Cerpen
Disukai
13
Dilihat
4,995
Seorang Lelaki yang Mematahkan Rusuknya Sendiri
Drama

Seorang Lelaki yang Mematahkan Rusuknya Sendiri


 

“Kau tahu Ra, jodoh memang di tangan Tuhan. Tapi ingat, ketika umur sudah mencapai 30 ke atas, Tuhan lepas tangan” kata Kimit suatu kali, nama aslinya Nurismit ia sahabatku sejak kecil. Ia adalah seorang lelaki menyebalkan berumur setengah abad, dan masih sendirian. Tidak memiliki istri, tidak memiliki anak, tidak memiliki keluarga, ia yatim piatu sedari kecil. Dulunya kukira ia adalah seorang lelaki yang terlahir dari benih kecambah. Tapi ketika aku sudah akil baligh dan pikiranku sudah agak sedikit berjalan, aku sadar bahwa itu tidak benar. Yang benar adalah ia terlahir dari sepasang benih kecambah yang tumbuh di tanah sengketa. Nanti aku ceritakan mengapa ia begitu menyebalkan.

Namun meskipun demikian, sebenarnya ia memiliki segala hal yang diinginkan oleh setiap manusia di muka bumi ini: kekayaan, rumah mewah, mobil bagus, perusahaan besar dan orang-orang yang selalu setia mencintainya. Ditambah lagi, ia dikenal sebagai orang baik pula oleh para tetangganya. Tapi memang seperti pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Ia yang memiliki segala kesempurnaan dan kebahagiaan hidup itu, tenyata ia juga tak bisa lepas dari keretakan; ia tidak bisa jatuh cinta. Coba bayangkan seorang lelaki yang tak bisa merasakan indah dan pedihnya jatuh cinta, seorang lelaki yang dikutuk untuk tidak bisa jatuh cinta dan merasakan cinta, betapa ngenas dan menyedihkannya lelaki malang itu bukan?

Padahal sebenarnya banyak perempuan yang menyukainya, tapi entah mengapa ia tidak bisa jatuh cinta. Ia seperti terlalu mencintai dirinya sendiri, sehingga tidak ada ruang bagi orang lain untuk dicintai. Sampai-sampai ia bertanya kepada Tuhan, apakah dirinya terbuat dari besi, sehingga harus menanggung kepedihan dan cobaan tak bisa mencintai “Apa sebenarnya dosaku sehingga aku dikutuk sedemikian keji seperti ini, tidak bisa merasakan cinta sejati” katanya suatu kali sambil menangis sesenggukan di pangkuanku.

Aku tahu lelaki tak boleh menangis, tetapi malam itu kubiarkan ia menangis di kamar kos-kosanku seperti seorang bocah yang tidak dibelikan permen oleh ibunya. Kubiarkan malam itu ia melakukan apa saja kepadaku, membasahi bajuku dengan air mata dan ingusnya, lalu mencumbuku dengan penuh nafsu. Setelah pertarungan melelahkan tanpa cinta itu. Kuusap punggungnya lembut, seperti seorang ibu yang sedang membesarkan hati anaknya yang kalah dalam lomba pertamanya.

Oh betapa malangnya lelaki ini, aku merasa kasihan padanya. Mungkinkah seorang lelaki yang tak bisa jatuh cinta lebih nelangsa dari seorang lelaki yang tak bisa ngaceng? Entahlah aku tak tahu. Ia kubawa ke warung bakso langganan kami yang terletak di dekat Kecamatan. Kutraktir dia makan bakso dengan harapan bisa meredakan galau hatinya.

“Bos Kimit tumben makan bakso?” kata tukang bakso di warung langganan kami bertanya basa-basi kepada sahabatku itu. Mendapat pertanyaan seperti itu Kimit tersinggung, beberapa saat kemudian, ia membeli warung bakso kecil itu beserta pemilik dan karyawannya. Itulah salah satu perilaku menyebalkannya ketika sedang mengalami mood yang buruk. Pernah sekali waktu ia membeli kaki belalang, sayap laron, dan kapuk, di seluruh desa yang ada di kota kami, hanya untuk dihambur-hamburkannya kembali dengan menggunakan helikopter. Pernah juga ia mencoba berbicara dengan semut, ular, kadal, undur-undur dan segala jenis hewan melata yang ia temui dan mengaku sebagai murid Nabi Sulaiman. Begitulah kemudian perilaku menyebalkannya dari hari ke hari semakin menjadi-jadi.

Tapi ternyata perilaku menyebalkannya bersamaku itu adalah yang terakhir, aku tidak akan bisa lagi menyaksikan perilaku menyebalkannya untuk selamanya. Kemarin aku mendapatkan kabar bahwa Kimit, sahabatku yang menyebalkan itu baru saja meninggal dunia dengan cara yang begitu mengenaskan. Ia mencabut dan mematahkan tulang rusuknya sendiri.

Aku tak bisa menduga-menduga, tapi sebelum meninggal ia pernah bilang padaku bahwa energi kesedihan dan kesepian bisa membunuh secara perlahan. Dan dapat kusimpulkan dengan pasti alasan dirinya mengakhiri hidup dengan cara yang mengenaskan seperti itu: ia tidak bisa jatuh cinta. Tidak bisa tidak. Pasti. Hanya itu jawaban yang bisa kupikirkan.

Bagi orang lain mungkin ini kedengaran tolol, namun bagiku ini adalah alasan paling logis dan paling masuk akal yang bisa aku pikirkan. Baik aku akan menceritakan rahasia besar kepadamu tentang sahabatku ini. Cerita ini aku dapatkan satu bulan yang lalu, saat ia mengeluh dadanya sesak, dan ia memintaku untuk mengantarnya rontgen. Di situlah kemudian segalanya terbongkar, alasan mengapa ia selama ini tidak bisa jatuh cinta. Ternyata ia memiliki tulang rusuk yang lengkap, sehingga membuat dirinya kehilangan kemampuan untuk jatuh cinta. 

Segala kemewahan, kekayaan, kemakmuran dan kehidupan yang baik pada dirinya, ternyata tidak sebanding dengan apa yang ia rasakan selama setengah abad hidupnya yang menyedihkan itu, tanpa bisa merasakan sebenar-benarnya cinta, tanpa bisa merasakan indah dan pedihnya jatuh cinta. Apakah manusia yang tidak bisa merasakan manis pahitnya cinta masih bisa dianggap sebagai manusia?

Sahabatku itu, tidak seperti lelaki kebanyakan yang rusuknya telah dipatahkan Tuhan untuk menciptakan jodohnya. Rusuknya Kimit ini benar-benar lengkap, dan tidak ada lengkungan atau bekas patahan sedikitpun. Dan lelaki menyebalkan berumur setengah abad itu mati dengan cara mematahkan tulang rusuknya sendiri. Dari bekas lukanya aku dapat menduga bagaimana cara ia mati, kemungkinan ia menyayatkan pisau menyamping pada perut sebelah kiri, lalu mematahkan rusuk sebelah kirinya dengan tangan kosong, Lalu sebelum ia benar-benar meninggal, aku membayangkan ia tersenyum sambil memegang patahan rusuk sebelah kirinya yang berlumuran darah. Sangat Kimit sekali.

Bukan Kimit namanya kalau tidak aneh dan menyebalkan, sudah mati pun ia masih begitu menyebalkan. Bagaimana tidak, Kimit tidak cukup dengan mematahkan rusuknya sendiri, ia masih sempat-sempatnya menulis sebuah puisi yang diguratkannya ke tulang yang patah itu dengan pisau. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, saat pertama kali aku menjenguk jasadnya yang mengerikan, pada tulang rusuknya yang berwarna putih dan masih tersisa sedikit daging, dan darah, di sana tertulis sebait puisi yang kuduga ia guratkan dengan ujung pisaunya.

Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga

Hai begitulah kata para Pujangga 2x[1]

 

Purbadana, November 2021


[1]Petikan lirik lagu Kata Pujangga, karya Rhoma Irama

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)