Cerpen
Disukai
3
Dilihat
5,627
Apa Salahku Ibu?
Drama


Insecure adalah suatu Qadarullah yang harus dijalani. Untuk menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri.

           Namaku Faris, aku adalah anak kedua, aku punya satu kakak perempuan yang jarak umurnya cukup jauh denganku. Ayahku seorang petani, ibuku bekerja sebagai penjahit. Aku merasakan kebahagian bersama dengan keluargaku. Hingga hari itu datang di mana kebahagiaan kelurgaku seakan musnah menjadi mendung kelabu.

           Sore itu tak sengaja kudengar ayah dan ibuku bertengkar hebat hingga kulihat ibuku membawa tas besar. Aku tak mampu berkata-kata melihatnya, hanya linangan air mata. Aku dan kakakku saling menguatkan dengan berpegangan tangan.

           Tak hanya aku dan keluargaku yang melihat langsung tetapi tetangga sekitar rumahku mengetahui kejadian itu. Ayahku memeluk kami dengan sayang seakan memberi kekuatan. Masih ada ayah yang menjaga dan menyayangiku.

           Setelah kejadian sore itu, Tindakan Ibuku menjadi buah bibir tetangga dan teman-temanku. Saat aku bermain dengan temanku dan pergi ke warung kepergian ibuku menjadi topik bahasan bagi mereka.

           “Ibumu pergi, ya?” kata Rizki.

           “Iya, ke mana? Sama cowok ya?” tanya Adi lagi.

    Aku hanya bisa diam saat teman-temanku mulai bertanya-tanya tentang ibuku. Beredar berita ibuku pergi dengan laki-laki lain yang berstatus suami orang. Bahkan terjadi insiden jambak-menjambak antara ibu dan istri laki-laki itu. Sungguh memalukan bukan, kayak cerita di sinetron tapi ini nyata dan yang kena dampak terbesar adalah kami anak-anaknya.

Semua bermula dari ibu yang bekerja sebagai pembantu di rumah orang. Dan laki-laki itu adalah sopir travel di tempat yang sama. Awalnya biasa saja, namun belakangan ibu berubah. Mulai dari dandanan yang tak sewajarnya terkesan berlebihan juga. Hingga insiden ini terjadi.

Banyak tetangga yang tahu, dan itu menjadi gosip di seluruh penjuru kampung. Bukan hanya itu, saat aku membeli jajan di warung, tetanggaku pun mulai bertanya-tanya.

           “Ke mana ibumu pergi, Farhan?” tanya bu Hani.

           “Ibumu pergi cara ayah baru, Farhan,” lanjut bu Rani.

           Begitulah aku saat aku keluar rumah, hanya membuatku semakin sedih. Aku heran mengapa semua seakan tidak mengerti dengan kondisiku saat ini. Teman dan tetanggaku bukannya bersimpati tetapi malah menghakimi dan memaki. Hal itu tidak hanya denganku, kakakku pun mendapat perlakuan yang sama.

           Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan hitungan bulan, aku dan kakakku selain berangkat dan pulang sekolah kami hanya di rumah saja. Kami takut keluar rumah kalau hanya mendengar hal yang membuat kami sedih dan trauma dengan kejadian yang menimpa keluarga kami.

Keluarga menyadari perubahan yang terjadi padaku dan kakak. Nenek, paman dan bibiku menanyakan kenapa aku dan kakakku tak pernah bermain ke luar rumah.

           “Kenapa Faris tidak main?” tanya Bibiku.

           “Tidak apa-apa Bi,” jawabku.

           “Cerita sama Bibi, apa sebenarnya yang terjadi,” lanjut Bibiku.

           Bukannya menjawab aku malah semakin sedih dan menangis seakan mengeluarkan semua yang ada di hatiku. Rasa sedih, malu, dan marah bercampur menjadi satu di hatiku.

           Nenek dan bibiku membesarkan hatiku agar senantiasa bahagia walau tidak ada ibu lagi. Aku bersyukur ada Nenek dan bibiku yang sayang dan memperhatikan kami semenjak kepergiaan ibuku.

           Suatu hari ibuku menelpon dan ingin berbicara dengan kami, namun aku dan kakakku sudah enggan bicara dengan ibunya.

           Mungkin dosa bertindak seperti itu pada ibuku, tetapi entahlah tindakan ibu yang pergi meninggalkan kami saat kami masih membutuhkan kasih sayangnya menorehkan luka yang cukup dalam di hati kami.

           Aku pun tidak habis pikir dengan teganya ibuku pergi dengan laki-laki lain tanpa memandang kami, anaknya. Bagaimana malunya kami dengan tindakannya. Ayahku pun sudah pasrah saja dengan kejadian ini beliau sudah tak peduli dengan ibuku, beliau hanya mempedulikan kami anaknya.

          “Sudah biarkan ibumu pergi mencari kesenangannya sendiri,” kata Ayah.

         “Kalian harus terus semangat belajar masih ada ayah yang akan menjaga dan menyayangimu,” lanjut Ayah.

      “Iya Yah, kami mengerti. Kami akan tetap rajin belajar dan menjadi kebanggaan Ayah,” jawabku berusaha menyembunyikan semua kesedihan.

   Setelah lama aku tidak bermain karena malu keluar rumah, sore itu teman-teman menghampiriku ke rumah. Mereka mengajakku bermain.

Kini temanku sudah tidak lagi membahas tentang ibuku. Mungkin nenek, bibi serta orang tuanya di rumah mulai bersimpati kepadaku karena aku tak pernah keluar rumah.

"Ayo, Faris kita main, kamu tidak bosan di rumah saja," ajak Slamet.

Awalnya aku hanya diam, bingung harus bagaimana aku takut mereka mengolok-olok ibuku lagi.

"Maafkan kami, kami tidak akan bertanya-tanya tentang ibumu, kami berjanji," kata Slamet meyakinkanku.

"Baiklah," jawabku.

Akhirnya aku bermain dengan teman-temanku lagi. Dari setiap kejadian pasti ada hikmahnya, hal itu membuat kami semakin dewasa berpikir. Kakakku bertugas memasak dan mencuci. Sedang aku diberi tugas menyapu dan mencuci piring.

Sore itu kami sedang menonton televisi, bapak memanggil kami untuk membicarakan sesuatu katanya.

"Begini, bapak mau ijin pada kalian untuk merantau ke Kalimantan, bapak mau kerja di sana," kata Bapak.

Mendengar hal itu sedih rasa hatiku, namun apa mau dikata kami juga tahu bapak mau mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga.

"Terus, kami di rumah dengan siapa kalau bapak pergi," tanyaku.

"Kan ada nenek dan kakek, yang akan menjaga kalian," jawab Bapak.

Akhirnya bapak jadi pergi juga ke Kalimantan untuk bekerja di sana. Namun walau berjauhan kami masih bisa saling video call, hampir setiap hari bapak akan video call kami. Semua itu seakan bisa mengobati rasa rindu.

Suatu hari aku sakit panas, nenekku bingung melihatku sakit. Kakakku kemudian memeriksakan aku ke dokter yang kebetulan satu desa. Disaat sakit terasa tambah sakit saat mengingat ibuku.

Karena disaat sakit pasti teringat dengan orang tua, ibu yang pergi begitu saja. Ayah yang tidak disisi karena bekerja. Sampai hampir seminggu aku tidak sekolah karena sakit, nenek menjadi sedih melihatku.

"Faris, ayo makan dan minum obat supaya lekas sembuh, kalau tidak mau makan bagimana akan sembuh?" kata Nenek sambil menyuapiku.

"Apa nenek telepon bapakmu supaya pulang, nenek sedih kamu sakit begini," kata nenek lagi.

"Jangan Nek, aku mau makan kok, jangan telepon bapak, kasihan bapak nanti mikirin Faris disana," kata Faris.

Tak lama bapak telepon karena tahu kondisiku yang sedang sakit bapak ingin pulang. Tapi aku melarang, aku sudah merasa baikan.

  Sampai suatu hari aku ingin disunat, aku sudah berani untuk itu. Entah dari mana ibuku tahu aku sunat, dia datang menjengukku juga. Ibuku membawakanku sarung dan baju koko, namun rasa sayang ke ibuku seakan berubah menjadi rasa benci dan marah.

"Faris, sini mandi sama ibu dan ganti perbannya dulu," kata ibu.

"Tidak mau, Faris mau sama nenek atau bibi saja," kata Faris dengan amarah.

 Ibuku membujukku, tapi aku tak bergeming, berdosakah aku? Saat ingin mengurusku aku menolak, aku lebih memilih bibiku untuk mengurusku.

           Maafkan diriku yang belum bisa menghilangkan rasa marah ini, bersama waktu mungkin suatu hari rasa ini akan luntur dan pergi. Biarkan Allah yang mengobati luka ini bersama waktu dan sambil mengingat kebaikan ibu mungkin akan membuka hati dan mampu memaafkan kesalahannya.

           Memang mudah memaafkan tapi sulit untuk melupakan.

    


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)