Masukan nama pengguna
Aku mengibaratkan diriku sebagai hujan, yang terlahir dari ketidakpastian, dari musim yang selalu sama namun untuk melahirkan kenangan-kenangan yang berbeda. Orang-orang seringkali merindukan hujan, bukan karena mereka benar-benar rindu, tapi karena mereka dapat memanipulasinya untuk menyamarkan kesendirian dan kesedihan mereka sendiri.
Hujan sanggup mencintai dan menyentuh siapapun yang ingin disentuh. Tapi memang semua yang tersentuh adalah karena mereka ingin disentuh atau tak sengaja tersentuh. Sedangkan mereka yang tak ingin disentuh kusebut dengan “yang berteduh”.
Salah satu yang kusebut dengan yang berteduh tadi adalah Tita, Atiyata Maula. Ia adalah seorang perempuan penyendiri yang keras kepala. Aku sangat ingin sekali menyentuhnya, menyentuh rambut hitamnya yang panjang sebahu, atau masuk melihat ke dalam matanya yang teduh dan sayu, dan yang terpenting adalah menyentuh hatinya. Namun ketika aku ingin menyentuhnya, ia lebih memilih menepi dan menjauh, persis seperti ketika hujan turun, Tita lebih memilih untuk menepi ke emper pertokoan atau melipir ke rumah kosong sambil mengenakan jas hujan; berteduh
Pertama kali aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama berteduh di sebuah halte di depan rumah sakit tempat ia bekerja. Tak jauh dari halte, tumbuh pohon mahoni yang lebat daunnya, batangnya besar, kulitnya keras dan kasar, seperti guratan pada kulit dinosaurus yang retak-retak, kasar dan tebal. Lama kami terjebak dalam keheningan, dan tak berbicara sama sekali satu sama lain, sampai kemudian tiba-tiba tanpa sengaja mata kami saling berpandangan, dan tes…, cinta itu jatuh menetes di pedalamanku dan menciptakan riak kecil di sana, mungkin untuk selamanya.
Semenjak saat itulah ia menjadi suatu entitas yang paling aku cinta di semesta ini, meskipun aku tidak tahu apakah ia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku, ia sepertinya bukan tipe perempuan melankolis apalagi romantis yang mencintai hujan. Tapi tak mengapa, mungkin aku memang cenderung mencintai sesuatu yang tidak pernah mencintaiku. Begitulah kemudian aku mengibaratkan diriku sendiri sebagai hujan.
Hujan malam minggu membasahi perasaan-perasaan sepasang kekasih yang terlihat mesra, atau membantu menciptakan suasana romantis untuk muda-mudi yang tak memiliki kekasih sama sekali. Ketika suasana sudah syahdu, orang-orang yang tak memiliki kekasih itu tiba-tiba saja jadi sedih sendiri melihat hujan, tapi bersamaan dengan itu mereka juga bersyukur karena malam minggu hujan turun. “Mampus hujan” kata salah satu dari mereka sambil mengumpat di sepanjang jalan karena melihat sepasang kekasih berboncengan dan tertawa bersama.
Malam ini tanpa sadar aku berjalan ke rumah Tita, mungkin rindu sudah menjalar ke sekujur tubuhku. Aku terdiam cukup lama di depan halaman rumahnya. Entahlah, hanya memandangi halaman rumahnya saja, aku seperti sudah bisa mengobati rinduku sendiri.
Cinta dan kebodohan memang seharusnya tidak berjalan beriringan. Namun seringkali cinta membuat seorang pecinta menjadi bodoh dan gila, dan parahnya seringkali mereka tidak menyadari hal itu. Dan ketika tersadar mereka terlambat, sangat terlambat. Karena mereka telah dihancurkan oleh cinta yang mereka perlihara sendiri. Orang yang jatuh cinta tahu belaka ketika ia jatuh cinta maka ia akan menjadi tolol, hal-hal yang tak masuk akal dan di luar nalar mereka carikan logika dan argumentasinya, karena memang orang jatuh cinta setolol dan senekat itu. Kita tidak bisa benar-benar melepaskan antara cinta dan ketololan. Dan orang yang susah untuk diajak bicara adalah orang gila, orang patah hati, dan orang sedang jatuh cinta.
Dan aku adalah jenis orang yang ketiga itu.
***
“Aku membenci hujan, bukan karena aku benar-benar membencinya. Tapi karena ada hal-hal yang menyakitkan dan ingin aku lupakan, karena ketika hujan turun, ia selalu mengingatkanku pada kesedihan dan kepedihan yang sama, kesedihan dan kepedihan yang ingin aku lupakan selamanya” katanya suatu kali.
Perempuan penyendiri, keras kepala dengan mata sayu itu ternyata hidupnya dipenuhi dengan kenangan yang sedih, dan ia membenci hujan. Atau lebih tepatnya ia memiliki trauma terhadap hujan, dan aku baru mengetahuinya belakangan ini. Trauma Tita terhadap hujan bermula pada peristiwa beberapa tahun silam, yakni ketika ayah dan ibunya mengalami kecelakaan dan tewas di tempat. Saat kematian kedua orangtuanya itulah hujan turun dengan derasnya. Sampai kemudian hujan selalu mengingatkannya pada kesedihan dan kepedihan yang selalu sama. Tentang peristiwa tragis itu.
Tak lama setelah ditinggal mati orangtuanya, Tita selalu menutup telinganya ketika hujan turun, dan memilih untuk berbaring di kamar tidur dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, lalu menutup tubuhnya dengan selimut, sambil menangis dan menahan gigilnya sendiri. Hujan selalu mengingatkannya pada kesedihan, pada kepedihan, pada tragedi itu.
Aku awalnya sedih mengetahuinya, aku tak tahu apa yang mesti kulakukan untuk membuat Tita tidak lagi membenci hujan, atau bagaimana cara dia hidup dengan hujan, cepat atau lambat ia harus menghadapi itu. Mana mungkin dia bisa terus menerus lari dari hujan, lari dari kenangan buruk tentang kematian orang tuanya, dan kebetulan hujan hanya mengiringinya saja, mengiringi kematian dan membasuh darah kecelakaan di jalan raya.
“...karena ketika hujan turun, ia selalu mengingatkanku pada kesedihan dan kepedihan yang sama, kesedihan dan kepedihan yang ingin aku lupakan selamanya” ucapannya itu selalu terngiang di kepalaku, dan menyusup ke relung hatiku, dan semenjak saat itu aku bersumpah untuk selalu menjaganya, mungkin untuk selamanya.
***
Pagi ini aku dan Tita bergandeng tangan untuk pertama kali, kami berjalan bersama menuju rumah sakit, barisan pohon mahoni menjulang tinggi di sepanjang jalan yang kami lewati. Langit masih mendung, sisa hujan masih terlihat di jalan, aspal yang basah dan jalan berlubang ditumbuhi dengan genangan. Kami terus berjalan sambil bergandeng tangan dalam hening. Aku berharap pagi itu akan berlangsung selamanya. Sampai kemudian gerimis tiba-tiba turun dari langit, Tita gelagapan, ia melepaskan genggamanku kemudian berlari sekencang-kencangnya ke seberang jalan untuk berteduh di bawah halte depan rumah sakit, ia masih tak sudi disentuh oleh hujan barang setetespun. Sampai kemudian saat tengah menyeberang, dari arah yang tak terduga datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi
“Awas…!!!” pekiku, terlambat, mobil menghantam tubuh Tita. Ia terpental beberapa meter kemudian tersungkur dengan kepala menghantam aspal jalan, darah mengucur deras dari kepala dan mulutnya. Aku berlari menghampiri tubuhnya yang tak berdaya, rintik gerimis menitik di wajahnya, lalu menderas menjadi hujan membersihkan darahnya yang tergenang di jalan raya, membersihkan kebencian dan kesedihannya kepada hujan tapi di saat bersamaan menumbuhkan kebencian dan kesedihan yang baru di dalam hatiku. Dan aku hanya bisa menjerit dan menangis sejadi-jadinya, sambil mendekap tubuhnya yang masih hangat dengan darah. Ia sempat tersenyum, dan mengusap pipiku dengan tangannya, lalu diam tak bergerak. Dan dunia tiba-tiba berputar menjadi gelap, hening.
Purwokerto 2024