Flash Fiction
Disukai
11
Dilihat
7,090
Apa Aku Memang Selalu Begitu?
Drama

“Keinginan yang membuat manusia diturunkan ke dunia dari surga, keinginan pula yang membuat manusia kelak bisa kembali ke surga atau justru jatuh ke neraka.”

 

Kalimat pendek di sampul buku self improvement di tanganku ini begitu menyita perhatianku. Judul dan pengarangnya pun tak kuperhatikan. Bahkan, aku juga lupa tujuanku datang ke toko buku ini. Baru teringat, bukankah aku datang ke toko buku ini untuk membeli buku dongeng anak-anak sesuai keinginan Nita, anak sulungku.

Aku ingin membelinya. Tapi, harganya lumayan bikin bulu kudukku merinding. Jika ku membeli buku ini maka anggaran belanjaku bulan ini bisa membengkak. Akibatnya, bisa ditebak, Mamanya Nita dan Adi bisa naik darah. Dan, aku bisa saja tidak mendapat sarapan pagi selama beberapa hari sebagai ganti belanja buku di pegangan tanganku ini. pembengkakan belanja untuk kebutuhan mendadak di luar perencanaan akan menghambat keinginannya untuk segera memiliki mobil.

“Anak-anak makin gede, Pa. Gak lucu kan kalau kita sekeluarga mau keluar rumah kayak orang mau mudik. Motor satu harus ditunggangi empat orang. Mama malu sama-sama ibu-ibu komplek....” katanya saat memasukkan pembelian mobil dalam perencanaan anggaran tahun ini. “Gak usah kredit baru! Bekas pun oke, asal cash dan gak jelek-jelek amat.

Dengan berat hati, tanganku melayang meletakkan kembali buku itu ke rak. Aku memang suka baca buku, sesuatu yang acapkali berlawanan dengan keinginan orang-orang di sekelilingku. Masih hangat di ingatan, saat masih es-de, ayah yang memarahiku karena asyik membaca novel Lima Sekawan-nya Enid Blyton hingga malas berangkat latihan bulutangkis. Ayah seorang guru olahraga, ia ingin anak-anaknya menjadi atlit profesional. Ia ingin aku bisa mengikuti jejak Alan Budikusuma, Taufik Hidayat, dan lain-lain.

Ayah tidak hanya merampas buku di tanganku, beliau juga mengambil semua bukuku. Lalu ditumpuknya di halaman dan dibakar dengan ceracau berkepanjangan tentang keinginannya tanpa peduli pada teriakan dan tangisku.  

Sesampai di rumah, Nita sudah berlari menyongsong kedatanganku. Segera saja kubuka tas punggungku dan keberikan beberapa buku dongeng anak-anak sesuai keinginannya. Matanya berbinar, senyumnya melebar. Aku dipeluknya dan berbisik, “Makasih, Papa....” Aku tersenyum. Aku tidak ingin membuat anakku menangis seperti waktu aku seusia mereka. Meski keinginan mereka berbeda dengan keinginanku.

Saat makan malam, Nita bercerita tentang tugas sekolahnya yang mengharuskan setiap siswa tampil ke depan kelas bercerita tentang dongeng yang pernah dibacanya. “Kapan itu? Besok?” tanyaku menanggapi tuturannya.

“Masih dua minggu lagi, Pa. Kalau besok, bacanya kapan? Latihannya juga kapan, Pa?”

Aku tertawa memandang kelucuannya berbicara. Ah, anak-anak. Kalian memang nikmat dari-Nya yang luar biasa, bisikku bersyukur dalam hati.

Tiba-tiba kurasakan sebentuk jempol kaki merayap di betisku. Beberapa saat aku tertegun. Segera pandanganku kuarahkan ke istriku. Ia tersenyum menggoda. Belasan tahun hidup bersama, aku tahu itu adalah tanda bahwa malam ini ia ingin ditemani. “Udara malam ini dingin ya, Pa?” katanya dengan senyum nakal kepadaku.

Belum aku menyahut, suara Nita terdengar menyambar lebih dulu, “Masak sih, Ma? Bukankah tadi Mama bilang agak gerah hingga pakai tank top?” Aku hampir tak kuasa menahan tawaku, tapi aku tahu itu bisa melukai perasaannya.

“Tadi memang gerah, Nita sayang. Tapi sekarang mulai dingin kok....” kataku sembari mengerling ke arahnya dan mengangguk. Padahal, rencananya aku mau lembur nanti malam. Ada beberapa kerjaan kantor yang menuntut utuk segera kuseleseikan. Pak Doni, atasanku, ingin laporan tertulis beberapa agenda promosi bulan kemarin sudah bisa dipelajarinya besok.

Ah, mungkin dengan sisa-sisa tenaga aku masih bisa berpikir jernih untuk membuat laporan yang perfect. Putusku agak sangsi, bagaimanapun aku paling tahu batas kekuatan tubuh dan otakku. Tapi, selalu dan selalu, aku tak mampu menolak apa yang menjadi keinginan orang-orang di sekelilingku. Apa aku memang selalu begitu?

 

----- oo0oo ----

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)