Flash Fiction
Disukai
3
Dilihat
6,395
Apa Aku Memang Selalu Begitu? (Part II)
Drama

Apa aku memang selalu begitu? Aku tak mampu menolak apa yang menjadi keinginan orang-orang di sekelilingku. Di masa kanak dulu, ku tak mampu menolak keinginan orang tuaku. Sekarang, di tempat kerja, ku tak mampu menolak keinginan atasanku juga sesekali teman kerja yang memohon belas minta dibantu. Sekarang, di rumah, ku tak mampu menolak keinginan istri dan anakku.

“Selagi tubuh dan otakku masih mampu, sepanjang keinginan itu untuk kebaikan bersama, mengapa juga aku harus menolak?” kadang separuh hati ini memberi pembelaan. Kalau ku tak lakukan, seakan ku merasa begitu egois dan enggan memperhatikan keinginan liyan.

Pun begitu, sejumput hati di ceruk relung dalam rongga gelap tubuh ini berseru, “Sampai kapan? Sampai kapan aku harus menuruti keinginan orang-orang? Apa sampai diri ini menemukan batas kemampuan? Ingatlah, keinginan orang-orang itu kadang berseberangan dengan apa yang aku sendiri inginkan! Teruslah menuruti keinginan orang lain, maka kau akan kelelahan dan tampak sebagai orang yang tak punya pendirian!!”

Aku terhenyak! Apa iya? Apa aku memang tidak punya pendirian karena senantiasa hanya menuruti keinginan liyan? Bahkan, mengabaikan keinginanku sendiri?

“Lembur, Sayang?” suara istriku terdengar di belakangku. Setiap habis bercinta, istriku selalu memanggil dengan panggilan ‘Sayang’. Tapi tidak jika di depan anak-anak. Malu, katanya. Aku mengangguk. “Pak Doni lagi?”

“Biasa...”

“Apa besok harus selesei?”

“Biasa....”

“Aku ganggu sebentar gak papa kan, Sayang?”

“Biasa....”

“Kok biasa?!!” nada suara istriku meninggi sembari menepuk punggungku halus. Batinku yang baru berperang karena tarik-menarik perihal keinginan, juga beban pekerjaan yang menuntut diseleseikan membuat ku tak terlalu memperhatikan kalimat dari bibir yang baru saja kulumat itu. “Ya sudah, besok saja kalau begitu... Nampaknya, kamu terganggu!”

Tidak ada panggilan ‘Sayang’. Belum sempat ku balas, tubuh yang dibalut piyama tipis itu berlalu dan hilang di balik pintu kamar kerjaku.

Ku hela napas panjang. Lalu, kembali kupalingkan pandangan ke arah laptop. Tapi... Sial! Beberapa menit berlalu, aku tak bisa konsentrasi dengan pekerjan di depanku, dan aku masih kepikiran dengan ucapan istriku sebelum berlalu. Belasan tahun kami berumah tangga, aku hapal. Setiap istriku sedang menginginkan sesuatu, ia berkata; “Ganggu sebentar gak papa kan?” atau “Boleh aku ngomong dikit?” dan juga “Sebentar, aku mau ngomong. Dengerin ya!” Lalu, dia mau menginginkan apa ya?

Konsentrasiku yang harusnya untuk menyeleseikan pekerjaan sampai lewat satu jam beralih pada; “ Istriku sedang menginginkan apa?”

Meski terasa begitu memaksakan diri. Bersyukur sekali. Lewat pukul 04.00 pagi, apa yang menjadi keinginan Pak Doni akhirnya selesei. Kepalaku rasanya berat sekali. Sementara tubuhku terasa ringan nyaris tak tak berbobot dan tak bertenaga. Dengan langkah terhuyung, kutinggalkan kamar kerja. Langkah ku ayun menuju kamar mandi. Kepala ini terasa sangat berat. Aku ingin, setelah shubuhan aku bisa sempat merebahkan diri barang beberapa saat.

Selesei mengambil wudhu, saat hendak membuka pintu kamar mandi tiba-tiba kepalaku terasa jauh begitu lebih berat. Kulihat ruang kamar mandi ini berputar sedemikian rupa, sedemikian rupa, dan semakin cepat. Semua menghitam pada akhirnya.

Saat tersadar, aku terbaring di ruangan asing. Semuanya nampak putih. Dengan kelopak mata berat untuk digerakkan, kucoba dapat memandang lebih jelas sekelilingku. Ada perempuan berpakaian putih-putih berdiri di ujung tempatku terbaring. Padanya, aku ingin bertanya; “Aku di mana? Di rumah sakit apa? Mana anak dan istriku?”

Namun, bibir ini rasanya sulit sekali mengikuti keinginanku. Telingaku tak mendengar kalimat yang ingin kuucapkan. Telingaku hanya mendengar suaraku yang mendengus berulang-ulang.

Perempuan berbaju itu putih itu melihat ke wajahku. Sejenak, ia nampak keheranan. Lantas, ia mendekat memeriksa denyut nadi dan mengarahkan senter kecil menyilaukan ke arah bola mataku. Aku yang mendengus berulang hanya bisa melihatnya ia setengah bergegas keluar ruangan dan kembali dengan pria berkacamata.

Senyum mengembang pada bibir pria berkacamata. “Alhamdulillah, setelah setahun lebih, akhirnya saudara sadar dari koma. Kami sudah memberitahu keluarga saudara.”

Ia terus berbicara. Telingaku juga jelas mendengarkan kalimat-kalimatnya. Namun pikiranku tak ke sana. Aku lebih dibuat tak percaya bahwa telah setahun lebih aku terbaring di sini dalam keadaan koma. Kelopak mata yang berat mendadak terasa basah. Apakah orang-orang di sekelilingku masih mau menerimaku? Sementara, setahun lebih berlalu ku tak mampu melakukan apa yang mereka inginkan.

Kenyataan ini begitu menyita perhatianku. Apa aku memang selalu begitu?

 

----- oo0oo ----

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)