Masukan nama pengguna
“Sini biar kakak saja yang ambilkan”, kata Kak Mira yang berjalan melewati Meli.
Kak Mira mengambil sepiring bakwan di atas meja makan. Bakwan itu dimasak Meli untuk menyambut suaminya sepulang kerja karena makanan itu adalah favorit suaminya. Kak Mira berjalan dengan cepat membawa sepiring bakwan itu ke hadapan Andi, suami Meli yang sedang duduk istirahat di ruang tamu. Wanita itu adalah tetangga baru Meli. Kak Mira pindah bersama suaminya ke desa tempat Meli dibesarkan.
Wanita itu belum memiliki anak. Sedangkan Meli sudah punya dua buntut yang beranjak bujangan. Meli dan Kak Mira cepat akrab karena mereka memang tetangga dekat. Jarak tiga rumah saja membuat Kak Mira bebas berjalan kaki menuju rumah Meli untuk main dari pagi hingga sore hari. Suami Kak Mira sering merantau ke kota untuk bekerja. Sedangkan suami Meli pulang setiap harinya. Mungkin karena kurang kasih sayang suami itulah yang membuat Kak Mira selalu main ke rumah Meli hingga ikut melayani suami Meli yang baru pulang kerja.
Seperti saat ini, Kak Mira juga dengan sigap mengambilkan minum bahkan membuatkan kopi untuk suami Meli. Sedangkan Meli hanya bisa menahan geram di dalam batinnya. Ia ingin menegur Kak Mira namun terhalang sifat tidak enakan. Sementara itu, Kak Mira malah semakin seenaknya saja. Wanita itu bukannya merasa risih karena suami tetangga sepulang kerja ingin istirahat dan bercengkrama dengan anak istrinya. Yang ada Kak Mira malahan lebih dulu mengambil posisi untuk bisa mengobrol akrab dengan Andi. Meli hanya mampu mengamati gerak gerik si tetangga genit yang sedang berusaha menarik perhatian suaminya. Andi yang lelah pun terlihat pasrah saja diajak ngobrol Kak Mira yang juga sedang mengaduk kopi untuk disuguhkannya pada lelaki itu.
Awal pindah ke rumah kosong yang telah dibelinya, Kak Mira terlihat sangat ramah dengan cara bicaranya yang lemah lembut. Para tetangga terutama ibu – ibu pun mudah mengakrabkan diri. Namun entah mengapa, Kak Mira hanya nyaman bergaul bersama Meli hingga betah berlama – lama di rumahnya. Kak Mira juga betah berteman dengan Andi. Malahan lama kelamaan Kak Mira lebih suka mengobrol dengan Andi dibandingkan dengan istrinya. Meli tentu saja dulu tidak curiga. Apalagi Kak Mira lumayan jauh lebih tua darinya, dan sedikit lebih tua dari suaminya.
Sehari – hari, rasanya batin Meli makin tertekan saja. Ia tidak bisa mengabaikan Kak Mira yang selalu ingin bercerita dan didengarkan. Padahal, Meli punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Melihat Meli kerepotan mengurus kedua anaknya saja Kak Mira tidak mau perhatian. Wanita itu justru sibuk mengomentari Meli perihal cara merawat anak yang benar. Meli selalu hanya menjadi pendengar tanpa mau membantah karena takut nanti Kak Mira akan tersinggung lagi. Seperti suatu kali saat Mira sedang membujuk anak bungsunya untuk makan lauk yang sudah dimasaknya dibandingkan dengan makan mie instan. Kak Mira dengan sok tahunya malah mendukung si anak bungsu yang merengek mencari pembelaan.
“Anakku ini baru dua hari yang lalu makan mie instan, Kak. Jadi aku larang hari ini dia makan lagi. Aku juga sudah masak lauk banyak. Biar dia belajar menghargai usaha ibunya ini.” Meli membantah Kak Mira dengan memberi pengertian tentang aturan makan anaknya.
“Aku tahu aku belum punya anak. Tapi bukan berarti aku tidak mengerti!” Kak Mira menyanggah dengan sengit. Terbaca ketersinggungan dalam kalimatnya. Padahal, Meli sama sekali tidak bermaksud menyinggung wanita itu. Sejak hari itu, Meli enggan lagi membantah si tetangga. Demi tidak berdebat dan membuat masalah.
Meli menyadari betul, sulit menghadapi orang seperti Kak Mira. Sudahlah berkunjung tidak tahu waktu, tidak pengertian dengan kehidupan orang lain, dan genit pula pada suami orang. Tentunya Meli sangat ingin mengusir wanita genit yang baru lekap di desanya lima bulan belakangan. Menepis pikirannya yang sedang curiga dan menuduh pada Kak Mira, Meli menyadari kalau dirinya mungkin saja sedang cemburu. Padahal ia sebagai istri selalu dipuji Andi dan dicintai sepenuh hati. Untuk apa pula cemburu pada wanita yang bahkan tidak begitu mendapat peduli dari suami yang kabarnya lebih betah di kota daripada berkumpul dengan istrinya di desa.
“Kamu rajin sekali bekerja ya Andi, pasti Meli dan anak – anak bahagia punya suami dan ayah seperti kamu. Tapi kamu juga harus peduli sama diri sendiri. Meli pun harus melayani kamu tanpa kurang sedikitpun.”
Kak Mira mulai memuji – muji Andi lagi, yang membuat Meli merasa gerah. Mulut manis wanita itu sepertinya suka memancing reaksi lelaki. Sayangnya, lelaki yang disanjung ini adalah suami orang, tepatnya suami Meli. Dan entah apa maksud Kak Mira yang tidak begitu jelita, mengatakan pada Andi agar peduli pada dirinya sendiri dan Meli yang harus melayani tanpa kurang sedikitpun. Meli menyadari, wanita itu sedang memprovokasi.
Andi hanya tersenyum sambil menyesap kopi. Lalu sambil mengunyah pisang goreng, Andi membantah ucapan Kak Mira dengan memuji Meli. “Meli adalah istri yang sempurna untuk saya. Tidak kurang apapun. Dan justru Meli yang membuat saya peduli pada diri sendiri. Karena Meli membantu saya bertumbuh dan berkembang sebagai lelaki.”
Meli menoleh pada Andi yang menatapnya penuh cinta. Kedipan mata sang suami mampu menghangatkan hati Meli yang tadinya penuh caci maki pada si tetangga genit di seberangnya.
“Baguslah kalau begitu”, lirih Kak Mira yang menyunggingkan senyum canggung lalu menatap lantai dan sekeliling ruangan dengan mata tidak senang. Meli tahu itu. Ia tahu pasti kalau wanita di hadapannya itu tidak suka dengan kebahagiaan rumah tangganya. Meli mungkin terdengar seperti wanita yang cemburuan dan minder, tapi Meli tidak bisa mengabaikan firasatnya. Sementara itu, Andi pamit masuk kamar hendak mandi. Kak Mira kembali menoleh pada Andi dan memberikan senyum penuh arti. Mira lagi – lagi merasa gerah dan kali ini diikuti dengan perasaan ngeri. Sungguh tidak beres si tetangga genit ini.
Berhari – hari selanjutnya, Kak Mira semakin tidak tahu malu saja. Terang – terangan menunjukkan ketertarikannya pada Andi, meski Andi mengabaikan. Andi juga menenangkan Meli yang mengutarakan kekhawatirannya. Ibu – ibu tetangga di desa pun mulai bergosip tentang Kak Mira yang tidak tahu waktu berkunjung ke rumah orang. Meli juga diperingatkan untuk berhati – hati, agar menjaga suami dari godaan wanita baru di desanya itu. Hati Meli semakin was – was, karena orang lain pun ikut merasa ada yang tidak baik dari Kak Mira yang telah menjadi teman akrabnya itu.
Hingga tibalah hari itu. Meli tidak sanggup lagi memendam kegundahan hati seorang diri. Ia nekat mengungkapkannya pada Kak Mira meski nanti ia akan dianggap gila. Ketika Meli dan Kak Mira sedang memasak untuk menyambut Andi sepulang bekerja, Kak Mira dengan percaya diri menyatakan kalau Andi pasti menyukai masakannya. Karena menurut Kak Mira, pengalamannya dalam memasak sudah lebih banyak, dan Meli justru harus banyak belajar darinya. Andi mungkin saja selama ini tidak punya pembanding, makanya terus memuji masakan Meli. Padahal, menurut Kak Mira masakan Meli tidak begitu enak dibandingkan dengan buatan tangannya.
Meli mematikan kompor dan meletakkan spatula yang sedang digenggamnya. Ia menghadap Kak Mira dengan marah. Kak Mira berdiri dengan sikap antisipasi.
“Sudah cukup, ya Kak. Cukup terus – terusan protes dan mengkritik. Cukup mencoba mendekati Andi dan terus – menerus memuji suamiku sembari menjatuhkan aku. Aku tidak tahan lagi dengan semua sikap dan ocehanmu itu!”
Kak Mira tentu terkejut dengan keterus – terangan Meli yang berani mengeluarkan unek – unek yang disimpannya selama ini. Belum sempat Kak Mira hendak membantah, Meli pun langsung menyambar dengan mata yang berapi – api. “Kamu tahu bagaimana cemburunya aku melihat Kak Mira mendekati Andi? Sangat Cemburu! Karena aku ingin akulah yang kamu dekati. Akulah yang kamu inginkan dan kita bisa menjadi pasangan. Bukan Andi!”.
Mata Kak Mira melotot karena sangat terkejut mendengar ucapan Meli. Ia terdiam sejenak memproses kata – kata Meli. “Mel, maksud kamu…?”
“Iya!”, sambar Meli lagi. “Aku yang menyukaimu, Kak. Aku yang menharapkanmu, bukan Andi!”
Kak Mira bergerak mundur menjauhi Meli. Namun, Meli malah mengulurkan tangan menangkap kedua lengan Kak Mira dan menatap mata wanita genit itu dalam – dalam.
“Kak, jujur aku ingin sekali bersamamu. Selama ini aku terus menahan diri agar keluargaku tidak malu. Tapi kemudian kamu datang dan betah bersamaku di sini. Walaupun kamu malah mendekati Andi, tapi aku cukup bahagia dengan kamu yang berada di dekatku.”
Kak Mira merasa dadanya sesak karena syok. Ia juga berusaha memberontak dari dekapan Meli. Namun, Meli sekuat tenaga mempertahankan kak Mira dalam genggamannya.
“Kalau kamu mau aku meninggalkan Andi dan anak – anak, aku dengan senang hati melakukannya, Kak. Kita bisa kabur berdua. Kamu tentunya belum pernah merasakan nikmatnya bersama wanita, bukan? Aku bisa berikan itu.”
Kak Mira merasa ingin muntah mendengar ucapan Meli. Dan melihat tatapan Meli yang mengerikan, tetangga genit itu mendorong Meli sekuat tenaga untuk melepaskan diri lalu kabur keluar rumah dengan berlari kencang. Meli yang terjatuh karena dorongan pun berusaha memanggil – manggil wanita genit itu. Meli mengejar Kak Mira keluar rumah. Namun, Kak Mira sudah tak terlihat di mana – mana. Meli berinisiatif menyusul Kak Mira ke rumahnya, namun dengan teriakan Kak Mira dari dalam rumah kecilnya yang menyuruh Meli untuk pergi, Kak Mira tidak pernah lagi membuka pintu.
Satu bulan setelah pernyataan cinta itu, Kak Mira dibawa suaminya pindah ke kota. Tanpa pamit pada Meli dan memberikan hadiah perpisahan sama sekali. Ibu – ibu tetangga pun bergosip tentang kepindahan wanita itu. Mereka bertanya mengapa kak Mira tidak lagi gemar bertandang ke rumah Meli dan bahkan tidak berpamitan ketika akan pergi. Padahal Meli dan wanita itu sempat dekat beberapa waktu.
“Entahlah, Bu. Saya juga bingung. Mungkin memang sudah habis masa pertemanan kami.” Jawab Meli dengan senyum puas.
Ibu – ibu tetangga tentunya penasaran dengan sebab pasti kepergian Mira dan putusnya persahabatan wanita itu dengan Meli. Namun, ibu – ibu tetangga pun lega karena Meli bisa menjauhi si tetangga genit yang ternyata adalah istri simpanan suami orang. Meli tahu firasatnya tidak salah. Dan terbukti si tetangga genit ternyata memang wanita pengganggu. Bahkan setelah Meli menyatakan perasaan cinta palsunya pun, Kak Mira tetap saja berusaha mendekati Andi dengan menjelek – jelekkan Meli sebagai pecinta sesama wanita. Andi yang memang bekerja sama dengan Meli pun berbalik menuduh Kak Mira sebagai tukang fitnah. Mungkin karena takut dengan orientasi Meli dan sudah ditolak Andi dengan tegas itulah yang membuat si tetangga genit pindah ke kota mengikuti suami orang yang menyimpannya. Dan kini, Meli bisa bernapas lega, begitupun juga Andi. Bahkan para ibu tetangga juga ikut merasa lega karena tidak ada lagi calon wanita pengganggu keluarga orang yang menetap di desa mereka.