Flash
Disukai
1
Dilihat
3,636
Luapan Luka Luna
Romantis

Luna bukan tipe perempuan yang meledak.

Luka-lukanya tak pernah bersuara, tapi tumbuh di dalam tubuhnya seperti akar pahit yang mencari tempat untuk bertahan.

Ia belajar diam sejak dini bahwa tidak semua sakit pantas didengar, dan tidak semua kehilangan berhak dipertanyakan.

Selama ini, ia menjadi rumah yang tak pernah dipulangkan.

Menjadi pelukan yang hanya diingat saat dunia sedang membeku.

Ia mencintai dengan cara yang sunyi menjaga, menunggu, memaklumi, dan perlahan… menghilang.

Namun malam ini berbeda.

Hujan jatuh seperti pengakuan yang tertunda.

Angin memanggil-manggil namanya dari sela-sela jendela, dan kamar terasa lebih sesak daripada biasanya seperti dadanya sendiri.

Luna membuka laci yang sudah lama tak disentuh.

Di sana, tersimpan sisa-sisa harapan: surat yang tak pernah dibalas, foto yang mulai pudar, dan wangi seseorang yang dulu ia jaga seperti doa.

Ia membaca surat-surat itu lagi.

Tiap kalimat seperti cermin retak: memantulkan versi dirinya yang pernah sangat mencintai, sampai lupa bagaimana caranya memilih diri sendiri.

Lalu, ia menulis.

Bukan untuk merayu kepulangan, tapi untuk membebaskan diri dari segala yang tak sempat ia ucapkan.

“Kau pergi tanpa pamit. Membiarkan aku menyusun teka-teki yang tak pernah lengkap.

Aku diam, bahkan saat hatiku teriak karena aku takut kehilangan yang bahkan sudah tak memilih tinggal.

Tapi malam ini, biarkan aku tidak lagi diam.

Bukan karena aku ingin kau kembali, tapi karena aku berhak sembuh.”

Tangannya berhenti menulis.

Air matanya jatuh, perlahan, jujur.

Untuk pertama kalinya, Luna tak menahannya.

Bukan karena lemah.

Tapi karena sudah terlalu lama kuat tanpa alasan.

Ia tidak membakar surat itu.

Tidak pula menyimpannya kembali.

Ia biarkan saja di atas meja, biar pagi yang membaca, biar cahaya yang tahu:

Luna akhirnya meluapkan lukanya, dan itu cukup.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)