Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,691
Tante Tuti
Komedi

Ibu sakit, Aku harus pulang! Tanpa pikir panjang lagi, aku ambil cuti tujuh hari dari tempat kerja. Meskipun ibu tidak meminta, tetapi pesan singkat dari adik laki-laki aku sudah cukup mewakili suara hati ibu.

Setelah surat pengajuan cuti aku di disetujui oleh HRD (Human Resource Departement) hari itu juga aku meluncur pulang bersama tas ransel warna hitam di pundak. Aku gadis sedikit tomboy. Oleh karena itu, aku tidak perlu memikirkan banyak hal jika akan bepergian.

Taksi online melaju kencang membawa aku ke terminal, tempat pangkalan mobil angkutan penumpang antardaerah.

Aku dapat posisi tempat duduk yang bagus di dalam mobil bus. Mobil yang membawa aku sampai di tanah kelahiran dengan selamat, setelah naik turun gunung melewati hutan dan jalanan berkelok-kelok seperti ular.

Perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Butuh waktu lima jam untuk bisa sampai di kampung halaman aku.

Lelahku bersembunyi di balik sikap aku yang sok kuat di hadapan sanak keluarga dan tetangga-tetangga julid yang menyambut kedatangan aku dengan cara yang berbeda.

Yang namanya keluarga pasti menyambut kita dengan suasana hati sangat gembira. Akan tetapi, yang namanya tetangga, hanya Tuhan yang tahu apa isi pikirannya?

Mulai aku turun dari mobil bus, mereka sudah memasang mata ala-ala seorang detektif kondang ke arah aku. Andaikan mereka bisa menebak warna dan merek pakaian dalam aku, pasti mereka akan melakukannya juga, "bisa bayangkan'kan, bagaimana julid-nya tetangga aku di kampung?"

“Mengapa juga nenek moyang aku dahulu kala memilih tinggal di perkampungan padat seperti ini?” Aku menggerutu-menatap jalan setapak yang harus aku lalui, di depan.

Waktu tempuh lima jam dari kota ke kampung halaman aku, itu bukan masalah bagiku. Tetapi lima menit dari jalan raya tempat mobil bus menurunkan aku, sampai ke rumah ibu itu adalah masalah besar untukku!

***

Ah, hari itu aku menyesali tidak menggunakan angkutan malam. Kalau saja aku tidak pulang pagi hari, pasti aku tidak akan tiba sore-nya. Tepat dengan jadwal nongkrong tante-tante mulut mercon.

Pekerjaan mereka itu menyergap setiap anak perawan yang lewat, "bayangkan saja mulut mereka itu seperti senjata mercon yang memuntahkan bola-bola panas, langsung ke targetnya!"

Anak perawan yang tidak kuat iman bisa mati berdiri di tempat, kalau bertemu dengan tante-tante itu. Untung saja aku berbeda dengan mereka. Berbekal perlindungan dari ibu dan pendidikan tinggi, membuat aku bisa menangkis serangan-serangan mereka. Sehingga mereka kesulitan menjatuhkan aku. 

Oleh karena itulah kabar kepulangan aku adalah berita besar bagi mereka. Mereka sudah bersenjatakan lengkap dengan peluru-peluru tajam, menyambut kedatangan aku.

Mereka yang sudah tidak sabar meluncurkan aksi mereka, memberondong aku dengan bola-bola panas yang merupakan peluru-peluru andalan dari mulut mereka.

Tetapi aku tidak mau kalah dari mereka. Aku tentunya sudah meng-antisipasi keadaan itu. Aku mempersiapkan tameng yang akan melindungi aku dari serangan mereka. Alhasil, satu pun peluru tidak tembus di kepalaku, hehehe!

Aku melenggang dengan penuh percaya diri lewat di hadapan mereka. Berkat headset menempel di telinga, aku hanya melihat mulut mereka komit-kamit seperti pesulap yang membaca mantra-mantra peng-hilang objek, di hadapan penonton.

Sekejap aku menghilang dari pandangan mereka dan muncul tepat di hadapan ibu yang terbaring lemas sedang menonton televisi.

Akan tetapi alangkah kagetnya aku. Ketika suara nyaring seorang wanita muncul di belakang pintu.

“Assalamu Alaikum!”

Aku kenal baik suara itu, ‘Tante Tuti’ itu adalah suara Tante Tuti. Satu-satunya orang yang tidak ingin aku temui ketika pulang kampung.

Tetapi yang terjadi kemudian adalah, suara pertama yang aku dengar adalah suara Si Tante Tuti. Orang pertama yang aku harus temui adalah, Si 'Tante Tuti, padahal, ibuku sudah di depan mata.

“Nina, ini Tante Tuti bawa rujak untuk ibu kamu,” ucap Tante Tuti.

“Rujak?” timpal aku, heran!

“Nina, Tante Tuti terharu melihat kamu. Akhirnya kamu pulang juga,” ucap tante bertubuh gempal itu.

“Aku baru dapat cuti, Tante!” Aku sedikit ketus dan to the point.

"Ketus yang lahir, karena adanya rasa lelah dan kesal bercampur di dalam diriku"

Melihat sikapku yang tidak welcome membuat Tante Tuti seperti kucing yang terciduk mau mencuri ikan di bawah tudung saji.

Wanita berumur kepala empat itu, akhirnya memakai jurus menghilang di depanku.

***

Tante Tuti adalah, kepala komplotan tante-tante julid di kampung aku. Wanita itu menyebut dirinya sebagai Tante dari semua anak-anak perawan di kampung. Dia menganggap dirinya sebagai orang yang pemerhati, peduli, dan penyantun bagi anak-anak gadis orang di kampung kami.

Kalimat khas Tante Tuti adalah, "Tante, begini demi kebaikan kamu, Sayang!" Seakan dia adalah pemilik tubuh dari kami para perawan desa.

Tante Mia, Tante Wati, Tante Nur, Tante Yati, dan Tante Wiwi. Mereka adalah ibu-ibu yang tergabung dalam komplotan-nya Tante Tuti, yang dijuluki oleh kami, “Tante-Tante Julied”

Setiap anggotanya memiliki karakter yang berbeda :

Tante Mia Si tukang nyinyir;

Tante Nur Si tukang pamer;

Tante Wati Si tukang kompor;

Tente Wiwi Si mulut pedis.

Mereka memainkan peranannya masing-masing. “Coba bayangkan’kan ketika mereka berkumpul?” Upst ... !

***

Untung saja sekarang sudah ada air bersih yang mengalir di rumah setiap warga. Program pemerintah itu mempersempit wilayah jajahan mereka.

Dua tahun lalu aku masih sempat merasakan bagaimana bringasnya kompoltan tante-tente itu yang membabi buta setiap perawan mereka temui, di sekitar sumur umum. Saat itu, bahkan, sampai sekarang, ibu adalah perisai utama bagi aku.

***

Keberadaan aku di rumah selama ibu sakit, menjadikan aku sasaran empuk mereka. Serangan bertubi-tubi mereka luncurkan kepadaku yang tanpa perisai. "Yah, bagaimana bisa ibu yang terbaring lemas bisa melindungi aku dari mereka, saat itu?"

***

Ibu harus merelakan aku berhadapan sendiri dengan mereka setiap hari di medan tempur. Kalau tidak, kami akan kesulitan mendapatkan bahan makanan pendamping nasi.

Sayur, ya, SAYUR! Kami harus bertempur di tempat mangkal Abang tukang sayur yang tidak jauh dari rumah kami.

***

"Ibunya apa kabar, Nina?" tanya Tante Tuti yang sedang ber-kamuflase menjadi seseorang yang peduli.

"Alhamdulillah, kondisi ibu makin membaik, Tante!" jawab aku dingin.

"Itu berkat kamu juga, sudah jauh-jauh pulang merawat ibu kamu." timpal Tante Mia yang jelas memuji aku.

"Kamu jodoh kali tinggal di kampung. Ibu kamu langsung sembuh, sejak kamu datang." celetuk Tante Wati, mulai memprovokasi.

"Apa sih enaknya hidup di kota? Kamu cari apa, di sana? Jauh dari orang tua, itu tidak enak! Ketahuilah, harta yang paling berharga adalah keluarga! Tidak ada gunanya uang banyak, kalau tidak ada keluarga. Waktu tidak akan kembali, Sayang! Selagi ibu kamu masih ada, manfaatkan kesempatan itu! Habiskan waktu bersamanya! Bahagiakan wanita yang melahirkanmu itu! Rawat dia dengan baik! Jadilah anak yang berarti! Jangan menyesal kemudian hari!" ucap Tante Tuti yang tiba-tiba menjelma menjadi, "pemerhati sesama wanita."

"Itulah, Bu. Aku punya anak tidak ada yang sekolah tinggi-tinggi. Kami takut mereka akan pergi jauh. Siapa yang rawat kami, nantinya?" cetus Tante Wati, lagi.

“Sama seperti aku, Bu. Malahan anak kami yang tidak mau pergi jauh-jauh dari ibu dan bapaknya. Katanya, ‘sayang sama keluarga’ begitu!” tante Mia menimpal.

"Syukur, ya, ibu-ibu. Kita bisa tinggal bersama dengan anak-anak kita. Ada yang merawat kita. Kita tidak perlu khawatirkan masa tua kita, nantinya" tukas Tante Tuti.

"Nina, kamu cuti-nya sampai tanggal berapa? tanya Tante Nur, yang baru punya kesempatan bicara setelah sibuk dengan gelang-gelang emas di-pergelangan tangan kanan dia yang tersangkut di gerobak, milik Abang tukang sayur.

"Tanggal empat belas, bulan ini, Tante!" jawab aku dengan tersenyum kecil.

"Aduh, sayang sekali, ya! Kamu tidak bisa melihat pernikahan anak Tante. Si Mimi, teman sekolah kamu waktu di sekolah dasar. Ingat ‘kan?" tukas Tante Nur.

"Mimi mau nikah? Kapan, Tante?" tanya aku antusias.

"Bulan depan!" jawab Tante Nur.

"Bagaimana kabar seragam kita untuk nikahan Si Mimi? Sudah jadi belum?" timpal Tante Wiwi.

"Tenang ibu-ibu! Sedikit lagi. Nanti kalian pada dapat, kok!" jawab Tante Nur, pecicilan.

Akhirnya aku selamat. Mereka menemukan topik pembicaraan yang lebih menarik-daripada-mengorek hidup aku lebih jauh lagi. Baju seragam untuk pesta pernikahan Mimi. “Terima kasih Mimi, kamu memang teman yang baik. Selalu menolong aku di saat yang tepat” dalam hati aku.

"Tante-tante aku masuk dahulu ya!" pungkas aku.

"Nina. Kamu jangan lupa kata-kata tante tadi, ya! Itu demi kebaikan kamu juga, Sayang!" teriak Tante Tuti.

***

Ah, kata-kata Tante Tuti tengiang-ngiang di telingaku dan mulai mengganggu aktivitas aku sepanjang hari. Malamnya, aku tidak bisa tidur. Kata-kata wanita itu sudah berhasil meneror alam bawa sadar aku. 

Hari itu memang ada yang aneh dengan komplotan "Tante-Tante Julied" itu. Mereka semua bersikap tidak seperti biasanya. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik. Tutur bahasa mereka lembut dan tidak bikin pekik di telinga.

Stigma aku tentang mereka sepertinya berubah setelah hari itu. Kata-kata Tante Tuti tidak mau hilang, bahkan membekas di benak aku. Apalagi, setiap hari harus bertemu dengan orangnya yang terus-terus saja mengulang kata-kata yang sama, di pangkalan Abang tukang sayur. 

***

Well 'baiklah', aku mengakui kali ini Tante Tuti betul. Aku setuju dengan cara pandangnya. 

Aku mulai bicara dengan diriku sendiri di depan cermin, sama yang dilakukan oleh aktor-aktor monolog di atas panggung pertunjukan.

"Siapa aku?"

"Di mana aku?"

"Apa yang aku cari?"

"Apa tujuan hidup aku?"

"Mau kemana kita, natinya?"

"Untuk apa aku dilahirkan?"

"Apa bakti aku sebagai anak?"

"Apakah umur ibu aku panjang atau pendek?"

"Salahkah aku jika meninggalkan-nya, demi mengejar cita-cita?"

"Apakah aku egois selama ini?"

"Buat apa aku korbankan diri, jauh-jauh cari kerja, di kota?"

"Apa gunanya uang banyak, kalau tidak menikmati hidup bersama keluarga?"

"Apa artinya posisi yang bagus kalau ibu aku di sini menderita?"

"Ibu sudah tua!"

"Kasihan ibu!"

" ..., "

Ah, Tante Tuti sudah berhasil menggoyahkan keyakinan aku. Percakapan di pangkalan Abang tukang sayur itu adalah “AWAL KEHANCURAN AKU DIMULAI!”

Pada akhirnya aku membulatkan tekad, untuk berhenti bekerja. Aku memutuskan tidak kembali lagi ke kota. Sehari sebelum masa cuti aku berakhir.

***

Dua minggu kemudian. Setelah pernikahan Nina selesai, di tempat dan waktu yang sama, aku kembali bertemu dengan komplotan "Tante-Tente Julied" itu di pangkalan Abang tukang sayur dengan formasi mereka yang lengkap. Sama seperti waktu pertama aku bertemu dengan mereka.

Gondok aku sudah hilang terhadap mereka. Hari itu dengan rasa percaya diri aku bergabung dengan tante-tante itu yang sedang sibuk memilih-milih sayur. 

"Eh, Nina, kamu kurusan, ya!” Demikian sambutan Tante Mia.

“Kulit kamu terlihat lebih gelap!” timpal Tante Wiwi

“Kehabisan skin care, ya?" Tante Wati meledek aku.

 “Waktu masih cantik saja tidak laku. Apa kabar sekarang, ya?” celetuk Tante Tuti dari balik tumpukan sayur.

"Makanya kamu perawatan dong, supaya cepat laku seperti Mimi!” ucap Tante Wati.

“Mimi beda, Bu! Secara ibu bapaknya’kan orang terkaya di kampung ini. Biaya pedicure-medicure dia saja lebih mahal daripada gaji seorang karyawan biasa.” timpal Tante Nur, pamer.

"Oh Tidak' ... ! Rasanya petir menyambar tubuh aku saat itu. Aku merasa langit mencengkram kepalaku. Seketika aku mematung seperti, "Maling Kundang" yang dikutuk menjadi batu.

Selanjutnya aku hanya melihat mulut mereka komat-kamit, suara mereka yang bertaut-tautan, samar-samar terdengar olehku. Aku tidak lagi bisa mengenali suara siapa yang sedang bicara. Suara itu menjadi satu seperti, "kaset radio rusak!"

"Eh, kalian tahu tidak, anaknya Ibu Sri? Kemarin dia datang dari kota membawa banyak sekali oleh-oleh”

“Iyya, Bu! Dia itu berhasil di kota. Punya pekerjaan yang bagus. Gajinya juga besar.

 “Betul itu, Bu! Dengar-dengar bulan depan itu, ibu dan bapaknya, dia berangkatkan umrah.” 

"Wah, hebat sekali anak gadis Ibu Sri, ya! Kerjanya di mana, Bu?"

"Kata ibu Sri, anaknya itu kerja di toko jual mobil.”

"Pantas saja, dia gonta-ganti mobil setiap kali pulang kampung.”

“Permisi, ya ibu-ibu, aku duluan.”

“Mau ke mana, Bu Tuti?”

“Ke rumah ibu Sri?”

“Untuk apa?”

“Mau tanya lowongan kerja untuk Si Riri.”

“Memangnya ijazah Riri sudah ada dari sekolah, Bu?”

“Belum. Kata gurunya, bulan depan baru keluar.”

“Bagaimana, bisa bekerja kalau ijazahnya tidak ada, Bu?”

“Siapa tahu ada lowongan kerja di situ tanpa pakai ijazah terakhir, Bu. Aku sudah pusing melihat anak aku. Bikin repot orang tua. Kerjanya cuma makan dan tidur, seharian!”

***

Hari itu aku sadar, mereka sudah mengecoh-ku. Aku kalah. Peluru mereka bukan lagi tepat mengenai kepala aku. Akan tetapi, tembus langsung di jantung.

Suasana hati aku yang ceria berubah seperti kondisi langit yang sedang mendung, pagi itu.

Mereka pun pergi meninggalkan aku dengan tawa kemenangan dari pangkalan Abang tukang sayur, dalam kondisi aku yang mengenaskan. Laksana, seorang prajurit yang sedang terluka parah dan kehabisan amunisi di medan perang.

***

Aku berharap nasib sial masih tidak berpihak pada diriku saat itu. Aku menunggu sebuah keajaiban. Walaupun, itu sebenarnya sangat mustahil. Mengingat aku sudah dua minggu tidak masuk bekerja, tanpa surat pemberitahuan ke pihak kantor.

Aku otak-atik handphone dan menghubungi teman-teman kantor aku satu per satu. Tetapi tidak ada yang menjawab panggilan aku.

Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Itu artinya, mereka semua sudah sibuk bekerja. Kantor tidak membolehkan karyawan memegang handphone selama jam kerja.

Aku tidak putus asa. Aku tetap berusaha mencari cara agar bisa bicara dengan salah satu teman aku di kantor.

Kalau melalui telepon tidak bisa, maka aku bisa menghubungi mereka melalui email.” Demikianlah gumam aku.

 Aku kembali mengotak-atik handphone dan mencoba membuka email melalui telepon genggam aku itu.

Ah! Keberuntungan belum juga berpihak kepadaku saat itu. Koneksi internet terputus, aku kehabisan kuota.

Aku harus menggunakan laptop dan menumpang Wi-Fi milik adik laki-laku aku yang masih duduk di bangku kelas sembilan.

Akhirnya email aku terbuka juga, saat itu. Betapa bahagianya aku melihat kotak masuk, ada surat yang alamat pengirimnya dari kantor, tempat kerjaku.

Aku begitu naif, mengharapkan kabar baik yang datang. Padahal, aku sudah memperkirakan itu pertanda buruk. Firasat aku benar, email yang berbunyi;

"TERHITUNG HARI INI ANDA DINYATAKAN TIDAK LAGI BERSTATUS SEBAGAI KARYAWAN DARI BANK INTAN BERLIAN...,"

Membungkam aku seribu bahasa. Kepala aku pening. Tiba-tiba di sekeliling aku menjadi gelap. Hanya ada wajah Tante Tuti dan komplotan-nya berseliweran di dalam kamar aku.

'Mereka tertawa kegirangan

'Tante Tuti menaikkan bendera kemenangan'

'Mereka berpesta merayakan keberhasilan mereka'

'Komplotan tante-tante itu memegang sebuah spanduk panjang yang bertuliskan;

“SELAMAT ANDA RESMI MENJADI PENGANGGURAN!” bersorak ke arah aku.

Kepala aku kejedot pintu, ketika aku berusaha merebut spanduk itu dari tangan mereka. Aku jatuh ke lantai. Kepalaku di kelilingi bintang-bintang kecil. Aku ter-sadar, yang terjadi barusan itu hanyalah "HALUSINASI" aku saja. 

***

Dengan memakai mantel tebal plus dua potongan kecil koyok menempel di kedua pelipis, aku menyantap sop bihun bikinan ibu yang masih hangat di dalam mangkuk kecil.

"Kapan cuti kamu berakhir, Nak?” tanya ibu.

“Masih lama, Bu!” jawabku dingin.

“Semoga saja, kamu sembuh sebelum cuti kamu berakhir, ya!” ucap ibu.

“Kalau misalnya, aku berhenti kerja, bagaimana menurut ibu?”

“Jangan, sayang! Ingat cari kerja itu susah. Apalagi orang kampung seperti kita ini, tidak gampang bisa bekerja di bank ternama dan punya posisi bagus seperti kamu yang saat ini!”

“Tetapi-ibu sudah sakit-sakitan. Aku ingin menjaga ibu di sini,” timpal aku, memelas.

“Ibu tidak setuju. Ibu baik-baik saja. Jangan korbankan masa depan kamu karena ibu. Kamu masih muda. pergi dan kejar cita-cita kamu. Tujuan ibu menyekolahkan kamu itu, supaya kamu jadi orang sukses, bisa mengangkat martabat keluarga. Ingat mimpi-mimpi kamu, coba lihat ke jendela, lihat mereka (ibu menunjuk ke balai-balai di depan rumah Tante Tuti, "basecamp" Tante-Tante Julied. Apa yang kau katakan setiap kali membuka jendela? ‘Bu, aku akan buka mata mereka lebar-lebar, akan aku bungkam mulut mereka dengan prestasi, Bu.’ ingat itu!” Suara ibu bergetar.

Maafkan aku, Bu! Aku sudah kalah!” lirihku di dalam hati

***

Ibu memaksa aku kembali ke kota melanjutkan pekerjaan aku sebagai karyawan di bank yang telah memecat aku tanpa se-pengetahuan-nya, itu.

Setelah kondisi tubuh aku membaik, ibu tidak memberikan aku lagi waktu tinggal di kampung. Walaupun itu hanya satu hari saja.

Barang-barang aku dimasukkan kembali ke dalam tas, oleh ibu. Kemudian, wanita kesayangan dalam hidup aku itu mengantarkan aku sampai di depan pintu. Setelah yakin, aku sudah jauh, ibu kembali ke dalam rumah dan membanting pintu.

Aku tahu ibu pasti juga merasakan kesedihan. Paling-paling ibu menangis di belakang pintu. seperti yang selalu ia lakukan, setiap kali aku pergi meninggalkan rumah. Apa boleh buat? Hanya dengan cara itu kami bisa memperbaiki hidup yang serba kekurangan, sepeninggal ayah.

Dengan berat hati aku melangkah bersama tas ransel di pundak, "seperti biasa!" Namun kali ini sebuah kardus berisi bekal dari ibu, ikut bersama aku.

Kaki aku melangkah dengan berat meninggalkan rumah ibu. Tentu saja itu dikarenakan, "memikirkan nasib aku nantinya di kota yang tanpa pekerjaan". Aku pasti akan kerepotan mencari pekerjaan baru. Membawa berkas lamaran, sana-sini, dan dari kantor ke kantor.

Ah, aku menyusuri jalan setapak seperti cara jalan peserta pencarian bakat di televisi yang sudah ter-eliminasi. Hanya saja ekspresi wajah yang berbeda. Aku terlihat seperti macan kesakitan, bisa menerkam yang menghalangi langkah aku.

Aku merasakan mata-mata musuh sedang mengintai aku di sepanjang jalan. Mereka seperti tentara yang ber-kamuflase di balik semak-semak. Komplotan Tante-Tante Julied itu bersembunyi di balik pintu rumah mereka. Mereka tidak berani menampakkan batang hidung, "padahal" sebelum pergi, aku sudah menyiapkan senjata pamungkas untuk mereka.

"Kalian pasti bisa membaca pikiran aku, bukan?"

Tuhan pun berpihak pada rencana aku, saat itu. Sebelum mobil bus yang akan aku tumpangi datang, Dia mengirim anak Tante Tuti kepadaku. Gadis remaja yang disebut oleh ibunya, 'merepotkan orang tua' itu, keluar dari warung kelontong, tepat di depanku yang sedang menunggu angkutan kota. 

“Ini apa, Kak?” tanya anak Tante Tuti ketika aku serahkan sesuatu kepadanya.

“Kakak, titip ini untuk Tante Tuti ‘ibu kamu’ dan kawan-kawan.” jawabku.

Anak Tante Tuti pulang membawa paket berisi penganan yang aku buat bersama ibu (yang seharusnya aku bawa ke kota). Akan tetapi, aku menyerahkan penganan buatan aku ke anak Tante Tuti. Sementara, buatan ibu tetap ikut bersamaku ke kota.

Ibu menghidupi kami dari berjualan penganan yang mirip Pastel atau Jalangkote (penganan khas dari Kota Makassar).

Penganan itu bernama Panada. Aku tidak tahu asal-usul dari penganan itu. Yang aku tahu hanyalah, mengapa namanya seperti itu? Karena, penganan itu rasanya sanga pedas.

Isiannya Panada adalah sayur-sayuran dan lombok biji merah. Maka, banyak orang yang bilang, "jajanan favorit Tante Tuti dan komplotannya itu adalah hasil singkatan dari-PANAS DALAM!"

“NINAAA … ”

Teriakan Tante Tuti melengking, bersamaan suara knalpot mobil bus yang melaju kencang membawa aku kembali ke kota.

“HAHAHA!”

Mulut Tante Tuti dan Komplotannya pasti sudah terbakar, di belakang aku.

***

"Kring-kring"

Itu suara bunyi telepon dari ibu!

" ...,"

***

“Sekali lagi aku meninggalkan masalah besar untuk ibu, di kampung!”

 ***

SEKIAN






















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)