Flash
Disukai
2
Dilihat
7,530
Gadis Bersenandung
Horor

Seperti biasa, sore ini, selepas matahari terbenam, hingga menghilangnya awan merah di ufuk barat. Aku menunggu kedatangan suara. Ya, suara seorang gadis yang selalu bersenandung tanpa terlihat wujudnya.

Setiap waktunya tiba, aku selalu menantikan suara senandungnya itu melewati jalan diseberang rumah kakekku, aku sangat penasaran.

Sebenarnya siapa dia? gadis yang selalu bersenandung itu?

---

Setiap libur sekolah tiba, aku selalu berlibur dan menginap di rumah kakek, yang lokasinya masih di daerah pedesaan dan jauh dari kota.

Aku selalu menikmatinya, karena bisa melepas semua penatku sejenak dari asap knalpot kendaraan yang sudah memenuhi ruang kota tempatku tinggal.

---

Seperti biasa aku duduk sendiri dibangku sepanjang satu meter, yang terbuat dari kayu, posisinya tepat dibawah pohon Nangka, tepat diseberang rumah Kakek, sambil menunggu terdengarnya suara senandung itu.

Suara senandung itu akan hadir setelah suara bell sepeda yang berbunyi dua kali berhenti.

Dia akan bersenandung dari arah Utara ke Selatan, tepatnya dari pohon Nangka ke pohon Beringin diseberang rumah kakek, yang berjarak sekitar 6 meter.

Sebelum waktunya akupun selalu menunggu dengan sabar. Hingga akhirnya saat yang ditunggu pun tiba.

"Kring ... kring ...."

"Hm ... hm ... hm ....🎶"

Saat itu aku langsung berdiri tepat disamping pohon Nangka, berlari pelan mengikuti suara senandung itu berlalu hingga ke pohon Beringin.

Namun tidak lama setelahnya, terdengar suara Kakek yang berteriak memanggilku dari depan rumahnya.

"Ardiii ... sedang apa disana? sebentar lagi matahari akan tenggelam, ayo masuk."

Aku pun berlari menghampiri Kakek.

"Kamu pasti mendengarkan dia bersenandung lagi kan?"

"Nggak Kek, Ardi cuma penasaran, siapa dia sebenarnya?"

"Baiklah, Kakek akan menceritakannya," kata Kakek sambil menarik napasnya perlahan.

"Sepuluh tahun yang lalu, ada seorang anak perempuan, dia anak yang baik, tapi dia harus meninggal karena ketidaksengajaan orangtuanya."

"Hah, kok bisa Kek?"

"Rumahnya tidak jauh dari sini, selisih empat rumah dari rumah Kakek, orangtuanya selalu bertengkar entah apa masalahnya. Dia anak tunggal. jika orangtuanya bertengkar dia selalu keluar rumah dengan sepedanya sambil bersenandung menghibur dirinya yang sedang sedih, ia akan berkeliling ke depan rumah tetangga sekitar, dan berakhir dibangku kayu itu, dia selalu duduk sendiri disana."

"Hingga suatu saat, ada kejadian dimana orangtuanya bertengkar hebat, saat itu Ibunya sedang memasak didapur langsung mengambil pisau yang berada didekatnya, dan berniat hendak bunuh diri, dengan menusukan pisau ke pergelangan tangan kirinya."

"Dengan cepat Ayahnya menyambar pisau itu, dan berniat akan menyimpannya ditempat yang aman, namun kaki Ayahnya terpeleset genangan air dilantai dapur dan terjatuh, diwaktu bersamaan dengan kencang dan cepat pisau itu terlepas dari genggaman tangannya dan menusuk tepat didada anak mereka, yang tanpa mereka sadari, sedang mengintip pertengkaran mereka kali ini."

"Mereka sangat menyesali kejadian itu, dan tentu saja sedih telah kehilangan anak satu-satunya yang sangat mereka sayangi, tidak lama setelah kejadian itu, mereka pindah rumah entah kemana, meninggalkan kampung ini."

"Tapi hari-hari berikutnya, semua tetangganya termasuk Kakek selalu mendengar senandung gadis itu, yang diawali dengan suara bell yang berbunyi dua kali."

"Pertama kali mendengarnya, semua penduduk disini ketakutan, karena setiap senja tiba, mereka selalu mendengar suara bell dan senandungnya, tapi seiring berjalannya waktu, mereka tidak memperdulikannya, begitu juga dengan Kakek, dan akhirnya suara itupun tidak terdengar lagi sampai sekarang."

"Tapi ternyata kamu bisa mendengar senandungnya, dia mengira kamu kesepian seperti dirinya."

"Ayo masuk," Kakek mengajakku sambil berlalu masuk kedalam rumah.

Begitu aku melangkahkan kaki kananku hendak masuk kedalam rumah, tiba-tiba terdengar suara bell sepeda yang berbunyi dua kali, dan Aku memalingkan wajahku, penasaran ingin melihat apa yang terjadi.

"Kring ... kring ...."

Kali ini aku melihat dengan jelas wujud gadis yang diceritakan Kakek tadi.

Dia seorang gadis yang cantik dan terlihat sederhana, dia sangat lembut dengan senyumnya yang hangat.

Walaupun dia berada diseberang jalan, tapi Ardi dapat mendengar dengan jelas kali ini senandungnya.

"Hm ... hm ... hm ...🎶"

"Kamu mau bermain denganku?" terdengar suaranya yang renyah dengan sangat jelas, seperti berada didekat kupingku.

Seketika aku merasakan seluruh bulu kudukku berdiri, walaupun wujudnya seperti seorang gadis biasa pada umumnya, tapi melihat senyumnya yang tak biasa, membuat tubuhku bergetar hebat hingga aku tidak dapat menggerakkan kedua kakiku yang ingin berlari masuk kedalam rumah.

Gadis itu berjalan kearahku sambil menuntun sepedanya dan disandarkan kepagar rumah Kakek. Lalu dia berjalan perlahan ke arahku, dengan tatapan mata yang tajam dan senyum yang tidak hangat lagi seperti tadi, tapi senyum yang sangat menakutkan, aku tidak berani menatapnya, kakiku pun tak kuasa berlari, aku sudah berusaha berteriak memanggil Kakek, tapi suaraku tidak terdengar, hingga akhirnya wajahnya sudah berada tepat disamping wajahku sambil berbisik.

"Kenapa kamu ingin bertemu denganku ...." tanya gadis itu dengan nada yang lembut tapi begitu menakutkan.

"Ardi bangun!" Kakek membangunkanku dengan mengguncang-guncangkan bahuku, yang ternyata aku tertidur dibangku dekat pohon Nangka.

Akupun mengelus-elus dadaku karena bersyukur yang barusan terjadi hanyalah mimpi, ya, mimpi yang sangat menyeramkan bagiku.

"Ayo, matahari sudah tenggelam, sebentar lagi malam." Kakek mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

Akupun segera berlari kencang melewati Kakek yang sedang berjalan didepanku. Kakek hanya menggelengkan kepalanya melihatku masuk kedalam rumah.

Dan dibangku kayu dekat pohon Nangka bekas Ardi tertidur, sudah ada gadis itu dengan sepeda yang disenderkannya dibangku. Dia terlihat sedih sambil memegangi sepedanya, dan memandangi Ardi yang berlari masuk kedalam rumah.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)