Flash Fiction
Disukai
2
Dilihat
6,226
TEKEK...
Drama

Lahir, merangkak, berlari, dan mengejar harapan dalam lingkaran setan kemiskinan memang bukan pilihan. Tapi siapa yang memilih untuk dilahirkan dalam keluarga melarat kesrakat seperti Somat?

Bapaknya Somat seorang kuli bangunan, keluarga Somat lumayan cukup sandang dan pangan saat ada yang membutuhkan keringat Bapaknya Somat. Ketika musim penghujan, ketika tak ada yang berkehendak mendirikan bangunan, maka apa yang dimakan keluarga Somat seringkali berhenti menjadi pertanyaan tanpa jawaban.

Beruntung emaknya Somat bukan perempuan yang suka berpangku tangan. Ia tak segan mengerjakan apa saja asal ada imbalan. Ia kadang menjadi buruh masak, cuci, dan setrika di rumah tetangga. Ia juga menerima jasa penitipan anak dari para tetangga yang bekerja. Tak sekali, ia juga menjelma tukang pijat pengusir capek-capek tetangga.

Sial bagi emaknya Somat. Karena orang pintar berkumpul dengan orang pintar, orang kaya berkumpul dengan orang kaya, maka orang miskin pun hanya bisa berkumpul dengan orang miskin, maka tetangga di sekitar rumah keluarga Somat juga tak berbeda keadaan kantongnya. Sehingga, imbalan yang diterima emaknya Somat juga ala kadarnya. Meski tak kalah melelahkan pekerjannya, emaknya Somat tak bisa mematok harga. Semampunya dan seikhlasnya para tetangga yang membutuhkan keringatnya semata.

Hingga bukan sebuah pemandangan yang luar biasa ketika Somat kecil pun harus minum tajin (air cucian beras) sebagai pengganti ASI karena emaknya sudah terlalu capek dan kurang gizi untuk mengeluarkan air susu dari teteknya dan susu formula mahal nian harganya. Begitupun dengan kakak, dan dua adik Somat. Mereka juga akrab dengan susu murah bin meriah dari cucian beras itu.

Himpitan kemiskinan pulalah yang mendekatkan keluarga Somat dengan suara tokek. Suara dari binatang yang menyukai tempat-tempat gelap dan lembab tersebut dapat dihitung dan ketidakpastian jumlahnya merupakan surga tersendiri bagi keluarga Somat yang memiliki beraneka harapan namun tak terbeli.

Diawali dari saat kakak Somat akan lulus sekolah dasar. Untuk dapat dapat membawa pulang ijazahnya, bapaknya Somat tersenyum pahit menerima daftar panjang tunggakan pembayaran. Sementara, sudah sebulan lewat ia menganggur dan hanya terpaksa merawat beberapa ekor ayam kampung di belakang rumah. Tak berselang, ayam-ayam itupun menghilang dari kandang. Tapi jumlah uang di genggaman bapaknya Somat untuk membayar tunggakan sekolah kakaknya Somat masihlah kurang.

“Aku ke rumah Pak Ridwan?”

“Sekarang?”

“Habis maghrib, beliau biasanya di rumah habis maghrib. Aku mau pinjam uang,”

“Pinjaman kita sudah banyak ke Pak Ridwan, Pak.”

“Aku tahu. Tapi ku tak tahu cari uang kemana lagi selain ke situ.”

“Apa beliau mau kasih?”

“Tak tahu.”

“Pak, aku ragu.”

OTHOK.... OTHOK... OTHOK....

“Nah, itu! Kita hitung, Bu!!”

TEKEK.....

“Dapat...” serempak pasutri itu mulai menghitung.

TEKEK.....

“Tidak....”

TEKEK...

“Dapat....

......

Lama mereka menunggu. Tokek itu tak bersuara lagi. Dengan wajah sumringah akan terkabulnya harapan, habis magrib bapaknya Somat mengayun langkah ke arah rumah Pak Ridwan. Hanya wajah emaknya dan kakaknya Somat yang masih penuh harap mengiringi ayunan langkah itu menghilang di ujung gang. Sementara saat itu, Somat masih terlalu kecil untuk mengerti besarnya harapan dan hitungan suara Tokek.

Wajah sumringah itu masih menghiasi wajah bapaknya Somat ketika pulang. Ia bergegas memeluk kakaknya Somat lalu istrinya. Tangannya menunjukkan beberapa lembaran merah di tangannya. “Besok, ijazahmu bisa diambil, Nak!!”

Ritual menghitung suara Tokek itupun terus berulang terjadi ketika keluarga Somat menghadapi problematika kehidupan berikutnya. Bahkan, saat bapaknya Somat jatuh dari ketinggian saat bekerja di proyek pembangunan gedung di tengah kota. Di tengah kondisi kritis dan dokter hanya bisa meminta keluarga Somat untuk banyak berdoa. Suara tokek di koridor rumah sakit pun mereka hitung dengan berlinang air mata.

TEKEK.....

“Hidup...” bersahutan emaknya Somat dan anak-anaknya mulai menghitung.

TEKEK.....

“Tidak....”

TEKEK...

“Hidup....”

TEKEK.....

“Tidak....”

Tokek itu tak mengeluarkan suara lagi. Raungan tangis emaknya Somat pun pecah. Somat dan kakaknya yang telah beranjak remaja mencoba menahan tubuh emaknya yang mendadak lunglai.

Tiba-tiba, TEKEK..... “Itu, Mak!! Hidup, Mak!!” seru kakak Somat kegirangan. Cahaya kehidupan pun kembali memenuhi wajah-wajah mereka. Tapi tak lama kemudian, TEKEK... Raungan tangis emaknya Somat pun kembali memenuhi koridor hingga menarik perhatian orang-orang.

Kematian manusia memang salah satu rahasia milik Tuhan. Bagaimana dan kapan kita mati adalah misteri. Tapi terkadang bocoran tentang datangnya kematian bisa lewat apa saja. Salah satunya dari jumlah suara binatang reptilia, Tokek namanya. Keluarga miskin itu pun kemudian berduka, bapaknya Somat wafat karena kecelakaan kerja.

Sepeninggal bapaknya Somat beban hidup keluarga itu terasa semakin berat adanya. Biaya sekolah Somat dan saudara-saudaranya berlomba dengan melambungnya harga-harga. Somat dan kakaknya yang duduk di bangku sekolah menengah pun dipaksa keadaan untuk tidak melanjutkan. Mereka mengalah, agar adik-adiknya masih bisa belajar membaca dan berhitung. Dan, lagi-lagi suara tokek menjadi sandaran harapan dan penghiburan hati. Terus begitu, dari hari ke hari. Entah, sampai kapan lagi.

 

----- oo0oo ----

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)