Masukan nama pengguna
Seorang pemuda bernama Li Wei tinggal di sebuah desa kecil di pinggir laut Tiongkok pada zaman Dinasti Ming.
Dikenal sebagai sosok yang murah hati dan selalu siap membantu siapa saja, Li Wei sering merasa gelisah. Dia merasa hidupnya dikendalikan oleh orang lain, dan hatinya terasa kosong meski selalu dikelilingi oleh orang-orang.
Suatu hari, Li Wei bertemu Master Zhang, seorang bijak tua yang tinggal di ujung desa. Master Zhang, adalah seorang biksu Buddha yang dihormati karena kebijaksanaannya. Li Wei mengutarakan kegelisahan hatinya kepada Master Zhang.
"Master Zhang, aku merasa seperti terjebak dalam hidup. Aku selalu berusaha membantu orang lain, tapi kenapa aku merasa tidak bahagia?" Tanya Li Wei dengan suara yang penuh kebingungan.
Master Zhang tersenyum dan berkata, "Li Wei, hidup ini adalah perjalanan yang penuh dengan pelajaran. Kebaikan yang kau lakukan harus tulus, tidak mengharapkan balasan atau pujian. Setiap kebaikan, adalah bagian dari perjalanan hidup.”
“Tapi bagaimana caranya agar aku merasa tenang dan bahagia?" Li Wei bertanya lagi.
"Setiap manusia harus mempunyai sumbu kehidupan, yaitu kendali atas nafsu dan pikiran. Jika kau bisa mengendalikan sumbu kehidupanmu, yang merupakan penyambung jiwa, maka kau akan bisa mengarahkan hidupmu menuju pencerahan. Pikiran, adalah musuh terbesar manusia. Pikiran yang negatif bisa membuat hidup kita kacau," jelas Master Zhang.
Master Zhang lalu bercerita tentang seorang pelaut yang terjebak di tengah lautan yang luas, "Bayangkan dirimu seperti pelaut itu. Jika kau tidak memiliki tali untuk mengendalikan perahumu, kau akan terombang-ambing oleh ombak dan arus lautan. Sumbu jiwa, adalah kendali atas dirimu sendiri, agar kau tidak terhanyut oleh pikiran dan perasaan negatif.”
Li Wei mulai memahami apa yang dimaksud oleh Master Zhang.
"Jadi, aku harus belajar mengendalikan pikiranku dan tidak membiarkan hidupku dikendalikan oleh orang lain atau perasaan negatif?" Tanyanya.
"Benar sekali. Jadilah dirimu sendiri. Tutup keburukan dari dirimu sendiri, dan jangan biarkan hal buruk menguasai hidupmu. Yang baik terimalah, yang buruk buanglah. Tapi ingat, semua itu adalah proses belajar. Kebaikan, adalah hasil belajar dari yang buruk, dan yang buruk bisa kembali menjadi baik," jawab Master Zhang dengan lembut.
Hari demi hari, Li Wei mulai mengubah cara pandangnya. Dia belajar untuk tidak hanya membantu orang lain, tapi juga menjaga dan mengendalikan pikirannya sendiri. Dia menyadari bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari pujian atau penghargaan orang lain. Selain itu, Master Zhang juga mengajarkan Li Wei berbagai jurus kungfu yang memungkinkannya untuk mempertahankan diri dari bahaya, yang mungkin juga bisa dimanfaatkan oleh Li Wei untuk membantu sesama dari berbagai hal buruk.
***
Suatu hari terjadi tragedi yang mengguncang desa mereka. Putri seorang saudagar kaya di desa itu, Mei Ling, hilang diculik oleh sekelompok bandit saat sedang berjalan di pasar. Desas-desus mengatakan bahwa bandit tersebut menuntut tebusan besar kepada saudagar kaya itu. Namun, saudagar itu tidak memiliki uang sebanyak yang diminta dan sangat terpukul dengan kejadian itu.
Sang saudagar menawarkan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa menyelamatkan putrinya. Li Wei merasa terpanggil untuk membantu. Meski banyak yang mengatakan bahwa Mei Ling sudah pasti hilang akan tetapi Li Wei tidak menyerah. Dia merasa bahwa ini adalah ujian bagi dirinya, untuk membuktikan bahwa dia bisa mengendalikan sumbu jiwanya dan menghadapi lautan kehidupan.
Li Wei mendatangi Master Zhang untuk meminta nasihat.
"Master Zhang, aku ingin mencari Mei Ling. Aku merasa ini adalah panggilan jiwaku, tapi aku juga takut. Bagaimana jika aku gagal?" Tanya Li Wei cemas dengan suara gemetar.
Master Zhang menatap Li Wei sembari berkata, "Li Wei, ketakutan adalah bagian dari perjalanan. Yang terpenting adalah kau tidak menyerah pada ketakutan itu. Kau harus percaya pada dirimu sendiri dan pada sumbu jiwa yang kau miliki. Jangan biarkan pikiran negatif menguasaimu. Ingatlah semua latihan yang telah kita lakukan.”
Li Wei mengangguk dan memutuskan untuk berangkat. Dia mencari informasi dari penduduk desa dan menemukan bahwa bandit-bandit tersebut bersembunyi di sebuah gua yang tersembunyi di balik bukit di pegunungan Kunlun. Li Wei tidak gentar meskipun tahu bahwa perjalanan yang akan ditempuh akan berbahaya.
Malam itu, Li Wei menyelinap keluar dari rumahnya dan berjalan dengan cepat menuju bukit tempat gua itu berada. Bulan purnama memberikan cahaya redup yang cukup untuk membantunya melihat jalan. Setelah berjalan beberapa jam, Li Wei akhirnya tiba di dekat gua yang tersembunyi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Li Wei bersembunyi di balik batu besar, menahan napas. Dua bandit berjalan melewatinya, berbicara tentang tebusan dan apa yang akan mereka lakukan jika tidak mendapatkannya. Li Wei merasakan detak jantungnya semakin cepat, tapi dia tetap tenang dan menunggu mereka pergi.
Setelah yakin bahwa jalan sudah aman, Li Wei melanjutkan perjalanannya menuju gua. Ketika dia mendekati pintu masuk, dia melihat dua bandit lain yang berjaga. Dengan hati-hati, Li Wei mengambil batu kecil dan melemparkannya jauh ke sisi lain, menciptakan suara yang cukup keras untuk mengalihkan perhatian mereka.
Saat para bandit pergi untuk memeriksa sumber suara, Li Wei menyelinap masuk ke dalam gua. Di dalam, dia melihat Mei Ling diikat pada tiang kayu, wajahnya pucat dan ketakutan. Li Wei berlari ke arahnya dan mulai melepaskan ikatannya.
"Mei Ling, aku di sini untuk menyelamatkanmu," bisik Li Wei dengan suara penuh tekad.
Mei Ling membuka matanya yang lelah dan melihat Li Wei. "Aku takut. Mereka akan membunuh kita!" Katanya dengan suara bergetar.
"Tidak, kita akan keluar dari sini," jawab Li Wei sambil terus bekerja melepaskan ikatan Mei Ling. "Kita harus cepat sebelum mereka kembali."
Namun, rencana mereka hampir terbongkar ketika salah satu bandit masuk ke dalam gua. Li Wei dengan cepat menarik Mei Ling ke sudut gelap, menahan napas saat bandit itu berjalan melewati mereka tanpa menyadari keberadaan mereka.
Ketika bandit itu pergi, Li Wei dan Mei Ling berlari keluar dari gua. Tapi tidak lama kemudian, teriakan marah terdengar dari dalam gua. Bandit-bandit itu menyadari bahwa Mei Ling hilang. Mereka mengejar dengan kecepatan tinggi.
"Mereka akan menangkap kita!" Teriak Mei Ling dengan panik.
"Kita harus percaya dan tetap tenang," kata Li Wei dengan suara yang penuh keyakinan. Dia mengingat nasihat Master Zhang tentang kendali atas pikiran. Dengan ketenangan, dia berhasil mengendalikan kudanya dan membawa mereka menjauh dari gua itu.
Bandit yang marah terus mengejar dengan kuda mereka. Saat mereka hampir terkejar, Li Wei memutuskan untuk melawan. Dia menghadap ke arah bandit yang datang, menarik napas dalam-dalam, dan mengambil posisi siap bertarung.
Pertarungan sengit terjadi di tengah hutan. Li Wei menunjukkan keahliannya dalam kungfu, bergerak dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Dia menggunakan jurus-jurus yang telah dipelajari dari Master Zhang. Dengan gerakan yang lincah, Li Wei berhasil melumpuhkan beberapa bandit dengan pukulan dan tendangan yang kuat.
Pemimpin bandit, yang merupakan ahli kungfu juga, maju untuk menghadapi Li Wei. Mereka bertarung, setiap pukulan dan tendangan disambut dengan serangan balik yang sama kuatnya.
Li Wei kemudian melancarkan satu gerakan cepat yang mematikan, dan berhasil melumpuhkan pemimpin bandit, membuat yang lain mundur ketakutan.
Li Wei dan Mei Ling akhirnya berhasil kembali ke desa dengan selamat. Saudagar kaya menangis bahagia melihat putrinya kembali dengan selamat. Dia menghujani Li Wei dengan ucapan terima kasih dan memberikan hadiah besar berupa sebidang tanah yang luas, emas, sutra, dan perhiasan berharga. Namun, Li Wei menolak hadiah itu.
"Saya melakukan ini bukan untuk hadiah tetapi karena panggilan hati saya," kata Li Wei dengan tulus.
Saudagar itu terkejut mendengar penolakan Li Wei, "Li Wei, kau telah menyelamatkan nyawa putriku. Tanah ini, emas, dan perhiasan hanyalah sebagian kecil dari rasa terima kasihku. Tolong terimalah!” Desak saudagar tersebut.
Li Wei tetap bersikeras menolak, tapi akhirnya dia setuju menerima sedikit dari hadiah tersebut sebagai tanda penghargaan dan persahabatan, bukan sebagai pembayaran atas jasanya.
Master Zhang bangga melihat sikap Li Wei, karena Li Wei telah menemukan sumbu jiwanya dan menggunakannya untuk kebaikan. Li Wei tidak hanya menyelamatkan Mei Ling, tapi juga berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dari lautan keraguan dan ketakutan.
***
Beberapa bulan berlalu, Li Wei memanfaatkan sebidang tanah yang diberikan oleh saudagar itu untuk membangun sebuah dojo kecil. Di sana, dia mengajarkan ilmu kungfu dan kebijaksanaan yang dipelajari dari Master Zhang kepada anak-anak desa. Dojo itu menjadi tempat bagi anak-anak untuk belajar bukan hanya seni bela diri, tetapi juga nilai-nilai moral dan pengendalian diri.
Li Wei selalu ingat kata-kata Master Zhang: "Jadilah dirimu sendiri. Jangan biarkan pikiran negatif menguasaimu. Genggam erat sumbu kehidupanmu, dan kau akan menemukan jalanmu."
Li Wei telah mengerti bahwa hidup, adalah perjalanan penuh pelajaran, dan sumbu jiwa, adalah kunci untuk mengarungi lautan kehidupan.
**Tamat**