggap itu adalah kecepatan berlariku yang tercepat. Mereka berdua semakin dekat berada di belakangku; masih terus mengejarku. Aku merasakannya. Aku merasakan waktu ‘kematian’ itu di belakangku berlari mendekat.
Ujung ufuk mataku melihat sebuah dinding tepat di hadapan. Kupercepat lari-langkahku. Kupercepat, kupercepat. Aneh? Ternyata dinding itu yang cepat mendekatiku–cepat. Dinding itu semakin mendekatiku, mendekatiku, dan kini aku hanya tinggal mencengkeram pada dinding bagian atasnya dan ….
Hup! Aku berhasil meraihnya dan aku pun bergelayut menaiki dinding yang tidak seberapa tinggi itu. Sementara mereka berdua semakin mendekatiku, semakin dekat, semakin dekat. Cepat sepuluh jari tangan dan kakiku menempel pada dinding dan merambati supaya badanku bergerak ke atas dinding. Tangan salah satu dari mereka berdua hampir berhasil mencengkeram mata kakiku jika saja aku tidak cepat mengangkatnya. Segera aku berbalik badan pada sisi dinding keluar dari padang rumput ilalang. Aku melompat. Setelah aku melompat, dinding itu bergerak meninggi. Mereka berdua gagal mengejarku.
(Deb!) Sejenak aku merasa sedikit lega dan berpikir bisa lari-menghindar-lepas dari mereka berdua. Namun, saat aku hendak melangkahkan kaki kananku …. Apa ini?
Tubuhku tertarik ke dalam perlahan–perlahan-lahan sekali. Degup jantungku menjadi berdetak lebih cepat; waswas, takut. Aku terjebak, aku takbisa melangkah. Aku terhisap! Melesap!
Ini ulah kamu …, ini ulah kamu! Semakin aku bergerak, semakin tubuhku dihisap melesap dalam perut bumi.
Kini sepinggang ….
Kini sedada ….
Kini seleher ….
Kini sedagu ….
Ini ulah kamu …, ini ulah kamu …!
Kini semulut ….
“Ini urrghhlarghh krghamrghuuhhh ….”
Kini semata ….
Kini seubun-ubunku ….
Ini ulah kamuuuu!!
(Suara tertawa terkekeh-kekeh.)(©)