Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,523
Catatan Mas Doni
Komedi

"Kami memberi kalian waktu tiga bulan. Kalau tidak, kami akan tutup theme park itu!" ancaman dari Presiden Direktur yang ada di pusat.

Hal itu membuat tim manajemen "Happy Family Theme Park" kalang kabut. Mereka harus bekerja keras, memutar otak mencari solusi agar perusahaan tempat mereka tidak ditutup.

Wahana permainan yang merupakan tempat hiburan keluarga itu mengalami krisis keuangan karena sepinya pengunjung yang datang bermain ke dalam theme park dengan konsep indoor tersebut, setelah memasuki tahun ketiga, beroperasi!

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Ada yang punya solusi?" tanya pimpinan yang sedang pusing.

"Aku, Bu!" Manager Keuangan mengacungkan tangan.

"Silakan!"

"Aku punya dua jalan keluar, Bu!"

"Silakan, lanjut!"

"Pertama, kita kurangi jadwal operasional theme park. Kedua, kita potong gaji bulanan karyawan!"

"Keberatan! Aku rasa itu hanya solusi untuk mengurangi pembengkakan biaya produksi atau pengeluaran perusahaan, tapi tidak memberikan solusi untuk memperbaiki kelangsungan theme park ini,"Manajer Produksi, keberatan.

"Setuju! Misi kita sekarang adalah bagaimana membuat theme park ini tetap beroperasi. Ingat ada dua ratus kepala yang menggantungkan hidup di perusahaan ini!" timpal Manajer Personalia.

Terjadi perdebatan panjang antara petinggi perusahaan di dalam ruang pertemuan itu.

"Baiklah, setelah mempertimbangkan masukan dari kalian, maka, dengan ini aku sebagai Direktur Utama, pimpinan dari perusahaan ini memutuskan untuk menerima usulan Pak Nilwan selaku Manajer Keuangan yaitu … POTONG GAJI KARYAWAN!"

Polemik baru muncul setelah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Ibu Tirta Ningrum.

Nasib malang mengintai dua ratus karyawan yang menggantungkan hidup di tempat itu. Tidak terkecuali gadis yang bernama Alena. Gadis yang mem-provokasi semua karyawan untuk menolak keputusan pihak manajemen itu.

"Kita harus bertindak! Bagaimana bisa kita bekerja full time, sementara gajinya cuma setengah? Itu tidak akan cukup untuk makan sebulan. Kita mau bayar cicilan pakai apa? Sekarang mereka memotong gaji bulanan kita, besok mereka mengeluarkan kita. Jangan menunggu menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Mari tunjukkan perlawanan kita! Catat, nasib kita bukan ada di tangan mereka, akan tetapi, nasib mereka ada di tangan kita. Tangan para buruh kerja!"

Alena berhasil mempengaruhi pikiran teman-temannya, sesama karyawan theme park yang terdiri dari beberapa divisi. Mereka melakukan aksi demo dan mogok kerja.

Divisi yang paling merasakan imbas dari pemotongan gaji karyawan itu adalah karyawan yang satu divisi dengan Alena. Mereka terdiri dari, Customer Service bertugas di bagian depan, Kasir bertugas di loket penjualan tiket, dan Cast Member, petugas yang membantu pengunjung untuk bisa menikmati setiap wahana di dalam zona permainan.

Mereka juga divisi yang paling banyak jumlah karyawan. Oleh karena itu, massa yang paling lantang bersuara dari divisi tersebut, yang dipimipin langsung oleh Alena. Gadis pemberani yang dijuluki si "Wonder Girl".

"Sekarang kita harus bagaimana?" Ibu Tirta Ningrum terlihat berada di titik koma.

"Kita harus bertindak tegas, Bu! Ini sudah memasuki hari ketiga mereka mogok kerja," hasut Pak Nilwan.

"Operasional theme park lumpuh total, Bu. Tidak ada lagi pengunjung yang datang. Selain mereka mencekal setiap orang yang mau masuk, mereka juga menghentikan operasional theme park, Bu!" lapor Pak Mario selaku Manajer Produksi.

"Kalau kabar ini sampai di telinga pusat, habis kita, Bu!" celetuk Pak Nilwan.

"Ayolah, bantu aku. Semuanya berpikir! Cari solusi!" emosi Ibu Tirta Ningrum mulai naik.

"Aku masih ada usul, Bu!" Manajer Keuangan.

"Aku harap, ide kamu kali ini tidak makin mendorong perusahaan masuk ke jurang kehancuran!" ketus Ibu Tirta Ningrum.

"Kali ini, aku yakin akan berhasil, Bu." balas Pak Nilwan.

"Baiklah, aku berikan kesempatan satu kali lagi dan ingat, ini akan menjadi penentu dari kelangsungan hidup kita semua, di sini! Silakan!" Ibu Tirta Ningrum mempersilakan Pak Nilwan, bicara.

Orang yang sudah menyebabkan terjadinya pergolakan dari karyawan itu, akibat dari usulnya untuk pemotongan gaji karyawan.

Gagasan yang disampaikan Pak Nilwan, yang berstatus Manajer Keuangan di theme park, diterima oleh Ibu Tirta Ningrum.

"Baiklah kalau begitu, sampaikan kepada seluruh karyawan yang demo di luar itu, untuk menghentikan aksi mereka karena kita sudah bersedia memenuhi semua tuntutan mereka. Tidak akan ada pemotongan gaji bulanan karyawan!"

"Pak Nilwan, ikut ke ruangan aku! Kita harus bicara empat mata," ujar Ibu Tirta Ningrum.

***

Karyawan berpesta merayakan keberhasilan mereka. Karena tuntutan mereka dipenuhi. Alena menjadi sosok pahlawan baru yang diagung-agungkan di lingkungan kerjanya.

Akan tetapi mereka tidak tahu, kalau masalah lebih besar sedang mengintai mereka.

Hasil pertemuan empat mata antara ibu Tirta Ningrum dan Pak Nilwan, akan menjadi bom waktu yang segera meledak! 

***

Karyawan sudah kembali bekerja seperti biasa, meskipun kondisi theme park tetap sepi pengunjung. Mereka hanya memikirkan satu hal, yaitu gaji-an!

"Selamat siang! Selamat datang di tempat kami dan selamat menikmati!" Alena menyapa setiap pengunjung yang datang seperti biasa, gaya pecicilan, berbeda dengan tiga orang temannya yang lain.

 Kemudian di antara pengunjung yang datang ada rombongan lima orang anak muda, dengan penampilan yang nyentrik, ala-ala "Boy Band".

Lima orang pengunjung itu menguji kesabaran Alena dan kawan-kawan. Mereka dibuat kerepotan untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan yang menguras emosi.   

"Benahi itu rambut!" tegur salah satu pria kacamata hitam dari lima orang tersebut dengan judes, sebelum melewati pintu penghalang besi aluminium berputar, setelah rekam tiket atau kartu pengunjungnya berhasil terbaca oleh mesin pendeteksi.

Ulah pria berkacamata itu berhasil membuat kesabaran Alena habis. Namun sayang, gadis itu tidak bisa melampiaskan emosinya karena tertahan oleh pengunjung lain yang sudah cukup lama menunggu antrean di belakang, lima orang tersebut.

"Hari yang sial, aku harus bertemu orang seperti itu!" Alena menggerutu.

***

Rombongan lima orang pengunjung itu berkeliling di dalam theme park. Mereka mencoba semua permainan dan mengajak setiap karyawan yang bertugas di setiap wahana, berinteraksi.

Hal itu tidak pernah dilakukan oleh pengunjung biasa, yang datang hanya dengan tujuan bermain dan cari hiburan saja.

Lima orang itu adalah pengunjung misterius, yang punya misi tertentu.

***

"Selamat siang! Selamat datang! Selamat menikmati!" sambut Alena, seperti biasa ke setiap pengunjung yang datang.

Kali ini datang lagi rombongan empat orang pria berpenampilan lebih menarik lagi. Mereka menggunakan setelan ala-ala orang eksekutif. Berpenampilan sangat rapi. Tiga orang pria itu seperti Oppa Korea, memiliki tinggi rata-rata, kulit putih. Sedangkan satu pria di antaranya terlihat berbeda. Kulitnya sawo matang, lebih pendek dari teman-temannya. Wajahnya terlalu imut untuk ukuran pria, namun memiliki pembawaan jutek.  

"Maaf, tiketnya!" tegur Alena.

"Tiket?" timpal pria yang lebih kecil ketika hendak menyerobot masuk ke dalam theme park.

"Untuk masuk ke dalam, Anda harus punya tiket!" tegur Alena, “kalau tidak punya tiket, loket ada di sebelah kiri Anda. Silakan melakukan pembelian di sana!”

"Apakah atasan kamu tidak memberi tahu kalau kami adalah …," celetuk pria itu.

"Mas Doni, maaf, aku terlambat!" sahut seorang wanita yang berpenampilan seperti sekretaris tiba-tiba muncul dari belakang mereka dan memperlihatkan sesuatu kepada Alena.

"Silakan masuk, MAS DONI!" judes Alena.   

"Besok pakai gincu, ya!" pungkas pria kecil yang dipanggil Mas Doni itu dengan lirikan mata tajam langsung menghantam rasa harga diri Alena.

Kalimat pamungkas pria itu membuat Alena berpikir mereka adalah orang yang sama dengan pengunjung yang menyebalkan kemarin itu.

"Apakah benar, dia adalah orang yang sama" pikir Alena, menerawang.  

Tiba-tiba wanita yang mengaku sekretaris pria bernama Mas Doni itu, membuyarkan pikiran gadis resepsionis itu.

"ingat ya, catatan Mas Doni 'gincu'!"

***

Direktur dan seluruh staf kantor menyambut kedatangan Mas Doni beserta timnya. Mereka saling sapa satu sama lain.

Direktur menyambut mereka dengan perasaan harap-harap cemas "Selamat datang, Pak Doni!"

"Mas Doni, bukan Pak!" timpal sang sekretaris.

Sikap Mas Doni yang dingin membuat semua jajaran manajer seperti kucing yang terciduk ingin mencuri ikan. Mereka diam seribu bahasa. Hanya direktur yang aktif bicara.

"Baiklah, semuanya silakan duduk!" seru Ibu Tirta Ningrum.

"Kita langsung saja, ya! Aku sudah tahu penyebab kolapsnya theme park ini ... Attitude! Persoalan kalian ada pada attitude …," ketus Mas Doni

"Maksud Anda?" tanya Ibu Tirta Ningrum.

"Masalah kalian, terletak pada kinerja karyawan. Karyawan kalian seperti mayat hidup. Mereka tidak bersemangat kerja. Pengunjung membayar tiket mahal untuk masuk bermain di wahana dengan tujuan mencari hiburan. Bukan melihat pemandangan seperti kuburan!" sentil Mas Doni.

Ibu Ningrum dan jajarannya saling lempar pandang. Mereka heran dengan pernyataan orang baru itu.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" timpal Ibu Tirta Ningrum.

"Sebagai General Manajer yang khusus dikirim oleh pusat untuk menangani masalah di tempat ini maka, pertama yang akan aku lakukan adalah ... perombakan sistem. Aku akan merombak aturan-aturan lama dan cara-cara lama yang tidak lagi efektif diterapkan sekarang ini," ujar Mas Doni.

"Tetapi, kita tidak bisa melakukan itu tanpa persetujuan dari pusat!" sanggah Ibu Tirta Ningrum.

"Pusat sudah memberikan wewenang sepenuhnya kepada ku, untuk mengambil kebijakan apa saja, yang bisa membuat theme park ini bangkit kembali. Jadi kalian jangan risaukan itu!" timpal Mas Doni.

"Sistem apa yang akan Anda ubah?" tanya Ibu Tirta Ningrum.

"Apakah yang ada di kantor ini hanya Ibu Tirta Ningrum yang punya mulut. Dari tadi cuma beliau yang bicara. Ini maksud aku, tadi ... masalah attitude. Keenakan makan gaji buta!" singgung Mas Doni ke jajaran manajer yang hadir dalam pertemuan tersebut.

"Aku lanjutkan saja, ya!" celetuk Mas Doni.

"Kita akan meng-adaptasi gaya Broadway!" cetus Mas Doni.

"Broadway?" timpal semua yang ada dalam ruangan pertemuan itu.

"Yah, "B-ROAD-WAY"... semua akan menari, semua akan menyanyi, semuanya memainkan sandiwara. Alunan musik terdengar dimana-mana. Seluruh kawasan theme park akan disulap seperti negeri dongeng!" Mas Doni mempersentasekan idenya dengan semangat berapi-api. Pria berwajah imut itu tapi jutek itu, tidak menyadari menyita perhatian para hadirin peserta rapat karena bertingkah seperti orang yang sedang melakukan pertunjukan di atas panggung.

Semua kagum dengan ide cemerlang dari Mas Doni. Tepuk tangan mereka berikan sebagai bentuk apresiasi mereka, membuat pria itu merasa terciduk.

"Maaf, tadi itu hanyalah, intermeso saja, kita sampai dimana, tadi?" Mas Doni memperbaiki dasinya, sedikit grogi.

 "Mas Doni, apakah karyawan kita mampu melakukan itu? Itu mustahil, apalagi waktu kita hanya tiga bulan. Kita tidak bisa merubah mereka secara instan!" celetuk Pak Mawan.

"Mereka harus mampu. Harus bisa!" tegas Mas Doni.

"Kalau tidak … ?" timpal Ibu Tirta Ningrum.

"Kalau tidak, kita CUT mereka!" tegas Mas Doni.

Para manajer saling tatap. Mereka tidak yakin dengan rencana General Manejer muda yang suka dipanggil Mas Doni, utusan dari pusat itu.

"Aku sudah menyiapkan program pelatihan selama dua minggu untuk mereka yang terpilih," ujar Mas Doni lagi.

"Terpilih, maksud Mas Doni?" Pak Nilwan semakin penasaran dengan ide-ide cemerlang pria itu.

"Kita akan mengevaluasi kinerja karyawan secara diam-diam. Mereka tidak boleh tahu. Kemudian dari situ kita akan mengetahui siapa yang layak untuk tetap kita per tahankan. Selanjutnya kita akan memberikan mereka pelatihan kelas akting, menari, menyanyi, sulap, dan permainan musik baru mereka yang sudah memiliki keahlian itu!" Mas Doni menjelaskan.

"Bagaimana kalau itu tidak berhasil? Maksud aku, bagaimana kalau para karyawan yang mengikuti pelatihan itu tidak mampu mengikuti materi yang kita berikan?" tanya Ibu Tirta Ningrum.

"P-E-C-A-T, pecat mereka!" tegas Mas Doni, “dan … kita ganti dengan orang baru yang sudah jadi!"

 ***

Ibu Ratna Nigrum dan jajaran nya menyampaikan informasi hasil rapat itu kepada seluruh karyawan, melalui briefing karyawan yang dilakukan sekali seminggu. Tanpa menyinggung soal pemecatan.

"Apa? Itu mustahil!" seorang karyawan bersuara.

"Jadi kita semua harus menari?" timpal karyawan lainnya.

"Jual karcis saja harus joget dan menyanyi? Kalian sudah gila!" teriak salah satu karyawan yang duduk paling belakang.

"Jangan bilang kita semua harus memakai kostum badut!" cetus karyawan yang duduk di barisan tengah dan yang tak lain adalah, Alena!

Situasi menjadi riuh. Terjadi kericuhan antara karyawan dan pihak manajemen.

***

"Siapa gadis yang lantang bersuara itu?" tanya Mas Doni yang sedang memantau dari jauh.

"Diah Alena, karyawan yang bertugas di Zona Main Gate, CS!" jawab staf kantor yang bersamanya.

"Sepertinya dia akan menjadi ancaman bagi kita. Berbahaya kalau gadis itu kita biarkan saja. Tolong bawa dia ke hadapanku! Aku harus bicara dengannya," pungkas Mas Doni.

***

Keesokan harinya, dua orang asisten Mas Doni menghampiri Alena yang sedang bertugas. Mereka mengapit Alena seperti seorang pengawal. Dengan sikap yang tenang, salah satu dari mereka berbisik ke Alena.

Alena mengikuti mereka tanpa paksaan. Gadis itu bersikap biasa saja, meninggalkan teman-temannya yang sedang bertugas bersamanya.

"Bukan di situ!" tegur salah satu orang itu kepada Alena yang hendak ke ruangan Manajer Personalia.

"Belok kiri!" mereka mengarahkan Alena ke ruangan yang berlawanan arah dengan langkah kakinya.

Alena bingung dan kelabakan. Namun, kedua asisten Mas Doni tidak memberikannya kesempatan untuk bertanya. Mereka tetap menggiring gadis itu ke ruang yang tidak pernah dia masuki sebelumnya.

Kedua asisten Mas Doni itu, mengunci pintu dari luar setelah Alena sudah ada di dalam.

"Permisi, Pak?" Alena mencoba mengintip pria yang duduk membelakang di balik meja, dari jarak dua meter.

"Pak …, halo ada orang?" suara Alena semakin kencang.

"Diah Alena Putri Tenri Bali. Dua puluh empat tahun. Lulusan Sarjana Komunikasi, Strata Satu. Status …," suara lantang dari orang yang ada di balik kursi hitam itu terdengar seperti sedang membacakan pemenang kontes kecantikan.

Gadis yang bekerja sebagai seorang resepsionis itu kaget. Alena merasa suara orang yang ada di balik kursi itu tidaklah asing.

Otak Alena masih sibuk berselancar mencari tahun itu suara siapa, namun sebelum sampai pada titik pencahariannya, orang itu berbalik badan ke arah Alena.

Gadis pemberani itu kaget bukan kepalang. Mukanya memerah. Matanya melotot, bibirnya kaku. Ternyata orang yang bersembunyi di balik kursi itu adalah salah satu pria dari lima orang pengunjung, yang sudah berselisih dengan dirinya, kemarin itu.

"Kamu!" tunjuk Alena.

"Yang sopan, sama atasan!" tegur Mas Doni, menunjuk papan pengenal yang ada di depannya dengan bertuliskan “GENERAL MANAGER”.

"Ah ... tidak, ini tidak mungkin!" gumam Alena.

General Manager yang tak lain adalah Mas Doni. Nama yang sudah dia dengarkan sebelumnya dari sekretaris pria itu, ketika gadis itu menghalanginya masuk ke dalam lokasi theme park karena tidak memiliki tiket.

Mas Doni membanting map warna kuning di atas meja yang ada depannya. Alena kaget.

"Gadis yang vokal!" cetus Mas Doni.

Wajah Alena memerah. Perasaannya campur aduk.

"Benar, ini kamu?" tanya Mas Doni memastikan orang di dalam lembaran foto yang ada di tangannya itu, sama dengan gadis yang berdiri di depannya.

"Itu aku dua tahun lalu, pak!" jawab Alena, pelan.

"Ya, aku tahu itu pasti bukan kamu yang sekarang. Berkat foto editan kamu ini, kamu bisa masuk bekerja di dini. Kamu berhasil menipu orang personalia dengan foto kamu itu." sentil Mas Doni.

"Maaf, pak …," timpal Alena.

"Aku tidak butuh pembelaan kamu!" Ketus Mas Doni.

"Diah Alena Putri Tenri Bali. Nama yang unik. Aku tahu arti dari nama kamu itu. Tenri Bali, ‘tidak ada lawan’ betul kan?" Mas Doni menatap tajam Alena.

Alena kaget, tidak percaya pria di depannya itu tahu arti dari namanya yang merupakan pemberian dari Sang kakek itu.

"Maaf, tujuan Anda memanggil aku ke sini, apa?" nada suara Alena mulai meninggi.

"Oh, ternyata kamu gadis yang tidak sabaran juga, ya!" celetuk Mas Doni.

"Aku curiga Anda adalah GM gadungan, karena sebelumnya General Manajer kami tidak seperti ini cara dia memperlakukan karyawan!" tegas Alena, memancing amarah Mas Doni.

"Jadi kamu meragukan aku. Baiklah, aku tegaskan, ya … kalau aku ini adalah orang yang dikirim oleh Presiden Direktur, untuk menggantikan posisi General Manager theme park ini yang sudah tidak becus mengurusi karyawan seperti kamu, sehingga mengantarkan perusahaan pada jurang kehancuran!" tegas Mas Doni.

Alena merasa tersinggung dan tidak tahan lagi berada di ruangan itu. Gadis itu memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu tanpa pamit.

"Mau kemana kamu? Aku belum selesai!" suara Mas Doni meninggi, membuat Alena semakin geram.

"Aku tidak punya waktu meladeni orang seperti Anda!" tegas Alena, menantang.

"Aku perintahkan kamu untuk duduk … du-duk!" Pria itu membentak Alena.

Sejenak hening. Alena mematung. Begitu juga dengan Mas Doni. Kemudian suara pintu diketuk dari luar.

"Kami belum selesai!" Mas Doni membentak sekretarisnya yang hendak masuk.

Melihat situasi itu Alena mulai panik.

"Mau kemana, duduk?" Mas Doni berusaha mengendalikan suara dan menurunkan emosinya.

Alena tidak punya pilihan lain, dia pasrah dengan kondisinya saat itu. Gadis itu mengikuti perintah pria di depannya. Alena seperti sedang duduk di kursi pesakitan.

"Baiklah, aku to the poin saja. Aku juga tidak bisa lama-lama menghabiskan waktu dan tenaga bersama gadis berdarah panas, di ruangan ini,"ujar Mas Doni yang kembali duduk di balik meja kerjanya dan meraih sebuah buku catatan, miliknya dari dalam laci meja.

"Diah Alena putri Tenri Bali. Gadis 24 tahun. Posisi Public Relation, bagian Resepsionis. Terhitung sejak theme park ini beroperasi."

"Aku akan membacakan rekam jejak kamu selama bekerja di sini. Kamu memiliki banyak sekali catatan negatif…," kicau Mas Doni. "Disiplin waktu, minus kerapihan berpakaian, minus attitude, minus penampilan, minus kebersihan, minus loyalitas pada perusahaan, minus ...."

Alena tidak berkutik mendengarkan pernyataan yang dilontarkan oleh bos barunya tersebut. Dia tidak bisa menyangkal karena pria itu yang dimusuhi itu sudah menyerang titik kelemahannya.

Akan tetapi yang namanya Alena, tidak akan diam begitu saja. Walau sudah jatuh dia akan tetap melakukan perlawanan.

"Aku tidak terima dengan pernyataan Anda itu. Anda tidak punya bukti. Tidak ada data yang memperkuat pernyataan Anda itu!" timpal Alena.

"Baiklah, kalau pernyataan aku tadi, tidak benar, maka kamu perlu melihat ini!" Mas Doni menyodorkan sebuah buku catatan kecil berwarna biru, berisi kertas warna warni dengan catatan-catatan dari tulisan tangan, menggunakan tinta hitam. 

Alena terperangah melihat catatan-catatan tangan Mas Doni yang mengulas habis tentang dirinya. Dia tidak percaya, pria yang baru saja dikenalnya itu bisa mengetahui semua kelakuan buruknya selama bekerja.

***

Seluruh karyawan berkumpul di depan pintu ruang loker yang letaknya di samping kantin. Ada papan pengumuman khusus untuk karyawan di sana. setelah pihak manajemen menempelkan selembar kertas putih A4 yang berisikan sebuah pengumuman penting. Satu per satu karyawan yang sedang makan di kantin mendekati papan pengumuman itu. Tidak terkecuali Alena bersama temannya yang penasaran dengan informasi itu.

"Besok semua karyawan diwajibkan masuk pagi, dan harus mengenakan kostum olahraga. Bagi yang tidak datang, akan dikenakan sangsi!" isi dari pengumuman di majalah dinding (MADING) itu.

Terjadi keriuhan di depan papan pengumuman itu, dan merambat sampai ke kantin, sebelah. Karyawan bingung, mengapa tiba-tiba mereka diminta untuk melakukan itu?

"Aku tidak punya baju olahraga. Kamu sendiri kan tahu, aku orangnya seperti apa?" ujar Alena pada temannya, Arin.

"Tenang! Besok aku akan bawakan milik kakak ku. Secara badan kalian sama modelnya," timpal teman Alena.

"Arin, kamu memang paling tahu yang aku pikirkan!" Alena merangkul sahabatnya tersebut.

***

Hari Kelima Kedatangan Mas Doni

Semua karyawan berkumpul di depan pelataran Theme Park Happy Family yang besar dan megah itu. Satu jam sebelum jam operasional di buka!

Sebelum memulai kegiatan pagi itu, General Manager memberikan arahan. Kemudian mereka melakukan olahraga bersama.

Hari itu baik staf kantor, maupun karyawan theme park melebur menjadi satu. Pakaian yang mereka pakai menghilangkan perbedaan status mereka sehingga tidak ada rasa canggung antara karyawan di lapangan dengan karyawan yang bertugas di dalam kantor.

Kegiatan olahraga sudah selesai, pihak manajemen yang bertindak sebagai panitia, menghibur mereka dengan memberikan game yang menarik. Tentu saja membuat semua karyawan bergembira di pagi yang cerah itu.

Mereka dibagi menjadi lima kelompok. Lalu membentuk barisan antrean. Kemudian satu per satu maju, mempersentasikan gerakan mereka sesuai dengan musik yang di putar oleh pihak panitia.

Di tengah euphoria karyawan itu, dari tempat parkir datang seorang gadis yang tergopoh-gopoh dengan menggunakan baju kaos yang kebesaran dan celana Jeans warna biru, tali sepatu belum diikat, rambut masih berantakan, dan muka bantal. Gadis yang sedang kebingungan itu, harus masuk di barisan yang mana? Adalah, Alena. Yah, lagi-lagi Alena!  

Melihat situasi itu, Mas Doni meminta asisten pribadinya untuk menahan gadis itu dan menjauhkan dirinya dari barisan karyawan.

Alena harus menerima perlakuan asisten Mas Doni yang menggiringnya menyingkir dari tempat tersebut. Gadis itu tidak melakukan perlawanan, karena mengingat dirinya memang sudah melakukan pelanggaran besar. Dia terlambat lebih dari satu jam, dan tidak mengikuti kegiatan dari awal, yaitu senam bersama dikarenakan, ketiduran. Bangun pagi adalah masalah terbesar baginya. Oleh karena itulah, dia selalu memilih masuk siang daripada pagi. Pembagian jam kerja menjadi dua bagian itu sangat menguntungkan untuk gadis itu.

Alena harus menelan ludah karena pihak panitia tidak melirik dirinya sedikit pun, sampai kegiatan itu berakhir.

 Mas Doni dan timnya langsung masuk ke dalam office. Mereka melakukan meeting dadakan. Sementara karyawan dibiarkan masih di luar, menikmati sisa pagi sebelum mereka harus kembali bekerja.

"Sekarang kita sudah mendapatkan nama-nama karyawan yang layak kita per tahankan dan yang harus tersingkir dari perusahaan ini," ungkap Mas Doni di depan direktur dan para manajer.

Direktur dan Manager Personalia memeriksa nama-nama yang Mas Doni tunjukkan dalam kertas catatan miliknya.

Manager Personalia kaget, "Diah Alena …."

"Kita sudah tidak bisa memberikan toleransi ke gadis itu. Selain dia berbahaya karena suka mem-provokasi teman-temannya untuk menolak setiap kebijakan yang kita buat, dia juga memiliki attitude yang buruk. Tidak ada gunanya mempertahankan orang seperti itu!" tegas Mas Doni.

Terjadi perdebatan sengit antara Mas Doni dengan Pak Mawan, Manajer Personalia, idola para karyawan.

Meeting mereka itu harus terhenti karena suara keributan dan musik dari luar.

Mas Doni dan timnya berjalan keluar untuk mencari tahu dari mana sumber suara ribut itu.

 Terjadi kerumunan massa. Para karyawan membentuk lingkaran dan sedang menonton sebuah pertunjukan.

Setelah melalui usaha yang cukup keras, Mas Doni dan sekretarisnya berhasil menembus kerumunan massa itu.

Pria dengan pembawaan ketus itu, kaget. Dia terperangah melihat gadis yang sudah ia masukkan dalam daftar catatan hitamnya, sedang menari Hip-Hop bersama beberapa orang temannya, sesama karyawan. 

Mas Doni tidak percaya gadis yang dikenalnya malas bergerak itu, sangat energik dan memiliki penampilan yang memukau dalam menari.

Pria itu meraih sebuah buku catatan dan pulpen dari tangan sang sekretaris.

Matanya tidak henti-henti melihat ke arah Alena yang masih saja asik dengan bergerak tanpa menyadari kedatangan dirinya itu.

Tanpa harus membuka lembar demi lembar, Mas Doni langsung menemukan letak halaman yang dia inginkan dalam buku itu.

Sang sekretaris mencuri pandang ke arah tangan si bos yang mencoret sebuah nama dari daftar karyawan yang akan diberhentikan.

Kali ini, Alena selamat!

Akan tetapi, kurang lebih dari dua ratus orang karyawan lainnya tidak menyadari, nasib mereka sedang di ujung tanduk. Mereka larut dalam suasana kegembiraan, hari itu.

***

Pihak manajemen kembali mengumpulkan semua karyawan di sebuah ruangan yang khusus dipakai ketika melakukan pertemuan besar-besaran, antar semua karyawan dan pihak manajemen.

Manager Personalia mengambil alih pertemuan itu. “Silakan buka kertas yang sudah dibagikan tadi!”

Serentak karyawan membuka kertas yang ada di tangan mereka.

"Bagi yang mendapatkan kertas bertanda centang biru, silakan berdiri dan mengambil posisi di tribune sebelah kanan!" seru Pak Mawan.

Karyawan-karyawan itu bingung dengan apa yang terjadi. Alena menjadi bagian dari karyawan yang mendapat tanda contereng. Sementara Arin dan beberapa teman dekatnya tidak ikut bergeser ke kanan.

Mereka saling lempar tatapan penuh tanda tanya.

Kemudian mereka yang tetap di tempat mendapat lagi selembaran kertas yang di selipkan di dalam amplop panjang ukuran ….

Berbagai ragam reaksi muncul dari para karyawan, setelah membaca isi surat dalam amplop itu.

Alena semakin penasaran apa yang terjadi ketika melihat Arin menangis. Sementara yang lainnya, ada yang terlihat syok, dan ada juga yang cuma diam, menutup mulut dan wajah mereka.

Pak Mawan menyampaikan sepatah-kata, "Kami sangat menyesal karena kerja sama kita di perusahaan ini, tidak bisa lagi kita lanjutkan, per tanggal satu bulan depan … terima kasih atas dedikasi kalian … kami dari pihak manajemen minta maaf atas keputusan ini ..., untuk urusan administrasi selanjutnya, kami tunggu kalian di office!"

***

Alena datang sangat pagi. Sebelum jam operasional theme park dibuka. Gadis itu sudah tahu kalau Mas Doni pasti sudah ada di office pada waktu itu. Secara dia orang yang sangat disiplin waktu, bahkan selalu hadir satu jam lebih dulu.

Bukan Alena namanya, kalau hanya tinggal diam melihat penderitaan orang lain. Gadis itu menyerobot masuk ke dalam ruangan Mas Doni yang dihadang oleh sekretarisnya.

"Minggir!" ketus Alena. Tangannya menghempas tubuh langsing sekretaris cantik tersebut.

"Biarkan dia masuk!" sahut Mas Doni yang sedang sibuk di meja kerjnya. "Tinggalkan kami berdua!"

Alena yang pemberani menggumbrak meja General Manager tiga puluh tahun itu.

"Anda manusia paling kejam yang pernah aku temui! Apa yang Anda lakukan terhadap mereka itu tidak ber-perikemanusiaan? Cabut surat pemecatan mereka! Biarkan mereka kembali bekerja. Mereka mau makan apa?" suaranya bergetar karena amarah.

Mas Doni dengan sikap dingin memandangi gadis yang emosi di hadapannya itu.

"Kamu sudah selesai? … kalau sudah tidak ada lagi yang bisa kamu katakan, silakan, keluar! Aku sedang sibuk."

Sikap Mas Doni itu semakin membuat emosi gadis itu meledak.

"Aku tidak akan keluar dari sini, sampai Anda menarik kembali surat pemecatan mereka!”?"

"Gadis keras kepala!" Mas Doni meletakkan pulpennya di meja, pria itu tetap bersikap tenang. "Perusahaan tidak punya uang untuk menggaji orang-orang tidak produktif seperti mereka. Kami lebih baik merekrut orang baru yang fresh graduate daripada memelihara orang-orang yang sudah tidak menguntungkan buat kami."

"Apa yang Anda tahu tentang mereka? Anda GM baru di sini. Anda tidak mengenal kami dengan baik!" timpal Alena.

"Jangan membuang waktu kamu, untuk memperjuangkan teman-teman kamu yang sudah tidak produktif itu!" Mas Doni menatap tajam mata Alena. "Lebih kamu fokus pada dirimu sendiri, jadi karyawan yang baik …, kalau kamu tidak ingin bernasib sama dengan mereka!"

"Anda kira aku takut kehilangan pekerjaan!” Alena menantang. “Aku lebih baik keluar dari tempat ini daripada harus bekerja tanpa mereka!"

Mas Doni menghela nafas panjang. "Gadis yang egois!"

"Hari ini juga, aku akan membuat surat pengunduran diri!" pungkas Alena yang masih dalam keadaan emosi, meninggalkan ruangan General Manager.

Mas Doni meminta sekretarisnya untuk menghubungi Manajer Personalia.

***

"Apa pun caranya, gadis itu harus tetap di sini!” tegas Mas Doni. “Tahan surat pengunduran dirinya!"

"Baik, Mas Doni,_ timpal Pak Mawan.

"Gadis itu adalah aset perusahaan … dia masa depan theme park ini," Mas Doni menjelaskan panjang lebar dengan berapi-api.

Pak Mawan dan sekretaris Mas Doni saling menatap. Mereka heran melihat sikap General Manager yang terkenal jutek itu, bisa bersikap lunak pada gadis sekeras Alena.

***

Alena kembali dihadapkan dengan Mas Doni yang dikenalnya sebagai pria super jutek itu. Gadis itu bagaikan seorang terdakwa yang duduk di kursi pesakitan dikelilingi oleh jaksa penuntut umum, tanpa seorang pengacara di depan dewan hakim.

"Kalau kalian menyetujui syarat yang aku ajukan, maka, aku akan tetap bertahan di perusahaan ini dan mengikuti permintaan kalian!" tegas Alena.

Mata Mas Doni dan Pak Mawan saling adu pandang dan memberi isyarat.

Mas Doni menarik nafas, “Well, kami menerima permintaan kamu ... tetapi ingat janji kamu!

"Ini kontraknya, silakan baca!" timpal Pak Mawan menyodorkan kertas berisi surat perjanjian.

"Dalam dua minggu, kamu dan mereka … harus berhasil. Kalau tidak …, mohon maaf …. Mereka harus harus GET OUT dari tempat ini!" Tukas Mas Doni.

"Anda jangan khawatir ... aku akan membuat mereka menjadi apa yang Anda inginkan!” Alena menghela nafas …, “dua minggu!"

***

Alena mengumpulkan semua teman-temannya yang bermasalah itu, di dalam wahana rumah hantu, setelah, jam operasional theme park selesai sebelum pulang mereka diam-diam mengadakan pertemuan di sana. Meskipun, tampak seram, namun tempat itu diyakini Alena sebagai tempat paling aman untuk menghindar dari pengawasan Mas Doni.

Gadis itu menyampaikan hasil kesepakatan dirinya dengan pihak manajemen.

"Jadi seperti itu ceritanya!" Alena seperti sedang melakukan pertunjukan monolog. “"Tolong bantu aku … ini adalah pertarungan terakhir kita. Kita harus tetap bersama-sama ada di sini … ingat ini rumah kedua kita! Kita layak ada di sini … kita pemilik tempat ini!"

Gaya bahasa gadis itu berhasil membangkitkan semangat teman-temannya lagi dan mereka bersedia untuk mengikuti pelatihan fisik, dua minggu bersama Alena.

***

Setelah jam operasional theme park selesai, Alena dan kumpulan karyawan yang terancam ditendang keluar itu, ke tempat yang sudah ditentukan oleh pihak manajemen, dengan kostum ala orang-orang yang mau fitness.

Mereka sudah dijemput oleh tim pelatih yang tak lain … adalah, Mas Doni dan empat orang asisten pribadinya. 

Alena syok setelah mengetahui siapa yang akan melatih mereka, ditambah lagi dia mengetahui, kalau Mas Doni dan timnya itu adalah rombongan pengunjung menyebalkan yang tempo hari, berselisih dengan dirinya.

"Mereka? jadi, dia itu … ?" Alena gagu melihat Mas Doni dan timnya memakai pakaian yang sama ketika pertama kali datang ke tempat kerjanya itu.

"Bagaimana ... kalian sudah siap?" tanya Mas Doni menghampiri mereka.

“Aaa ..., aku …. Kami …, kami, siap!” jawab Alena terbatah-batah.

"Well, selamat datang peserta training, Pengembangan Keterampilan Karyawan. Di sini kalian tunjukkan diri kalian layak untuk kami pertahankan. Jangan sia-siakan kesempatan terakhir ini!" sambut Mas Doni dengan nada meremehkan.

Alena tidak berkutik karena terikat beberapa poin isi perjanjian.

"Bacakan peraturan yang mereka harus patuhi selama … dua minggu ke depan!" perintah Mas Doni pada sekretarisnya.

***

 Hari Pertama Masa Training.

Materi Latihan Olah Tubuh.

Semua peserta harus melakukan latihan fisik yang keras. Sama seperti yang dilakukan oleh calon anggota militer. Mereka diwajibkan melakukan push-up, sit-up dan lari, yang masing-masing sebanyak seratus kali.

Latihan hari pertama membuat mereka merasakan sakit di seluruh badan. Mereka menganggap latihan yang diberikan oleh tim pelatih tidaklah wajar. Itu terlalu berat bagi mereka. Bukan sesuai porsi seorang karyawan wahana permainan. Mereka mengeluhkan hal itu pada Alena.

"Kalau tiap hari seperti ini, sepertinya aku tidak tahan!" keluh Arin.

"Iyya Ale, latihan fisik ini sangat tidak mau akal, kita ini bukan tentara, tapi kita ini penjaga wahana, yang tugasnya bantu pengunjung untuk naik-turun, masuk-keluar dari tempat permainan," sahut yang lainnya.

"Aku ini punya pekerjaan penjaga kora-kora, bukan tentara!" celetuk teman Alena yang bernama Joni, dengan logat khas daerahnya.

"Aku akan menandatangani surat pemecatan itu, aku mundur, aku tidak sanggup lagi!" timpal karyawan yang lainnya lagi.

"Ini bukan cuma pertarungan kalian, tapi pertarungan aku. Pertarungan kita! Mari tunjukkan ke orang-orang pusat itu, kalau orang-orang dari kota kecil seperti kita ini, juga bisa sama seperti mereka."

Gadis itu mendatangi teman-temannya satu per satu, yang masih menjalani hari-hari terakhir mereka bertugas, untuk memberikan support.

Entah ilmu apa yang dimiliki gadis itu, setiap kata-katanya sangat ampuh mempengaruhi orang yang mendengarnya.

***

Hari Kedua Masa Training

Materi ... hanya Mas Doni yang tahu.

Mas Doni dan timnya heran melihat Alena muncul bersama tim yang lengkap. Latihan fisik yang keras pada hari pertama tidak membuat satu pun dari peserta pelatihan itu gugur. Walaupun, mereka muncul dalam kondisi ada yang encok, keseleo, nyeri leher, sakit pada lengan, keram di paha, dsb.

"Wow …, mereka hebat juga!" Mas Doni tersenyum jahat. "Keluarkan materi kedua untuk mereka!" perintah Mas Doni ke asisten nomor duanya, yang sedang mengutak-atik laptop di depannya.

"Semuanya ambil posisi, ya! Kita akan streaching hari ini …, ini bagus untuk melatih kelenturan otot kalian!" seru asisten nomor satu Mas Doni.

Tangkapan layar di dinding, hasil pembiasan dari proyektor yang dinyalakan oleh asisten kedua Mas Doni, menayangkan materi yang akan mereka praktikkan hari itu.

Mata semua peserta terbelalak. Mereka menelan ludah, melihat video seorang wanita menunjukkan tutorial meluruskan kedua kaki ke samping, atau istilah kerennya, "split".   

"Oh tidak …." celetuk Arin, memandangi Alena.

"Plis, Rin … jangan lakukan itu, kamu pasti bisa! Kita bisa!" Alena menggenggam tangan Arin dan meyakinkan teman-temannya yang tidak berjumlah sedikit itu.

***

Hari ketiga, keempat, kelima, …, ketujuh mereka lewati dengan pola pelatihan yang semakin beragam dengan materi-materi yang berat, namun mereka mulai terbiasa dengan keadaan itu. Walaupun harus berlangsung dramatis, dipenuhi keluh-kesah, tangis pilu, rasa sakit, dan perdebatan-perdebatan kecil.

***

Hari Kedelapan Masa Training.

Mas Doni membuka pertemuan hari kedepan itu dengan meng-absen satu per satu, nama-nama peserta training.

Satu orang yang tidak hadir. Dia dinyatakan gugur. Alena tidak berdaya untuk menyelamatkan satu dari temannya itu.

Alena dan yang lainnya saling bergandengan tangan. Mereka saling menguatkan untuk mendengarkan evaluasi dari Mas Doni setelah melewati minggu pertama.

"Selamat … kalian …," Mas Doni diam dan menarik nafas, "LOLOS, ke … tahap berikutnya!"

Sontak semua peserta berpelukan. Suasana yang penuh haru itu berlangsung singkat. Mas Doni belum selesai bicara.

"Jangan senang dulu! PR baru menunggu kalian!" tukas Mas Doni. "Alena ikut dengan kami ….” sambung Mas Doni.

***

"Aku tidak yakin kita bisa melakukan ini dalam satu minggu ke depan!" lirih Alena mulai frustasi, karena tugas yang diberikan oleh Mas Doni semakin berat.

"Ale, aku yakin kita bisa!" Arin mencoba mengembalikan percaya diri sahabatnya yang mulai pesimis.

"Tanpa kamu, kami tidak akan sampai di titik ini, Alena!" sahut teman-temannya yang lain.

Giliran Arin dan teman-temannya yang menyemangati Alena.

***

Alena kembali keruangan yang dikelilingi cermin besar itu. Ruangan full AC itu menjadi saksi akan kerja keras mereka demi menaklukkan tantangan demi tantangan yang berikan oleh Mas Doni dan timnya.

Alena mengeluarkan sebuah naskah drama musikal yang diberikan oleh tim trainer.

Pertama gadis itu lakukan adalah meng-audisi, teman-temannya. Setelah semuanya kebagian peran. Alena mulai masuk ke tahap reading naskah.

Mereka menyimak dengan serius arahan-arahan yang diberikan oleh Alena. Gadis itu memperagakan gerakan demi gerakan yang harus dilakukan setiap tokoh dalam naskah itu.

Berbagai aksi lucu dari para peserta dalam memperagakan gerak dan dialog yang Alena ajarkan kepada mereka, tak pelak mengundang tawa dari semua peserta, sehingga mampu mengubah atmosfer dalam studio itu.

Sedikit demi sedikit mereka mulai bergerak mengikuti arahan dari Sang Sutradara, Alena.

Mereka, menari, menyanyi …, bersenda gurau bersama. Sentakan kaki mereka menggetarkan lantai studio. Suara mereka menggetarkan dinding kaca.

Mereka bergerak tanpa rasa canggung dan di bawah tekanan. Karena tidak ada orang lain yang mencampuri mereka di dalam studio. Mas Doni dan timnya, sudah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab itu ke Alena.

***

Hari terakhir telah tiba. Mas Doni beserta jajarannya, menagih janji Alena. Telah tiba waktunya meng-evaluasi Alena dan timnya.

Bagi Alena, hari itu adalah hari pertempuran terakhir dirinya dalam memperjuangkan nasib teman-temannya yang terancam kehilangan pekerjaan.

"Apa pun hasilnya, nanti, yang terpenting kita harus tetap tampil maksimal ... kita tunjukkan kepada mereka, kalau kita masih tetap lebih baik daripada orang-orang baru!" Alena memberikan briefing  ke timnya sebelum mulai pertunjukan mereka di depan pihak manajemen, khususnya, Mas Doni!

***

Alena dan timnya berhasil membuat Mas Doni dan jajarannya harus menerima kekalahan. Mereka harus mengakui kehebatan gadis yang berhasil membawa teman-temannya kembali berstatus sebagai karyawan di Theme Park Happy Family, itu.

***

Alena dan teman-temannya kembali bekerja seperti biasa dengan sistem operasional theme park yang baru. Berkat pelatihan dua minggu yang Mas Doni dan timnya berikan, menjadi bekal mereka, sehingga mampu beradaptasi dengan cara baru yang diterapkan perusahaan dalam menarik minat pengunjung datang ke theme park itu. 

***

Mas Doni berhasil mengubah sistem operasional Theme Park Happy Family menjadi ala "Broadway".

Semua karyawan bekerja dengan mengenakan kostum tematik, sesuai dengan wahana permainan yang mereka tempati bertugas.

Terdengar musik berbeda-beda di setiap zona. Sesuai tema zona masing-masing.

Setiap satu jam sekali, mereka menggelar pertunjukan, menari dan menyanyi bersama untuk menghibur para pengunjung yang sedang bermain.

Setiap karyawan harus aktif berinteraksi dengan pengunjung. Memperlakukan pengunjung dengan baik. Mereka harus bersikap ramah dan santun.

***

Mas Doni berhasil menarik kembali pengunjung untuk datang bermain di dalam “Theme Park Happy Family” sebelum masa tenggang waktu yang diberikan oleh pusat, habis.

Theme park itu ramai kembali. Alena sebagai front liner kewalahan menerima tamu yang tidak henti-hentinya mengalir seperti air di musim hujan.

 Penyambutan pengunjung yang dilakukan berbeda dengan sebelumnya. Mereka harus melakukan mempersembahkan tarian penjemputan tamu "opening dance", setiap saat.

***

"Kita butuh orang yang harus menjadi kepala divisi Pelatihan dan Pengembangan Diri Karyawan, yang baru saja kita bentuk ini," ujar Ibu Tirta Ningrum selaku Direktur Theme Park Happy Family.

***

"Tugas itu sangat berat, aku tidak yakin bisa melakukannya dengan baik!" Alena berusaha menolak tawaran dari pihak manajemen untuk menjadikan dirinya sebagai pimpinan dari divisi baru tersebut.

"Kami tidak menemukan orang yang cocok menempati posisi itu selain kamu!" timpal Ibu Tirta NIngrum.

"Tapi Bu …," bantah Alena.

"Ini adalah amanah dari Mas Doni!" pernyataan Direktur itu membuat Alena kehabisan kata. "Silakan baca kembali poin terakhir dari perjanjian yang telah kamu tanda tangani, sebelumnya!"

***

Alena masuk ke ruang office dengan saat bersemangat, mencari keberadaan Mas Doni, dan … membawa surat perjanjian yang pernah ditanganinya di depan Mas Doni.

"Anda cari siapa?" tegur sekretaris Mas Doni.

"Aku mau ketemu Mas Doni," balas Alena, tersenyum.

"Maaf, Mas Doni sudah pergi!" timpal sang sekretaris.

"Pergi … kemana?" tanya Alena.

"Mas Doni sudah kembali ke Jakarta. Kantor pusat sudah menariknya kembali. Anak cabang perusahaan yang ada di luar negeri, mengalami masalah besar. Mas Doni harus ke sana, menyelesaikannya!” pungkas sang sekretaris.

Alena syok mendengarkan kabar dari wanita itu.

"Ibu Alena …," teriak asisten satu Mas Doni. "Ini untuk Anda dari Mas Doni."

Pria yang terburu-buru mengejar pesawat itu, menghilang dari pandangan Alena, bersama sekretaris Mas Doni.

"Selamat menjalani tugas yang baru. Aku yakin kamu bisa! Pilihan aku tidak pernah salah …," Alena menitikkan air mata membaca catatan tangan dari Mas Doni tersebut.

"Ingat satu hal, ya, … jangan malas-malasan lagi! Satu lagi, pakaiannya yang rapi, harus rajin setrika baju! Masih ada lagi, jangan suka pakai salah sepatu, kaos kaki jangan lain sebelah! Tambah lagi, pakai make-up dulu sebelum ke kantor, rambutnya disisir dulu, dan terakhir … jangan lupa pakai gincu, ya!" Alena tersenyum.

"Satu lagi … yang paling terakhir, catatan tambahan untuk kamu …, ‘kamu gadis istimewa!’" Pungkas catatan Mas Doni.


CATATAN MAS DONI …


"SELESAI!"








Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)