Masukan nama pengguna
Tari sedang memotong kecil-kecil seloyang agar-agar yang tadi dimasak Bik Heni. Agar-agar itu sudah menjadi dingin dan cukup keras untuk dibelah dengan pisau cutter berkarat yang biasa digunakannya. Dulu, diawal ia ikut tinggal bersama Bik Heni selepas ditinggalkan ayahnya kawin lagi, seringkali jari-jarinya teriris halus oleh cutter saat sedang membelah agar-agar. Namun, karena terpaksa menerima keadaan, Tari tidak pernah mengeluh dengan apapun yang terjadi.
“Habis ini langsung kupas kelapa!”.
Begitulah perintah Bik Heni pada keponakannya yang dijadikannya karyawan tetap untuk usaha minuman es buah dan es dawet, juga es kelapa muda yang digelarnya di depan rumah. Tari hanya mengangguk karena sudah mengerti dengan perintah bibinya itu. Sementara Bik Heni sibuk membuat buliran cendol, Tari yang telah selesai memotong agar-agar kemudian mengambil parang untuk menekang kumpulan kelapa muda di samping rumah.
Selesai membuka batok kelapa dan mengumpulkan airnya, Tari dengan cepat mengerok daging kelapa muda dengan sendok. Sesekali gadis itu mengunyah daging kelapa muda itu dengan lahap dan diam-diam agar tidak ketahuan Bik Heni yang sedang tidak mengawasi. Tari lapar sekali karena sepulang sekolah belum diizinkan makan nasi. Uang jajannya di sekolah juga tidak mencukupi. Hanya bisa untuk membeli sosis goreng ukuran kecil seribu-dua ribu perak. Kadang, Tari memilih tidak membelanjakan uangnya untuk membeli makanan demi bisa membeli pena atau buku tulis baru juga iuran fotokopi materi pelajaran. Karena uang jajan yang diberikan Bik Heni sangatlah kurang atau bahkan Bik Heni tidak memberi uang saku sama sekali.
“Masih untung kamu aku beri makan. Ibumu saja tidak mau mengurus kamu, Bapakmu juga malah sibuk kawin lagi, tidak peduli dengan anak sendiri.”
Bik Heni memandang sinis pada Tari yang dulu pernah bertanya dengan sopan tentang upah bekerja padanya yang mana Tari harus menyiapkan serta menjual minuman di pinggir jalan setiap hari selepas pulang sekolah tanpa libur sama sekali. Ternyata, Tari terpaksa diterima di rumah Bik Heni. Karena saudara ayahnya tidak ada yang mau menampung. Pun juga saudara ibunya tidak mau tahu sama sekali dengan nasib keponakan mereka, selain Bik Heni. Sedangkan kakek-nenek Tari sudah wafat keempatnya.
Bik Heni merasa Tari adalah beban yang tidak bisa ia singkirkan. Karena meskipun terpaksa mengurus keponakannya itu, Bik Heni terus mendapat kiriman uang dari ibu Tari yang bekerja sebagai TKW. Mau tidak mau jika menginginkan uang upah mengurus Tari, Bik Heni harus menerima Tari di rumahnya berikut dengan memberinya makan dan membelikan keperluan sekolah anak itu. Maka dari itu, sekalian saja Tari dijadikan wanita itu sebagai pekerja tetap tanpa digaji.
“Sudah Bik, kelapa mudanya!”, seru Tari dari luar rumah.
Bik Heni yang selesai membuat cendol beranjak menuju Tari yang sedang mengumpulkan sampah batok kelapa ke dalam karung. Wanita setengah baya itu memeriksa hasil pekerjaan Tari dengan teliti.
“Kamu makan ya kelapa mudanya? Kenapa hanya sedikit jadinya ini?!”.
Tari dengan hati – hati menjawab, “Aku Cuma ambil sedikit Bik, soalnya lapar belum makan sedari pulang sekolah tadi.”
“Dasar anak nggak tau diuntung! Untuk jualan pun kau makan juga!”.
“Bik, aku kan sudah bilang kalau yang biasa maling lauk di dapur itu Reni, anak bibik sendiri!”.
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Tari. Gadis itu sampai terhuyung ke samping. Bik Heni yang seorang ibu-ibu bongsor tentu lebih kuat tenaganya dibandingkan gadis SMA yang bertubuh kurus dan mungil akibat kurang gizi. Tari hanya bisa memegangi pipinya yang terasa panas sambil menahan tangis. Sementara Bik Heni menatap Tari dengan perasaan jijik yang tidak tertahankan.
“Jangan kau berani-berani menuduh anakku! Reni punya ibu-bapak yang lengkap dan mengurusnya dengan baik. Bukan seperti kau anak yang tak diharapkan, hanya menjadi beban!”, teriak Bik Heni kepada Tari sembari jemari gempalnya menunjuk dan menjitak kepala gadis itu.
“Anakku tidak mungkin mencuri. Semenjak kau datang ke rumah ini, uang dan makanan banyak yang hilang. Kau itulah yang maling. Dasar anak sialan!”.
Tari hanya termenung sedih menerima tuduhan dan hinaan Bik Heni padanya. Bukan sekali dua kali ia dituduhkan perbuatan yang tidak dilakukannya. Sakit hati sekali rasanya hanya bisa diam tanpa sekalipun didengarkan saat membela diri. Padahal, Tari tahu pasti kelakuan tercela anak Bik Heni yang selain suka mencuri uang ibunya juga makanan, pergaulan gadis itu bebas dan tercela. Namun, Bik Heni tidak akan mau mendengarkan pengaduan dari Tari sehingga gadis itu tidak pernah memberitahu bibinya selain membantah tuduhan pencurian saja.
Pengantar kelapa datang dan Bik Heni bergegas membayar kelapa-kelapa yang telah dibelinya. Lalu, wanita setengah baya itu memberi perintah pada Tari untuk mengangkat kelapa-kelapa itu ke samping rumah tanpa ia membantu sama sekali. Tari dengan hati yang dongkol melakukan perintah bibinya itu. Selesai mengangkat kelapa, Bik Heni memerintahkan Tari untuk segera menggelar lapak jualan di depan rumah. Dan meskipun dengan hati yang masih sangat kesal, Tari harus menguatkan diri untuk berjualan minuman di hari itu.
Terik matahari terhalangi payung lebar nan tipis kepunyaan Bik Heni. Tari duduk menunggui barang jualan sampai terkantuk-kantuk karena sedikitnya pembeli. Hanya ada empat atau lima orang yang mampir hari itu. Wajar saja, es buah jualan Tari berikut dengan es dawet dan es kelapa mudanya tidaklah istimewa. Sedangkan di seberang rumah Bik Heni ada beberapa penjual minuman kaki lima juga yang menggelar lapak berdekatan. Jualan tetangga-tetangga Tari itu punya banyak variasi dan banyak porsi. Sedangkan kepunyaan Bik Heni hanya minuman es biasa saja dengan sedikit buah-buahan di dalamnya, juga sedikit daging kelapa mudanya, dan cendol dawet yang kurang nikmat rasanya. Berikut dengan porsi yang juga sedikit.
Tari sudah sering menegur Bik Heni yang terlalu pelit memberikan minuman pada pelanggan. Namun, Bik Heni yang memang kikir tidak sudi dinasehati anak ingusan macam Tari, dan malah berbalik memarahi gadis itu. Tari bahkan sudah bisa menerima jika dirinya akan mendapat umpatan dan tuduhan lagi karena setiap kali jualan sedang sepi, Bik Heni akan menyalahkan Tari sebagai pembawa sial dan penghambat rezeki.
Tari tidak berani tidur meski sejenak walaupun dirinya sudah sangat mengantuk. Gadis itu tidak mau terkena sabetan gagang sapu Bik Heni jika ketahuan bermalas-malasan. Padahal, memang jualan sedang sepi ditambah Tari juga belum makan apapun sedari pagi. Dengan cangkir plastik yang telah usang, Tari mengambil sedikit minuman es tanpa buah yang buru-buru diminumnya karena haus sekali. Mujur baginya, Bik Heni masih sibuk di dapur sehingga tidak tahu kelakuannya itu.
Kalau sedang banyak waktu berpikir, Tari sering ingin menangis meratapi nasibnya. Ditinggalkan ibu yang mengais rezeki di negeri orang sejak SMP dan ditinggalkan ayah begitu saja karena tidak disukai ibu tiri. Tari dipaksa Bik Heni bekerja tanpa upah dan selalu mendapat caci maki bahkan pukulan jika membantah. Pun ketika gadis itu hanya diam, terkadang Bik Heni akan tetap mencaci maki hanya karena ingin melampiaskan emosi sehabis berdebat dengan suaminya atau dengan Reni yang sering berperilaku kurang ajar.
“Tidak ada gunanya kau belajar. Lebih baik kau bekerja saja supaya tidak menambah bebanku.”
Celotehan itulah yang selalu diucapkan Bik Heni setiap kali Tari izin mengerjakan PR. Tidak ada kesempatan baginya untuk mengubah nasib. Sekolahnya kadang harus ia korbankan dengan membolos agar bisa membantu Bik Heni berjualan jika sedang ada bazar atau acara pernikahan. Seperti apapun Tari memohon untuk libur berjualan, Bik Heni tidak akan pernah mengizinkan. Uang lebih penting bagi wanita paruh baya itu dibandingkan memberikan izin bersekolah kepada si keponakan.
“Perempuan bodoh seperti kamu tidak akan bernasib baik. Contohnya ibumu. Ditinggalkan bapakmu sampai-sampai harus bekerja ke luar negeri dan meninggalkanmu.”
Tari mengusap air yang akan mengalir di ujung mata. Ia rasanya tidak tahan lagi dengan semua hinaan si Bibi. Terlebih anaknya yang suka mencuri juga sering ikut-ikutan mengolok-olok. Parahnya lagi suami Bik Heni juga sering memperlakukan Tari bagai pembantu. Keluarga itu tidak amanah menjaga Tari. Namun, Tari pun tidak punya tempat untuk berlindung dan berteduh selain pada Bik Heni yang telah diamanahkan sang ibu untuk menjaganya.
Hari beranjak maghrib. Tari membereskan peralatan jualan. Es buah dan cendol dawetnya masih banyak bersisa. Seperti dugaannya, Bik Heni kembali mengomel sembari memotong cabai untuk memasak gulai hati ayam yang akan dijual di pasar esok hari.
“Sepi lagi hari ini? Wajar saja, penjualnya memang pembawa sial.”
Panas hati Tari mendengar ejekan itu. Meski ia telah berusaha menerima perlakuan buruk dan celaan hampir setiap hari, tetap saja hatinya sakit sekali. Rasanya sangat ingin telapak tangan gadis itu mendarat keras di wajah Bik Heni. Atau bagaimana jika jemarinya menggenggam cabai-cabai lunak yang sedang diiris Bik Heni lalu diraupkannya ke wajah wanita itu berkali-kali? Pikir Tari. Senyum samar menghiasi wajah kusam Tari sejenak.
“Kenapa kau berdiri di situ? Kupas kelapa di sana, aku butuh santan kelapa. Memangnya kau tidak mau makan apa?”.
Mendengar kata makan membuat Tari bergegas melakukan perintah Bik Heni selepas menyimpan peralatan jualan. Laparnya sudah teramat sangat. Nasi menjadi makanan paling mewah bagi Tari yang sejak pagi tidak menyentuhnya sama sekali. Terbayang olehnya gulai hati ayam bercampur terung hijau yang pastinya nikmat sekali.
“Besok aku tidak mau tahu, kau harus bisa menjual banyak minuman. Kalau masih saja tersisa banyak seperti hari ini dan kemarin, jangan harap kau bisa makan.”
Suara sengau Bik Heni yang sedang memeras santan kelapa selepas mengiris cabai membuat Tari berhenti dari mengupas kelapa berikutnya. Kata-kata si bibi adalah ancaman bagi gadis itu yang menyulut api amarah di dalam hatinya. Dengan kesal diayunkannya golok tajam menghantam kelapa yang sedang dipegangnya.
“Kau jangan berani-berani mengambil hati ayam nanti. Makanlah olehmu kuah santan saja. Itu lebih pantas untukmu. Rugi aku jika harus memberimu makanan mewah.”
Tari lagi-lagi berhenti mengupas kelapa. Ia menahan keras amarahnya. Rasanya benar – benar sudah tak tahan lagi dirinya diperlakukan bagai sampah, sampai makanan murah saja tidak pantas baginya. Dengan kembali menahan kekesalan, Tari menghantamkan golok yang digenggamnya erat pada kelapa yang telah dikupasnya. Kelapa itu pun terbelah dengan sempurna mengeluarkan air yang siapapun tak ingin meminumnya.
“Jangan kau ambil nasi banyak-banyak. Cukuplah untuk manusia sepertimu segenggam saja. Tidak ada gunanya bagiku memberimu makan. Hanya membuat busuk periuk nasiku saja. Dengar kau Tari!” hardik Bik Heni garang.
Cukup sudah! Tari melemparkan kelapa dari genggamannya ke tanah. Ia beranjak dari jongkoknya dan dengan cepat menghantamkan golok tajam itu ke kepala Bik Heni berkali-kali tanpa pikir dua kali. Wanita paruh baya itu terdiam kaget lalu memekik sebentar dan roboh ke lantai. Tari tanpa belas kasihan hanya memandang bibinya dan tidak tergerak memberi pertolongan sama sekali. Mulut yang jahat itu sudah tidak bisa menghina dan mengancamnya lagi. Puas rasanya berhasil membuat wanita paruh baya itu diam untuk selamanya.