Masukan nama pengguna
Ungku Idris adalah seorang lelaki tua yang penuh luka. Rambutnya putih berseling keabu-abuan memanjang hingga tengkuk. Kain hitam terikat di kepala. Menahan angin yang menerpa mahkotanya. Kain hitam itu telah memudar warnanya. Sepudar cahaya kehidupan yang memancar dari tubuh penuh luka itu. Selembar parut luka melintang di pipi hingga rahang kanannya, segaris pendek luka membusung di bahu kanannya, sedang tangan kanan Ungku Idris sendiri juga tidak bisa menegak lurus, “Ini patah, terguling-guling dari tebing, saat peluru Belanda berdesing-desing,” Selalu kalimat itu yang meluncur dari bibir hitam menembakau milik Ungku Idris.
Usia dan luka di tubuh Ungku Idris menyimpan berlaksa kisah. Itulah kenapa, Ungku Idris, lelaki tua yang penuh luka dari Kampung Rubakat itu sangat dikenal sebagai pribadi yang suka berkisah.
Konon, Ungku Idris dulu juga seorang pejuang mengusir penjajah dari negeri ini. Beberapa berkas darahnya pernah berceceran di antara tebing-tebing di kiri-kanan Kampung Rubakat kami, kisahnya kepada siapa saja, juga pada kaum kanak-kanak. Sayang, dalam kisahnya pula Ungku Idris bertutur bahwa dirinya tidak masuk dalam daftar para pejuang yang disusun pemerintah dua-tiga puluhan tahun lalu.
Dari kisahnya, kita mahfum hal itu karena komandan gerilya pemimpinnya telah gugur, teman-temannya juga banyak yang gugur, sementara yang selamat; Ungku Idris, tidak menahui di mana rimbanya sekarang. Sehingga, tak ada seorang pun yang bisa bersaksi tentang kisah perjuangan Ungku Idris. Sementara, kepala Kampung Rubakat saat itu sangat dendam padanya. Hal ini karena Ungku Idris pernah dua pekan menginap di sebuah rumah tumpang di kota dengan istri kepala Kampung Rubakat. Ungku Idris mengurai akar dendam kepala Kampung Rubakat saat itu kepadanya sembari tertawa bangga. Biasanya, ketika Ungku Idris berkisah tentang lika-liku hidupnya dengan para perempuan, termasuk juga dengan istri kepala Kampung Rubakat dua-tiga puluhan tahun lalu, kami hanya saling pandang dan tenggelam dalam ketidakmahfuman.
Kami, kaum kanak Kampung Rubakat suka sekali mendengar ketika Ungku Idris berkisah. Ungku Idris berkisah tentang banyak hal. Ungku Idris berkisah tentang raja-raja, ratu-ratu, pangeran-puteri leluhur Kampung Rubakat. Ungku Idris juga berkisah tentang kepahitan masa kanaknya ketika tentara Belanda suka mondar-mandir ke rumah Mak Izzah. Kata Ungku Idris, karena keponakan-keponakan perempuan Mak Izzah ada belasan, cantik-cantik, dan biasa diajak menginap di rumah tumpang oleh lelaki.
Di sebuah senja yang layu oleh mendung, terburu-buru saya berlari dari ladang ke rumah, ku tinggalkan amak di belakang. Awan berarak bergumpal-gumpal di atas langit Kampung Rubakat mendesak agar langkah lari ku percepat. Padi yang dijemur di samping rumah harus segera kuringkas dan berlindung di atap rumbia belakang rumah.
Lepas dari sungai kecil batas Kampung Rubakat, saya melihat salah satu akrabku. Dia juga berlari. Dia membersit dari dalam belantara jagung yang telah kuning milik Haji Sufyan. Saya segera berseru dan melambai. Akrabku itu sontak mematungkan kakinya, lehernya menengok ke arahku,
“Ahoy,” balasnya, saya mensejajarkan diri sesegera mungkin, napas kami berdua beradu dalam ketersengalan. “Ada apa?”
“Saya mau meringkas padi, lalu kau? Mengapa berlari seperti mengejar pencuri?!”
“Buru-buru saya pulang, mengisi bak air, mandi,”
“Ada apa, kau hendak ke kota? Hari sudah senja, kawan,”
“Tadi, di ladang, ada kabar, Ungku Idris punya kisah baru!!”
“Benar??” di antara ketersengalan napas kami, saya sulit untuk meyakini, Ungku Idris punya kisah yang baru. Sudah sepurnama ini, Ungku Idris selalu mengulang-ulang kisahnya. Tak ada yang baru. “Kalau kisah tentang mak Izzah dan keponakan-keponakannya, saya segan. Siapa yang mengabar???”
“Kanak yang suka mencari ikan di lubuk. Mereka yang mengabar. Kau tidak yakin?” akrabku itu meninju tiang perkawanan kami, kepercayaan. Saya tidak mengangguk, juga menggeleng. “Lepas maghrib, kita tidak mengaji ke empunya ladang jagung ini, kita ke rumah Ungku Idris. Bagaimana? Rasanya engkau kurang yakin, Kawan!!” kemudian saya mengangguk.
Selepas tengadah melihat mendung yang menggayut di atas Kampung Rubakat, kami hendak menegaskan lari kami kembali. Sesuatu di dalam kepalsaya mengingatkan akan kebersamaan kaum kanak-kanak di Kampung Rubakat, “Kabarkan juga pada yang lain!!”
“Kau juga!!” akrabku berseru setelah mengangguk. “Ahoy….”
“Ahoy…” saya membalas dan kemudian menempelkan kaki-kaki kijang di betis. Kami berlari sekuat mungkin. Ada tenaga baru yang membuat langkah lariku lebih ringan dari sebelumnya. Di dekat pohon mangga yang biasa kami ayun dahannya kala berbuah lebat, saya dan akrabku menceraikan tujuan. Langkah lari kutegas ke arah rumahku, sedang akrabku menebas pekarangan penuh bunga putri malu yang berduri agar sesegera mungkin sampai ke rumahnya. Lepas maghrib kelak kami rujuk kembali di rumah Ungku Idris.
*****
Sarung kulipat rapi memanjang. Sebagai kanak yang memimpi tentang kesegeraan menjadi teruna Kampung Rubakat, lipatan sarung memanjang itu lalu terkalung di leher. Saya mematut sebentar di depan cermin. Apa saya sudah setampan Uda Midun atau Uda Maun, jawara sepak raga yang berani melawan Kumpeni. Ungku Idris acap kali berkisah tentang dua jawara muda itu.
Dengan lebih dulu mengencangkan tali ikat galempongnya, Ungku Idris senantiasa menyenandungkan tuturnya; tutur tentang kejawaraan Uda Midun dan Uda Maun. Ungku Idris senantiasa mengawalinya dengan senandung ini:
“Midun seorang muda yang sangat digemari orang di kampungnya. Budi pekertinya amat baik dan tertib sopan santun kepada siapa jua pun. Tertawanya manis, sedap didengar; tutur katanya lemah lembut. Ia gagah berani lagi baik hati, penyayang dan pengasih, jarang orang yang sebaik dia hatinya. Sabar dan tak lekas marah, serta tulus ikhlas dalam segala hal. Hati tetap dan kemauannya keras; apa yang dimaksudnya jika tidak sampai, belum ia bersenang hati. Adalah pula padanya suatu sifat yang baik, yakni barang siapa yang berdekatan atau bercampur dengan dia, tak dapat tiada senang hatinya, hilang sedih hati olehnya. Karena itu, tua muda, kecil besar di kampung itu kasih dan sayang kepada Midun. Hampir semua orang di kampungnya kenal akan dia. Sebab itu namanya tergantung di bibir orang banyak, dan budi pekertinya diambil orang jadi teladan.” **)
Kami kaum kanak Kampung Rubakat demikian hafal dengan senandung ini, hingga saat kantuk menjelang di perdelapan pertama malam, saya sendiri sering berharap bisa seperti Uda Midun dan Uda Maun. Meski hanya dalam mimpi.
“Adzan sudah berkumandang, cepatlah kau ke surau!” suara Amak menggeletar dari dapur. Saya menyadar.
“Iya, Mak,”
“Adiak kau tadi apa sudah kau siapkan pula sarungnya?”
“Muhsin juga shalat di surau?!” saya mengkerutkan dahi. Jika Muhsin ikut shalat di surau, alamat saya tidak bisa berdusta kalau tidak mengaji hari ini.
“Iya, sudah masuk usia Muhsin, Mahmud! Kau menjadi uda selayaknya tahu sejak lampau,” suara amak terdengar mendekati pintu kamar. “Bantulah amak. Sepeninggal abak kau, kaulah yang menjadi panutan Muhsin!” nampaknya amak telah merasakan engganku.
Ah, amak telah mengeluarkan kalimat mujarabnya. “Sepeninggal abak, sayalah yang menjadi panutan Muhsin.” Entah telah berapa ratus kali, telinga saya mendengar kalimat mujarab itu dari bibir amak. Kalimat itu seperti menuntut sesuatu yang lebih yang bisa saya lakukan kepada rumah, kepada amak, kepada Muhsin. Agak merah juga telinga ini setiap amak mengeluarkan kalimat mujarab itu.
Tapi, bukankah saya telah membuat ikrar dengan akrabku untuk pergi berkelompok ke rumah Ungku Idris. Ada kisah baru. Pandangan mata menumbuk pada bayangan kerutan dahi di cermin yang kian menebal. Saya memutar otak agar Muhsin tidak harus ikut shalat di surau petang ini. Di mana juga Muhsin sekarang?
“Sudah gagah anak amak. Berlama di depan cermin seperti Wan Sendari ***) saja. Apa kau benar-benar menaruh hati pada Hafidzah?” goda amak, perempuan yang tampak lebih tua dari usianya itu sudah berdiri di pintu kamar. “Jika iya, kerja keraslah dulu. Buktikan pada keluarga Haji Sufyan, anak lelaki amak ini sigap mengumpul rejeki!”
Rasanya pipiku merona merah karena malu. “Amak! Apalah saya ini, kencing saja belum lurus. Apalagi siapa juga Hafidzah itu, Amak? Bak bintang di langit. Muhsin kemana, Amak?” aku coba kelokkan bincang.
“Di balai-balai, dia baru saja mengaduh, perutnya sakit. Dia tadi makannya banyak. Sambal lado amak tadi tandas.” Saya memintal pelangi di dalam benak. Saya tak harus membuat dusta tambahan agar Muhsin tidak ikut shalat di surau petang ini. Berdusta itu dosa. Kadar dosa itu kian besar jika kita berdusta kepada orang tua yang mengandung kita selama sembilan purnama sepuluh hari, begitu kata Haji Sufyan kepada kami yang mengaji di rumahnya. Muhsin sendiri sakit. Dia tidak akan pergi ke mana-mana petang ini, “Mengapa kau senyum-senyum sendiri, Mahmud??!”
“Amak, apa iya?”
Saya menyahut sembari melangkah keluar kamar. Telingaku mendengar langkah amak mengikuti di belakang. “Eh, Mahmud, selepas mengaji nanti langsung pulang. Jangan kemana-mana! Apalagi main ke rumah Ungku Idris!” langkahku mematung tanpa saya sengaja.
“Mengapa??”
Amak mendekat dan membelai rambutku yang mulai memanjang, daun telingaku sekarang sering terasa geli. “Orang-orang di ladang tadi bertutur, Ungku Idris punya kisah baru yang tak patut didengar. Tak elok pula jika anak keturunan keluarga kita mendengarkan kisah itu,”
“Mengapa , Amak?” kepala kecilku terasa susah menerima tuturan amak.
“Kisah baru Ungku Idris, kata orang-orang di ladang senja tadi, konon tentang anjing. Mengisah tentang anjing di kampung Rubakat harus hati-hati, Mahmud. Laluhua tidak meridhoi segala hal tentang anjing. Apalagi dikisah-kisah! Penutur dan pendengar kisah itu akan dihantu mimpi buruk. Tidur tak nyenyak karena kutukan mengikuti. Amak takut, apa yang menjangkit pada abak juga ungku-mu menjangkitimu. Abak dan ungku-mu tak jelas makamnya hingga sekarang,” wajah amak terlihat gundah. Matanya memerah. Air mata menumpuk di pelupuk. Namun, tidak jatuh berlinangan.
“Ungku Idris pernah bilang, Amak, kampung Rubakat tak akan megah jika warganya mengikat kepala kuat-kuat,” tanpa menyadar, saya membalas kalimat ingat dari amak.
“Mahmud!! Kapan kau terakhir bersua dengan Ungku Idris?” nada suara amak mengandung kekhawatiran. “Apa kau sendirian? Atau berkelompok dengan kaum kanak-kanak Kampung Rubakat yang lain??”
“Sepekan lalu. Dengan yang lain, Amak,”
“Seharusnya, Ungku Idris dengan luka-lukanya tahu betapa tajam taring-taring anjing!!” suara amak meninggi.
Saya tak berani menatap mata amak. Bibir mengunci rapat. Beberapa kalimat yang hendak meluncur menghantam dinding yang saya bangun sendiri. Bola mata amak yang basah seperti ingin banyak berkisah tentang luka di masa lampau.
Saya sadar, amak bukanlah Ungku Idris tua yang piawai berkisah kepada siapa saja di Kampung Rubakat. Hanya mata basah amak yang senantiasa mengikuti kakiku, tak bisa saya tepikan begitu saja.
Saya mengucap salam kepada amak. Setelah menengok sebentar wajah Muhsin yang terbujur lunglai di balai-balai, saya meninggalkan rumah dengan gundah juga ragu menggunung. Apakah saya harus menunaikan ikrar senja tadi di ladang jagung dengan akrabku? Ataukah menuruti sebagaimana tuturan amak? Tabir di balik kisah baru Ungku Idris melambai menggoda, sedang bayang air mata di pelupuk mata amak menahan dengan perkasa.
Suara adzan telah berganti iqamat, tapi gundah ragu yang menggunung belum juga menjadi paUngku Idris rumput yang lapang. Lewat kelokan basah karena hujan, surau yang saya tuju telah hadir di ruang panUngku Idris. Akrabku terlihat tergopoh masuk surau. Rambutnya basah. Wajahnya basah. Dia telah mengambil wudhu. Saya menurut kemudian. Dalam doaku nanti, saya ingin Tuhan memberikan jalan.
*****
Di balik dinding papan kayu lepau Makcik Siti, kami sekelompok berjongkok. Remang cahaya obor yang sengaja kami tancap di pinggir jalan menyembunyikan rona raut wajah-wajah kami, kaum kanak Kampung Rubakat. Sembilan pasang lutut beradu dalam lingkaran sempit. Tak ada suara. Bagai ikan dalam bubu, kami semua hanya berbincang dengan kedap-kedip kelopak mata kecil. Kami semua digulung alun bimbang juga takut. Bukan karena aku menyambung khawatiran amak pada yang lain. Tetapi, ada yang lain yang juga memperingati kami agar jangan dekat-dekat dengan Ungku Idris, apalagi mendengarkan kisah barunya.
Hanya nyamuk-nyamuk yang bebas beterbangan di antara kami, di antara tanah basah Kampung Rubakat.
Turun surau tadi, Pakcik Sulaiman, bilal tanpa tanding di Kampung Rubakat meminta kami semua tetap di tempat. Pakcik Sulaiman berujar bahwa dirinya hanya mengusung amanah dari tetua-tetua Kampung Rubakat, menjadi benang penaut ke telinga-telinga kaum kanak seperti kami. Dia berujar bahwa Ungku Idris sekarang menjadi api yang harus dijauhi oleh warga Kampung Rubakat. Sesuatu yang mudah membakar, sudah sepatutnya untuk dijauhi. Kami dilarang dekat-dekat dengan Ungku Idris.
“Jika dekat-dekat, panas, bahkan bisa terbakar! Ungku Idris telah melakukan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya dan warga Kampung Rubakat lainnya. Tahukah kalian, apa itu?!” Sebagaimana biasanya kami mendengar kata-kata orang tua, tak satu pun dari kami memberikan jawab. Meski saya yakin, tak hanya saya di antara kami yang telah mengetahui sebabnya. “Selama ini, Ungku Idris memang telah berkisah banyak. Tentang hikayat-hikayat, atau tentang perempuan-perempuan yang kurang pantas dikisahkan. Tapi kisah-kisah itu tidak berpaut dengan orang besar, tak ada kait dengan anjing.”
Sikut akrabku terasa menanduk di perut. Saya meringis sembari melirik ke arahnya. Benar, akrabku ini nampaknya juga sudah mahfum apa penyebab larangan ini. Tatapan mata Pakcik Sulaiman dilempar ke arahku. “Mahmud! Apakah amak kau sudah melarangmu?!” Saya mengangguk pelan. Pakcik Sulaiman menyunggingkan senyum. Senyum yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
“Meski kami semua yang tua-tua ini sudah lama mahfum bahwa tidak semua kisah-kisah Ungku Idris itu ada benarnya, namun kami biarkan saja, bukankah seseorang itu ingin dianggap ada dengan cerita yang dikisahkannya?
Ungku Idris adalah warga Kampung Rubakat yang teraniaya. Hidupnya penuh dengan kenestapaan. Berkisahlah yang membuatnya tetap bercahaya hingga kini. Tuhan lalu menganugerahinya panjang usia, kesehatan raga, dan keberterimaan warga Kampung Rubakat dari berkisah. Tapi berkisah tentang anjing, itu sesuatu yang berbeda, benar-benar berbeda. Di masa lalu, abak dan ungku Mahmud sudah menjadi korbannya, juga beberapa warga Kampung Rubakat yang lain,” hatiku seperti disengat kalajengking saat Pakcik Sulaiman menyebut abak dan ungku-ku.
Apa dulu abak dan ungku pergi juga karena kisah tentang anjing, seperti halnya Ungku Idris?
Pakcik Sulaiman beringsut mendekat ke kami yang duduk berjajar. Dipandanginya wajah kami satu per satu. Giliran wajahku, tangan kanannya memegang pundakku, lalu mengelus rambutku. Cara Pakcik Sulaiman menatapku seperti cara Haji Sufyan memandang Hafidzah. Saya menjadi bingung, mengapa Pakcik Sulaiman sekarang memiliki cara memandang yang berbeda padaku. Dulu tidak begitu.
Dengan mundur satu langkah, Pakcik Sulaiman kemudian berujar lagi. “Mulai sekarang, saya ingin kalian semua berikrar. Berikrar untuk tidak dekat-dekat dengan Ungku Idris. Berikrar untuk tidak lagi mendengarkan kisah-kisah Ungku Idris. Berikrar untuk tidak mendengarkan, mengisahkan, juga mencari tahu tentang kisah baru tentang anjing dari Ungku Idris! Ikrar??!!”
Saya memandang ke arah akrabku. Ingin tahu sikapnya. Dia mengangkat alisnya. Dia juga nampaknya ingin tahu bagaimana sikapku. Yang lain juga serupa, saling pandang mencari tahu apa yang dipilih oleh yang lain.
“Ikrar???!!!” lebih tinggi terdengar di telinga. Kami belum memberikan jawab.
“Ikrar???!!!” lebih tinggi lagi terdengar di telinga. Kami belum juga memberikan jawab.
“Ikrar???!!!” lebih tinggi dari sebelumnya terdengar di telinga. Kami belum juga memberikan jawab.
Pakcik Sulaiman mengambil nafas panjang. Lalu, “Ikrar???!!!”
“Ikrar…………….” seru kami serempak terasa melegakan pendengarnya.
Akhirnya, kami diperbolehkan meninggalkan surau dan menuju rumah Haji Sufyan untuk mengaji seperti petang-petang sebelumnya. Kaki-kaki kecil kami berarak meninggalkan bangunan surau di belakang kami. Dalam hinggap tarikan nafas yang berat, kami berarak berjalan dalam kebisuan. Apapun yang menggayut di dalam benak masing-masing, ini semua terkait dengan kisah baru Ungku Idris. Di balik dinding papan lepak Makcik Siti yang dekat dengan rumah Haji Sufyan kami sepakat berhenti sejenak untuk mengendurkan urat nadi.
Plak!!!
Entah siapa di antara kami terdengar menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya.
Plakk!!!
“Nyamuknya banyak,”
“Bagaimana sekarang?”
“Makcik Siti mestinya rajin membersihkan lepaunya,”
“Bagaimana sekarang?? Apakah kita langsung mengaji ke rumah Haji Sufyan?”
“Aku takut,”
“Sebenarnya ada apa dengan kisah baru Ungku Idris?”
“Kita semua baru berikrar tadi!!”
“Seruku hanya karena suara meninggi Pakcik Sulaiman”
“Sekarang bagaimana?”
Plak!!! Plak!!! Plak!!!
“Ini tentang anjing,” suara akrabku terdengar pelan. Rasanya dia tidak sedang berbicara dengan siapa-siapa. Tak ada yang menyahut. Suara-suara tepukan nyamuk yang riuh memenuhi ruang kecil lepau itu. “Kata kanak yang suka mencari ikan di lubuk, kisah baru Ungku Idris itu judulnya Kembara Berwajah Anjing,”
Kembali kami semua terdiam. Tak ada suara. Bahkan suara tepukan nyamuk juga musnah. Entah sudah berapa lama, akhirnya saya berdiri, “Kita pulang. Ini terlalu malam jika harus mengaji,” Tak ada bantahan. Satu per satu dari kami berdiri dan mencabut obor masing-masing di pinggir jalan. Kami melangkah pulang.
Sebelum bercerai di kelokan, akrabku mendekat dan berbisik pelan di telingaku, “Lebaran depan, Pakcik Sulaiman melamar amak-mu, itu kata kanak yang biasa mencari ikan di lubuk,”
*****
Catatan:
*) sedang menulis “Kajian Stilistika Bahasa Novel Sengsara Membawa Nikmat”.
**) Sengsara Membawa Nikmat, Tulis Sutan Sati, 1929, halaman 5.
***) Nama tokoh perempuan dalam “Hikayat Sang Sapurba”.