Masukan nama pengguna
Sudah berbulan-bulan sejak Raka pertama kali berkenalan dengan Dinda. "Wanita yang istimewa," pikirnya. Tapi ada yang berbeda akhir-akhir ini—Dinda semakin jarang ditemui.
Telepon Raka bergetar, dan sebuah pesan dari Dinda masuk.
"Raka, aku gak bisa datang malam ini. Harus lembur, maaf banget."
Ini sudah kali ketiga Dinda membatalkan rencana mereka. Raka mengetik balasan, tetapi kali ini, ada rasa ragu yang tumbuh di dadanya.
"Besok aja kalau kamu sempat," balas Raka, meskipun hatinya bertanya-tanya, apa benar setiap bari kerja lembur terus?
—
Setelah Dinda membatalkan rencana makan malam, Raka memutuskan untuk berjalan-jalan. Di ujung jalan, dia melihat sosok yang familiar—Dinda. Tapi ada yang aneh. Dinda tidak sendiri. Dia terlihat tertawa bersama seorang pria.
Raka membeku. Matanya tak lepas dari mereka berdua yang berjalan beriringan. Pria itu merangkul bahu Dinda, sementara Dinda tertawa, seolah dunia mereka berdua sempurna.
Hati Raka mencelos, namun dia tidak ingin gegabah. Ia memilih untuk mengawasi dari kejauhan, rasa penasaran mengalahkan rasa sakitnya.
—
Esok malamnya, Raka tidak tahan lagi. Saat Dinda mengirim pesan meminta maaf lagi, Raka langsung menelponnya.
“Aku harus bicara sama kamu. Ini penting,” suaranya bergetar. Ada kemarahan yang ia coba tahan.
“Raka, aku minta maaf banget. Aku benar-benar sibuk,” suara Dinda terdengar lelah, tapi seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Raka menarik napas panjang, “Aku lihat kamu sama pria lain kemarin. Siapa dia?”
Keheningan menyelimuti telepon. Detik-detik berlalu seolah mengiris jiwa Raka. Hingga akhirnya, Dinda berkata dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Kamu nggak seharusnya melihat itu...”
—
Akhirnya mereka bertemu. Raka menunggu di tempat pertemuan mereka. Dinda datang dengan wajah murung, berbeda dari senyum yang biasa ia tunjukkan.
“Aku gak tahu harus mulai dari mana,” Dinda menunduk, menghindari tatapan Raka.
“Kamu sudah mulai dengan bohong. Jadi kenapa gak dilanjutkan aja?” Raka menatapnya tajam.
Dinda mendesah panjang, “Pria yang kamu lihat itu… Dia adalah tunanganku. Aku tidak pernah cerita karena aku gak tahu bagaimana mengakhirinya.”
Raka terdiam, matanya terbelalak, “Tunanganmu? Jadi selama ini kamu—”
“Aku sayang kamu, Raka. Tapi ini bukan tentang perasaan. Pernikahan ini sudah direncanakan sejak lama. Aku gak punya pilihan,” air mata mengalir di pipinya.
Raka berdiri, tubuhnya gemetar, “Kamu bilang kalau kamu gak punya pilihan, tapi kamu tetap memilih untuk membohongiku.”
Dinda menggeleng, “Aku gak tahu harus bagaimana. Aku mencoba menghindari pernikahan ini, tapi keluargaku terus memaksaku.”
Raka tersenyum getir, “Mungkin kamu yang memang gak mau memilih. Kamu memilih untuk membohongi aku dan tunanganmu. Apa kamu pikir aku akan terus bertahan dengan kebohongan ini?”
Dinda menangis semakin keras, tapi kali ini Raka tidak tergerak untuk menghiburnya, “Aku ingin mencintai kamu. Tapi bukan seperti ini.”
Raka lalu meninggalkan Dian sendirian, bersama dengan segala luka dan kebohongannya.
—
Bulan-bulan berlalu sejak perpisahan, Raka mencoba melanjutkan hidupnya, meski bekas luka di hatinya masih terasa. Ia mulai mendekati orang-orang baru, kembali ke rutinitasnya, meskipun bayangan Dinda selalu menghantuinya di sudut pikirannya.
Hingga suatu malam, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Dinda.
"Aku sudah membatalkan pertunanganku. Aku gak bisa hidup dengan kebohongan. Tapi aku juga gak berharap kamu menerimaku kembali."
Raka membaca pesan itu berkali-kali, mencoba meresapi maknanya. Dia ingin marah, tapi di satu sisi, dia juga mengerti rasa sakit yang Dinda alami. Namun, luka di hatinya juga terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata.
Raka memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Dinda, “Biarlah,” pikirnya, “Mungkin ini cara terbaik untuk menyembuhkan diri.”
—
Waktu terus bergulir, Raka bertemu dengan Dinda di sebuah pesta pernikahan. Kali ini, mereka hanya saling tersenyum kaku, seolah kenangan di antara mereka hanyalah bayangan yang mulai pudar.
“Aku akan pindah ke luar negeri,” kata Dinda, “Aku butuh waktu untuk memulai dari awal.”
Raka mengangguk pelan, “Semoga kamu menemukan yang kamu cari.”
Dinda tersenyum lemah, lalu pergi meninggalkan pesta tanpa menoleh lagi.
—
Raka kini mulai menjalani hidup dengan lebih ringan. Perasaannya sudah lebih tenang. Meskipun ada bagian dari dirinya yang memang belum sepenuhnya sembuh, namun ia mulai terbiasa dengan keheningan setelah kehilangan Dinda. Langit penuh bintang yang dulu terasa sendu kini berubah menjadi lambang kebebasan baru.
Akan tetapi, hidup ternyata tidak selalu seperti yang direncanakan. Suatu pagi, Raka mendapat sebuah surat. Bukan surat elektronik, melainkan surat fisik yang dikirim ke rumahnya. Tidak ada nama pengirim, hanya kertas dengan tulisan tangan yang rapi:
"Raka, jika kau masih peduli, temui aku di tempat kita pertama kali bertemu. Aku akan menunggu. -D."
Raka terkejut. Pikirannya berputar. Apakah ini dari Dinda? Atau hanya permainan iseng seseorang? Namun, rasa penasaran yang menggerogoti hatinya terlalu kuat untuk diabaikan.
—
Raka, dengan perasaan campur aduk, pergi ke tempat yang dimaksud. Sebuah taman kecil di dekat kafe tempat dia dan Dinda pertama kali bertemu. Saat sampai di sana, Raka melihat sosok wanita yang duduk di bangku taman, membelakanginya.
Dia mendekat, dan saat wanita itu berbalik, hatinya hampir berhenti.
“Dinda?” Tanyanya dengan suara bergetar.
Namun, wanita itu menggeleng, “Bukan, aku Riri, saudari kembarnya.”
Raka tertegun. Dia tidak pernah tahu bahwa Dinda punya saudara kembar, “Kamu saudara kembarnya Dinda? Kenapa aku gak pernah dengar soal kamu?”
Riri tersenyum tipis, sedikit sedih, “Dinda gak pernah cerita karena hubungan kami memang tidak begitu baik. Kami sudah terpisah sejak kecil. Tapi baru-baru ini, aku mulai mencari jejaknya. Aku tahu tentangmu dari pesan-pesan terakhir Dinda sebelum...”
Raka merasa dadanya sesak, “Sebelum apa?”
Mata Riri mulai berair, “Dinda meninggal. Kecelakaan mobil beberapa minggu lalu.”
Dunia Raka seakan runtuh, “Meninggal? Tapi aku baru saja menerima pesan darinya…”
Riri mengeluarkan sebuah ponsel dari tasnya, “Itu bukan dari Dinda. Itu dari aku. Tidak lama setelah Dinda meninggal, aku menemukan pesannya untukmu di ponsel Dinda. Dia selalu merasa bersalah karena tidak bisa jujur padamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa dia benar-benar mencintaimu, Raka. Walaupun dia tidak bisa melawan keluarganya, dia menyesal tidak bisa bersama kamu.”
Air mata mulai mengalir di wajah Raka. Hatinya terasa kosong, seperti diambil oleh kegelapan yang tidak bisa ia lawan.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih cepat?” Suaranya hampir tidak keluar.
Riri menunduk, “Aku sendiri butuh waktu untuk menerima kenyataan bahwa saudara kembarku sudah meninggal.”
Raka merasa seluruh tubuhnya menggigil. Semua kenangan tentang Dinda datang menghantamnya seperti ombak besar. Mimpi mereka, percakapan hangat, bahkan perpisahan yang begitu pahit—semua itu terasa seperti ilusi sekarang.
—
Beberapa hari setelah pertemuan, Raka tidak bisa melepaskan pikirannya dari kenyataan pahit yang baru dia ketahui. Meski demikian, dia berusaha menerima kepergian Dinda dengan damai. Tidak ada gunanya menyimpan dendam atau penyesalan. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang masih belum sepenuhnya selesai.
Suatu hari, ketika Raka berjalan-jalan di taman yang sama, ia melihat Riri lagi, kali ini duduk di bangku yang biasa ia duduki bersama Dinda. Mereka saling menyapa dengan senyum samar.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Riri.
Raka mengangguk, “Aku akan baik-baik saja. Kamu?”
Riri tersenyum, “Aku juga sedang belajar menerima semuanya.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Riri sedikit berbeda dengan Dinda. Riri memiliki sikap lebih lembut. Kelembutan Riri mampu memberikan Raka rasa nyaman. Sebuah rasa yang juga tidak diduga oleh Raka.
Malam itu, saat mereka berdua berbincang di bawah langit penuh bintang, Raka menyadari sesuatu—bahwa meski Dinda telah pergi, kehadiran Riri seakan memberikan kesempatan untuk Raka membuka lembaran baru.
Bintang yang dulu pernah hilang kini kembali bersinar, walaupun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun tidak ada yang bisa menggantikan cinta pertama, namun kehadiran Riri mampu menumbuhkan harapan di kehidupan Raka, tanpa menghapus kenangan tentang Dinda.
Raka belajar bahwa cinta yang hilang bukan berarti akhir dari segalanya. Kadang, bintang yang kita cari sudah ada di depan mata, hanya perlu waktu untuk menyadarinya.
–TAMAT–