Masukan nama pengguna
"Esok kita akan bisa menyaksikan blue moon yang terjadi hanya sekali dalam beberapa tahun,"ucap reporter yang tengah membacakan beritanya di televisi.
Satu keluarga yang tengah duduk di meja makan sangat antusias dengan informasi tersebut.
"Bagaimana kalau kita menyaksikan bersama di kamar Bulan?"
"Boleh, ibu akan mempersiapkan cemilan enak."
Bulan tampak begitu senang, dia mengitari pandangannya pada semua keluarganya.
Setelah makan bulan menuju kamarnya, sesuai dengan namanya. Orang tuanya sengaja memberi kamar gadis itu paling atas dengan atap transparan. Gadis itu sangat menyukai langit malam, apakah itu bintang, bulan semua benda langit malam hari.
Pov Ayah Bulan
Bekerja sebagai manajer senior di perusahaan besar adalah impian besarku. Dan mendapat seorang istri uang luar biasa seperti diana juga keberkahan yang luar biasa. Dua malaikat kami semakin membuat kehidupan luar biasa. Anak pertama namanya angkasa dan yang kedua Bulan.
Menjalani kehidupan yang luar biasa tidak membuatku berhenti dari ambisiku dengan dunia kerja. Semakin mengejar semuanya, aku tidak memiliki waktu yang lebih banyak bersama keluarga. Aku hanya sering bertemu dengan diana dan anak- anak melalui whatsapp.
Suatu hari, karena lelah bekerja aku pulang ke rumah untuk beristirahat sejenak sebelum kembali ke kantor. Tapi diana mengeluhkan aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan.
"Kenapa kau tidak pernah ada waktu lagi bersama anak-anak?"
"Aku lelah, aku ingin istirahat."
"Baiklah istirahatlah,"diana melanjutkan melipat pakaian yang menumpuk.
Deringan telepon kembali menghentikan diana yang tengah sibuk.
"Halo buk, bisa nggak jemput bulan di sekolah. Soalnya bulan nggak enak badan kalau naik mobil umum takutnya pusing buk."
"Bentar ya nak, ibu beres- beres dulu."
"Oke buk."
"Mas, Bulan minta jemput di sekolah. kamu bisa jemput dia kan."
"Kamu aja ya, aku capek banget. Nanti jam 3 aku harus balik ke kantor."
_Di sekolah Bulan_
Bulan yang saat itu tengah duduk di depan lobi sekolah tidak menyadari adanya sesuatu dari lantai atas, yang membuat pecahan kaca mengarah kepadanya.
Semua siswa yang tengah berjalan menuju gerbang sekolah terkejut ketika suara keras yang berasal dari lobi sekolah. Beberapa orang murid yang berada di lobi tak sadarkan diri dan pihak sekolah bergegas menelfon ambulance.
Diana yang baru saja sampai di gerbang sekolah merasa heran kenapa di lobi sekolah bulan begitu ramai dan ada mobil ambulance. Dia bergegas menuju lobi dan melihat anak kesayangannya tengah tak sadarkan diri dengan wajah penuh darah tengah di angkat menuju mobil ambulance.
Seperti terhipnotis, diana cukup lama berdiri menatap ambulance yang membawa anaknya, tapi untungnya dering telfon menyadarkan lamunannya.
"Halo ..," ucap diana dengan suara yang sedikit gemetar
"Ada apa dengan suaramu?" ucapku pada diana
"Bulan, mas..," ucap diana dengan suara tangis yang sulit di tahan.
"Bulan kecelakaan, aku ke rumah sakit dulu kamu susul ya,"diana menutup telfon dan bergegas menyusul ambulance yang telah berlalu.
Aku yang baru saja terbangun bergegas beres- beres menuju kantor setelah itu menyusul diana menunggu bulan di rumah sakit.
Ternyata obsesiku tetap menjadi yang utama, tanpa aku sadari aku melupakan pentingnya keluarga.
Diana menghubungi Angkasa yang baru saja pulang ke sekolah untuk bergegas ke rumah sakit.
"Ayah mana buk?"
"Sebentar lagi ayah sampai nak."
Wajah cemas angkasa terus menatap pada ruang operasi yang masih berjalan.
3 jam berlalu, aku berlari menuju ruangan operasi bulan. Diana dan Angkasa duduk gelisah terus menatap ke arah ruang operasi bulan.
"Apa yang terjadi?" ucapku pada diana yang langsung memelukku.
"Aku juga tidak tahu pasti, tapi pihak sekolah memberitahukan adanya kelalaian pekerja yang sedang memperbaiki lantai dua sekolah. Bulan dan teman-temannya yang lain tengah duduk di ruang lobi."
Lampu ruang operasi berubah warna hijau pertanda operasi telah selesai di laksanakan. Dokter keluar dari ruang operasi dan menghampiri kami.
"Operasinya sudah selesai, tapi ada suatu hal dengan berat hati kami sampaikan. Operasi mata berjalan lancar, serpihan kaca yang ada di dalam matanya sudah kami keluarkan. Namun kemungkinan besar dia tidak bisa melihat."
Diana dan angkasa terduduk lemas dengan pandangan kosongnya. Aku memeluk mereka berdua, tapi angkasa menepis tanganku.
Seolah aku dan anak- anak menjadi asing, bukan mereka tapi aku yang membuat semuanya menjadi semakin asing.
Setelah operasi bulan selesai, aku kembali ke kantor melanjutkan kerjaku yang masih tinggal.
"Aku ke kantor dulu, nanti kembali dari sana aku akan membawa barang- barang bulan ke rumah sakit."
"Baiklah, hati-hati."
Angkasa tidak menatap ke arahku, dia terus melihat ke arah ruangan bulan yang tengah terlelap dengan alat bantu nafas.
"Ayah benar- benar berubah buk, bulan sedang sakit tapi dia tetap mendahulukan pekerjaannya."
"Itu bentuk profesionalitas ayah nak, ayahkan udah bilang nanti kembali."
Diana menepuk pundak angkasa untuk meyakinkan anaknya yang marah karena sikap sang ayah.
Hari sudah menunjukkan pukul 6 sore, diana yang terlelap kursi rumah sakit membangunkan angkasa untuk pulang ke rumah lebih dulu.
"Angkasa kamu pulang dulu ya nak, nanti kalau ayah datang kamu sekalian aja berangkat bawa pakaian ibu juga ya."
"Ya udah buk, angkasa pulang dulu. Ibu istirahat nanti aku bawain makanan."
Baru beberapa langkah angkasa berjalan di lorong rumah sakit. Diana memanggil angkasa.
"Angkasa, kamu bawa mobil ibu aja. Bawa pakaian adek sama ibuk."
"Bukannya Ayah buk."
"Ayah mendadak ada metting penting, kemungkinan larut malam baru selesai nak."
Angkasa kembali mengambil kunci mobil yang ada di tangan ibunya dan bergegas untuk pulang.
Diana tahu pasti betapa marah anak sulungnya itu.
Bagiku Diana istri yang luar biasa, kesabarannya takkan mampu aku temukan pada siapa pun.
Penyesalanku adalah menyia-nyiakan diana dan anak- anakku.
Pov Diana
Menikah dengan Dion pilihan yang tak pernah aku sesali. Aku yang kehilangan sosok ayah bertemu dengannya yang pengertian dan paham tentang keadaanku itulah menjadi alasan untuk pernikahan ini.
Aku tahu betapa dia bekerja keras untuk kehidupan sampai saat ini. Aku yang biasa hidup dalam serba berkecukupan belajar banyak hal darinya yang untuk mendapatkan segala sesuatu harus menguras keringatnya.
Tapi setelah bulan lahir, dion semakin sibuk dengan karirnya. Dibandingkan dengan Angkasa, bulan tak memiliki banyak waktu bersama ayahnya. Aku pun merasakan bahwa dion semakin memiliki sedikit waktu bersama aku dan anak-anak.
kejadian yang menimpa bulan saat ini membuatku takut, bagaimana dia akan menerima keadaannya.
Pertama kali bulan sadar, dia begitu histeris hingga jarum infus merobek kulit tangannya. Dokter segera datang dan memberikan obat penenang.
Dan untuk pertama kalinya aku meluapkan kekesalanku pada dion. Hari itu setelah dokter memberikan suntikkan pada bulan. Aku menelfon dion untuk datang ke rumah sakit. Tapi lagi- lagi dia tidak bergegas datang.
"Mas, kamu harus segera ke rumah sakit. Bulan histeris dan sekarang dia sudah di beri obat penenang."
"Iya, setelah pekerjaan ini selesai aku ke rumah sakit.”
"Aku bicara sungguh- sungguh padamu Mas, setiap hari aku berusaha untuk membuat bulan tetap percaya dan menghargai kamu. Tapi kalau sampai bulan benar- benar merasa kehilangan kamu, aku mungkin tidak akan bisa membuatnya percaya denganmu lagi."
Aku menutup telfon dan menangis menatap bulan yang saat ini sendirian di ruangan itu.
"Angkasa, kamu udah selesai sekolahnya nak?"
"Udah buk, ini di jalan mau pulang. Aku ganti baju dulu."
"Baik nak, hati-hati ya."
Angkasa datang ke rumah sakit dan menatap sedih pada adik kesayangannya.
"Tadi bulan sudah sadar, tapi sepertinya dia shock dan dokter memberinya obat penenang. Ibu takut bulan tidak siap dengan keadaannya."
"Ibu tenang ya, angkasa yakin bulan akan baik- baik aja."
Angkasa yang melihat ke arah bulan bergegas masuk mendekatinya. Bulan yang berusaha duduk membuat angkasa merasa senang.
"Kakak merindukanmu bulan."
Bulan memeluk erat kakaknya, dia menangis begitu keras hingga membuat angkasa ikut menangis.
"Bulan nggak mau buta kak, bulan benci seperti ini. Lebih baik bulan nggak usah hidup aja."
"Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, kamu nggak tahu betapa sedihnya ibu yang nungguin kamu."
"Ibu …."
"Ayah, mana?"
"Sebentar lagi ayah sampai, nak."
Bulan kembali tidur dan menutupi wajahnya dengan selimut.
"Ayah sepertinya tidak membutuhkan bulan, sudah buta pun ayah tetap tidak peduli."
Aku yang mendengar ucapan bulan, benar-benar terpukul. Angkasa merangkul pundakku untuk tidak menangis. Dia membawaku keluar ruangan.
"Biarkan dia sendirian dulu, ibu istirahat ya."
Dion yang baru saja datang segera masuk ke ruangan bulan.
"Bulan …."
Bulan sama sekali tidak menyahut panggilan ayahnya.
"Ayah minta maaf, tadi ayah harus selesaikan kerjaan dulu."
"Iya, ayah tidak perlu minta maaf. Kan biasanya memang seperti ini"
"Ayah kerja untuk kamu dan angkasa...!"
"Ayah yakin?"
Bulan menatap kosong pada sumber suara di dekatnya. Dion benar-benar kehabisan kata-kata.
Dia berjalan dengan lelah keluar ruangan bulan. Aku menghampirinya dan memegang tangannya.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Tapi kamu juga harus pahami perasaan bulan. Kamu kerja keras untuk keluarga, tapi aku rasa bukan berarti kamu harus membuat anak- anak kehilangan figur ayahnya."
Angkasa mendekati ayahnya.
"Angkasa bahagia punya ayah, tapi ayah berubah. Ayah tidak ada waktu lagi untukku apalagi bulan. Bukan berarti kita ingin ayah berhenti kerja, tapi setidaknya dalam satu hari saja satu jam sudah cukup."
___
Setelah pulang ke rumah, bulan tidak mau keluar dari kamarnya. Dia terus mengurung diri dan tak mau makan.
"Bulan mana?"
"Dia nggak mau sarapan mas, tadi angkasa udah ke kamarnya dia tetap nggak mau."
Dion berjalan ke kamar bulan dengan membawa sarapan di kedua tangannya.
"Bulan, ayah masuk ya."
Bulan masih di tempat tidurnya, dia enggan untuk menyambut sang ayah.
"Ini sarapannya, mau ayah suapin nak?"
"Bulan yang mendengar ucapan sang ayah, mulai menghadapkan dirinya pada sang ayah"
Dia merapikan rambutnya dan meraba-raba tepi tempat tidur.
"Ayah tidak kerja?
"Sebentar lagi ayah mau berangkat, tapi ayah mau suapin kamu dulu."
Bulan mulai sedikit tersenyum dan melahap semua makanan yang diberi sang ayah.
"Aku ingin memberitahu ayah cita- citaku, aku ingin jadi astronot. Bukankah luar angkasa itu indah?"
Dion seketika menitikkan air matanya, senyuman putrinya itu benar- benar indah.
Setelah selesai, dion kembali ke ruang makan. Dan mengajak diana untuk bicara sebentar.
"Aku tidak ingin bulan buta, bagaimana kalau kita cari pendonor mata."
"Aku sudah coba tanya ke rumah sakit, butuh beberapa bulan untuk mendapatkan donor mata mas."
"Gimana kalau kita minta bantu orang lain buat dapat donor mata cepat."
"Maksud kamu apa mas?"
"Teman aku ada kenalan seseorang yang bisa dapat donor organ apapun dengaan cepat."
"Di rumah sakit mana?"
"Bukan rumah sakit?"
"Maksud kamu?!"
"Kamu harus mikirin masa depannya bulan!"
Diana menatap tajam pada suaminya itu.
"Dengar mas, aku sangat memikirkan masa depan bulan tapi bukan berarti aku bermain kotor untuk anakku sendiri. Kamu harusnya kamu bisa berfikir, dimana temen kamu dapat organ dengan cepat? Gimana kalau itu anak- anak yang di cari sama orang tuanya? Kamu posisikan diri kamu sebagai orang tua. Kalau kamu pengen lakuin yang terbaik untuk bulan, ada cara yang lebih baik mas. Aku akan urus bulan dengan baik, jadi kamu nggak perlu merasa terbebani."
Diana meninggalkan dion yang masih berdiri menatapnya yang menuju kamar bulan.
"Halo sayang, kamu udah sarapan Nak?"
"Sudah buk."
"Kamu kalau butuh apapun atau mau ke kamar mandi. Kamu bisa panggil ibu ya."
"Makasih buk, apa temen bulan ada yang datang buk?"
"Belum nak, mungkin pada sibuk belajar. Pas di rumah sakit kepala sekolah sama temen kamu datang kok."
"Buk, kapan ya bulan bisa ke sekolah lagi. Bulan pengen belajar."
"Kamu mau belajar? Gimana kalau kamu belajar di rumah aja, ibuk akan cari guru les buat kamu."
"Tapi bulan pengennya di sekolah ketemu temen-temen."
"Terus yang jagain kamu di sekolah siapa?"
"Kan ada zia buk, dia bakalan bantuin bulan kok."
"Kalau gitu ibuk akan coba hubungi zia, kalau dia bisa besok. ibuk akan antar kamu ke sekolah."
Keesokkan harinya, zia sudah menunggu bulan di depan sekolah. Bisikan-bisikan terus tertuju pada bulan. Hingga satu minggu berlalu, bulan yang saat itu ingin ke kamar mandi di bantu oleh temannya yang lain karena zia sedang di panggil guru ke ruangan.
Tanpa sengaja bulan mendengarkan percakapan zia dengan wali kelasnya. Bagaimana temannya itu mengeluh ketika harus menjaga bulan setiap hari di sekolah.
Bulan kembali berjalan menuju kelas, zia yang baru saja kembali dari ruang guru mendekati bulan untuk menemaninya ke kantin.
"Bulan, yuk makan?"
"Tidak, aku tidak lapar. Aku boleh minjam handphone kamu nggak?"
"Bentar," zia memberikan handphonennya pada bulan.
"Bisa bantu carikan nomor ibuku?"
"Halo buk, bisa jemput bulan ke sekolah?"
"Kenapa nak? Kamu nggak enak badan."
”Iya buk."
"Baik, sebentar lagi ibuk jemput.”
"Kamu kenapa lan? Nggak enak badan?”
"Zia, makasih ya sudah bantu dan jadi temen aku selama ini. Seharusnya kamu jujur aja kalau kamu capek harus bantuin aku tiap hari."
"Maksud kamu apa lan?"
"Aku nggak sengaja denger percakapan kamu sama buk alya."
"Aku minta maaf lan."
"Tidak apa- apa zia, aku juga tidak mau egois. aku tahu gimana kesulitannya kamu."
Bulan masuk ke mobil ibunya, karena sedari tadi sudah menahan air matanya. bulan menangis sejadi- jadinya di dalam mobil.
"Kamu kenapa nak? apa ada yang menyakitimu?"
"Bulan nggak mau sekolah lagi buk, bulan mau di rumah aja."
"Baik, ibu akan cari guru les kalau kamu pengen belajar di rumah."
"Nggak usah buk, bulan nggak mau ngapa- ngapain."
Diana terus mengendarai mobilnya hingga sampai di rumah. setelah mengantar bulan ke kamar, diana menelfon angkasa.
"Halo nak? kamu masih kuliah?"
"Satu mata kuliah lagi selesai buk, kenapa?"
"Adikmu butuh hiburan kayaknya, tadi ibu jemput bulan ke sekolah. dia bilang nggak pengen sekolah lagi."
"Ya udah buk, nanti angkasa pulang."
Diana menelfon dion, bagaimana pun dia memang tidak bisa menyimpan masalahnya sendiri.
"Halo mas, kamu lagi sibuk?"
"Nggak, kenapa sayang?"
"Bulan nggak pengen sekolah lagi mas."
"Kenapa gitu? bukannya kemarin dia semangat ke sekolah?"
"Aku nggak tahu mas, tadi aku jemput ke sekolah. dia tiba- tiba nangis terus pengen berhenti sekolah."
"Untuk sekarang kita ikutin aja kemauannya bulan, kalau kita paksa yang ada makin bahaya buat bulan. nanti habis kerja aku cepet pulang ya."
"baik mas, hati-hati ya."
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, angkasa sudah sampai di rumah dan bergegas ke kamar bulan yang tengah mengeringkan rambutnya sehabis mandi.
"Bulan, ini kakak."
"Iya, masuk aja."
"Gimana hari ini?"
"Baik.”
"Tadi ibu bilang kamu pengen berhenti sekolah, kenapa?"
"Bulan pengen di rumah aja kak, lagian kalau pun bulan sekolah dan lulus nggak akan ada yang mau terima bulan buat kerja."
"Siapa bilang ? kakak yakin kamu pasti bisa sukses."
"Ini …."
Angkasa memberikan handphonenya.
"Kamu dengerin cerita- cerita bagus karya temen kakak, namanya samudera. sekarang dia part time di pusat belajar tunanetra."
"Makasih kak, nanti bulan dengerin."
Beberapa bulan berlalu, keluarga mengira bulan akan terbiasa dan kuat untuk menghadapi kondirinya. Ternyata dia kembali terpuruk.
Seolah semua anggota keluarga mulai terbiasa dengan keadaan bulan.
Hari itu bulan melempar semua barang- barangnya. Diana yang baru pulang dari berbelanja kaget dan bergegas menuju kamar bulan.
"Bulan nggak sanggup buk, bulan capek gini terus. Bulan pengen bisa liat lagi" Diana yang melihat air mata putrinya tak mampu berkata- kata selain memeluknya untuk saat ini.
Setelah bulan cukup tenang, diana menelfon angkasa untuk mengabari tentang keadaan bulan.
”Angkasa, nanti sore kamu ada kegiatan tambahan?”
”Ada buk, Kenapa?”
”Kamu bisa pulang lebih cepat nak, ibu sangat kahwatir dengan adikmu.”
”Ada apa dengan bulan?”
”Dia tadi melempar semua barang, ibu takut dia melakukan sesuatu.”
”Baiklah, aku akan pulang lebih awal.”
”Apa ayah sudah tahu.”
”Sudah, Ayah nanti pulang.”
”Baiklah.”
Diana masih berdiri di depan kamar bulan, setelah kamar bulan terdengar senyap. Diana membuka kunci dengan hati-hati. Setiap sudut ruangan dipenuhi barang-barang yang berserakan. Bulan tidur di kasurnya dengan air mata yang masih meleleh di pipinya.
”Buk …”bisik angkasa dari pintu kamar bulan
”Dia tidur …”
Diana dan angkasa membiarkan bulan tidur sejenak. Mereka memutuskan berbicara di ruang keluarga.
”Apa beberapa hari ini kita mengabaikan bulan, nak?”
”Aku rasa begitu ibu, kita membuatnya dalam kondisi yang sama walaupun membantunya tapi itu tidak membuatnya berdamai dengan keadaannya.”
”Bagaimana kalau akhir pekan nanti kita bawa bulan jalan-jalan buk?”
”Iya, ibuk setuju tapi apa bulan mau?”
”Tenang aja, nanti angkasa yang bujuk.”
Angkasa yang sudah mengganti pakaiannya. Bergegas menuju kamar bulan, mata angkasa menatap kamar bulan yang tampak seperti kalah perang.
Dia membereskan satu persatu barang bulan yang masih layak dan membuang yang sudah rusak.
Bulan yang tengah tertidur, terbangun mendengar langkah seseorang yang terdengar sibuk kesana kemari di kamarnya.
”Ibu?”
”Ini kakak, kamu udah bangun?”
”Bulan … minta maaf.”
Angkasa menghentikan kesibukannya dan duduk disamping bulan.
“Kakak paham dengan keadaan kamu. Seberapa frustasinya kamu tanpa bisa melihat segala sesuatu yang biasanya bisa kamu lihat. Tapi kakak percaya masih banyak cara yang bisa kamu lakukan untuk hidup seperti biasanya.”
”Kakak tahu, aku tidak membenci kondisiku saat ini. Aku sudah menerimanya, aku sadar tuhan mencintaiku dan akan beri sesuatu yang lebih berharga kedepannya. Tapi aku merasa menjadi beban untuk ibu, ayah dan kakak. Aku sulit melakukannya sendirian.”
”Siapa bilang kamu adalah beban, sedari dulu kakak begitu senang ketika ibu bilang adik perempuan akan lahir di rumah ini. Ibu begitu mencintaimu lebih dari kakak dan ayah bekerja keras untukmu. Kami mencintai kamu, bulan.”
Angkasa memeluk adik kesayangannya.
“Ibu bilang, dia merasa telah mengabaikanmu. Kakak harap kamu tidak menjadikan ini sebuah beban. Ibu sangat senang jika kamu butuh bantuan ibu.”
***
Tepat hari ini, bulan dan keluarga pergi berlibur ke tempat yang sudah dipersiapkan angkasa. Mereka butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai. Sungguh tempat yang menakjubkan, jauh dari keramaian dan yang pasti tempat ini hanya disukai orang-orang yang ingin bahagia.
Seorang pria seumuran angkasa menyambut mereka. Dia adalah relawan yang sudah 2 tahun bekerja disana. Dia sukarela menjadi pengajar untuk anak-anak yang mengalami peristiwa sama seperti bulan.
“Ini adikku bulan …,”ucap angkasa sambil mengarahkan tangannya bulan ke arah eril
”Eril, senang bertemu denganmu.”
Mereka semua duduk bersama disebuah pondok yang menghadap ke bukit-bukit diseberang sana.
Walau tak bisa melihatnya, bulan merasakan kesejukkan yang menghembus wajahnya.
”Apa tempat ini menyenangkan bulan?”
”Tentu saja, kakak yang terbaik.”
”Pakai dulu kain ini,”ucap ayah sambil menaruh kain berwarna putih yang cukup tebal dipangkuan bulan.
”Terima kasih yah.”
”Angkasa, bolehkah aku mengajak adikmu untuk bertemu anak-anak yang lain?”
”Tentu saja, maaf merepotkanmu.”
”Tidak apa-apa.”
Angkasa memegang tangan bulan dan angkasa membawanya pada anak-anak yang sudah duduk bersama di sebuah ruangan.
”Halo adik-adik semua, kita kedatangan teman baru. Namanya kak bulan.”
”Halo kak bulan….”
”Halo semuanya.”
”Ini kado istimewa untuk kamu dari anak-anak,” eril meletakkannya di tangan bulan.
”Apa ini, aku tidak bisa membacanya.”
”Tenang saja beberapa waktu lagi kamu akan bisa membacanya.”
”Maksudnya.….”
Eril mengabaikan pertanyaan bulan, mereka berpamitan pada anak-anak.
Hari ini benar-benar istimewa untuk bulan, berlibur bersama keluarga dan bertemu anak-anak yang bernasib sama dengannya. Tapi tetap saja dia penasaran dengan apa yang eril katakan padanya tadi. Buku yang dia genggam saat ini, bagaimana dia membacanya.
”Kamu kenapa lan?” Tanya angkasa yang merasa aneh dengan tingkah bulan yang duduk disebelahnya.
”Tidak ada kak.”
Beberapa bulan berlalu, ibu sangat bahagia masuk ke kamar bulan.
”Akhirnya kita dapat donor mata untuk kamu nak.”
”Benarkah?”
”Iya, besok kamu akan melakukan pemeriksaan.”
Bulan memeluk ibunya dengan erat. Ayah dan angkasa pun merasa bahagia pada akhirnya bulan bisa melihat langit impiannya.
Setelah pemeriksaan dokter menyatakan bulan siap untuk di operasi, namun sebelum masuk bulan ingin mengakhiri rasa penasarannya.
”Ibu, siapa yang mendonorkan matanya untukku?”
”Nanti, setelah operasi kami akan memberitahumu nak,”ucap ibu sambil mengenggam tangan bulan yang akan masuk ruang operasi.
***
“Sekarang kita bisa membuka perbannya, kamu bisa membuka matamu dengan perlahan.”
Bulan merasa gugup apakah pada akhirnya dia bisa melihat. Matanya yang sedikit kabur perlahan melihat sekelilingnya. Ibu terlihat begitu terharu di pelukan ayah dan kak angkasa duduk disampingku sambil memegang tanganku.
Ruangan dipenuhi rasa haru dan bulan tak bisa menghentikan air matanya.
“Tapi, siapa yang mendonorkan matanya untukku?”
”Kamu ingat eril, teman kakak yang menemani kita berlibur?”
”Ya, aku ingat.”
”Dia yang mendonorkan matanya untukmu.”
”Tapi, kenapa? Dimana dia sekarang?”
”Dia sudah tidak ada, ini buku yang dia berikan untukmu.” Angkasa menyodorkan sebuah buku dengan sampul luar angkasa persis seperti apa yang bulan sukai.
Buku ini tentang kak eril, pria yang membantuku. Foto pria itu terpajang di lembar pertama buku itu. Dia tampak bahagia dengan anak-anak disampingnya. Dari sekian banyaknya anak-anak yang membutuhkan donor mata dia memilihku.
Dalam buku itu dia menceritakan alur perjalanan hidupnya dan kenapa dia memilihku untuk menerima donor matanya. Semua berawal dari cerita kak angkasa, betapa putus asanya pria itu sambil menangis bercerita tentang adiknya. Jika saja dia bisa memberikan matanya untuk bulan, dia akan melakukan itu tapi tidak bisa. Bulan akan merasa bersalah.
Untukku pria yang punya tenggang waktu untuk hidup rasanya begitu kosong jika tak melakukan sesuatu. Aku memutuskan untuk bergabung bersama relawan. Kenapa aku memilih disana, karena mereka tidak akan melihat rasa sakitku atau tubuhku yang semakin hari semakin tak sehat.
Ternyata hidup punya tenggang waktu, tapi aku ingin mataku tetap bisa melihat seluruh dunia meski aku telah menghilang.
Dibalik kesakitan dan kematian terkadang ada harapan yang begitu besar dari orang lain. Kesedihan dari orang yang mencintai kita, harapan dari orang yang berpacu dengan rasa sakit seperti kita.
Bulan berjalanlah terus dan lihatlah keindahan dunia yang belum bisa aku lihat setelah hari ini.
Sampai jumpa lagi di kehidupan yang lebih baik.