Masukan nama pengguna
Adakah dari orang tua, saudara, kerabat, tetangga, atau teman sekantor kita yang sekarang telah pergi ke Tanah Suci? Berhaji atau umroh? Jika ada, tentu syukurnya sungguh luar biasa. Bagi kita yang belum kesampaian pergi ke sana, titip nama kita agar disebut saat menjalankan ibadah di sana adalah salah satu yang berharga. Tentu, dengan doa agar bisa disegerakan ketularan bisa memenuhi panggilan Illahi; bisa datang ke Tanah Suci, tanahnya para Nabi.
Agenda tasyakuran menyambut kedatangan mereka yang kembali dari Tanah Suci menjadi kelaziman berikutnya. Aku merasa, ada dorongan luar biasa dari dalam diri untuk segera bisa bisa sambang ke rumah mereka-mereka yang baru pulang dari tanah suci. Ku tidak hanya berharap bisa bersilahturahmi, dan atau minta mujarobbat doanya. Apalagi mengharap sekadar oleh-olehnya, seperti tasbih, sarung, kopyah, jilbab, mukena, dll.!! Juga suguhan air Zam-Zam gratisan!!
Bukan!
Sama sekali, bukan!!!
Satu yang kuharapkan adalah kisah mereka selama menjalankan ibadah di sana.
Meski dalam teori eksistensialis, seseorang akan dianggap ada karena cerita yang diceritakannya. Kata Pak Hasyim, salah satu dosenku dulu, “Eksistensi sebagai haji, pribadi yang sukses menjalankan rukun pamungkas, sebelum ditunjukkan melalui perilaku yang lebih baik dalam kehidupan selanjutnya dapat (dengan mudah) dihadirkan melalui tuturan kisah pengalaman mereka masing-masing di Tanah Suci.”
“Ini, salah satu ibadah, Pak! Bukan perburuan identitas!” bantahku waktu itu.
“Hanya di Indonesia, panggilan haji itu dibawa pulang kembali. Di Palestina tidak. Di India juga tidak! Aamir Khan, superstar Bhollywood itu, sudah pernah berhaji. Tapi ia kemudian tidak disebut Haji Aamir Khan?!”
Aku kemudian melambaikan bendera putih pada dosenku itu.
Tak terhitung telah berapa kali ku dengar kisah mereka-mereka yang pernah ke Tanah Suci. Entah, mayoritas kisah yang kudengar adalah tentang keapesan yang terjadi berulang kali. Mulai dari yang kecil seperti sandalnya hilang, ketinggalan rombongan, tersesat, terdorong jemaah lain yang bodinya lebih besar, sampai yang tidak masuk akal seperti air kran senantiasa mati ketika hendak digunakan ber-wudhu.
“Apes, Mas, aku berkali shalat sendiri. Tidak berjamaah hanya gara-gara air kran?” kata Haji Ghufron, tetanggaku, beberapa tahun lalu sebelum pandemi Corona.
“Nggak tayamum saja, Pakdhe?”
“Apa sah, Le? Wong mata saya lihat air mengalir. Tapi kok tayamum?”
“Kata Pakdhe tadi, giliran sampeyan ingin wudhu, krannya macet. Kan tidak lihat air? Trus, apa Pakdhe ndak tanya ke pembimbingnya?” kejarku kemudian.
“Embuh, Le, kok gak kepikiran ya?” pungkasnya dengan nada sedikit sesal.
Di kali lain, ku dapat kisah dari yang unik, mengundang tawa, namun membuat pendengarnya agak sungkan mentertawakannya. “Tidak ada hujan, tidak ada angin, hari itu aku mendapat umpatan dari siapa saja yang kutemui. Seorang jemaah haji, sama-sama dari Indonesia, mengumpat. Katanya, aku mendorongnya hingga jatuh saat thawaf. Padahal, aku nggak merasa melakukan apa-apa. Lalu, seorang petugas kebersihan masjid juga mengumpat ke aku, katanya aku bikin kotor, padahal aku nggak merasa melakukan apa-apa. Susah menjelaskannya, petugas itu seperti orang Pakistan.”
“Yang lainnya, Bah?!” tanya salah satu tamu.
Haji Mukhlis, saudara salah satu teman di kantor itu menghela napas, “Askar, jemaah haji dari Mesir atau Kamerun atau mana. Pokoknya orangnya tinggi, hitam, rambutnya keriting!” kembali ia menghela napas. “Padahal, selama ini kurasa aku gak pernah mengumpat,”
Rudi, teman sekantorku yang notabene saudaranya, menyikut perutku. “Ah itu hanya perasaannya saja, saya masih ingat dia mengumpati ayah dan ibuku saat pembagian warisan dari kakek,” terangnya keesokan harinya di kantor.
Ada kisah unik atasanku sendiri yang kebetulan perokok berat. 24 jam dalam hidupnya tidak bisa dilewati tanpa kepulan asap rokok. Sebagai bekal, sebelum berangkat ke Tanah Suci, ia membawa dua slop rokok kesukaannya. Untuk menghindari pemeriksaan di bandara, beliau mengeluarkan batang-batang rokok, memasukkannya ke dalam plastik, dan disembunyikan di beberapa tas bawaannya.
Tapi, kenyataan tak seindah apa yang direncanakan. Rokok dua slop yang diperhitungkan cukup untuk dikonsumsi sendiri selama di tanah suci, tidak sampai tiga hari sudah habis. Kebanyakan diminta sesama jemaah haji lain yang juga sesama perokok berat. Uniknya lagi, tidak hanya sesama jemaah asal Indonesia. Tapi beberapa yang dari belahan negara lainnya. Ada juga seorang askar yang hampir tiga kali sehari senantiasa nongkrong di depan maktab dan meminta rokok dengan bahasa ala tarzan, terangnya. “Nggak bisa menolak, Mas. Ketika habis baru terasa seperti puasa tanpa berbuka,” sedikit beliau bergurau.
Hanya secuil yang kucatat dari yang kudapat pada kisah-kisah di Tanah Suci, senantiasa ada pelajaran yang dapat diambil dengan bijak dari setiap kisah. Kataku kepada istriku menutup uraian tentang kisah-kisah di Tanah Suci.
“Abah sendiri tidak menceritakan kisahnya waktu di Tanah Suci?” tanya istriku yang kebetulan pernah menjadi muridku waktu bersekolah di madrasah aliyah.
“Siapa yang percaya?”
“Kan juga unik?”
“Unik, karena berhaji hanya dalam mimpi,” pungkasku.
--o0o--