Masukan nama pengguna
Neelam yang baik hati.
Malam tahun baru ini, ingin sekali mengirim pesan kepadamu. Bertanya kabar, atawa basa-basi apa saja yang menunjukkan bahwa kamu tidak pernah benar-benar aku lupakan. Kamu masih dan akan terus ada di ruang ingatan. Bahkan, dalam khayalku, pabila ajalku tiba nanti kuingin menyebut namamu untuk yang terakhir kali. Bukan nama perempuan yang menjadi istri dan ibu anak-anakku.
Namun, selama ini aku tak pernah mengirim pesan apalagi membuat panggilan via messenger medsosmu. Jauh sekali di lubuk hati ini, dan engkau pasti mengerti, aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu dengan suamimu yang sekarang. Biarlah. Biarlah hanya dengan memandangi foto profilmu, kerinduan di dada ini mendapat sebutir obat.
Neelam yang tak pernah menyesali.
Darimu, dari kisah cinta sesaat kita, aku belajar untuk tidak menyesali masa lalu. Bagaimana aku tidak merasakan getaran cintamu meski berkali aku menginap di rumahmu? Bagaimana kamu tidak menyesali pertemuanmu dengan suamimu yang dulu? Meski kau katakan kemudian semata karena mengharap datangnya cintaku seperti mengharap turunnya hujan permata biru. Bagaimana tidak ada kata terlambat ketika kemudian kita bersua kembali saat sama-sama tak sendiri lagi?
“Semua berjalan dalam koridor takdir, Mas. Aku tidak minta kau meninggalkan istrimu demi cintaku. Kamu tidak usah takut, aku akan menuntut itu,” katamu saat tahun baru itu, saat kita menginap bersama untuk kali pertama. “Suamiku itu tabiatnya memang begitu, aku akan meninggalkannya ketika ia memilih selingkuhannya ketimbang aku,” tambahmu.
“Sudah sebulan lebih suamimu tak pulang, bagaimana kalau kamu hamil?”
“Apa semua lelaki memang pengecut?! Suamiku dulu menangis ketika meminta maaf kepadaku dan diminta tanggungjawabnya karena menghamili a-be-ge,” suaramu terdengar sinis. “Andai aku hamil lalu melahirkan, tentu aku sangat bersyukur. Aku sudah cerita kan, kalau aku sering keguguran gegara Tokso di rahimku?
“Tapi, sebulan lebih suamimu tak pulang?!”
“Aku bersyukur. Kalau pun tidak mampu memilikimu, aku masih memiliki anak darimu,” yakin utuh terasa dari kalimat yang meluncur di bibirmu malam tahun itu.
Neelam yang teguh pendirian.
Saat pernikahan adikmu, aku tidak hanya menyapa ibumu, dan kakakmu yang notabene teman kuliahku. Aku juga bertegur sapa dan duduk seakan tidak ada penghalang di antara kita dengannya; suamimu yang berkali selingkuh dan selalu kaumaafkan. Saat kau berjalan di antara kami. Lalu lebih dulu tersenyum kepada suamimu, aku memahami teguhnya kemauanmu untuk mempertahankan rumah tanggamu meski tanpa sepengetahuannya tanganmu mencubit pinggangku.
“Dia perempuan yang hebat, berkali saya diselamatkannya dari masalah yang membelit saya,” bisik suamimu padaku. Meski malas dengannya, aku mengiyakan.
“Kalau dia hebat, mengapa kau tak sungguh menjaganya? Malah kau asyik berburu pelukan perempuan lainnya?” umpatku dalam hati.
Beberapa hari kemudian, saat kau meneleponku tengah malam saat istriku sudah tidur, kau katakan bahwa suamimu memuji hasil kerja wedding organizer-ku. “Kata suamiku juga, kamu orangnya penyabar. Tipikal lelaki slow but sure. Pantas saja aku jatuh cinta padamu,” tambahmu.
“Maksudnya? Apa ia tahu?!”
“Suamiku hanya tahu kamu adalah first love-ku. Not more....”
Neelam yang begitu layak dicintai.
Aku tak tahu harus berbuat apa ketika kamu hamil dan melahirkan. Aku tak tahu, dan aku tak berani mencari tahu, itu benihku atau benih suamimu. Karena aku juga tak mampu melakukan lebih dengan meninggalkan istriku, ketika kudengar kamu resmi menceraikan suamimu. Kemudian kau besarkan sendiri anak itu hingga hadir seseorang yang menerima kalian berdua dan sekarang menjadi suamimu.
Hingga kini, selalu hadir sesal karena aku tak berani menikahimu waktu kau sendiri itu. Terlebih, saat istriku hanya memberikan daftar panjang tuntutan tanpa mau tahu bagaimana caraku memwujudkannya. Aku begitu merasa sendirian, dan kamu begitu kurindukan.
----- oo0oo ----