Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,617
Aroma Mesiu Di Langit Senja Pantai Malaka
Sejarah

Laki-laki yang meninggalkan perempuan di bawah pelengkungan janur kuning adalah pengundang kutukan. Langkah kakinya akan selalu berantuk batu. Napasnya akan seringkali bersedak. Kalaupun dia berdiri tegak, kepalanya tak terhitung akan membentur pelangkan pintu. Begitu, simbah-buyut, kaki-nini, memberi pagar peringatan kepada keturunan laki-lakinya agar menjaga kehormatan perempuan. 

Tetapi, lelaki pengundang kutukan itu adalah aku. 

Allahhuakbar… Allahhuakbar… Allahhuakbar…

Udara teluk Malaka kenyang dengan cetar takbir. Wajah-wajah sawo matang membesi. Mulut-mulut nyinyir bertakbir sangatkan semangat. Sekarang atau beberapa helaan nafas lagi, kereta jemputan Izrail berhenti di antaranya. Nyaris, tak ada peduli. Gerbang sorga telah terbuka lebar di langit beraroma mesiu, di antara keteracungan tiang-tiang kapal, di tangkup-tangkup harap akan kehormatan. Retak, lebur, lalu tenggelam dengan takbir.

Kapal-kapal jung seperti yang kami tumpangi memuntahkan cetbang dari lambungnya. Sedangkan kapal-kapal yang lebih kecil dengan katir di kanan-kirinya menari-nari menghindar dari hujan peluru meriam dan senapan dari ceruk dinding tinggi memanjang benteng Paringgi. Di dalam kapal-kapal kecil itu ada saudara-saudara Andalas. Belum sempat terjalin jabat tangan. Tapi senja ini, mereka atau kami yang lebih dulu menjadi syuhada.

Peluru-peluru cetbang berbaur dengan meriam beterbangan di langit senja teluk Malaka. Suara kepakannya bersiat-siut. Peluru-peluru cetbang menebar kepak ke bibir pantai. Bergemuruh lalu bersiut menjauh. Meski bola-bola meriam milik Paringgi jauh lebih besar ketimbang cetbang, kegentaran telah berlalu menjauh sejak kemarin lusa. Setiap siutan bola meriam Paringgi diakhiri dengan debur ombak menggemuruh dan helaan nafas lega. Karena tak ada lambung kapal jung atau katir tersambangi. Lega, karena peluru-peluru meriam itu meleset dari sasaran. Lega, karena nackoda kami piawai dalam menggerakkan haluan kapal. Lega, karena kami di kapal ini tidak lebih dulu dijempul Izrail.

Armada kapal cetbang, kapal jung, kapal katir menempuh hujan bola meriam dari benteng-benteng Paringgi di sepanjang bibir pantai Malaka. Akankah aku akan mati sebagai perjaka?

Selepas dari pelabuhan Jepara, telingaku menangkap bincangan Ki Wulung, pemegang tongkat kiprah Gendewa Bango, dengan seorang perwira lainnya. Saudara-saudara di Malaka akan membantu, begitu yang menambat erat di telingaku. Konon, mereka telah lama menyiapkan persenjataan juga kelengkapan. Mereka akan meledakkan gerbang benteng dan menyumbat meriam-meriam Paringgi. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang-pedagang getah damar dari Tuban, Jepara, dan terutama dari Semarang. Mereka sebelumnya telah saling berkirim pesan dengan Sinuwun Adipati Unus.

Ketenangan membubung dari ubun-ubun saat mendengar perbincangan tersebut. Bertolaknya kapal-kapal kami dari pelabuhan Jepara tidaklah sendiri, akan ada saudara-saudara di balik dinding benteng-benteng Paringgi. Ketenangan ini semakin tinggi membubung ketika di laut Jawa barisan kapal-kapal jung kami ditambah dengan kapal-kaal cetbang dari pesisir timur dan juga kapal-kapal perang dari Semarang.

Tetapi bayangan kutukan yang kubawa dari tanah asalku menebar racun di ceruk-ceruk sembrani hati. Bagaimana jika kutukan itu tidak hanya membuatku terantuk batu dan atau tersedak nafas semata? Bagaimana jika kutukan itu membuat kapalku karam, sanak-kawanku gugur, dan aku harus tak mampu kembali ke bawah pelengkungan janur kuning?

Selepas dhuhur ketika membelah laut Karimata, kapal-kapal perang bermunculan dari arah pelabuhan-pelabuhan bumi Swarnadwipa. Kapal-kapal mereka lebih kecil, katir di kanan-kirinya membuat kapal mereka lebih lincak menukas ombak. Saudara-saudara Andalas di atasnya melambaikan tangan, semayup kami mendengar salam bersahut-sahutan. Pengawal menara di atas tiang-tiang kapal kami membalas dengan lantang. Ketenanganku tak hanya membubung tinggi, sekarang ketenanganku terbang ke sana dan ke mari di antara tiang-tiang kapal, di antara kembangan layar-layar, menuju Malaka.   

“Ini semua akan kian menyangatkan ingin beliau untuk mengusir Paringgi dari Malaka,” kata seorang perwira di sebelahku. Di ubun-ubunnya aku juga melihat ketenangan yang membubung tinggi. 

Mendekati teluk Malaka, armada kapal ini bertemu dengan beberapa perahu nelayan. Kapal katir yang lebih kecil dan lincah mendekati perahu mereka. Beberapa patah bahasa Melayu menyambar gendang telinga. Lalu, perahu itu bergerak menjauh. Dan kapal katir itu mendekat ke arah kapal jung di antara kami. Konon, di kapal jung yang paling tengah, Kanjeng Sinuwun Adipati Unus berada di dalamnya.

Tengah malam, Ki Wulung mengumpulkan semua pengawal gendewa bango di geladak bawah. Tatapan matanya menyimpan bara. Dia memberi tanda agar kami semua duduk bersila dan membentuk lingkaran yang kecil. Di geladak samping kanan dan geladak atas, aku juga melihat perwira-perwira lainnya juga mengumpulkan andhahannya. Mereka juga bersila dan merapat dalam lingkaran-lingkaran kecil. Gerangan apa ini? Karena tidak kulihat seorang santri pun yang bersila di antara lingkaran-lingkaran tersebut. Termasuk lingkaran tempatku bersila dengan Ki Wulung di antaranya.

“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.”

“Wa’alaikum salam wa ramahtullahi wa barakatuh,” jawab kami serempak, Ki Wulung memberi tanda agar kami memelankan suara.

 “Tanpa basa-basi lagi. Ada kabar berita yang kurang sedap didengar. Gerakan saudara-saudara kita di Malaka telah tercium Paringgi. Beberapa telah tertangkap. Sedangkan sisanya telah lari dari Malaka dua hari lalu. Konon mereka lari ke Cirebon. Ini kabar yang dibawa nelayan-nelayan tadi. Artinya, kita tidak akan mendapatkan bantuan dari dalam benteng. Dan, kedatangan kita semua telah diketahui orang-orang Paringgi,” kami saling berpandangan. Ketenanganku yang sebelumnya sempat beterbangan di antara tiang-tiang dan layar-layar kapal pergi entah kemana. “Kita semua berhak takut karena kita adalah manusia yang tak sempurna. Karena sinuwun tetap pada pendiriannya, ketakutan itu harus dikubur dalam-dalam. Kalian semua juga tahu bahwa ramanya sinuwun adalah cucu Kanjeng Nabi Muhammad sallallahu allaihi wa salam,”

“Allahumma sholi wa salim,”

“Dengan keturunan beliau di antara kita, insya’allah Gusti Allah akan memberikan kemenangan kepada kita.”

“Amin….”

“Gugur dalam mengusir kaum kafir dari bumi kita itu syahid, mati syahid, dan Gusti Allah menyediakan sorga bagi umat-Nya yang mati syahid. Paham!!??”

“Paham…”

Biismillah… Besok, kita akan mengusir kafir-kafir Paringgi dari bumi Malaka,”

Ki Wulung lalu mengucap salam. Lingkaran kecil rapat itu perlahan ambyar. Kami berpisah menuju dengan diam. Tak ada kata-kata apalagi senda gurau. Kami tenggelam dalam bayangan sorga bagi syuhada.

Satu yang aku takutkan seakan membuktikan diri dalam kenyataan penuh. Ini pertanda buruk. Kutukan ini menyertaiku. Orang-orang yang sedianya akan berdiri dalam barisanku pun telah mendulang pahit kutukan itu.

Sial!! 

Rasa takut di benakku semakin sukar diusir. Aku belum pernah bertemu dengan orang-orang Paringgi. Ada yang bilang bahwa mereka berkulit putih pucat, tinggi besar, berambut bunga jagung, dan memiliki senjata besi yang bisa membunuh dari jauh. Senjata itu ada yang panjang dan ada yang pendek. Ketika meletus, dari batang larasnya terbanglah sebutir kelereng besi ke arah musuhnya. Seperti halnya anak panah, jika tepat mengenai jantung atau kepala. Orang yang terkena akan mati seketika. Perwira-perwira di ruang nachoda pernah bercerita bahwa meriam orang Paringgi lebih besar suara dan ledakannya ketimbang cetbang kami. Ini pula yang membuat rasa takutku masih berputar-putar di sanubari.

Dan sekarang aku hanya duduk memeluk lutut di balik pagar geladak bawah. Beberapa puluh batang anak panah sebesar jari tangan terikat rapi di depanku. Sebelah kakiku menahannya. Aku tak ingin ikatan itu tercerai karena kapal yang digoyang ombak. Sedang desingan peluru-peluru di atasku seakan tak berjeda. Apa orang-orang paringgi ini memiliki segudang peluru.

Thar… Thhhaaarrr…. Thhaaarr..

Jedor!!!

Takbir terus mengalir dari bibirku ketika seorang prajurit berseragam sama denganku jatuh terguling. Tak jauh di dekatku. Kepalanya mengucur darah. Asap mesiu mengepul dari lubang di pelipisnya. Puluhan batang anak panah di genggamannya menghambur di geladak. Perlahan kemudian lelehan darah dari pelipis, wajah, telinga, lalu menggenang.

Wajah itu. Wajah itu. Wajah itu. Kuingat wajah itu. Wajah yang semalam menawarkan jahe hangat ketika tanganku kesemutan memasang mata panah logam ke masing-masing batang anak panah. Apakah pemilik wajah itu ke sorga lebih dahulu?

Takut-takut kuhampiri. Kuperiksa aur nafas di hidungnya. Tak ada udara menghembus. Pun begitu dengan detakan jantungnya. Kuangkat segera tanganku di dadanya. Kualihkan pada sepasang matanya yang terbeliak. Kuturut turun tanganku mengusap wajahnya utuh. Takbir di mulutku berhenti mengalir. Sekarang pelan bergumam bibirku; “Innalillahi wa inna illaihi raji’un…” Laut di antara kapal-kapal serasa semakin tinggi mengayun ombak. Kutukan ini mengikutiku, akankah aku akan mati sebagai perjaka?

“Siapkan panah!!!” suara Ki Wulung terdengar menggelegar sepanjang geladak.

Berat kutinggalkan jasad pemilik wajah itu tapi desingan peluru-peluru Paringgi rupanya telah sampai ke kapal kami. Dengan membungkuk-bungkuk kudekap batang-batang anak panah di sisi kanan-kiri Gendewa Bango. Batang busurnya yang sebesar paha orang dewasa telah melengkung ditarik ke belakang. Beberapa prajurit sepertiku meletakkan batang-batang anak panah di antara busur dan tali Gendewa Bango. Selusin batang anak panah telah teracung. Hiasan burung bangau di tengah batang busur mengarahkan paruhnya ke arah benteng Paringgi di pantai Malaka.

“Siap….!!!” Suara Ki Wulung terdengar sekali lagi. Bersahut-sahutan tanda siap melunur dari masing-masing gendewa bango. Beberapa saat kemudian, “Lepasss….!!!”

Aroma mesiu di langit senja pantai Malaka sekarang dikipasi luncuran beratus batang anak panah. Masing-masing kapal jung memuntahkan batang-batang anak panah dari barisan Gendewa Bango di geladak dan lambung. Sekarang anak panah kami, rautan lengan-lengan Jawa meluncur ke bibir pantai Malaka. Besar harapan, mata-mata besi anak panah itu menancap di dada orang-orang Paringgi. Entah mereka masih perjaka atau tidak, namun mata panah ini hendaknya bersemayam di tubuh besar putih pucat dan berambut bunga jagung.

 Sembari memasang selusin batang anak panah di rahim gendewa bango, bibirku kembali menggumamkan takbir.

Bluuuaaaarrrrrr…

Sebuah bola meriam jatuh lima tombak dari lambung kapal. Sisakan debur air besar. Kapal oleng. Beberapa pengawal gendewa bango jatuh dari posisinya. Batang-batang anak panah terberai. Lainnya cekatan bantu memunguti satu per satu. Aku pun melompat di antaranya.

Telingaku berdenging. Beberapa kelereng besi terasa terbang hanya beberapa jengkal dari kepalaku. Di depanku, satu prajurit pemungut batang anak panah tersungkur. Warna merah darah memenuhi bahu kiri seragam hitamnya. Dia tersungkur. Kutarik tubuhnya merapat tiang layar. Bibirnya mengatup menahan sakit, tapi dia memberi tanda bahwa kelereng besi yang bersarang di pundaknya tidak menjadi kereta jemputan Izrail. Dia justru menyodorkan batang-batang anak panah di tangannnya. Dia meminta tolong.

Gendewa Bango!! Gendewa Bango butuh ini!!!”

Kedatangan armada ini memang benar-benar dinanti orang-orang Paringgi. Kuraih ikatan batang panah di genggamannya. Aku segera berdiri. Mataku menumbuk pada rahim Gendewa Bango. Kosong. Betis ini menghentak langkah namun para penarik tali gendewa bango tiba-tiba tersungkur bersamaan. Izrail mengendarai kelereng-keleng besi mengitari orang-orang di kapal ini.

Ku arahkan pandangan ke kapal jung di sebelah kiri. Kapal itu oleng. Ujungnya hanya tiga tombak dari geladak kapal tempatku berdiri. Lambungnya berlobang besar. Salah satu tiang layarnya menjuntai. Seorang perwira berlari ke sana-kemari. Tubuhnya terbakar. Dia melolong meminta tolong. Seorang laki-laki berpakaian hitam keemasan melompat dari buritan. Dia menghampiri perwira itu. Kulihat dia tangan kirinya menyentuh pundak perwira yang terbungkus bara itu. Bibirnya bergerak-gerak. Matanya nanar memandang wajah perwira itu. Terlihat, tangan kanannya meraih keris di belakangnya. Satu kali tusukan. Perwira bertubuh bara itu lalu diam tak ber bergerak lagi.

Lelaki berbaju hitam keemasan itu lalu melihat ke sana kemari. Beberapa prajurit di dekatnya segera merapat. Dari cara mereka bersikap, menurutku lelaki berbaju hitam keemasan itu adalah perwira yang sangat tinggi pangkatnya. Beriringan mereka kemudian hilang di balik pembatas buritan.

Sebuah bola meriam Paringgi sekali lagi menghantam kapal itu. Kali ini di geladak depan. Api yang sebelumnya hanya menjalar di bagian tengah kapal kini menyebar hingga ke dapan. Kulihat beberapa prajurit melompat ke laut. Lupa dengan batang-batang panah di tanganku, aku berlari ke tepi geladak.

“Selamatkan sinuwun!!”

“Cepat!! Selamatkan sinuwun!!

“Kapal sinuwun tenggelam…”

Beberapa prajurit di kapal ini juga melompat ke laut. Berutas-utas tali telah terlilit di pinggang mereka. Mungkinkah kapal di sebelah kiriku yang sekarang terbakar adalah kapal Sinuwun Adipati Unus?

Ki Wulung melemparkan sebilah pedang di dekatku, “Panahnya!!”

Beberapa batang anak panah di tanganku segera mengisi rahim Gendewa Bango. para penarik talinya telah berubah wajah. “Ambil lainnya, cepat!!!”

“Kapal sinuwun tenggelam??”

“Sontoloyo!! Cepat ambil panahnya!!”

Bluuuaaarrrrr…..

Bluuuuaaarrrr….

Dua buah meriam Paringgi nyaris menghancurkan geladak. Hanya setengah tombak dari tepi geladak. Dua bola meriam itu mengacak-acik air laut. Kapal jung ini semakin kencang diayun-ayun. Kedatangan armada ini memang benar telah dinanti oleh orang-orang Paringgi. 

“Dayung sigap!! Dayung Sigap!! Dayung sigap!!!”

“Kemudi cikar kanan….”

“Kemudi cikar kanan….”

“Kemudi cikar kanan….”

Kapal berbelok ke kanan dengan gesit. Tanganku meraih tali panjat di dekatku. Mencari perimbangan. Ayunan badan kapal ini melimbungkan orang-orang di atasnya. Beberapa orang di sekitarku terjatuh. Saat mataku mencari jalan mengambil batang-batang anak panah kulihat laki-laki berbaju hitam keemasan tadi dibopong beberapa prajurit yang sebelumnya melompat ke laut.

Bluarrrr… Jlegurrrr….

Krrreeeeekkkkkkk…….

Bruuuaaaakkkkkk….

Allahu Akbar!!!

Tubuhku terpelanting ke belakang. Punggungku membentur lantai geladak yang rengkah. Kapal jung ini tak utuh lagi. Beberapa bola meriam Paringgi melobanginya tepat di lambung dan di bawah tiang layar utama.

Asin air laut menyambar bibir. Terasa perih menusuk permukaan kulit. Terasa ada yang berat menggayut kaki kananku. Sebatang patahan tiang layar menindihnya. Astaghfirullah, sakit sekali.

Jika aku aku mati senja ini, aku mati sebagai perjaka. Janur kuning sedianya akan segera melengkung di pintu rumah kayu. Kembar mayang akan berdiri di samping kanan juga kiriku. Tapi Gusti Allah punya selaksa kisah untuk masing-masing umat-Nya. Dia Maha Membuat Lakon sehingga Dia tak pernah kehabisan cerita. Termasuk cerita tentang pernikahanku. Ketika calon pengantinku membatik di pringgitan sebagai gadis pingitan, Adipati Madiun junjunganku mendapat mandat mengirim prajurit ke Demak. Gusti Sinuwun Adipati Unus mengibarkan bendera perang kepada orang-orang Paringgi di Malaka.

“Kakang pergi sebagai abdi negara karena ini adalah tugas negara. Adinda memupuk tanah merah penuh berterima meski janur kuning telah diturunkan dari pohonnya. Pergilah, Kakang! Jangan sampai air mataku menghalangi ibadah kakang. Meski belum kuucap syahadat di bawah bimbinganmu, Kakang, aku ingin menjadi istri yang patut dibanggakan abdi negara negeri mana pun,”

Kuterima selendang merah pemberian calon mempelaiku yang ikhlas dengan berkati-kati beban di dada. Aku merasa sungguh beruntung. Bagaimana perjodohan ini para sesepuh di Takeran ini terasa begitu menghangatkan alir darah di nadi-nadi.

“Bagaimana jika kakang tidak kembali?”

“Kakang, tidak perlu memelihara khawatir. Kita akan menikah di surga, Gusti Allah yang menjadi waliku dan malaikat-malaikatlah yang menjadi saksinya,”

Kerudung putih tulangnya tertiup angin saat bibir itu mengucap. Sejenak terlibas bayang takutku pada kutukan yang akan kutempuh. Memang Gusti Allah memiliki berlaksa kisah untuk masing-masing umat-Nya. Termasuk kisah perjodohan, rejeki, juga ajal. Dalam takzimku kepada kebesaran hati calon pengantinku, aku bersyukur. Aku sangat bersyukur. 

Sebuah bola meriam Paringgi terasa sekali lagi menghantam kapal yang hendak tenggelam ini. Serasa palu godam menghantam kakiku yang tengah dihimpit kayu patahan tiang layar. Aku mengaduh sungguh.

Dinding kapal yang perlahan tenggelam membuka pandangku pada senja merah tepi laut Malaka. Asap di mana-mana. Berpuluh mayat mengapung hanya beberapa tombak di dekatku. Asin air laut perlahan menelan tubuhku. Aku sadar, tangan Izrail sudah memegang kakiku. Bayangan takdir sanak prajurit lain, Ki Wulung, bahkan sinuwun menghampiri sejenak. Apakah tangan-tangan Izrail juga sedang memegang kaki mereka? Atau bahkan tugas itu telah ditunaikannya?

Pandanganku mulai kabur. Dingin menjalar ke sekujur tubuh. Samar-samar kulihat seseorang berjalan di atas permukaan air tepi laut Malaka. Sendiri. Menuju ke arahku. Dengan sisa tenaga kucoba membelalakkan mata, mencari tahu siapa gerangan dirinya. Seseorang itu samar semakin dekat. Angin membuat sesuatu di kepalanya menari. Itu kerudung. Kerudung putih tulang yang dipakai calon pengantinku saat menjamu pamitku.

Memang dia. Tak salah lagi, memang dia. Dia berjalan di permukaan air tepi laut Malaka, menghampiri lelaki yang akan menjadi imamnya namun mengukir kutukan di helaan nafasnya. Dibelainya dahiku yang berlumur darah. Tak ada dingin. Tak ada hangat. Wajahnya menyunggingkan senyum, cantik. Semakin cantik. Semakin cantik. Lalu bibirnya bergerak menuntunku; “Asyhadu an-la ilaaha illallaah… Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah…”

 

*********


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)