Masukan nama pengguna
"Halo!"
"Anda dimana? Persidangan sebentar lagi dimulai?"
"Dalam lima menit aku tiba!"
Siang itu aku bergegas ke pengadilan dengan penuh harap.
Pelaku atas kasus yang pernah aku laporkan tiga bulan lalu tertangkap sudah.
Hari ini akan menjalani sidang.
Aku tidak sabar lagi ingin melihat wajah pria itu. Dia sudah merampas milikku yang sangat berharga.
Meski sangat mungil, tapi itu satu-satunya hal berharga yang aku miliki, sebagai wanita yang hidup di rantauan seorang diri.
Dari nya aku bisa mendapatkan banyak uang. Sekali ada panggilan, aku bisa mendapatkan ratusan ribu.
Tapi manusia yang tidak punya rasa iba itu tega merampasnya dariku.
Aku tidak bisa lagi berjualan, menjajakan potensi yang ku miliki.
Seketika aku putus kontak dengan semua orang.
Aku seperti hidup sendiri di dunia ini.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak tahu harus meminta pertolongan pada siapa?
Sementara orang-orang yang sama sekali aku tidak kenali hanya berlalu lalang di sekitar ku, tanpa pamrih.
Mereka hanya tertawa mendengar cerita ku.
Mereka tidak mengerti betapa berharganya itu padaku.
***
Aku tidak percaya itu terjadi di siang bolong, ketika aku dalam kondisi kewarasan seribu persen.
Tangannya begitu lincah menyingkap kain pinggiran bawah bagian belakang baju ku.
Jari-jari itu berhasil menyelinap masuk ke dalam stelan luar yang ku gunakan untuk melindungi tubuh ku dari teriknya matahari, siang itu.
Dia berhasil membuka resleting bagian depan tepat benda kecil milik ku berada.
Tubuh ku bereaksi, merasakan geli atas sesuatu yang asing menjalar masuk ke sela-sela pakaian luar ku.
Aku sedang terjebak di tengah-tengah keramaian. Tidak ada yang bisa kulakukan selain tetap melihat ke depan dan berusaha untuk menorobos kerumunan.
Pada akhirnya kerumunan itu menggiring ku kehadapan seorang anak muda yang mengenakan kemeja putih dan rompi oranye dengan dilengkapi kopiah hitam, sedang tertunduk malu duduk di kursi pesakitan di dalam ruang pengadilan.
***
"Apakah Anda mengenal pria ini?" tanya Pak Hakim.
"Tidak, yang mulia!" jawab ku singkat.
"Lihat baik-baik ..., perhatikan sekali lagi! Apakah Anda betul-betul tidak mengenali wajah yang ada di depan Anda saat ini?" tanya Pak Hakim lagi.
"Sama sekali aku tidak pernah melihat wajah orang ini, yang mulia!" jawab ku lagi.
"Menanggapi laporan Anda sekitar tiga bulan yang lalu, maka pihak berwajib berhasil menangkap terduga pelaku dari kejadian yang Anda alami ..., dan ... dia di depan Anda sekarang!" Keterangan Pak Hakim.
Aku memandangi wajah polos itu dengan seksama. Ah, sisi malaikat ku muncul lagi.
"Kami butuh keterangan lengkap dari Anda, tentang kronologi kejadian saat itu. Silahkan!" pungkas Pak Hakim
***
Sore hari itu aku baru saja pulang dari pusat perbelanjaan, membelikan pesanan kain kakak perempuan ku yang merupakan tukang jahit baju.
Pusat pertokoan yang ada di tengah-tengah pasar sentral itu sangat lah ramai dan dipadati lapak-lapak kecil di depannya.
Untuk sampai ke toko yang dimaksud, aku harus melewati jalur padat dan selalu macet itu, karena tidak ada jalur lain.
Laju motor tidak stabil. Aku harus menghindari menyenggol bokong mereka yang sedang menguasai badan jalan tersebut.a
Kedua kaki ku turut serta membantu ku menahan beratnya beban sepeda motor yang aku gunakan.
Berkat usaha keras, aku berhasil mencapai toko kain itu dan menyelesaikan transaksi.
Aku kembali pulang dengan melewati jalur yang sama lagi.
***
Aku langsung rebahkan tubuh yang bukan main lelahnya akibat yang ditimbulkan dari perjalanan itu, di dalam kamar kost berukuran dua kali tiga.
Untung saja aku terjaga sebelum malam tiba.
Aku ingat, kain itu harus aku kirim hari itu juga. Besok malam, orang nya mau pakai ke pesta pernikahan.
Aku merogoh tas tali selempang yang belum aku tanggalkan dari tubuh ku.
Tas yang wajib aku pakai saat berkunjung ke keramaian.
Membawa nya gampang. Aku tinggal menyilangkan ke pundak, kemudian menutupinya dengan baju luaran seperti model jas, jaket, mantel, dan sejenisnya.
Menurut ku, itu cara paling aman membawa benda berharga di tengah kerumunan.
Apalagi tempat yang harus aku datangi itu adalah pasar sentral.
Aku pasti sangat lah siap-siaga.
Aku belajar dari cerita orang banyak yang kehilangan uang dan barang-barang berharga kala berkunjung ke tempat-tempat seperti itu.
***
Namun kali ini bukan lagi hanya belajar dari cerita orang, akan tetapi, aku pun juga mengalaminya.
Resleting kantong depan tas aku itu terbuka, dan mengangah. Seperti sudah dijamah dengan paksa.
Perasaan ku sudah tak karuan di situ, dan benar saja ... ada yang hilang!
Ponsel aku yang letaknya di kantong depan tas itu raib, digasak maling.
Ponsel iPhone keluaran pertama yang aku beli dari nyicil dua puluh empat bulan.
Hasil dari separuh gaji bulanan ku selama dua tahun masa kerja.
***
Kamar kost yang berukuran kecil itu tidak lah mampu menyembunyikan barang selebar telapak tangan aku itu.
Aku langsung bergegas kembali ke toko tempat aku berbelanja tadi.
Ponsel itu tidak ada di sana.
Tidak ada alasan untuk mencurigai pegawai toko tersebut. Kecuali pelanggan nya, saat itu.
Pegawai toko mengatakan, hari itu aku adalah orang kesekian yang datang kembali ke toko nya mencari ponsel yang hilang dan mungkin itu adalah kejadian keseratus kalinya di pasar sentral menjelang hari raya.
Mendengarkan ucapan pegawai toko itu, otak ku jadi buntu.
Jika tidak tertinggal atau terjatuh di dalam toko kain itu, lalu dimana lagi aku harus mencari?
Aku tidak mungkin mencarinya dengan menyusuri jalan pulang dari toko itu ke kontrakan aku yang berjarak tujuh kilometer.
Lagian, apakah mungkin akan ada keajaiban di sepanjang tujuh kilometer itu?
Itu sangatlah mustahil terjadi, pikir ku!
Sejenak aku menenangkan diri di emperan toko kain itu.e
Di tengah kebuntuan dan keputusasaan otak ku menangkap sinyal kuat.
Pikiran ku jalan kembali. Tidak lama setelah aku melihat pemandangan kaum urban seperti semut berkerumun di sekitaran lapak-lapak penjual ikan dan buah.
Apa yang dilakukan orang-orang itu di sana?
Kenapa mereka harus berkumpul di sana?
Kenapa harus saling dorong, berdesak-desakan, dan bermandikan peluh?
Sedang mereka tidak membeli apapun.
Lantas kenapa mereka harus memilih jalanan padat kotor dan bau itu, jika mereka tidak ada kepentingan di sana?
Tampang mereka tidak menggambarkan sosok pemakan ikan dan buah yang sehat dan bugar.
Pertanyaan-pertanyaan itu, berhasil memaksa otak ku untuk merefresh kembali memori ku.
Tampang-tampang sama dengan anak muda yang sedang duduk di kursi pesakitan itu.
Aku mengingat kembali kejadian itu dengan sangat detil.