Flash
Disukai
4
Dilihat
4,128
Tak Ingin Menulis Lagi Tentang Dia
Romantis

Pernah ku bermimpi tentang burung merpati yang terbang memutar lalu hinggap di tanganku. Cengkeramannya halus. Bulunya putih. Tatapannya ungu. Dan, saat kukirim email tentang itu padamu. Sebulan kau baru membalasnya. Kau menyebutnya sebagai harap-hasrat setiap insan tentang pernikahan.

Terlalu naïf rasanya, Gie, jika kausebut mimpiku itu sebagai ungkapan menagih janjimu di masa lalu. Sementara aku telah memelihara kepercayaan ini di dada kehidupanku. Sebuah usia pemberian-Nya yang terus menua. Bak pepohonan duren tua tempat kita berteduh kala janjimu itu terucap, pohon-pohon itu telah lanjut, empunya bisa menebangnya karena tak lagi ada buah di ketiak dedahannya.

Rahimku bisa kering, Gie, aku takut terlalu tua untuk mengandung anak-anak kita.

 

Kulanjutkan menulis di tablet yang sabar menemani. Sudah kuhubungi beberapa kali dia, tapi tak diangkatnya. Sejam lalu, dia hanya mengirim pesan singkat bahwa sedang ada pertemuan yang molor dengan tokoh-tokoh warga di desa dekat air terjun Pengajaran. Kuharap pohon-pohon duren di kebunnya juga sedang ranum-ranum seperti di pelataran rumah kakek.

Lelaki berambut ikal itu kini berdiri di depanku dengan sebilah pedang di mulutnya. Meski matanya berkaca-kaca. Namun, lidahnya tajam seperti sembilu dari batang bambu segar. Pedih menyayat dia katakan tentang janji yang tak bersahabat untuk dipenuhi. Di bawah lindungan maaf, kemaklumanku coba diunduhnya walau tertatih. Aku sendiri masih samar. Benarkah ini, Gie?

“Setelah puluhan tahun, ternyata tidak ada yang berubah dengan orang-orang di tanah ini, Win. Bukan aku tak mau, tapi aku tak mampu mendulang restu keluargamu,”

“Inikah Gie yang dulu kukenal dan berjanji?” aku memalingkan wajah. Entah, seakan aku melihat sebuah kepura-puraan dan atau ketakutan yang terpelihara di sorot matanya.

“Aku tahu, aku mengecewakanmu. Tapi bagi orang-orang di tanah ini, ada sejarah yang tidak bisa dirubah. Aku sudah berusaha, Win. Keluargamu sudah terlalu memandang merah keluargaku, karena embah-ku jadi anggota BTI*)!!”

“Aku dulu sudah mengajakmu pergi dari sini. Tanah baru, harapan baru. Tanah ini membutuhkanmu, kau bilang begitu. Gie, sebenarnya sejarah yang tidak bisa berubah atau dirimu yang enggan merubah sejarah? Aku sudah menunggumu terlalu lama. Mengapa tidak sejak dulu saja kau putuskan?”

Tak ada jawaban. Senyap. Hanya suara binatang-binatang kecil mendesing panjang di antara pepohonan duren di kebun Gie yang terdengar. Di atas, buah-buah duren yang ranum bersaksi dengan sedu sedan terbata. Selain rumah kayu ini, mereka pula yang menjadi saksi kala janji itu dulu terucap. Janji Gie, untuk meminangku setelah dapat mengambil hati keluargaku.

“Jadi semua berakhir di sini, Gie?”

Masih tidak ada jawaban. Kian senyap.

Lama tak terdengar suara. Aku tak sabar. “Ternyata..... Selama ini, aku hanya memuja pecundang......” kataku di antara isak.

Langkah kuhentak. Aku ingin segera beranjak pergi dari rumah kayu di kebun duren ini. Tanpa menoleh lagi, langkah terus kuhentak. Aku tak ingin Gie melihat tangisku. Bagiku, luka ini telah sedemikian dalam, mengapa harus ku tambah dengan mempertontonkannya. Lagi pula, itu tak akan merubah keputusanku. Meski separuh hati ini berharap akan terdengar seruannya memanggil namaku, tapi langkah ini semakin kuhentak ke depan tanpa menoleh lagi. 

 

Langit di atas tanah ini memang masih biru. Tidak berubah merah, hijau, apalagi kuning. Tetapi, hati manusia bukanlah langit. Ketika musim duren datang, sepanjang ada hasrat menggunung, buah duren yang ranum pun dapat diunduh utuh. Ada tali. Ada betis-betis perkasa pemanjat pohon. Ada pengumpul buah yang membaca doa dan cakap tawa. Gie, jika kau sungguh ingin menyuntingku, pasti kau bisa meluluhkan hati keluargaku.

Sementara, biru langit itu sendiri juga dari biru laut, Gie. Pandangan lahir dari pantulan cahaya. Apakah kau sungguh-sungguh saat berjanji dulu? Apakah kau sungguh-sungguh ingin memenuhi janjimu? Apakah kau sungguh-sungguh mencintaiku?

 

Air mataku tak bisa kubendung lagi. Jatuh berderai. Tablet segera kumatikan. Aku tak ingin menulis lagi tentang dia.

 

----- oo0oo ----

 

 

*) BTI (Barisan Tani Indonesia) salah satu organisasi underbouw PKI.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)