Masukan nama pengguna
"Ulla, besok kamu harus bangun pagi-pagi sekali! Jangan sampai kita tidak dapat kursi di bawah tenda," kata Ayah.
Keesokan harinya, aku dan dan Ayah bersiap-siap menuju kampung sebelah untuk mengikuti program sunatan massal.
Hari itu hujan deras sekali. Membuat kami terhalang untuk berangkat lebih cepat.
Ayahku mencari cara agar bisa membawaku ke tempat sunatan massal itu.
"Sepeda motor milik Pak RT, baru saja dicuci!" bisik Ayah ke Ibu yang sudah tidak sabar lagi.
Ayah memutuskan membawaku dengan mengayuh sepeda ontelnya. Kami memanfaatkan kantongan plastik sebagai pelindung di kepala saja.
Waktu itu cuma Pak RT yang punya sepeda motor di kampung kami.
Pakaian kami kering di badan ketika menunggu antrian.
Aku adalah anak laki-laki peserta terakhir sunatan massal yang dilakukan oleh seorang mantri tersebut.
Setelah giliran aku selesai, kami langsung pulang. Rintik hujan masih sempat membuat kami basah kuyup sampai di rumah.
Aku tidak bisa lagi pulang dengan naik sepeda. Hal itu membuat ayah harus menitipkan sepeda kesayangannya itu di rumah warga.
Ayah mendapat tumpangan dari salah seorang kawannya. Namun, tidak harus sampai di depan rumah. Karena kawan Ayah itu harus menjemput istrinya yang sedang berada di rumah orang tuanya.
Kata Ayah, tidak apalah, berjalan satu kilometer itu bukan masalah bagi Ayah. Tapi yang menjadi masalah besar bagi Ayah ialah, laki-laki empat puluh tahun itu harus kerepotan membopong aku yang alat vitalnya harus terhindarkan dari gesekan atau sentuhan apapun. Karena, kalau tidak ... hanya anak laki-laki yang mengerti rasanya, bagaimana?
"Sakit, Ayah!" kataku, meringis.
"Tahan, Nak!" balas Ayah, terengah-engah dengan langkah yang tertatih-tatih.
Hari itu adalah hari yang tidak bisa terlupakan olehku, bahkan juga oleh semua anak laki-laki muslim, sepertiku.
Hari ini aku pulang, membawa hadiah untuk Ayah yang sudah tua, namun secara fisik masih terlihat kuat.
Tidak ada kata yang bisa mewakili rasa terima kasihku, tidak ada perbuatan yang bisa membalas setiap kebaikannya. Tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan pengorbanannya.
Aku hanya mencoba memahami apa yang dihasratkannya setelah sekian lama, walau tidak pernah terucap dari mulutnya.
Sebuah sepeda motor ... VESPA!
Vespa untuk Ayah.
Aku tidak bisa merangkai kata untuk menggambarkan bagaimana ekspresi atau perasaan Ayah, melihat sepeda motor idaman sepanjang hidupnya sedang terparkir di depan rumah, ketika ia baru pulang dari kebun.
Aku hanya bisa mengatakan, Ayah memajang Vespa itu di ruang tamu, dan setiap saat ia terbangun dari tidur malamnya, memandangi sepeda motor itu semalam suntuk.
Hari ini, genap susah tiga tahun Vespa itu di tangan Ayah. Kondisinya masih sama seperti, ketika baru keluar dari dealer.
Begitu juga dengan sepeda ontelnya yang masih terawat dengan baik.
Sebagai balasan atas apa yang aku berikan kepadanya. Ayah tidak henti-hentinya meminta maaf kepadaku.
Ayahku merasa apa yang aku berikan itu tidaklah layak untuknya, yang tidak pernah mampu membelikan sepeda baru untuk aku ketika masih kecil dulu.
Bahagia Ayah atas Vespa pemberian aku itu sudah dikumulatif dengan bahagiaku, andai saja ... kala itu Ayahku membelikan sepeda baru untukku.
Hadiah itu tidak selalu datangnya, harus dari orang yang lebih tua.
Pemberian hadiah itu ditentukan oleh kesiapan finansial dan kesiapan hati.
"Aku mengerti, Ayah!"