Masukan nama pengguna
Cukup lama Rima menunggu bus datang.
Bus pertama, kedua, ketiga, bahkan sudah sampai bus yang kedelapan namun kendaraan umum yang ditunggunya itu belum juga lewat.
****
Setelah hampir satu jam, tampak dari kejauhan barulah kendaraan yang ditunggu mulai terlihat semakin mendekat.
“Ke Senen, Pak?” Tanyanya kepada kenek yang terlihat meloncat turun ke jalanan aspal.
Si kenek lalu tampak memberikan jalan agar penumpang yang akan turun dari bus bisa segera turun, dan penumpang yang akan naik bisa segera naik ke dalam bus. Beberapa penumpang berebutan ingin lebih dulu.
“Iya, Neng. Di belakang tuh masih kosong.” Jawab si kenek sambil menunjuk ke arah bangku paling belakang.
Rima segera cepat-cepat naik masuk ke dalam bus yang akan membawanya ke Pasar Senen.
“Harus cepat-cepat naik kalau gak gue bisa ditinggal,” sahutnya dalam hati.
***
Rima senang sekali pergi ke Pasar Senen. Tempat itu sangat terkenal sebagai pusat buku-buku bagus dengan harga miring.
Ia selalu merasa senang melihat buku-buku. Apalagi dengan harga buku yang relatif murah di lokasi tersebut, maka ia bisa memborong untuk menambah koleksi perpustakaan mininya di rumah.
***
Rima berjalan menuju bangku kosong paling belakang seperti yang sudah ditunjuk oleh kenek tadi, lalu duduk di posisi tengah, yang merupakan satu-satunya tempat yang masih kosong.
Di sebelah kanannya, duduk seorang pemuda berambut klimis sedang membaca berita dari sebuah surat kabar terkenal ibukota bernama koran Lampu Kuning.
Mata si pemuda menatap dengan serius ke arah tulisan headline di halaman pertama bertuliskan ‘Angkot 1 Disenggol Angkot 2, Sopir Angkot 1 Minta Ganti Rugi, Sopir Angkot 2: Oke, Ambil Nih Duitnya, Pas Nyamperin, Sopir Angkot 1 Dimatiin’.
Di sebelah kirinya, ibu-ibu setengah baya berambut keriting dengan tubuh tambun duduk dengan muka cemberut di wajah.
Sekilas Rima melihat ke arah jari-jari kakinya yang sekarang menjadi kotor berwarna agak hitam karena tanah kering berwarna hitam coklat. Si ibu-ibu tidak ramah yang kini duduk tenang di sebelahnya tadi sempat menginjak kakinya. Sebal sekali rasanya..
“Huh, jadi dekil gini. Emang salah gue juga sih, udah tau mau naik bus malah pake sepatu kebuka. Untung kuteks gue gak rusak,” gerutu Rima dalam hati.
***
Tidak lama berselang, terlihat seorang pemuda dengan rambut gondrong naik.
Ia berjalan pelan, kemudian berdiri mengambil posisi tepat di tengah-tengah bus.
Kulitnya coklat tua kehitaman akibat setiap hari berinteraksi dengan sinar matahari tanpa pelindung matahari, kaos putih yang sudah berwarna kusam kecoklatan, jeans belel kumal, sandal jepit swallow bertali karet kuning, dan sebuah gitar yang ditempeli dengan beragam stiker.
“Selamat siang, Bapak, selamat siang, Ibu, Kakak, Adik sekalian. Lagi-lagi pengamen, lagi-lagi pengamen. Tidak apa-apa, Bapak, Ibu, yang penting kami tidak merampok, yang penting kami tidak mencuri. Kami mengamen mencari uang dengan halal. Saya akan menyanyikan satu buah lagu dari Koes Plus,” pemuda tersebut cuap-cuap bersuara.
Angin sepoi-sepoi dari luar jendela bus membuat Rima mulai diserang kantuk, diiringi suara sumbang dari sang pengamen.
Di tengah kenikmatan mata yang makin terasa berat, tiba-tiba suara si pengamen kini terdengar jelas di hadapannya, “Terima kasih ya, Neng, gak usah pura-pura tidur, pura-pura gak liat biar gak usah ngasih. Semoga Eneng diberi balasan sama Tuhan, banyak rezekinya.“
Terdengar suara kesal si pengamen terlontar ke arahku karena merasa tidak dipedulikan, dan karena tidak diberi uang.
Wajahnya melengos kemudian berpindah menyodorkan bungkus permen kosong ke arah ibu-ibu tambun yang duduk disebelahku, yang tadi sempat menginjak kakiku.
“Yee, minta kok maksa,” umpat Rima merasa kesal dalam hati.
Selang beberapa lama, setelah semua penumpang bus jurusan Pasar Senen selesai dimintai uang, sang pengamen memberi kode kepada kenek bus bahwa dirinya sudah selesai dan ingin turun.
Sambil meloncat seperti kera, saat bus berhenti walau belum mencapai halte berikut, pemuda itu turun sambil berteriak kesal, “Woy laper wooyyy!!” Teriakan kecewa karena hanya sedikit mendapat koin receh, padahal perutnya sudah kelaparan karena belum bertemu nasi sedari pagi.
***
Pemandangan di dalam bus berganti. Kali ini adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang naik dari halte Ratu Plaza. Mereka naik dari pintu depan.
Si lelaki mengenakan kemeja biru muda tangan panjang, celana ngatung warna biru tua serta peci hitam. Kakinya cacat, hanya tinggal sebelah.
Sang perempuan, entah istri atau anaknya, memakai celana jeans biru muda, berambut hitam diikat ke belakang, dan memakai kaos hitam bertuliskan sebuah merk kaos terkenal era tahun delapan puluh sembilan puluhan dari kota Bandung.
“Kalau ingin berzinah itu adalah panggilan sesat. Kalau ingin mabuk itu adalah panggilan sesat. Kalau ingin meninggalkan shalat itu adalah panggilan sesat. Kalau ingin mencuri itu adalah panggilan sesat. Kalau ingin mencopet itu adalah panggilan sesat. Kalau ingin berjudi itu juga panggilan sesat.”
Kalimat-kalimat tersebut terus menerus diulang oleh si laki-laki berpeci.
Selanjutnya si perempuan berkaos hitam lalu mulai bergerak maju menghampiri dan menyodorkan penumpang satu per satu, sebuah kotak bening.
“Maaf mengganggu perjalanan, Tuan, Nyonya sekalian yang nyaman ini, kami dari masjid As Sakinah sedang mencari dana untuk membetulkan masjid kami. Masjid kami sudah sangat rusak atapnya bocor di sana-sini. Kalau hujan masjid kami basah. Sudah setahun perbaikan masjid tertunda karena kami kekurangan dana. Terima kasih semoga amalnya diterima dan diberi balasan pahala yang setimpal. Selamat meneruskan perjalanan semoga selamat di tujuan. Terima kasih semoga amalnya diterima dan diberi balasan pahala yang setimpal. Selamat meneruskan perjalanan semoga selamat sampai di tujuan.”
Tanpa sengaja Rima sempat melihat kumpulan uang-uang sumbangan yang terkumpul di dalam kotak.
Ada cukup banyak lembar uang pecahan lima dan sepuluh ribuan. Bahkan ada juga lembaran dua puluh ribu dan dan lima puluh ribu.
Zaman sedang susah seperti saat ini, ternyata orang Indonesia cukup dermawan juga. Padahal kalau dipikir-pikir, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih terkena dampak krisis moneter. Negara ini belum sembuh benar dari titik nol sejak reformasi sembilan puluh delapan.
Namun mungkin, bisa jadi bukan karena dermawan.
Bisa jadi karena penduduk negeri kita mudah jatuh simpati ketika menyaksikan orang lemah atau sedang dirundung kemalangan. Persis seperti yang sedang ada di depan mata saat ini.
Berbagai alasan seperti misalnya untuk sumbangan masjid, dan juga karena nasib malang, menjadi azaz pemanfaatan dan senjata ampuh oleh pihak-pihak tertentu.
Seperti halnya sang pria kaki satu yang mampu mendongkrak timbulnya sebuah kata humanis dan empati dari dalam hati.
Kalau isi kepala tidak dipenuhi dengan kecerdasan, kita jadi mudah dimanipulasi dengan kemalangan yang bisa jadi sebetulnya palsu.
Rima terus memperhatikan dengan seksama. Matanya mengikuti pergerakan si lelaki buntung dan si perempuan yang telah selesai meminta-minta untuk sumbangan masjid.
Mereka turun dari bus, lalu berdiri di pinggir jalan, kemudian bersiap-siap menyeberang jalan.
"UWOW! Hahaha!"
Rima terkejut. Bola mata indahnya sedikit terbelalak. Lalu tertawa keras dalam hati.
Pemandangan yang selanjutnya dia lihat dari kaca jendela, sangat lucu dan menohok. Paling tidak bagi dirinya sendiri.
"Untung gue gak ngasih uang sumbangan tadi. Bokis banget! Tiba-tiba kakinya bisa ada lagi, hahahaha," ujar Rima tertawa geli campur getir dalam hati, melihat si lelaki buntung pengais sumbangan ternyata bisa berlari lincah bak seekor rusa hutan, menyeberang jalan dengan dua kaki lengkap.
Dasar tuti, alias tukang tipu.
*Tamat*