Masukan nama pengguna
Hari ini aku mendapatkan kabar duka, lagi. George –satu dari sekian kawan di masa sekolah dulu- telah meninggal dunia. Kabar duka itu kubaca ketika pertama kali menyalakan paket data internet. Salah satu postingan di WAG mengabarkan berita duka itu. George telah wafat tadi malam, pada pukul 23.42, karena kanker yang telah lama dideritanya. Kabar duka ini adalah kabar ke enambelas yang kuterima dalam minggu ini.
Kita semua memang akan mati. Tetapi membaca kabar duka dari kematian orang-orang yang kita kenal, kematian orang-orang yang memiliki sejarah dengan kita, bahkan kematian orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan diri kita, hingga angka belasan dalam satu pekan bagiku bukan semata pekabaran.
Pada awalnya, semata kubaca sebagai semacam peringatan dari-Nya; bahwa malaikat kematian sudah berputar-putar di sekelilingku maka aku harus sesegera mungkin bertobat. Sebuah peringatan untuk sebanyak mungkin menjalankan perintah-Nya, dan sejauh mungkin meninggalkan larangan-Nya.
Tetapi, aku merasa terlalu terburu-buru untuk menjadi orang yang religius. Bukan semata karena aku sejak kecil tidak dekat dengan rumah ibadah. Bukan pula karena aku terlalu mendewakan pola hidup sehat dengan menjauhi alkohol, nikotin, lemak jenuh, dan menghabiskan puluhan tahun hidupku menjadi seorang vegan, hingga aku merasa kematian tidak segera datang menghampiri. Tidak. Sama sekali tidak.
Pengalaman perkenalan, pertemanan, atau pun pertikaian dengan orang-orang yang dikenal publik sebagai pribadi relijiuslah yang membuatku sedikit muak dengan apa saja yang beraroma relijius, termasuk di antaranya mendekat kepada Tuhan meski bayangan kematian seakan menari di sekitaran. Aku punya kawan seorang pemimpin salah satu ormas keagamaan di tanah air. Kakek buyutnya, kakeknya, ayahnya, ibunya, saudara-saudaranya, paman-bibinya, sepupunya, dan juga kerabat lainnya juga menjadi pengurus di ormas tersebut. Suatu hari ia terkena OTT ketika tengah menyuap pemimpin daerah guna memasukkan belasan nama dalam rekrutmen PNS. Lucunya, ia bisa lolos dari jeratan hukum karena mengerahkan massa ormasnya guna menghalang-halangi proses penyidikan. Padahal, pemimpin daerah yang menerima suapnya sudah dijatuhi vonis dan dipaksa mengakhiri periode kepemimpinan. Lima hari yang lalu, kubaca beritanya eks pemimpin daerah itu meninggal karena bunuh diri di lapas.
“Apa kau akan melayat ke rumah duka?” sebuah pesan masuk dari salah seorang kawan sekolah di masa dulu. Aku tak segera mengirimkan balasan. Aku memilih meletakkan ponsel dan mengalihkan fokus pada beberapa buku sastra di atas meja. Aku ingat ada beberapa kawan redaksi yang menagih tulisan. Mungkin, aku akan segera menulis tentang layat-melayat, obituari, atau mungkin tidak sama sekali. Aku belum menjatuhkan pilihan. Tiba-tiba aku merasa iri dengan malaikat maut yang setiap turun ke dunia telah memiliki tujuan dan nama tertentu untuk dicabut nyawanya.
“Apa kau masih belum baikan dengan George?” salah seorang kawan sekolah di masa dulu itu mengirimkan pesan lagi. Lagi, aku tak segera mengirimkan balasan. Aku memilih membaca pesan-pesan dari Luisa –salah satu putriku- yang tengah menyeleseikan studinya di Negeri Paman Sam. Ia masih bertanya tentang Borges. Ia juga mengingatkan agar aku tidak sekesepian Marquez. Aku tertawa. Aku sampai terbatuk-batuk. Putriku yang satu ini memang mengikuti jejakku, mencintai sastra dunia. Tapi lebih dari itu, Luisa adalah perempuan yang penuh perhatian. Pada usianya yang ke dua puluh tujuh, aku sempat menyesal telah mengadopsinya hingga dia mengenalku sebagai ayah. Jika tidak, mungkin Luisa akan mengenalku sebagai dosennya, penulis idolanya, atau mungkin narasumber agenda diskusi sastra paling menawan yang pernah dihadirinya. Hingga kita tanpa memandang usia terperangkap pada labirin cinta eros. Lantas menikah, dikaruniai keturunan yang sehat-sehat dan tidak mati muda.
“Lukas, apa kau belum bisa melupakan Sandrina? Ayo datang ke rumah duka, kalau kau tak mau melayat, mungkin bersua dengan Sandrina bisa menjadi niat...” Lagi dan lagi, aku tak segera mengirimkan balasan pesan ketiga dari seorang kawan sekolah di masa dulu itu. Apalagi, sekarang dia menyinggung soal perempuan yang sempat aku dan George perebutkan dalam perseteruan bernuansa cinta para kera –cinta monyet-. Kawan pengirim pesan ini menggodaku atau benar-benar tak tahu. Bukankah Sandrina telah meninggal empat hari yang lalu? Aku hadir di upacara tutup petinya, aku tak melihat batang hidung kawan ini, aku juga tak bertemu George. Kanker otaknya memaksa George opname di rumah sakit tiga bulan terakhir ini. Seharusnya kawan ini juga tahu dari teman-teman yang rajin membuat postingan di WAG sekolah. Ah, mungkin ia hanya menggoda.
Di waktu muda, Sandrina memang sangat cantik. Semua yang ada di dirinya memberikan alasan masuk akal untuk menyebutnya sebagai perempuan cantik. Semua! Secara fisik, mindset, maupun attitude. Tapi apalah artinya kata-kata dibandingkan kendaraan roda dua, juga kekuatan finansial untuk menemani Sandrina menikmati dunia. Ungkapan cintaku kusampaikan lewat cerpen, puisi, dan bunga. Sementara, George mampu mengajaknya setiap malam minggu berkeliling kota dan menjelajahi kafe-kafe rendah cahaya. Bak ojek siaga, George juga menjadi pengantar sekolah bagi Sandrina. Penolakan disampaikan, erat di boncengan setiap hari adalah suguhan pemandangan.
Sakit hati ini, tentu iya. Aku bukanlah malaikat, aku hanya manusia biasa yang bisa dijemput malaikat maut kapan saja. Tapi roda terus berputar. Kita semua melanjutkan kehidupan masing-masing. Beruntung, mereka berdua akhirnya benar-benar diikat tali pernikahan karena beberapa tahun selepas sekolah aku mendengar kabar bahwa Sandrina tiga kali menggugurkan kandungannya. Besar kemungkinan, gegara percintaannya dengan George yang melewati batas norma-norma.
“Maaf, aku tidak bisa datang. Ada beberapa agenda yang tak bisa kutinggalkan di minggu-minggu ini.” akhirnya, aku mengirimkan balasan dan berharap aku tidak menerima kabar duka lagi.
***
Selepas meneguk jus alpukat dari dalam kulkas, bergegas langkah ini kuhentak keluar rumah. Ada kuliah pagi ini. Rose – salah satu putriku- menatapku dengan pandangan sembab tanpa makna yang kupahamkan. Ia baru pulang semalam. Aku tak memberinya pertanyaan, pintu ku bukakan dan kata-kata sapa yang sedikit kaku kulayangkan. Tapi, seperti yang ku perkirakan, Rose memilih diam. Aku tahu ia baru saja kehilangan.
Pagi ini, sekedar lambaian tangan kuberikan sebagai tanda berpamitan. Ia tak membalas apa pun, walau sekedar anggukan. Tiba-tiba, aku merasa begitu kehilangan.
Beberapa mahasiswa yang tengah merokok segera menghentikan aktifitasnya dan membuang jauh-jauh puntungnya. Aku pura-pura tidak memperhatikan, langkah terus kuhela menuju ruang kuliah. Meski aku tidak merokok, aku tidak membenci para perokok. Bagiku, mereka menikmati apa yang selayaknya mereka nikmati. Bukankah ketika mereka tidak mampu membeli rokok yang mahal, mereka akan mengisap rokok ala kadarnya dengan sukarela dan tidak menghujat siapa saja. Aku hanya membenci perokok yang tidak mampu membeli kemudian menghabiskan rokok temannya, berhutang, dan korup. Tentang merokok di ruang publik, dikotomi perokok aktif dan perokok pasif, bisa menyebabkan kanker dan seterusnya, bagiku hanyalah dampak perang ekonomi saja. George juga bukan perokok, tapi ia mati karena kanker. Sementara tepat seminggu lalu, mendiang pamanku -masuk dalam barisan perokok berat- meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Tapi perkuliahan hari ini tidak menyoal tentang rokok. Di depan para calon pendidik masa kini, aku menyampaikan tentang kekuatan kopi dalam menjaga dinamika produktifitas para sastrawan dunia. Beberapa nama sastrawan dunia yang kebetulan penggila kopi kusebut. Sampai aku berhenti pada nama Balzac. Sastrawan Perancis yang namanya sejajar dengan Aleznader Dumas, Victor Hugo, Emile Zola, Guy De Maupassant, ataupun beberapa ecrivain lainnya ini memang rajanya penggila kopi. Tapi kutekankan pada para para mahasiswa bahwa Balzac tidak ngopi untuk pencitraan atau sok memburu jenis kopi tertentu yang langka, murni, dan seterusnya. Lantas diracik dengan brewing berikut thethek-bengek lainnya. Ia menikmati kopi semata hanya untuk mendongkrak produktifitas kepenulisannya. Balzac tidak semata seorang pemasang tonggak realisme di jagad Sastra Perancis. Tapi Balzac juga adalah simbol betapa menulis karya sastra mampu menjadi sumber penghidupan di dunia realitas. Ketika ia mati karena endapan kopi dan sakit jantungnya, itu adalah bagian dari logika cerita jalan hidupnya, bukan denoument apalagi efek kejut di seleseian cerita.
“Ia kelelahan, Pak...” seorang mahasiswa berbaju kotak-kotak tiba-tiba buka suara. Aku menganggukkan kepala.
“Ia menulis untuk menjawab problematika keuangannya. Di mata saya, orang-orang yang harus menemui kematian karena kesungguhannya bekerja dan atau dalam usaha melewati ujian hidupnya layak untuk mendulang penghormatan.” Satu tepuk tangan terdengar. Diikuti dua lainnya. Lantas bertambah lagi. Seisi ruang kelas bertepuk tangan. Beberapa celetukan terdengar menyebut tentang quote hari ini. Aku sedikit heran, mahasiswa di masa ini mudah sekali bertepuk tangan. Semoga mereka juga tidak mudah menerima panggilan-Nya.
Bayangan Rose yang menangis sejadi-jadinya kembali berkelebat dengan cepat. Memang masih hangat di pelupuk mata, empat hari yang lalu, Rose menangis kuat-kuat karena kesedihan ditinggal mati pacarnya, Wildan. Baru tadi malam, Rose pulang ke rumah, sebelumnya ia memilih menginap di rumah keluarga Wildan. Katanya, ingin berbagi rasa kehilangan. Aku tak banyak mengejarnya dengan pertanyaan-pertanyaan, aku masih memaklumi kedukaannya.
Lepas dari Wildan adalah pacar putriku, menyaksikan peristiwa kematian di usia muda membuat kesedihanku berlipat-lipat kali. Aku juga tidak datang melayat, sebagaimana kematian George, karena aku khawatir tak mampu menahan diri lantas menggugat Tuhan karena mengirimkan malaikat maut pada orang-orang belia orang-orang yang masih panjang jalan hidupnya.
“Ditinggal mangkat orang tua tak sepersekian pedihnya ditinggalkan kekasih dan atau anak-anak tercinta.” mungkin sedikit berlebihan, tapi itulah pesan yang kukirimkan kepada orang tua sebagai tanda duka cita. Meski setelah itu, aku sedikit ngeri dengan bayanganku sendiri; Apakah aku mampu setegar mereka jika ditinggal mati Rose dan atau Luisa?
***
“Sebelumnya, aku sempat menjenguk Sandrina. Ia titipkan salam kepadamu.” gumam salah seorang kawan sekolah di masa dulu usai dihembuskannya kuat-kuat sekepulan asap. Aku pura-pura tidak memperhatikan. Kafetaria kampus bermandi cahaya senja. “Ia menyadari, dirinya adalah cinta pertama dan terakhirmu. Dan, ia meminta agar kau segera menikah....”
“Kau tahu, aku pernah menjalin hubungan serius semasa mahasiswa. Juga, dua puluh tahun lalu dengan rekan sejawat. Kau juga pasti pernah mendengar skandalku dengan mahasiswi di sini! Sudah lama tak kupelihara nama Sandrina.”
“Mengapa sampai sekarang kau tak juga menikah, Lukas? Kau tak pandai berdusta, Kawan. Apalagi mendustaiku...”
“Apa istimewanya kamu, No. Boleh jadi kamu merasa tahu banyak tentang aku, dan aku juga tahu betul siapa Marno.” Sembari mengingat-ingat kapan terakhir kali aku minum kopi dan ngobrol santai dengan sosok salah seorang kawan sekolah di masa dulu ini.
“Kalau kamu tahu betul siapa Marno, seharusnya sejak tadi kamu tahu bahwa aku bukan Marno. Marno bukan perokok, seperti kamu. Marno juga suka kopi, tapi aku sekarang malah memesan es teh...” kupandangi sosok sedemikian rupa, diam-diam aku membenarkan.
“Lalu, siapa kamu? Marno tidak punya saudara kembar!”
“Rose tahu, kau menyewa pembunuh untuk mengakhiri Wildan,” aku terkesiap. Rose memang lebih cantik dari Sandrina di waktu muda. Aku ingin menikahi putri angkatku itu, “Ada arsenikum di jus alpukatmu pagi tadi. Rose yang menaruhnya. Aku adalah utusan Tuhan untuk menjemputmu.”
Aku memang tak mendengar kabar duka lagi pekan ini. Akulah yang ada di kabar duka ke tujuhbelas pekan ini. Jantungku berhenti. Benar-benar berhenti.
***