Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,915
Dua Gadis Harukis & Lelaki Wibu
Slice of Life

Dua Gadis Harukis dan Lelaki Wibu


 

Namanya Arinal Muna, tapi aku dan teman-teman sering memanggilnya Uma. Ia adalah Seorang Mahasiswi semester 7 di Jurusan Sastra Arab di salah satu universitas terkemuka di Purwokerto. Ia seangkatan denganku di kampus, tapi kami beda jurusan. Aku mengambil Jurusan Komunikasi dan ia mengambil Sastra Arab. Tetapi meskipun mengambil Jurusan Sastra Arab sebenarnya Uma adalah seorang Harukis sejati. Harukis adalah sebutan untuk orang-orang yang menyukai karya-karya Haruki Murakami, tidak sekadar suka, tapi juga fanatik, dan Uma termasuk dalam golongan yang fanatik itu. Uma sangat senang sekali dan matanya akan berbinar ketika ada orang yang membicarakan Murakami atau ada acara diskusi tentang Murakami dan karya-karyanya. Uma sudah membaca seluruh karya Haruki Murakami, mulai dari Norwegian Wood, IQ84, Dengarlah Nyanyian Angin, Kronik Burung Pegas, Kafka on the Shore, Membunuh Commendatore, sampai Lelaki-lelaki Tanpa Perempuan, semua dilahapnya. Uma tak kan pernah berhenti membahas karya-karya itu jika bertemu dengan orang-orang yang tengah berbincang tentang Murakami dan karyanya, dan kadang aku juga bosan dan malas mendengar ocehannya yang tak pernah berhenti tentang Murakami.

Entah sedang kesambet setan apa, Uma tiba-tiba mengajakku untuk menghadiri diskusi karya Murakami di Kafe Buku Seporete di sekitar Purwokerto. Tentu saja aku keberatan awalnya, tapi karena ia merengek seperti anak kecil, dan akhirnya aku menyetujui ajakannya, dengan terpaksa tentu saja.

“Nanti malam ya Ris, bisa kan temani aku ke Kafe Buku Seporete” katanya lewat telepon.

“Acara apa?” tanyaku malas

“Diskusi karya-karya Haruki Murakami dan perkembangan anime di Indonesia”

“Kamu wibu ya?”

“Kamu tuh yang wibu, wibu bau bawang”

“Halah mengaku saja, kamu juga sudah jadi wibu kan? Haha”

“Bodo amat Ris, yang penting aku bisa ikut diskusi itu, terserah kamu mau anggap aku wibu atau apa, yang penting nanti malam bisa ya temani aku”

“Jam berapa?”

“Ba’da Isa”

“Ok, ngga janji ya” kataku

“Naaa… plis lah Ris, temenin aku ya”

“Ngga ada kawan yang lain apa?

“Kawanku yang sefrekuensi cuma kamu”

“Kasihan amat”

“Ya Ris, pliss”

“Aku ngga tega sama perempuan yang merengek”

“Jadi bisa ya”

“Hmmm” kataku sambil menutup telepon

Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai karya-karya Haruki Murakami, yang kebanyakan tokoh-tokoh lelakinya adalah lelaki cerdas, pendiam, tapi memiliki pribadi pecah. Lelaki dengan jiwa lemah yang rentan dan mudah untuk melakukan harakiri bila perlu. Aku sebenarnya suka membaca buku sastra, tapi aku tidak sefanatik Uma. Aku menganalisis Murakami, sebagai seorang pengarang yang berhasil mendalami batin manusia. Tapi ia tidak memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang tengah dihadapi oleh para pribadi pecah itu di dalam ceritanya. Murakami malah seperti seorang pengarang yang bisa dengan tega ‘mematikan’ atau ‘membunuh’ para tokoh-tokoh ciptaannya itu. Dan aku heran bagaimana bisa seorang penulis yang sering membuat tokoh-tokohnya menderita itu begitu digandrungi oleh Uma.

Aku sebenarnya lebih menyukai manga dan anime. Mulai dari anime lawas seperti Kinikuman, Dragon Ball, Dr Slump sampai yang kekinian seperti Jujutsu Kaisen, Attack On Titan, dan Chainsawman. Aku menontonnya, dan membaca komiknya. Dan karena alasan itu juga sebenarnya aku mau mengantar Uma ke acara diskusi itu, tentu saja aku hanya ingin mengetahui tentang perkembangan anime itu di era kiwari. Selebihnya aku tak peduli.

***

Kami sudah sampai di tempat acara; Kafe Buku Seporete. Kursi-kursi dan meja-meja yang terbuat dari kayu tertata dengan rapih, meja  berwarna cokelat mengkilap seperti habis dipernis itu dikeliling 4-5 kursi. Lampu-lampu menyala terang benderang, dan yang tak kalah penting dari sebuah kafe adalah Wifi gratis abadi dengan kecepatan cahaya. Saat masuk ke kafe aku tidak hanya mencium aroma kopi, susu, teh, roti bakar, dan Indomie, tapi juga aroma buku baru. Menurut Uma Kafe Buku ini terkenal sebagai tempat diskusi dan nongkrong anak-anak indie, yang katanya berteman dengan senja, puisi, tapi di sisi lain juga berteman dengan promagh dan sarimi. Aku bukan termasuk di dalamnya, aku bukan bagian dari anak indie, apalagi anak senja. Wibu mungkin.  

Di dekat pintu masuk kafe sudah berjejer rak buku dengan barisan buku-buku berbagai macam genre. Ada buku fiksi dan non fiksi, kebanyakan novel-novel Tere Liye, buku-buku Alvi Syahrin, Boy Candra, J.S. Khairen kemudian buku-buku how to, buku-buku psikologi, dan buku-buku kata-kata mutiara dan motivasi. Buku-buku sastra ada di rak paling belakang. Di panggung sudah terpasang banner bergambar Haruki Murakami dan Luffy Gear 5 yang sedang berpose tertawa menutup wajahnya, entah aku tidak tahu apa yang menjadi alasan penyelenggara acara menjejerkan gambar antara Haruki Murakami dan Monkey D Luffy di bannernya.  

“Kamu pesan apa Ris?” tanya Uma sambil memegang daftar menu.

“Ikut kamu saja” jawabku, sambil terus melihat-lihat rak buku.

“Aku mau pesan capucino cincau”

“Emang ada?”

“Serba ada di sini mah”

“Ya sudah aku pesan es teh tarik, sama indomie soto, pakai telor dan cabainya 5”

“Duitnya?”

“Biasa utang dulu ya hehe”

“Dih, untung aku lagi baik hati, jadi aku ngga keberatan yang traktir hari ini. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih ” katanya sambil tersenyum kecut.

“Wah mantap, itu baru Harukis sejati, makasih makasih, lain kali aku yang traktir ya hahaha” kataku sambil tetap melihat sekeliling kafe.

Uma menuju antrian untuk memesan makanan dan minuman, sedangkan aku berkeliling kafe untuk melihat-lihat. Ini pertama kalinya bagiku berkunjung ke Kafe Buku macam ini, di satu meja terlihat sepasang muda-mudi tengah berbincang, mungkin mereka tengah berbincang tentang masa depan.  Di meja yang lain ada segerombol pemuda dan pemudi membawa laptop, mungkin tengah menggarap tugas sekolah atau tugas kuliah. Di meja yang lain lagi ada orang-orang bermain kartu, dan aku mengikuti langkah kakiku untuk memeriksa rak buku.

Betapa terkejutnya aku bahwa ada satu rak buku yang hanya memajang karya-karya Haruki Murakami saja, dan tidak hanya itu di rak lain lagi ada juga berjejer komik-komik Jepang atau manga berderet rapi, ada Kungfu Boy, Dragon Ball, Dr Slump, Doraemon, Shaman King, Slumd Dunk, Naruto, One Piece,  Detective Conan, dan masih banyak lagi. Rak-rak itu seperti rumah bagi komik-komik dari berbagai generasi.  Astaga kafe macam apa ini, memang kafe mana yang mau menggabungkan antara konsep sastra dan budaya pop macam begini. batinku

“Harukis juga Mas?” tanya seorang perempuan mengejutkanku, perempuan itu dandanan dan pakaiannya begitu mencolok. Aku tahu dia sedang cosplay, sebentar kuingat-ingat ia sedang cosplay karakter apa, ah iya dia seperti Yor; karakter perempuan yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran di manga Spy X Family

“Tidak, hanya mengantar teman, ikut acara diskusi Haruki Murakami” jawabku

“Oh sayang sekali, rugi kalau ngga jadi Harukis Mas, karya-karyanya keren dan relate sama kehidupan kita saat ini” katanya, seperti menasehati

“Mba-nya Harukis juga?” tanyaku

“Juga? Tentu saja” jawabnya dengan penuh percaya diri

“Wah kebetulan sekali, teman saya juga seorang Harukis Mba, mungkin kalau kalian bertemu, nanti tak akan habis-habis membincangkan Haruki dan karya-karyanya hingga tujuh hari tujuh malam” kataku sambil tertawa.

“Haris!!! Duduk sini” teriak Uma dari seberang meja.

“Nah itu dia Mba temanku, seorang Harukis juga sepertimu”

 

Purwokerto, September 2024


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)