Masukan nama pengguna
Hari itu menjadi hari yang istimewa bagi sepasang pengantin. Hari dimana lelaki meminang wanita sang pujaan hatin di sebuah gedung besar dengan dekorasi yang mewah bernuansa putih yang dipenuhi bunga-bunga dan lampu warna-warni menjadi saksi bisu akan hari bahagia itu.
Pelaminan yang indah membuat kedua mempelai bagaikan Raja dan Ratu yang sedang bersanding .
Para tamu bersuka ria, sambil menikmati jamuan lezat yang menggoda selera. Bahkan mampu membatalkan program diet.
Berbagai olahan makanan tersaji untuk para tamu. Ada olahan daging khas saat acara pernikahan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Mereka bebas memilih apa yang mereka inginkan.
Para tamu undangan saling sapa satu sama lain. Ada yang berdiri dan ada pula yang duduk berhadap-hadapan menikmati makanan dan minuman mereka sembari bercengkrama dengan penuh kehangatan.
Mereka dikelilingi banyak pelayan yang muda-mudi, cantik-cantik dan tampan-tampan dengan berpakaian sangat rapi. Mereka dijamu layaknya tamu kerajaan. Apalagi didukung dengan tema yang diusung kedua mempelai, yaitu kerajaan negeri dongeng.
Kedua mempelai tidak henti-hentinya melemparkan senyum bahagia ke arah tamu yang hadir. Ronah bahagia wajah keduanya terpancar, mengisyaratkan suasana hati mereka.
Keluarga kedua mempelai juga terlihat begitu bahagia saat menerima para tamu undangan yang datang di malam itu. Mereka juga kompak memakai busana yang sama.
Sebagai pelengkap hari kebahagiaan itu teman-teman mempelai memberikan persembahan khusus untuk keduanya. Berbagai persembahan yang begitu menghibur para tamu dan khususnya kedua mempelai pengantin. Membuat suasana di dalam gedung pernikahan semakin ramai.
Kedua mempelai juga tidak mau ketinggalan mereka memberikan persembahan istimewa kepada para tamu yang hadir. Mempelai wanita bersama beberapa orang teman wanitanya mempersembahkan penampilan mereka dengan memperlihatkan kelihaian mereka berjalan layaknya seorang model yang di atas catwalk.
Mereka melenggak-lenggok di tengah-tengah para tamu undangan menunjukkan penampilan mereka yang menawan. Tata rias dan busana mempelai wanita menjadi sorotan yang membuat para undangan terpukau. Sontak semua mata tertuju ke arahnya.
Para tamu undangan tiba-tiba menjelma menjadi seorang fotografer. Mereka membidikkan kamera ponsel mereka, dan seperti tidak ingin melewatkan momen istimewa itu tanpa memotret dan mengabadikannya di dalam galeri ponsel mereka.
Mempelai laki-laki juga tidak mau kalah dari mempelai wanitanya. Dia juga memberikan persembahan yang lebih spektakuler lagi, mengguncang seisi gedung.
Kaca bergetar, suara dentuman menggema, seolah akan meruntuhkan atap gedung pernikahannya. Bunyi simbal nyaring memecah perhatian para tamu undangan.
Mereka bersorak-sorak memuji kepiawaian sang mempelai laki-laki memainkan stik dram di tangannya. Tangan itu begitu lihai mendaratkan kedua stik di atas simbal dan dram hingga menimbulkan irama indah yang membuat tamu tidak tahan untuk tidak berjoget.
Suasana pernikahan yang tadinya begitu formil berubah seperti suasana konser musik band papan atas. Para tamu undangan ikut larut dalam suasana euforia bersama kedua mempelai. Sejenak mereka melupakan semua persoalan hidup mereka.
Hari bahagia itu adalah hari pernikahan dua orang penghibur.
Mereka pelaku industri hiburan. Oleh karena itu, para tamu undangan yang datang hampir semuanya dari kalangan mereka sendiri. Entertainer.
Mempelai laki-laki bernama Mariolo Marewa Paraga adalah seorang musisi ternama. Anak band yang sudah berumur 27 tahun. Terkenal sebagai drumer hebat.
Sedangkan mempelai wanitanya adalah Meloni Yaga Rindu, yang masih berumur 22 tahun. Merupakan seorang model cantik yang sedang naik daun.
Keduanya bertemu ketika mereka menjadi pengisi acara di sebuah pertunjukkan fashion show desainer ternama.
Saat itu Mariolo bersama grup bandnya dipercayakan untuk mengiringi pegelaran fashion show tersebut yang melibatkan banyak model wanita cantik. Salah satunya adalah Meloni Yaga Rindu.
Seketika itu juga benih cinta diantara keduanya tumbuh bersemi. Kedua anak manusia itu saling jatuh cinta.
Penampilan Meloni yang begitu anggun melenggang di atas panggung manyihir mata Mariolo Marewa Paraga, sang penabuh dram yang cool dan berkharisma.
Laki-laki yang cuek itu langsung meminta nomor telepon sang model dari menejernya di belakang panggung.
Perkenalan yang singkat sudah cukup membuat Mariolo Marewa Paraga yakin untuk menjadikan Meloni Yaga Rindu sebagai pendamping hidupnya.
Dalam kurun waktu tiga bulan pendekatan, mereka sudah memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Sebelum bertemu dengan Meloni Yaga Rindu, laki-laki yang disapa Mariolo itu tidak pernah berpikir, kalau pernikahan itu penting.
Pertemuannya dengan Meloni, sapaan sang pujaan hati. Mariolo tiba-tiba merasakan perubahan besar pada dirinya. Cara pandangnya tentang pernikahan berubah.
Hal itu membuat Mariolo tidak ingin lama-lama lagi melajang. Segera laki-laki itu menyatakan keinginannya itu kepada keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Hal itu tentu saja membuat mereka semua kaget dan heran. Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.
Mereka tidak percaya laki-laki yang begitu anti dengan pernikahan apalagi pernikahan dini, bisa ditaklukkan oleh gadis dua puluh dua tahun.
Untuk urusan restu dari kedua orang tua mereka, awalnya mendapatkan rintangan dan hambatan.
Mengingat latar belakang keluarga mereka sangat berbeda. Kedua orang tua Meloni merupakan pengusaha ternama. Tentu saja salah satu kriteria menantu idamannya adalah seorang laki-laki yang mapan, pengusaha sukses.
Sedangkan Mariolo seorang musisi, anak band. Drumer yang memiliki imej buruk di mata orang tua Meloni. Misal, laki-laki flamboyan, hidung belang, mata keranjang dan hal negatif lainnya.
Selain itu faktor umur juga menjadi bahan pertimbangan keluarga. Mereka tertaut lima tahun. Meloni juga masih tergolong sangat muda dan baru memulai karir. Sementara Mariolo lebih tua tujuh tahun tahun darinya.
Meskipun umur Mariolo sudah tergolong matang dan sudah bisa hidup dari penghasilannya sebagai pemusik. Namun, itu tidak juga membuat orang tuanya merasa tenang.
Mereka tetap ingin anak lelakinya itu mengikuti jejak mereka berdua. Yaitu, bekerja sebagai abdi negara. Ayah Mariolo seorang anggota militer, sedangkan ibunya bekerja sebagai tenaga kesehatan.
Setelah melewati beberapa ujian cinta, akhirnya Mariolo dan Meloni lolos juga menjadi pemenang. Mereka mendapatkan restu dari kedua bela pihak keluarga.
Walaupun belum mendapatkan restu seratus persen, tapi itu sudah menjadi golden tiket bagi mereka berdua untuk melaju ke pelaminan.
Pernikahan mereka akhirnya terlaksana juga, satu bulan setelah hari lamaran. Pernikahan yang tidak bisa dilupakan oleh keduanya. Pernikahan impian mereka. Hari yang spesial, tanggal, bulan dan tahun yang cantik menjadi pilihan mereka berdua.
Tema dan tempat pernikahan sesuai dengan ekspektasi mereka. Bisa dihadiri kedua orang tua, keluarga inti, kerabat jauh dan dekat, rekanan kerja, teman-teman, para sahabat dan orang-orang penting dalam hidup mereka.
Hari itu menjadi milik mereka. Hari dimana mereka bersanding bak raja dan ratu di singgasana istana nan megah. Hari Pernikahan Mariolo Marewa Paraga dan Meloni Yaga Rindu.
Sebagai pasangan pengantin baru yang baru memasuki bulan pertama. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, menjadi momen-momen terindah bagi mereka.
Mereka tidak ingin terpisahkan satu sama lainnya. Sepiring berdua, masak bersama, berjalan bersama, menonton bersama, main game bersama, semuanya pasti bersama. Bahkan untuk urusan mandi, mereka tidak terpisahkan.
Mereka tak segan menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi berdua. Apalagi tidak ada yang mengganggu. Karena mereka hanya tinggal berdua di dalam rumah itu.
Rumah sederhana milik Mariolo dari duit yang dia kumpulkan dari hasil keringatnya sebagai seorang musisi.
Dimana ada Mariolo di situ ada Meloni. Baik di rumah maupun di saat mereka sedang ada pekerjaan. Meloni selalu ada dibalik panggung, menemani Mariolo yang sedang tampil bersama grup bandnya.
Begitu pula dengan Mariolo, dia tidak pernah mau melewatkan pertunjukkan fashion show dari sang istri.
Mariolo dan Meloni menjadi pasangan serasi walau tertaut umur lima tahun, mereka tidak menampakkan adanya perbedaan itu.
Mariolo mampu masuk dalam dunia Meloni yang masih sangat muda. Sikap manja sang istri membuatnya semakin jatuh cinta dan tergila-gila. Laksana anak muda yang sedang dimabuk asmara.
Demi sang istri Mariolo rela meninggalkan gaya dan hobi sebelumnya. Cara berpakaian dan penampilan Mariolo berubah. Mengikuti kemauan sang istri. Mariolo tidak enggan memakai pakaian berwarna terang. Bahkan ketika tampil di panggung. Hal itu tentu menjadi perbincangan di kalangan teman-temannya.
Teman-teman Mariolo hampir saja tidak mengenali lagi sahabatnya itu, pasca tiga bulan pertama setelah menikah.
Benar kata pepatah lama, cinta bisa merubah orang. Itulah yang dialami Mariolo.
Akan tetapi hal itu tidak membuat teman-teman Mariolo mempermasalahkan perubahannya. Mengingat mereka semua sudah menikah dan pernah melewati masa-masa seperti yang terjadi pada temannya itu, sekarang.
Mereka maklum saja. Karena pernah juga ada di posisi yang sama dengan Mariolo. Budak cinta alias bucin.
Bagi mereka yang terpenting laki-laki keras kepala itu sudah mau menikah juga. Setelah sekian lama melajang.
Pernikahan sama seperti kanvas putih yang dibubuhi warna-warni sehingga melahirkan sebuah karya yang seharusnya indah. Tergantung dari kemampuan pelukisnya.
Meloni yang lahir dari keluarga pebisnis, hidup bergelimang harta. Segala yang didinginkannya dengan cepat terpenuhi oleh kedua orang tuanya. Tentu saja membuatnya tumbuh menjadi gadis yang manja.
Wanita itu tidak pernah merasakan susahnya hidup. Hal itu membuat sang suami untuk memberikan perlakuan sama ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya.
Usia muda dan masih dalam masa pubersitas ketika menikah membuat gairah seks Meloni sebagai pengantin baru tentu saja sangat tinggi. Hal itu membuat hubungan mereka sangat romantis.
Dunia hanya milik mereka berdua. Kehadiran Mariolo sebagai suaminya di umur yang begitu matang dan didukung dengan fisik yang bugar. Tubuh yang atletis, perut sixpack, wajah rupawan, serta perlakuan yang lembut, membuat wanita muda itu seakan tidak butuh lagi hal lain dalam hidupnya.
Pesona Mariolo membuatnya tergila-gila. Baginya mencium aroma tubuh sang suami setelah mandi itu adalah candu.
Dekapan dan kecupan setiap saat, sang suami menjadi vitamin untuk tubuhnya. Membuat harinya selalu bersemangat.
Pelayanan sang suami di ranjang, membuatnya merasa sebagai wanita paling beruntung di dunia. Mungkin bagi Mariolo, Meloni adalah madu yang manisnya tidak akan habis. Tapi bagi Meloni, Mariolo adalah candu. Candu yang bisa membunuhnya.
Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan segala perbedaannya bersama sang suami. Ia tidak peduli dengan keresahan-keresahan sang ibu jika dia menjadi istri dari seorang musisi.
Setiap kali Mariolo mendekap tubuhnya, mengecup keningnya, dan mencium bibirnya. Tidak ada yang tersisa dalam ingatan Meloni tentang dunia di luar sana. Hanya Mariolo yang ada di dalam dirinya. Mariolo adalah dunia barunya.
Mungkin seperti itulah cinta seorang pengantin baru. Karena itulah, benar kata pepatah. Jangan menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Karena itu hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia.
Itulah yang terjadi pada ayah dan ibu Meloni. Nasehatnya tidak mempan bagi sang anak. Membuat mereka mau tidak mau harus menerima pernikahan sang puteri dengan laki-laki pilihannya.
Keseriusan Mariolo meminang puteri mereka setidaknya itu mendatangkan nilai plus di mata mereka.
Akan tetapi di sisi lain, mereka sangat menghawatirkan kondisi ekonomi sang puteri selanjutnya, jika mengikuti sang suami.
Mereka tahu benar penghasilan seorang musisi. Apalagi seorang drumer. Jam terbang mereka terbatas.
Sebagai orang tua kekhawatiran akan keberlangsungan hidup putrinya tentu tidak akan hilang sampai kapan pun.
Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan kedua orang tua Meloni agar membuat anak kesayangannya itu bisa membujuk sang suami untuk mau pindah dan tinggal bersama di rumah mereka.
Untuk urusan tinggal di rumah mertua. Mariolo punya sudut pandang sendiri. Dia memiliki prinsip yang kuat. Tidak bisa ditawar. Hal itu tentu akan membuat Meloni berada di posisi yang sulit. Karena sang ibu juga tidak mau tahu.
Ayah Mariolo seorang anggota militer. Meskipun Mariolo tidak mau mengikuti jejak sang ayah, akan tetapi darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah darah seorang militer.
Darah seorang pejuang tangguh, yang sudah terlatih untuk mempertahankan idealisme. Ketegasan dan kemandirian yang dimilikinya tidak tergoyahkan.
Bagi Mariolo, pantang bagi lelaki sejati menumpang hidup pada orang lain. Dia tidak akan menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Untuk itu, jauh hari sebelum dia menikah. Mariolo sudah membeli rumah sederhana, yang dicicilnya dari hasil bermain musik. Hal itu dia lakukan demi menghindari numpang hidup di rumah orang tua ataupun mertuanya, kelak.
Di dalam rumah mereka sendiri, tidak ada yang mampu menyentuh kehidupan rumah tangga keduanya. Mereka bebas melakukan apa saja.
Raut bahagia selalu terpancar dari wajah kedua pengantin baru itu. Meloni yang tadinya tidak pandai memasak, akhirnya bisa juga menyiapkan sarapan untuk sang suami.
Walaupun cuma bisa masak indomi dan telur saja, akan tetapi itu sudah membuat sang suami sangat senang. Bisa menikmati makanan buatan sang istri, tiap hari.
Sebagai seorang musisi dan model, tentu mereka tidak harus bekerja setiap hari. Mereka memiliki waktu banyak di rumah dan melewati kebersamaan berdua dengan romantis.
Mereka berdua menghabiskan malam dengan menonton drama romantis Korea. Pagi hari mereka melanjutkan dengan bermain game bersama.
Pakaian mereka berserakan di setiap ruangan. Piring kotor menumpuk di dapur. Rumput liar memanjang di halaman. Mereka tidak peduli dengan semua itu.
Mereka bebas melakukan apa saja di rumah mereka. Karena, mereka tahu tidak seorang pun yang akan datang bertamu ke rumah itu. Selama tiga bulan.
Sebelumnya, mereka sudah mengumumkan kepada seluruh keluarga dan tamu undangan yang hadir di pesta pernikahan mereka berdua di malam itu.
Bahwa mereka tidak ingin menerima tamu di rumah mereka selama tiga bulan pernikahan. Terkecuali keluarga dekat mereka. Itupun hanya boleh sampai di luar pintu saja. Tidak ada boleh masuk sampai ke dalam.
Akan tetapi, masa tiga bulan itu sudah hampir berakhir. Mereka seolah lupa dengan hal itu. Bahkan terlihat tanda-tanda aturan yang mereka buat itu, akan berlaku selama.
Salah satu kebiasaan Mariolo yang juga berubah drastis sebelum menikah adalah, dia orangnya yang tidak betah tinggal di rumah.
Meloni menjadi dunia baru bagi Mariolo. Tidak henti-hentinya dia mengagumi wanita muda yang menjadi istrinya itu.
Umur 22 tahun adalah masa-masa keemasan bagi seorang wanita. Hormon kecantikannya terpancarkan, gairahnya membuncah.
Tangan Mariolo seolah tidak ingin melepaskan tubuh sang istri dari dekapannya. Baginya semua yang ada pada diri Meloni itu indah dan pantas untuk dia nikmati, dan itu sah-sah saja. Secara, Meloni adalah istrinya.
Laki-laki itu memperoleh hak sepenuhnya terhadap wanita muda yang dia cintai itu melalui proses ijab kabul, yang disaksikan oleh kedua orang tua mereka, sanak keluarga, kerabat dan para sahabat di sebuah mesjid besar pilihan kedua orang tua mereka.
Umpama buah-buahan, Meloni adalah buah mangga yang sedang ranum. Menggoda setiap orang yang lewat.
Penyerahan diri Meloni sepenuhnya terhadap sang suami, semakin membuat ibunya risau. Wanita yang barusan saja merayakan hari ulang tahunnya yang ke-45 tanpa kehadiran Meloni itu, takut kalau anak perempuan kesayangan satu-satunya itu tidak bisa lagi dia sentuh.
Ibu Meloni tidak sabar lagi menunggu hari terakhir dari masa tiga bulan itu. Sang ibu memiliki kalender khusus yang digunakannya untuk menghitung hari. Setiap hari kalender itu dibukanya, lalu mencoret hari, tanggal yang telah berlalu.
Begitu juga dengan orang tua Mariolo. Mereka sangat penasaran, bagaimana seorang Mariolo mampu menjalankan rumah tangganya bersama sang istri. Mengingat anak laki-lakinya itu seorang musisi yang sangat cuek. Jarang punya waktu untuk keluarga.
Harta paling berharga Mariolo adalah alat musiknya. Dram, simbal dan stiknya dia perlakuan layaknya mahluk hidup yang dia ajak berkomunikasi. Dia rawat sepenuh hati. Tidak ada orang lain yang boleh menyentuh barang-barang kesayangannya itu.
Bagi kedua orang tua mereka, anak-anaknya itu sedang melakukan uji coba terhadap hidup mereka. Tiga bulan adalah waktu yang akan menentukan, bagaimana cerita mereka kedepannya.
Berbeda dengan ibu Meloni, yang dilakukan Ayah Mariolo adalah menunggu ponselnya berdering setiap saat. Lelaki paruh baya itu menunggu panggilan dari puteranya, yang tidak pernah dilakukan anaknya itu setelah menikahi gadis pujaannya.
Kerap kali Ayah Mariolo meminta istrinya untuk menyiapkan berbagai kebutuhan pokok, untuk dikirim ke rumah baru anak dan menantunya.
Bapak dari dua orang anak itu khawatir, kalau anak laki-lakinya, tidak bisa memberi makan pada sang istri. Sementara Ibu Mariolo sangat memahami siapa puteranya itu. Dia anak laki-laki yang tidak manja, tidak cengeng.
Mariolo sangat mandiri, dia tidak mau tergantung pada orang lain, termasuk orang tuanya. Mariolo tidak suka dipandang masih kecil oleh Sang Ayah, karena itulah mereka jarang akur ketika bertemu.
Umur dua puluh tujuh bagi Mariolo adalah usia dimana dia merasa sudah sangat layak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Bahkan, saat masih tujuh belas tahun dia sudah melakukan itu. Dia sering kabur dari rumah ketika sang ayah melarangmya untuk pergi manggung bersama teman-teman bandnya.
Bagi sang ayah pendidikan nomor satu dan Mariolo harus mengikuti jejaknya. Menjadi abdi negara. Profesi turun temurun dari garis keturunan ayah dan ibunya.
Hari yang dinantikan oleh sanak keluarga dan sahabat tiba juga. Keluarga Mariolo dan Meloni berlomba untuk menjadi tamu pertama yang berkunjung ke rumah mereka.
Ayah dan Ibu Mariolo datang dengan membawa stock makanan pokok untuk anak dan menantunya. Cukup untuk satu bulan.
Sedangkan ibu dan bapak Meloni datang bersama seorang dokter kecantikan dan berbagai keperluan perawatan tubuh sang putri. Tidak ketinggalan makanan kesukaan Meloni.
Pasangan pengantin baru itu lupa kalau hari yang mereka janjikan untuk membuka pintu rumah mereka telah tiba. Hari yang ke sembilan puluh.
Rentetan bunyi bel mengusik pagi mereka. Kedua keluarga inti bersama teman-teman dekat mereka sudah tidak sabar menunggu di depan pintu.
Sejak menikah Mariolo dan Meloni hanya bertemu dengan teman-teman mereka, di tempat kerja saja. Itu pun hanya sebentar. Setelah mereka selesai tampil, mereka langsung pulang ke rumah.
Mariolo kaget! Ketika membuka pintu, wajah-wajah orang dekat mereka muncul di depan pintu.
Teman-teman Mariolo membunyikan terompet, ada yang menembakkan konfetti ke arahnya.. Mereka tidak memberikan kesempatan pada Mariolo untuk kabur ke dalam.
Keluarga Mariolo dan Meloni berlomba masuk ke dalam rumah. Mereka menjelajahi setiap ruangan mencari Meloni.
Mariolo dikeroyok oleh teman-temannya dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.
Ibu Meloni memanfaatkan kesibukan Mariolo melayani keluarga dan tamu-tamunya, dengan menyelinap masuk ke dalam kamar Meloni. Meloni terjebak di dalam bersama sang ibu.
Ibu Meloni mencerca anaknya dengan rentetan pertanyaan demi pertanyaan. Tak satu pun yang dijawab oleh Meloni.
Sang ibu kaget melihat kondisi Sang Putri yang masih bemalas-malasan di tempat tidur. Kondisi kamar yang berantakan. Kain berserakan di mana-mana.
Ibu Meloni menyingkap tirai jendela yang tidak pernah terbuka. Seketika sinar matahari menyelinap masuk ke dalam kamar Meloni. Setiap sudut ruangan tidak ada yang lolos dari pengamatan ibu Meloni.
Dia menyasar meja rias sang puteri. Ditemuinya beberapa alat kosmetik Meloni yang sudah kosong. Piring dan gelas di dalam kamar diciumnya satu persatu.
Meloni tahu maksud Sang Ibu melakukan itu semua. Dia berusaha meyakinkan wanita yang melahirkannya itu, kalau dia baik-baik saja dan sangat bahagia.
Mariolo mengetuk pintu kamar dari luar. Meminta Meloni keluar menemui keluarga dan tamu-tamunya.
"Ibu tidak akan membiarkan kamu keluar menemui mereka dengan kondisi seperti ini. Kamu tahu tidak siapa yang di luar sana? Di sana ada teman-teman kamu, yang penampilannya sangat cantik. Ibu akan malu kalau mereka melihat kamu seperti ini," kata ibu Meloni
"Iyya Bu, Meloni mengerti," balas Meloni
"Kamar mandi kamu dimana?" Tanya sang ibu.
"Di luar Bu," jawab Meloni
"Di luar? Tidak ada kamar mandi dalam kamar ini?" tanya ibunya lagi.
Meloni diam saja. Tidak melayani ucapan sang ibu. Dia mendekat ke meja rias lalu menyisir rambutnya.
Sang Ibu gemes sekali melihat wajah Meloni yang masih muka bantal. Dia membantu putrinya berdandan.
"Pokoknya ibu tidak akan membiarkan kamu seperti ini lagi. Ibu sakit hati melihat kamu tidak merawat diri," gumam Sang Ibu.
Meloni merasa mengalami mimpi buruk hari itu. Kedua orang tua dan mertuanya tiba-tiba berkunjung. Kondisi rumah mereka begitu berantakan.
Teman-teman dekat Meloni yang kenal baik karakternya tidak percaya apa yang ditemuinya di dalam rumah kedua pengantin baru itu.
Meloni gadis yang selalu tampil modis. Hidupnya sangat higienis. Makanannya terjaga. Rumah dan kamarnya harus selalu rapi. Sepanjang hari badannya wangi.
Tiga bulan pasca menikah dengan Mariolo, membuat orang tua dan teman-teman Meloni sibuk mengomentari penampilannya. Meloni hanya menanggapi mereka dengan santai.
Sementara Mariolo sedang berdebat hebat dengan ayahnya di dalam mobil.
"Tolong ayah jangan perlakuan aku seperti ini. Berhenti meragukan aku. Aku sudah dewasa. Aku sudah besar. Aku bisa memberi makan pada istri aku sendiri," ucap Mariolo.
"Ayah tidak ingin menantu ayah kelaparan karena sikap keras kepala kamu itu!" tegas sang ayah.
"Bu, aku berterima kasih atas kepedulian kalian berdua. Tapi tolong, bawa pulang semua barang-barang itu. Aku mohon, jangan lakukan ini lagi. Di dalam rumah ada ibu dan bapak Meloni. Apakah ayah sama ibu pernah memikirkan tanggapan mereka terhadap aku kalau mereka tahu tentang ini semua? Teman-teman kami juga ada di dalam sana," Pungkas Mariolo
Ibu Mariolo berusaha meredam perdebatan suami dan anaknya yang semakin panas. Mariolo keluar dari mobil milik ayahnya.
Kedua pasangan pengantin baru itu kompak mempertontonkan kemesraan mereka di depan para tamu yang tidak mereka undang berkunjung.
Setelah puas bercengkrama dengan keduanya, satu persatu tamu mereka pamit pulang. Dimulai dari Ibu Mariolo karena Sang Ayah sudah lama menunggu di mobil. Kedua orang tua Meloni menjadi tamu paling terakhir yang pulang dari rumah itu.
"Ibu minta kamu pertimbangkan kata-kata ibu yang tadi di kamar ya!" Bisik Ibu Meloni yang dibalas pelukan hangat oleh putrinya.
Semua tamu sudah pergi. Pintu rumah mereka tutup. Mereka berdua melemparkan badan ke sofa dan saling tatap lalu tertawa lepas.
Mereka tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada mereka. Mereka merasa melewati hari begitu panjang dan melelahkan.
Setelah tiga bulan hanya menghabiskan waktu berdua, mereka merasa sangat aneh ketika tiba-tiba bertemu dengan orang banyak.
Masa tiga bulan pernikahan mereka sudah berlalu. Mereka sudah mulai hidup normal kembali. Beraktivitas seperti biasa. Namun hawa pengantin baru masih saja mereka rasakan.
Mereka masih ingin menghabiskan waktu berdua. Oleh karena itu memiliki anak belum mereka programkan.
Hal itu membuat Mariolo selalu mendapatkan teror telpon dari Sang Ayah yang minta cucu, segera.
Memasuki enam bulan pernikahan. Meloni sudah bisa memasak beberapa menu makanan kesukaan suaminya. Masakan Sang Istri membuat Mariolo tidak ingin lagi makan makan dari luar.
Bahkan dia tidak enggan menjadikan masakan Meloni sebagai bekal saat pergi manggung bersama teman-temannya. Laki-laki itu tidak peduli dengan cuitan di sekelilingnya.
Tepat perayaan keenam bulan pernikahan. Mereka rayakannya kecil-kecilan. Hanya mereka berdua bersama sebuah lilin kecil dan sepotong kue bolu, rasa cokelat.
Hari itu Mariolo duduk di ruang tengah sekaligus ruang tamu menonton saluran berita di televisi. Sedangkan di dapur, Meloni mempersiapkan kue dan lilin untuk memberikan kejutan kepada sang suami yang sedang tidak ada jadwal manggung hari itu.
"Dalam tiga hari ini jumlah penderita covid-19 mencapai ribuan orang. Diperkirakan pemerintah akan mengambil kebijakan pembatasan aktivitas warga di luar rumah, untuk mencegah pertumbuhan jumlah korban!" narasi berita di televisi.
Meloni datang dari arah dapur. Itu membuat pandangan Mariolo beralih dari televisi ke kue yang ada di tangan istrinya.
"Selamat hari pernikahan yang keenam bulan suamiku! Semoga cinta kamu ke aku terus bertumbuh melewati puncak gunung Everest," kata Meloni.
"Serius, kita sudah enam bulan? tanya Mariolo kaget.
"Maunya ini yang ke berapa?" tanya Meloni balik.
"Maunya saya, kita baru satu hari. Supaya, rasanya seperti pengantin baru terus" jawab Mariolo.
Meloni tersenyum memeluk suaminya. Mereka meniup lilin bersama, lalu saling menyuapi kue bolu cokelat. Mereka larut dalam perayaan usia pernikahan mereka yang keenam. Sementara tayangan di televisi menampilkan video-video korban yang sedang berjatuhan terkena wabah Covid-19.
Ponsel Mariolo berdering. Membuatnya terbangun. Sementara Meloni masih saja tertidur mendekap tubuh suaminya di atas sofa, di depan televisi yang masih menyala.
"Halo!" Mariolo menjawab panggilan ponsel.
Sejenak dia terdiam, lalu mematikan ponselnya. Kemudian dia melepaskan tangan Meloni yang melingkar di tubuhnya pelan-pelan.
Mariolo berjalan menuju jendela kaca depan. Dia menyingkap kain gorden berwarna hijau bermotif bunga. Suami Meloni itu memperhatikan situasi di luar rumah.
Hari berikutnya. Mariolo duduk lagi di depan televisi. Seluruh saluran televisi berisi berita tentang pandemi. Mariolo mematikan televisi, kemudian beralih ke ponselnya dan bermain game.
Meloni datang menyuguhkan kopi.
"Kamu tidak ada jadwal manggung hari ini ya?" tegur Meloni.
"Antoni belum berkabar," jawab Mariolo pelan sambil bermain game.
Keesokan harinya lagi. Meloni bertanya pada Mariolo yang juga asyik bermain game di depan televisi.
"Tidak ada jadwal manggung ya?"
"Aku masih menunggu kabar dari Antoni" jawab Mariolo yang tetap fokus dengan ponselnya.
Tiba-tiba ponsel Mariolo berdering. Sigap dia menjawab.
"Dibatalkan?" Dengan nada besar. Membuat Meloni kaget.
"Ada apa?" tanya Meloni
Mariolo meraih tangan istrinya dan memintanya duduk dipangkuannya. Suami Meloni itu hanya diam memeluk tubuh sang istri, sembari jari-jemari menepik-nepuk paha Meloni seperti sedang menabuh dram.
Itu menjadi kebiasaan baru Mariolo sejak Meloni menjadi istrinya. Dia suka menjadikan anggota badan istrinya seperti dram. Dia tepuk kapan saja. Tentu, dengan pelan.
"Pemerintah melakukan penutupan semua tempat hiburan. Semua jadwal manggung aku batal" ucap Mariolo.
"Wah itu berita bagus. Itu artinya kamu bisa menemani aku seharian penuh di rumah," kata Meloni.
Pasangan pengantin baru itu kembali menghabiskan waktu berdua di rumah. Mereka memanfaatkan waktu dengan mengikuti pelatihan memasak secara online.
Dua pekan berlalu. Pemerintah belum juga mencabut peraturan pembatasan aktivitas warga. Bahkan dalam berita yang berseliweran di media sosial. Pandemi semakin parah. Makin banyak orang yang menjadi korban. Jumlah kematian terus saja bertambah. Mariolo dan Meloni mulai kehilangan ide-ide kreatifitanya.
Dua minggu pertama tanpa aktivitas di luar rumah, membuat mereka masih santai. Itu karena hidup mereka masih rasa pengantin baru.
Dua minggu bukanlah waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mencabut aturan pembatasan aktivitas warga. Covid-19 semakin mewabah, sampai di pelosok pedesaan.
Hal itu membuat pemerintah harus mengambil tindakan tegas. Pembatasan aktivitas warga secara total. Tidak ada lagi yang boleh saling mengunjungi. Kantor-kantor, sekolah, pusat perbelanjaan, bandara, terminal, semuanya ditutp.
Tidak ada lagi warga yang boleh keluar rumah. Bila melanggar, mereka akan kena sanksi.
Mau tidak mau Mariolo dan Meloni harus melaksanakan aturan pemerintah itu. Tinggal di rumah bukan lagi pilihan mereka. Tapi sudah paksaan, karena kondisi di luar sangat berbahaya.
Mereka harus tinggal di rumah tanpa tahu, sampai kapan. Keduanya mulai merasakan hari-hari yang berat.
Mariolo dan Meloni sudah mulai merasakan dampak pandemi. Bahan makanan pokok di dapur sudah menipis. Perlengkapan keperluan perawatan wajah dan tubuh Meloni sudah habis. Isi tabungan mereka juga sudah terkuras.
Meloni mulai kehilangan keceriaannya. Suasana hati penghuninya, membuat aura rumah itu terasa kelam.
Ibu Meloni mulai meneror keduanya, melalui telepon.
"Ibu akan mengutus pak sopir untuk menjemput kamu!" Suara ibu Meloni di balik telepon.
"Malam ini, menu makan kita apa sayang?" Tanya Mariolo pada Meloni yang sedang memainkan ponselnya.
"Cuma telur yang ada di kulkas," jawab Meloni.
Melihat istrinya tidak bergerak ke dapur menyiapkan makanan. Mariolo berinisiatif untuk memasak sendiri.
Piring dan gelas, serta perabotan yang ada di dapur berbunyi membentuk sebuah irama. Mariolo menyulap perabotan dapur menjadi alat musik.
Laki-laki itu berupaya menggoda istrinya dengan cara seperti itu. Akan tetapi niatnya itu tidak bersambut.
Meloni malah merasa terganggu dengan aksi suaminya tersebut. Dia masuk ke dalam kamar.
Mariolo memahami situasi istrinya itu. Sebelumnya, Sang Istri tidak pernah merasakan hidup susah. Sampai kekurangan bahan makanan.
Meloni meninggalkan ponselnya di atas sofa. Mariolo menemukan isi perbincangan istrinya bersama ibunya melalui pesan singkat.
"Aku rindu ibu!" Isi pesan singkat Meloni ke ibunya.
Meloni kembali mengambil ponselnyanya.
"Maafkan aku!" ucap Meloni yang meneteskan air mata di pipinya.
Mariolo meraih tangan dan mendekap erat tubuh istrinya itu. Sambil membisikkan kata.
"Kita akan baik-baik saja. Aku janji!" Mereka berpelukan dan saling menguatkan.
Keesokan harinya. Mariolo masih tertidur. Meloni sudah sibuk. Dia membersihkan rumah. Menyapu, mengepel lantai, kaca, dan membersihkan kamar mandi, sampai merawat tanaman.
Meloni menyadari sikapnya semalam. Dia sudah lalai dari tugasnya. Pandemi perlahan-lahan menghilangkan keromantisan mereka.
Meloni tidak ingin pandemi merubah dirinya lebih jauh lagi. Untuk itu, wanita muda itu mencoba bangkit melakukan kebiasaan-kebiasaan lamanya kembali.
Dia menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Dia tidak kehabisan akal supaya tetap bisa memasak untuk sang suami.
Wanita muda itu rela berburu uang koin di kolong ranjang, di bawah lemari dan di bawah sofa.
Mariolo tidak bisa berdiam diri saja, membiarkan istrinya kesulitan uang belanja dan kehabisan perlengkapan perawatan wajah dan tubuhnya.
Malam itu Mariolo tidak bisa tidur, memikirkan nasibnya bersama istri. Dia menghabiskan malam dengan bermain di dalam studio mini miliknya. Sementara Meloni sudah tertidur pulas.
Mariolo bisa menyembunyikan kerisauannya dari sang istri. Akan tetapi, dia tidak bisa menyembunyikan dari dirinya sendiri. Caranya memainkan alat musik drum kesayangan, menunjukkan seberapa besar kegalauan yang dia rasakan.
Mariolo bermain musik dram sampai kelelahan. Perutnya lapar. Di bawah tudung saji hanya ada nasi putih dan sepotong telur rebus. Mariolo tidak makan. Makanan itu dia simpan untuk istrinya.
Di tengah tidur pulas Meloni. Mariolo memutuskan untuk keluar rumah. Dengan memakai jaket kulit dan helm di kepala, Mariolo pergi bengendarai motor besar kesayangannya. Dia menghilang di tengah kegelapan.
Malam itu Mariolo berkeliling kota. Dia tidak peduli dengan himbauan pemerintah untuk tidak keluar dari rumah selama masa pembatasan yang diberlakukan untuk siapa saja tanpa terkecuali.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Mariolo belum pulang juga. Meloni yang tertidur pulas tidak menyadari ketidakhadiran sang suami di sampingnya hingga pagi pun tiba.
Meloni terbangun dan belum menyadari kalau Mariolo tidak ada di dalam rumah. Wanita itu mengira suaminya ketiduran di dalam mini studionya. Dia kembali melakukan aktivitas paginya seperti biasa tanpa rasa curiga sedikit pun.
Meloni baru menyadari Mariolo tidak ada di rumah setelah dia selesai mandi. Makanan yang dia siapkan di bawah tudung saji, belum juga tersentuh. Tidak seperti biasanya.
Hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Meloni memeriksa studio mini milik suaminya dan bagian luar rumah. Akan tetapi Mariolo tidak ditemuinya.
Wanita itu mulai panik mencari keberadaan suaminya, dengan cara menghubungi orang-orang terdekatnya.
Tidak ada yang tahu keberadaan Mariolo. Berita tentang hilangnya Mariolo itu sampai juga di telinga ibunda Meloni. Ia tidak lagi menunggu kode dari putrinya.
Ponsel Meloni berdering terus. Ibunya menelpon.
"Sekarang juga kemasi barang-barang kamu dan masuk ke mobil yang ibu kirim bersama bapak sopir!" suara ibu di ponsel.
Tidak ada kesempatan bagi Meloni untuk bicara. Sang Ibu langsung mematikan teleponnya. Dari dalam rumah, dibalik jendela kaca, Meloni memberi isyarat kepada sopir kiriman ibunya untuk pergi meninggalkan rumah. Dia menulis di kertas putih yang lebar.
"Aku tidak mau ikut, titik!" ucap Meloni di kertas.
Sopir itu tadinya enggan untuk pergi tanpa membawa Meloni. Tapi setelah dia berbincang melalui telepon selulernya dengan seseorang, kemudian lelaki itu pergi meninggalkan halaman rumah Meloni.
Ibunya bukan membantu sang putri untuk menyelesaikan masalahnya, akan tetapi malah menambah beban pikiran sang anak, dengan melakukan hal itu.
Kecemasan Meloni semakin bertambah setelah siang sudah berganti malam, Mariolo belum juga pulang. Wanita muda itu tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. Dia tidak bisa keluar dari rumah untuk mencari langsung suaminya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya sudah hampir dua puluh empat jam Mariolo tidak kembali ke rumah. Wanita muda itu tidak pernah melewati malam hanya sendirian. Dia sangat penakut. Baik orang tua maupun suaminya tidak pernah meninggalkannya sendirian di rumah, sebelumnya.
Meloni yang ingin membuktikan ke ibunya kalau dia baik-baik saja dan bisa melewati itu semua tanpa bantuan sang ibu, berusah melawan rasa takutnya. Dia mematikan semua lampu. Pintu dan jendela dia kunci rapat-rapat lalu dia janggal menggunakan kursi, meja dan bahkan lemari. Jendela kaca dia tutup dengan kain handuk yang tebal, agar tidak tembus cahaya.
Istri dari Mariolo itu tidak tidur di dalam kamar. Dia hanya duduk dan terjaga di atas sofa ruang tengah, dengan tangan memegang pentungan panjang, yang biasa dipakai orang untuk memukul bola golf, sepanjang malam.
Rasa kantuk, rasa takut dan rasa cemas memikirkan nasib sang suami bercampur aduk menjadi satu dalam benak wanita itu, hingga membuatnya tidak berdaya. Dia hanya duduk pasrah dengan mata yang menatap kosong ke arah televisi yang tetap menyala sepanjang malam. Telet tidak henti-hentinya menyajikan berita tentang pandemi, tanpa bersuara.
Terlihat dalam tayangan berita itu, beberapa orang terjaring rasia petugas keamanan khusus bagi pelanggar aturan terbaru pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Rasa penasaran Meloni terpancing untuk menambahkan volume televisi, setelah membaca teks tertulis dalam berita itu.
"Dalam semalam petugas berhasil mengamankan belasan warga yang membandel. Melanggar peraturan pemerintah tentang pelarangan aktivitas di luar rumah, apalagi di malam hari" isi teks berita itu.
Meloni berkesimpulan kalau salah satu orang yang ada dalam berita tersebut adalah suaminya. Meskipun tidak terlihat jelas wajah-wajah mereka ditayangkan, akan tetapi firasatnya sebagai seorang istri mungkin saja tidak salah.
Setidaknya, hal itu bisa membuat Meloni sedikit tenang. Ada harapan kalau suaminya baik-baik saja atau dengan kata lain, masih hidup.
Harapannya mungkin saja terwujud. Pada waktu yang bersamaan, tiba-tiba suara mobil berhenti di depan rumahnya. Lampu senter dari mobil itu sedikit menembus masuk ke dalam rumah melalu celah-celah kain penutup jendela yang tidak rapi.
Meloni mematikan televisi. Tangannya menggenggam erat tongkat pemukul golf, milik suaminya. Kakinya gemetaran melangkah ke arah datangnya cahaya itu.
Dari celah-celah kain handuk, matanya mengintip keluar. Wanita itu samar-samar melihat bayangan di balik cahaya lampu mobil. Dua orang laki-laki seperti sedang melakukan sebuah kesepakatan.
Lalu, kedua laki-laki itu terpisah. Satu orang kembali ke dalam mobil dan pergi. Sementara laki-laki yang lainnya berjalan mengarah ke dalam rumah Meloni.
Wanita itu semakin panik. Keringat mengucur di keningnya. Tangan dan kakinya gemetaran. Bayangan lelaki itu semakin dekat. Wajahnya tidak bisa terlihat oleh Meloni karena terhalang sorotan cahaya lampu dari mobil lelaki yang satunya lagi.
Meloni siap mengayunkan tongkat pemukul golf di tangannya ke arah pintu yang terdengar dari luar seseorang berusaha mendorongnya setelah berhasil membuka kuncinya.
Tiba-tiba saja, suara dari luar hilang. Bayangan laki-laki itu juga menghilang. Mata Meloni dari balik cela kain berusaha mencari keberadaan orang itu.
Namun yang ada hanya suara sepatu. Laki-laki itu yang seperti berusaha mencari jalan untuk masuk ke dalam rumah. Dia terdengar mencongkel jendela kamar milik Mariolo dan Meloni. Wanita itu semakin ketakutan. Dia mulai panik dan pergi ke dapur mencari benda tajam. Tangannya berhasil meraih pisau dapur yang ada di dekat kompor.
Setelah beberapa menit tidak berhasil menemukan jalan masuk ke dalam rumah. Lelaki itu kembali ke depan pintu. Ponsel Meloni berdering, membuat wanita itu kaget bukan kepalang.
Nomor yang tidak dikenal terlihat di layar ponselnya. Butuh beberapa detik untuk mengumpulkan keberanian, Meloni menjawab panggilan di ponselnya itu.
"Tolong buka pintunya, aku di luar" suara Mariolo di balik nomor yang tidak dikenal Meloni itu.
Lampu menyala. Pintu terbuka. Ruang tamu yang berantakan. Mata Mariolo tertuju pada wanita yang berdiri di depannya
Tangan kanannya menggenggam tongkat bola golf, sementara tangan kirinya mengarahkan pisau ke arahnya. Di belakang pintu berdiri sebuah lemari besar yang sewajarnya tidak bisa digerakkan oleh Meloni.
Sementara meja dan kursi bertumpuk di belakang jendela. Mariolo tidak heran dengan pemandangan yang ditemuinya.
Meloni membuang tongkat dan pisau yang ada di kedua tangannya. Tangisnya pecah. Ia lompati tubuh suaminya dan memeluknya.
"Aku takut!" ucap Meloni
Mariolo membalas dekapan sang istri tanpa sepata kata pun keluar dari mulutnya. Sesekali dia kecup kening istrinya.
Meloni tidak ingin melepaskan tangannya dari tubuh sang suami, hingga pagi hari tiba. Mariolo kesulitan melepaskan tangan sang istri saat dia hendak bangun. Meloni yang terjaga malam suntuk kelelahan, membuatnya tertidur pula dan tidak menyadari sudah kesiangan.
Ketika dia terbangun, tak ada Mariolo di sampingnya. Wanita itu kembali panik mencari keberadaan sang suami. Hatinya baru merasa lega ketika ia mendapati lelaki yang dicintainya itu sedang sibuk mengembalikan lemari yang ada di belakang pintu kembali ke tempatnya semula.
Mariolo begitu kesulitan menggeser lemari tersebut. Dia tidak percaya kalau istrinya bisa melakukan itu. Meloni kaget melihat di atas meja makan, ada paket nasi dan ayam goreng. Makanan kesukaannya.
Wanita itu sangat senang. Dia makan dengan sangat lahap. Sudah lama sekali dia tidak makan, makanan lezat seperti itu.
Mariolo tersenyum melihat istrinya yang tidak menyadari, kalau dirinya sedang memperhatikannya dari ruang tamu.
Setelah makan, Meloni langsung mandi. Hari itu Meloni ingin tampil cantik di depan suami. Meskipun alat-alat kosmetiknya sudah tinggal sisa-sisa. Dia tetap bersolek dengan peralatan yang seadanya. Pipinya merona dan bibirnya memerah. Rambut dan tubuhnya mewangi. Istri Mariolo itu mengenakan gaun merah kesukaan sang suami.
Namun, usahanya hari itu untuk tampil cantik di depan suami demi mendapatkan perhatian sang suami, gagal. Mariolo sama sekali tidak memperlihatkan reaksi terhadap penampilan sang istri. Sikapnya begitu dingin dan cuek. Hal itu membuat Meloni kecewa.
Sikap Mariolo yang dingin dan cuek itu bukan lagi hanya sekali dan hanya hari itu saja. Tapi itu terus saja berlangsung, yang membuat merasa, tidak mengenali lagi suaminya itu.
Mariolo lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam mini studio memainkan drsm kesayangannya.
"Ragamu memang kembali malam itu, tapi tidak dengan jiwamu. Itu bukan kamu." ucap Meloni yang resah
Sejak kejadian itu, Mariolo jarang lagi tidur di kamar bersama dengannya. Tapi dia lebih memilih tidur di dalam mini studionya.
Beribu tanya berkecamuk dalam benak Meloni. Namun, Mariolo tidak pernah memberikan sedikit pun kesempatan pada istrinya untuk menumpahkan unek-uneknya itu. Setiap kali Meloni mengajaknya untuk bicara, berbagai macam alasan dia berikan untuk menghindari sang istri.
Lelaki itu tahu apa yang menjadi kegelisahan istrinya itu. Namun, demi menjaga harga dirinya sebagai kepala rumah tangga yang sudah berjanji pada orang tuanya dan orang tua Meloni untuk bertanggung jawab penuh terhadap keluarga kecil mereka, maka diam adalah pilihannya.
Akan tetapi Mariolo tidak mempertimbangkan bagaimana perasaan Meloni sebagai seorang istri yang tidak mendapatkan penjelasan satu kata pun tentang kenapa? Kemana? Mengapa? Apa yang terjadi hari itu? Bahkan dia pulang dengan tanpa sepeda motor kesayangannya dan ponsel beserta nomornya juga terganti.
Pandemi menguji kekokohan pondasi rumah tangga pasangan pengantin baru itu. Selain psikis mereka terganggu kondisi ekonomi mereka juga semakin memburuk. Barang-barang berharga milik mereka sudah hampir habis dijual atau gadai demi bertahan hidup di tengah pandemi.
Dalam situasi buruk itu, Meloni tiba-tiba hamil. Kehamilan itu seharusnya menjadi kabar gembira bagi pasangan pengantin baru itu. Akan tetapi malah sebaliknya. Mereka menjadi semakin tertekan.
Bukan lagi harus memikirkan urusan makan, tapi ada bayi dalam perut Meloni yang harus mereka jaga agar tidak terkena dampak dari pandemi.
Kehamilannya membuat Meloni harus mengkonsumsi makanan bergizi. Berada di lingkungan yang sehat. Namun kebiasaan Mariolo yang sebelum menikah terulang lagi.
Suaminya itu kembali merokok, sehingga kerap kali membuat pasangan suami istri itu sering cekcok. Selain asapnya yang membahayakan kondisi janin dan ibunya, duit yang seharusnya mereka pakai untuk makan, malah habis untuk membeli rokok Mariolo.
"Kita tidak punya apa-apa lagi untuk dijual, bahkan duit hasil penjualan ponsel aku sudah tinggal sedikit. Kalau itu habis, kita mau bagaimana lagi?" Kata Meloni pilu.
Mariolo membalas istrinya dengan berkata "Aku tidak akan membiarkan kalian tidak makan, apa lagi sampai kelaparan!"
Mariolo masuk ke dalam mini studionya. Dari luar, Meloni mendengarkan suara ribut dari dalam studio mini. Pikirnya, sang suami mungkin melampiaskan kemarahannya di dalam.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah mereka diketuk-ketuk oleh dua orang yang tidak dikenal Meloni. Apalagi mereka memakai masker dan berpakaian tertutup.
Mariolo mengajak kedua orang itu masuk dalam mini studionya. Lalu kedua orang itu keluar masuk mengangkut barang-barang yang sudah terbungkus plastik hitam dari mini studio ke mobil mereka.
Meloni yang sedang menjaga jarak tidak berani mendekat dan mencari tahu, barang-barang apa yang diangkut kedua orang itu. Wanita itu menahan rasa penasarannya, sampai kedua orang itu pergi.
Sebelum dia mulai bicara dan bertanya, Mariolo menyodorkan sebuah amplop berisi duit. Meloni tidak ingin menyentuh amplop itu. Selain karena faktor kebersihan, dia juga tidak ingi menerima duit yang dia tidak tahu sumbernya dari mana.
Meloni marah. Tidak mau bicara pada suaminya. Wanita itu meninggalkan Mariolo bersama amplopnya di meja makan. Dia menelusuri jejak-jejak langkah kaki dari kedua tamu tadi.
Ketakutannya akan virus yang dibawa oleh kedua tamu suaminya itu membuatnya tidak henti-hentinya menyemprotkan cairan pembersih di area itu. Dia tidak menyadari kalau yang dilakukannya itu juga bisa membahayakan janinnya.
Meloni yang masih marah membuat Mariolo memutuskan untuk kembali tidur di luar. Menyadari sang suami tidak ada di sampingnya saat dia terbangun untuk minum, tidak membuat Meloni mencari keberadaan sang suami. Karena dia sudah tahu kebiasaan suaminya yang selalu tertidur di dalam mini studio.
Akan tetapi yang dijumpainya malah berbeda. Mariolo bukannya tertidur di dalam mini studio, melainkan di sofa ruang tengah yang dulu ada televisinya. Hal itu membuat Meloni berinisiatif untuk mencari tahu, barang-barang apa yang ada di dalam mini studio, sudah dijual suaminya.
Hati Meloni remuk, hancur. Ketika ia tidak menemukan alat musik drum kesayangan sang suami di dalam mini studio itu. Rasa bersalah muncul dari dalam dirinya yang sudah bersikap kasar terhadap suaminya saat menolak menerima duit dalam amplop yang diberikan kepadanya.
Air mata wanita itu tumpah di atas tubuh suaminya yang sedang tertidur denga memeluk dua buah stik drum kesayangannya.
"Maafkan aku!" gumam Meloni.
Rawut wajah letih Mariolo tersirat dengan jelas saat tidur. Hal itu semakin membuat Meloni sedih. Dia merasa sudah bersikap sangat tidak adil pada Mariolo.
Keesokan harinya, Meloni bangun pagi-pagi sekali. Dia kembali bersemangat beraktivitas di dapur. Ia menyiapkan sarapan kesukaan Mariolo.
Mariolo kaget melihat ada sarapan kesukaannya di meja makan. Padahal sejak Meloni dinyatakan hamil, istrinya itu tidak pernah lagi bangun pagi menyiapkan sarapan untuknya.
Bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya, istrinya itu akan melakukan hal tersebut dalam kondisi marah.
"Selamat pagi" kata Meloni yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah"
Mariolo terpesona melihat istrinya yang dalam kondisi rambut basah dan menyapanya dengan lembut. Laki-laki itu hampir tidak percaya paginya bisa seindah itu kembali.
"Bagaimana sarapannya, enak?" Maaf kalau kurang enak, soalnya bahan-bahannya tidak lengkap" kata Meloni.
"E.e.enak sekali," Mariolo gugup.
Hubungan mereka sudah cukup lama tidak sehangat itu. Pandemi sudah merenggut romantisme pasangan pengantin baru itu.
Pasca menikah, waktu yang dibutuhkan Meloni untuk beradaptasi dengan lingkungan dan hidup barunya belumlah cukup. Akan tetapi pandemi datang dan memaksanya untuk bisa berubah dengan cepat.
Hidup bersama Mariolo di tengah pandemi membuatnya menjadi wanita tangguh. Dia tidak pernah mengeluh pada orang tuanya. Bahkan istri dari Mariolo itu pintar menyembunyikan rahasia rumah tangganya dari semua orang.
Ujian rumah tangga Mariolo dan Meloni yang baru mereka bina belum juga berakhir. Tidak ada tanda-tanda pandemi akan berakhir membuat pemerintah belum juga mencabut aturan pembatasan aktivitas warga di luar rumah.
Hal itu membuat Mariolo dan Meloni betul-betul tidak ada pemasukan. Duit hasil penjualan alat musik, dram kesayangan suaminya yang Meloni tabung untuk kelahiran bayinya nanti, juga ikut habis. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Pasangan suami istri itu kembali kalang kabut memikirkan nasib mereka selanjutnya. Sektor hiburan benar-benar terhenti total karena pandemi. Membuat pelaku-pelakunya menjadi pengangguran. Tidak punya penghasilan sama sekali.
Mariolo mencari pekerjaan di tengah pandemi. Dia mendatangi kantor-kantor dan perusahaan yang masih buka. Berbekal ijazah terakhir dan latar belakang serta pengalaman yang dia miliki. Membuat Mariolo ditolak dimana-mana.
Harapan Mariolo pupus untuk mendapatkan menjadi karyawan di kantor dan perusahaan.
Suami Meloni itu tidak menyerah juga. Dia menyisir semua toko-toko yang tetap buka, untuk melamar pekerjaan.
"Kami bukan menambah karyawan pak, tapi mengurangi! " kata salah satu juragan toko yang Mariolo datangi.
Mariolo pulang tanpa hasil. Membuat istrinya semakin gusar.
"Sekarang kita harus bagaimana?" tanya Meloni
Mariolo menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca dan terlihat putus asa. Dia sudah cukup lelah bergerilya mencari pekerjaan di tengah pandemi.
"Ibu," kata keluar dari mulut Meloni. Tangannya meraih ponsel yang Mariolo letakkan di atas meja makan.
"Jangan dulu!" kata Mariolo kepada istrinya yang hendak menelepon ibunya.
"Aku belum kalah. Pasti ada jalan," lanjut Mariolo.
Mariolo mengambil ponsel dari tangan istrinya dan menghubungi seseorang yang tidak dikenal oleh Meloni.
"Halo. Aku akan datang" ucap Mariolo terhadap lawan bicaranya di balik telepon genggam miliknya dan Meloni.
"Kamu jangan aneh-aneh!" kata Meloni sambil mengikuti langkah suaminya yang masuk di kamar mengambil jaketnya.
"Kita akan baik-baik saja. Aku janji!" kata Mariolo yang mencium kening dan perut istrinya sebelum pergi meninggalkan rumah.
Meloni tidak kuasa menahan suaminya yang pergi tanpa memberi tahu tujuannya kemana dan untuk apa?
Larut malam. Mariolo pulang. Meloni bangun. Mariolo membawa banyak bungkusan berisi makanan jadi, buah-buahan, susu, serta segala kebutuhan wanita hamil.
"Aku tidak memahami semua ini?" tanya Meloni
"Jangan khawatir. Aku dapat pekerjaan bagus," balas Mariolo dan berusaha menghentikan pertanyaan selanjutnya dari sang istri dengan menyuapinya nasi goreng yang dia bawa dari luar.
Satu minggu bekerja. Mariolo memberikan kejutan pada sang istri. Meloni kewalahan menerima berbagai macam paket kiriman sang suami. Mariolo mengganti semua barang-barang yang pernah mereka jual untuk menyambung hidup.
Rumah mereka kembali dipenuhi perabotan dan barang-barang elektronik. Ponsel mahal untuk sang istri tercinta. Cincin, kalung, dan berbagai perhiasan dia hadiahkan ke wanita si calon ibu itu.
Satu bulan bekerja. Pandemi berakhir. Pemerintah mencabut aturan pembatasan akses warga. Era new normal datang.
Mariolo bekerja dengan sepenuh hati. Pekerjaan barunya mampu mengalihkan dunia Mariolo dari pekerjaan sebelum. Yaitu, seorang musisi.
Mariolo gantung stik. Dia tidak ingin lagi bermain musik. Bahkan laki-laki itu membenci pekerjaan masa lalunya tersebut. Dia sangat menyesali pekerjaan dan kecintaannya bermain musik tak mampu membantunya menafkahi istri dan calon bayinya pada masa pandemi.
Mariolo dan Meloni membuat acara penyambutan untuk calon bayi mereka. Acara tuju bulanan, sekaligus syukuran pindah rumah baru yang mereka beli hasil dari pekerjaan baru Mariolo.
Mengikuti aturan pemerintah tentang protokol kesehatan ketika mengadakan acar, maka tamu yang mereka undang tidak banyak. Hanya keluarga dan sahabat-sahabat dekat mereka saja.
Mariolo dengan tegas menolak ajakannya teman-temannya untuk kembali bergabung dalam band mereka.
"Bermusik tidak bisa memberi makan pada istri dan calon anakku, ketika mereka lapar," jawab Mariolo yang tanpa disadarinya, jawaban itu bisa menyinggung perasaan teman-temannya. Ditambah lagi sikapnya yang lebih banyak menemani teman-teman kerja barunya yang juga hadir dalam acara tersebut.
Satu-persatu teman Mariolo pamit dari tempat itu. Membawa rasa kecewa yang dalam terhadap sang sahabat. Begitu juga dengan teman-teman Meloni. Mariolo menegaskan, kalau sang istri tidak akan pernah kembali di dunia modeling yang telah mempertemukan dengannya itu.
Mariolo ingin Meloni fokus mengurus rumah tangga mereka. Khususnya ketika sang buah hati sudah lahir nanti.
Pernyataan Mariolo itu membuat rasa tidak suka ibunda Meloni kian bertambah. Meskipun pernyataan yang dilontarkan sang suami itu tidak meminta persetujuan darinya, sebelumnya.
Wanita hamil itu seperti tidak ada masalah dengan pernyataan sang suami. Dia tidak menunjukkan satu reaksi. Meloni malaha sibuk mengajak para tamu undangan untuk menikmati acara tersebut.
Berbeda dengan ibunda Meloni. Kedua orang tua. Khususnya ayah dari Mariolo. Sangat senang mendengar pernyataan sang putera.
Calon kakek dari anak Mariolo dalam kandungan Meloni itu, tidak henti-hentinya melontarkan kalimat-kalimat pujian dan rasa bangga pada Mariolo.
"Kamu membuat ayah jadi bangga!" ungkap sang ayah.
Ibu Mariolo sangat bahagia, untuk pertama kalinya melihat kedua laki-laki yang dia sayangi tampak akur. Pekerjaan baru Mariolo mampu merubah hubungan dingin antara anak dan ayah itu mencair.
Dalam rumah baru yang lebih besar dengan segala fasilitas. Serta penantian kelahiran sang buah hati. Menjadi pelengkap kebahagiaan Mariolo dan Meloni dalam menjalani kehidupan berumah tangga, setelah melewati masa sulit ketika pandemi melanda dunia.
Mereka tidak harus lama menikmati segala kemewahan dan kebahagiaan itu. Sekali lagi Mariolo harus berhadapan dengan kesulitan dalam hidupnya.
Hari itu Mariolo pulang dari tempat kerjanya tanpa menggunakan mobil mewahnya. Suami Meloni itu hanya naik ojek.
Alangkah kagetnya Mariolo ketika dia turun dari motor. Sebuah mobil hitam yang tadinya terparkir tepat di depan jalanan masuk ke rumahanya, tiba-tiba saja lewat di sampingnya. Bahkan mobil itu hampir saja menyerempet tubuhnya.
Mariolo melihat jelas ibu mertuanya memakai kacamata hitam dalam mobil tersebut. Sesaat kemudian, dia menyadari kalau ada wanita yang duduk di samping ibu mertuanya itu. Bayangan wanita itu diyakini oleh Mariolo sebagai istrinya. Meloni.
Mariolo berlari mengejar sekuat tenaga. Usahanya untuk menghentikan mobil yang membawa wanita yang sudah dinikahinya dan anak dalam kandungannya itu sia-sia belaka.
Mobil itu melaju dengan sangat kencang membawa bayangan Meloni menghilang dari pandangan Mariolo.
Laki-laki yang kurang lebih dua bulan lagi menjadi bapak itu, terkulai lemas tak berdaya. Menyaksikan sang istri pergi bersama ibunya.
Mariolo berlutut memandangi rumah mewah miliknya yang telah terpasang garis polisi. Tanda larangan dan papan bertuliskan
"Rumah ini disita!"
Rumah beserta seluruh isinya yang baru beberapa bulan dia nikmati bersama sang istri dan calon bayinya disita oleh pihak berwajib.
Mariolo tidak punya pilihan lagi. Selain kembali ke rumah orang tuanya. Mau tidak mau. Dia harus siap menghadapi sang ayah.
Apa yang Mariolo pikirkan tentang ayahnya tidak terjadi. Semua kekhawatirannya sirna. Ketika sang ayah menyambutnya dengan pelukan hangat.
Laki-laki yang sebentar lagi menjalani masa pensiunan itu tidak henti-hentinya memberikan semangat kepada sang putera yang sedang terpuruk.
Untuk sementara waktu. Mariolo dan Meloni menjalani hidupnya di rumah orang tua mereka masing-masing.
Mareka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Ponsel milik Meloni disita oleh ibunya. Membuat Mariolo harus mencari cara lain untuk bisa terhubung dengan sang istri. Namun tidak ada yang berhasil.
Mariolo benar-benar jatuh dan terpuruk. Apalagi kehamilan Meloni sudah usia sembilan bulan. Kalau saja prediksi dokter tidak melenceng. Kelahiran buah hatinya tinggal menghitung hari.
Kedua orang tua Mariolo tidak tega melihat anaknya dalam kondisi seperti itu. Mereka berdua mengupayakan membantu menyelesaikan permasalahan rumah tangga sang anak dengan cara mengajak besan mereka untuk mendiskusikan permasalahan kedua anak mereka.
Alhasil, setidaknya ada setitik harapan untuk Mariolo agar bisa kembali hidup bersama sang istri dan bayinya nanti jika sudah lahir ke dunia. Namun, Mariolo harus bersabar sampai syarat yang diajukan sang mertua bisa dia penuhi.
Namun, untuk memenuhi persyaratan dari sang mertua itu sepertinya harus terkendala. Skandal seorang penjabat menyeret nama Mariolo. Calon bapak itu harus berhadapan dengan hukum. Dia menerima surat panggilan dari pihak berwajib.
Situasi itu semakin memperburuk keadaan Mariolo. Dia hampir tidak bisa mengendalikan diri. Suami Meloni itu benar-benar merasa sendiri. Istri dan sahabat-sahabatnya bak menghilang ditelan bumi.
Untung saja dalam situasinya itu, gengsi dan prinsipnya tidak mencegahnya pulang ke rumah orang tuanya. Sehingga dia masih punya tempat berlabuh.
Lahir dari kedua orang tua yang sangat loyal terhadap negara. Abdi negara yang baik. Mengajarkan Mariolo untuk taat pada hukum yang berlaku. Mereka mendampingi anak laki-lakinya menjalani masa-masa persidangan.
Kejujuran Mariolo adalah kunci yang menentukan nasibnya ke depan. Kedua orang tuanya berharap, kejujuran sang putera tidak menggiringnya masuk dalam lingkaran tersangka.
Sidang akhir sedang berlangsung. Mariolo memberikan kesaksiannya. Suami Meloni itu sedang berjuang di atas kursi pesakitan. Bergulat menjawab pertanyaan-pertanyaan berantai dari sang hakim.
Bapak dari calon bayi Meloni itu juga harus bergulat menangkal hujanan tuduhan dari pengacara mantan bosnya itu yang berusaha menjebloskan dirinya untuk menjadi tersangka utama dalam kasus korupsi dan penyelundupan
Hakim mengetuk palu. Tanda keputusan terhadap nasib Mariolo telah diputuskan. Ibunya menangis dalam pelukan sang suami. Bapak yang sedang menyaksikan sang anak berjuang untuk hidupnya itu, juga menitihkan air mata.
Mereka berhasil membawa pulang kembali putera kesayangan mereka ke rumah. Satu permasalahan Mariolo selesai. Dia harus kembali fokus untuk bisa memenuhi syarat dari sang mertua.
Dalam pendampingan kedua orang tuanya, Mariolo menghadapi masalah hidup yang menimpanya satu persatu.
Menjalani proses hukum yang cukup alot. Membawa pengaruh besar pada fisik dan psikis Mariolo. Tubuhnya menjadi kurus. Penampilannya tidak terawat lagi. Dia lebih banyak diam. Sikapnya keras kepalanya hilang. Ia kembali menuruti setiap kata dari kedua orang tuanya.
Cinta pertama bagi anak laki-laki itu adalah ibunya. Itu yang terjadi pada Mariolo. Dia kembali pada cinta pertamanya. Cinta sepanjang masa. Tidak usang. Tidak lekang oleh waktu. Tidak berubah. Tidak hilang.
Mengingat kondisinya yang sedang dalam masa keterpurukan dan berada dalam tanggungan kedua orang tuanya, membuat Mariolo sadar diri untuk tidak memaksakan menjemput sang istri secara paksa ikut bersamanya.
Di tengah gangguan fisik dan psikis yang dialaminya, Mariolo tetap berusaha untuk memenuhi persyaratan yang diajukan sang ibu mertua, jika dia ingin kembali hidup bersama Meloni dan anak yang ada dalam kandungan istrinya itu.
Mariolo melihat foto-foto dirinya ketika masih duduk di bangku sekolah. Matanya tertuju pada foto dirinya yang memegang piala dan piagam. Dilengkapi catatan kecil, dalam foto itu. Juara satu lomba menabuh drum di sekolahnya.
Foto itu membawa ingatan Mariolo kembali ke masa-masa dimana dirinya memulai mencintai alat musik tersebut. Sehingga membawanya menjadi musisi kawakan yang memiliki nama besar.
Hal itu seperti menghipnotis Mariolo untuk bangkit kembali. Laki-laki yang tidak tahu apakah anaknya yang ada dalam kandungan Meloni, sudah lahir ke dunia atau belum itu tiba-tiba saja meminta kunci gudang belakang kepada sang ibu.
......
Berbekal dram bekas yang dia rakit kembali menjasi satu (dram yang sebenarnya sudah tidak layak pakai itu), Mariolo mulai memainkan stiknya kembali.
Mariolo seperti mendapatkan sumber tenaga dari bunyi drum tersebut. Pukulan demi pukulan dua stik yang ada di tangannya itu mendarat dengan baik dan menimbulkan alunan irama yang indah. Menggema di dalam gudang.
Melihat anaknya mendapatkan kekuatan dari alat musik yang pernah dia patah-patahkan itu karena tidak ingin anaknya menjadi seorang pemusik, sewaktu masih sekolah, membuat ayah Mariolo tidak lagi mempermasalahkan hobi, bakat, dan pilihan sang anak yang dulu memutuskan menjadi seorang musisi.
Mariolo tidak percaya apa yang dilakukannya sang ayah. Garasi rumah miliknya diberikan kepada Mariolo untuk dia jadikan studio musik.
Dia mempersilakan sang anak untuk kembali menekuni profesinya tersebut. Tentu itu bukan terjadi begitu saja. Tapi ada campur tangan sang istri. Apa yang telah lama menjadi impian ibu Mariolo terwujud juga. Suami dan puteranya kembali akur dan saling mendukung satu sama lain.
Mariolo menyulap garasi itu menjadi studio musik yang indah. Selain dia pakai untuk keperluan berkarya, membuat podcast, studio musik itu juga dia sewakan dan membuka kelas belajar main musik. Khusus alat musik drum.
Usaha Mariolo itu mendapatkan respon cepat dari anak muda yang ingin menjadi seorang drummer.
Dalam waktu singkat channel YouTube miliknya ditonton berjuta-juta orang dan mendapatkan banyak subscriber.
Karya-karya Mariolo berseliweran di media sosial. Berbagai penghargaan dia dapatkan. Laki-laki yang belum juga mengetahui keberadaan sang istri yang membawa anaknya dalam kandungan ketika itu meraih popularitas.
Duit mengalir masuk dalam rekeningnya. Mariolo kembali membeli rumah mewah. Mobil mewah. Segala fasilitas dan barang-barang mewah dia miliki.
Sementara di persidangan. Ketua hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mantan atasan Mariolo.
Berselang beberapa saat. Mariolo meresmikan studi barunya yang sangat besar. Sekaligus menjadi pusat pendidikan pengembangan bakat anak-anak di bidang musik.
Terlihat ayah dan ibunya yang sangat bahagia atas prestasi sang anak dalam acara tersebut. Mereka sangat bersyukur karena Mariolo bisa melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Walaupun masih ada yang belum terwujud.
Akhirnya pada satu hari. Tujuan Mariolo membeli rumah semewah itu ketahuan juga. Suara anak kecil terdengar dalam rumah itu. Meloni datang membawa seorang bayi umur 1 tahun. Anak laki-laki yang sangat rupawan, lucu dan menggemaskan.
Kedatangan mereka diantar langsung oleh kedua orang tua Meloni, yang juga disambut secara langsung oleh ayah dan ibu Mariolo.
Kedua orang tua Mariolo menyambut kedatangan sang menantu dan cucu laki-lakinya penuh suka cita.
Ayah dan ibu Meloni terlihat malu menatap wajah kedua besannya itu. Apalagi wajah sang menantu laki-laki mereka yang sedang turun dari tangga nan megah di dalam rumah.
Bagian dalam rumah Mariolo bak istana. Dipenuhi dengan furnitur-furnutur mahal. Mereka tidak menyangka kehidupan suami dari puterinnya itu bisa sesukses itu.
Memakai setelan jas berwarna biru nafi. Sepatu kulit yang mengkilap. Rambut rapi. Kulit dan wajah yang bersih. Mariolo terlihat begitu gagah menuruni anak tangga. Bak seorang putera mahkota.
Senyum Mariolo merekah. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah sang buah hati. Laki-laki itu menitihkan air mata bahagia.
Mariolo mendekap puteranya begitu erat. Anak kecil itu seolah memang sudah tahu, kalau laki-laki yang mendekapnya itu adalah bapaknya.
Meloni terlihat canggung menyapa Mariolo. Ibu muda itu salah tingkah ketika sang suami meraih tangan dan memeluknya.
“Terima kasih. Kalian sudah menjaga anak dan istri aku dengan baik. Aku telah memenuhi syarat yang kalian minta. Sekarang aku juga akan menagih kalian” kata Mariolo kepada kedua mertuanya.
Ibu Meloni mengeluarkan sebuah amplop dari tas tenteng warna merah miliknya. Amplop berisi surat perjanjian. Jika sang menantu mampu memenuhi syarat yang mereka ajukan. Maka untuk seterusnya mereka tidak akan mencampuri lagi urusan rumah tangga anak mereka. Kertas bermaterai enam ribu itu diserahkan ke bapak dari sang cucu.
Mariolo kembali bersatu dengan keluarga kecilnya. Kerinduan Meloni pada sang suami terlihat dengan cara dia memperlakukan suaminya. Mereka mesra seperti pasangan pengantin baru lagi.
Kehadiran sang buah hati membawa warna baru dalam hidup mereka. Kedua orang tua Mariolo akhirnya memasuki tahun pertama masa pensiun dengan disambut kehadiran sang cucu laki-laki.
Mereka menghabiskan waktu bermain dengan cucu kesayangan satu-satunya itu. Sementara Mariolo dan Meloni sudah kembali disibukkan dengan aktivitas mereka sebagai seorang entertainer.
Usaha mereka melebar. Selain membuka kelas modeling. Mereka juga mendirikan sebuah menejmen. Menejmen Talenta. Mereka mewawadi anak-anak muda yang ingin bekerja di dunia entertainment.
Suatu hari mereka kedatangan peserta baru yang ikut dalam kelas musik.
Seorang anak laki-laki yang berumur tujuh belas tahun. Anak itu terlihat sedikit urakan. Dia masuk dalam kelas khusus yang dipegang oleh Mariolo. Alat musik dram.
“Nama Aku Putera. Umur 17 tahun. Hobi bermain musik. Cita-cita menjadi seorang musisi ternama. Sama seperti Om Mariolo."
Anak itu diam sejenak. Menarik nafas. Lalu melanjutkan bicaranya.
"Aku berharap dengan bermain musik, aku bisa membeli rumah untuk ibu dan membiayai sekolah tiga orang adik aku."
Perkenalan peserta baru itu begitu menyentuh hati Mariolo dan peserta lainnya.
"Putera. Nama yang singkat tapi penuh makna," kata Mariolo
"Maaf om! Aku lupa sebutkan nama lengkap aku. Mohon maklum, aku gugup" anak itu menyela ucapan Mariolo.
"Nama lengkap aku Putera Bramantyo Pamungkas" lanjut anak itu.
Mariolo kaget mendengar nama lengkap anak itu. Nama belakang anak itu mengingatkannya pada sebuah nama yang punya pengaruh dalam hidupnya.
Tangan Mariolo sigap membuka kolom pencarian di google. Jari-jemarinya mengetik nama Putera Bramantyo Pamungkas.
Muncul foto-foto orang yang ada dalam benaknya itu.
"Bramantyo Pamungkas tahanan kasus korupsi dan penyelundupan alat-alat kesehatan dalam penanganan Covid-19. Meninggal dalam rutan, karena MALARIA," judul berita yang dilihat Mariolo.
Kemudian Mariolo melanjutkan membaca berita tentang laki-laki itu. Alangkah kagetnya dia ketika menemukan nama Putera Bramantyo Pamungkas adalah anak dari orang itu.
Bramantyo Pamungkas. Seorang anggota dewan perwakilan rakyat yang pernah meminta jasa Mariolo, untuk membuatkan musik jingle yang dia pakai dalam berkampanye. Melalui rekannya, sesama pemusik.
Dari rekannya itu pulalah, Mariolo harus berurusan dengan hukum. Laki-laki yang mengantarnya pulang malam itu, ketika dia dinyatakan hilang oleh Meloni.
Laki-laki itu kembali bertemu Mariolo, ketika dirinya tertangkap petugas keamanan karena melanggar aturan pembatasan aktivitas warga di luar rumah.
Kemudian rekannya itu membantunya bebas dari tawanan petugas. Dia juga membantu Mariolo menggadai sepeda motor kesayangannya . Tanpa sepengetahuan Meloni.
Mariolo tidak punya pilihan lain lagi ketika pandemi. Kondisi ekonomi yang sangat terpuruk serta teror dari sang mertua. Membuat Mariolo menerima tawaran dari rekannya tersebut untuk ikut bersamanya menjadi kaki tangan sang pejabat dalam menjalankan bisnis terlarang tersebut.
Alhasil, Mariolo sempat mendekam beberapa hari di dalam sel. Hingga dirinya bersedia bicara dan membuat sang pejabat menjadi tersangka utama.
Pejabat itu adalah bapak dari anak laki-laki yang berdiri di depannya, Putera Bramantyo Pamungkas.
"