Masukan nama pengguna
Ibuku curhat ke aku, "Ibu bosan dengan semua aturan kakak kamu, tidak boleh makan ini lah, tidak boleh makan itu lah ... semuanya tidak boleh! Lantas apa Ibu harus habiskan sisa hidup tanpa merasakan nikmat?"
"Bu, maksud Kakak itu baik, mungkin dia tidak ingin Ibu merasakan sakit setelah mengkomsumsi pantangan makanan yang pantangan dari penyakit Ibu!" balas ku.
"Ala, ... ujung-ujungnya semua orang akan mati! Yang kasihan itu, orang yang tetap mati padahal sudah ikuti kata dokter-dokter, seperti Kakak kamu itu!" Ibu semakin nge-gas.
"Tapi, Bu ...."
"Ah ... sudahlah, kamu sama saja dengan Kakak kamu!"
Sebenarnya, aku memahami situasi Ibu, karena aku juga mengalami hal yang sama.
Sejak aku divonis punya penyakit kronis oleh dokter, Kakak sangat protektif. Makanan, minuman, pola tidur, dan ... pokoknya sampai gaya hidup aku ada dalam pengawasannya.
Aku juga pernah mengeluh, bahkan marah padanya. Aku tidak terima perlakuan ekstrimnya itu. Namun, alasan yang diutarakannya membuat aku terenyuh.
"Kakak ingin melihat kamu hidup lebih lama daripada aku!"
Kalimat Kakak yang begitu menohok, menyentuh hatiku. Karena itulah, aku tidak lagi banyak neko-nekonya kalau dilarang ini, itu olehnya.
Begitu juga yang terjadi dengan Ibu. Kakak itu orangnya terlihat, keras, tegas dan disiplin. Tapi, sebenarnya dia itu punya hati yang rapuh.
Kakak tidak bisa membayangkan menjalani hidup tanpa kami, keluarganya!
Untuk itulah dia akan melakukan apa saja, demi membuat kami bertahan hidup.
Akan tetapi ... Kakak juga kadang lupa, kalau Ibu itu sudah tua. Terkadang, dia memperlakukan Ibu sama seperti aku.
Kalau aku sih, cukup pengertian ke Ibu. Tapi mungkin itu salah. Namun, jika itu membuat Ibu senang ... kenapa tidak?
Tanpa sepengetahuan Kakak, aku sering memergoki Ibu di dapur makan, makanan pantangan dari penyakitnya. Seperti, ikan kering, terasi, dan udang.
Seharusnya sih, aku menegur, melarang atau lebih tegas lagi menyita makanan itu dari tangan Ibu.
Tapi, itu tidak mungkin aku lakukan. Pertama, aku masih mengedepankan adab. Kedua, aku tidak tegaan. Ketiga, aku suka lihat ibu senang.
Sama seperti ..., saat aku pergoki Ibu mencampur sesuatu ke dalam minumannya.
Minuman yang juga tidak seharusnya Ibu konsumsi lagi, karena terkadang memicuh rasa sakit di ulu hatinya.
Kopi! ... ya, kopi hitam!
Aku mendapati ibu mencampur jahe ke dalam kopinya.
"Ibu, minum apa?" tanya aku.
"Kopi!"
"Sepertinya ada kotoran di dalam kopi Ibu?" tanya aku lagi.
"Itu bukan kotoran, tapi jahe!" tandas Ibu.
"Emang ... boleh kopi campur jahe, Bu?" kataku.
"Kalau tidak boleh ..., lantas kenapa itu iklan-iklan di TV, ada namanya 'KOPI JAHE'!" jawab Ibu.
Jawaban menohok Ibu itu, membuat aku kena mental.
"Kamu itu sama saja dengan Kakak kamu! 'Apa boleh kopi campur jahe, Bu?" ... kalian itu sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak banyak tahu. Ibu cuma belajar di TV, setiap hari lihat iklan. Ibu lebih tahu banyak daripada kalian!" ketus Ibu.
Ya, kami tidak menyadari sumber informasi utama bagi ibu adalah televisi. Di luar, dari sanak saudara atau tetangga-tetangga julid yang sering datang ke rumah, membawa informasi untuk Ibu kami yang sudah lansia.
Bahkan, mereka kadang lolos menyelundupkan obat-obatan dari pasar ke tangan Ibu tanpa sepengetahuan kami!