Masukan nama pengguna
Diah menutup pintu lalu memastikan telah menguncinya dengan benar. Ia pun memeriksa keadaan putrinya yang sedang menderita demam sejak siang hari. Kekhawatiran menyelimuti Diah yang tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengompres kening putrinya dengan selembar kain yang dibasahi air dingin.
Suaminya sedang pergi merantau ke kota. Satu bulan sudah Diah dan anaknya ditinggalkan demi mencari sesuap nasi dari hari ke hari. Harusnya tidak lama lagi suaminya akan kembali. Karena uang belanja Diah dan anaknya sudah hampir habis. Ditambah lagi teror makhluk mengerikan di dusunnya sudah semakin parah. Bukan hanya setiap malam makhluk-mahkluk pemenggal kepala itu menampakkan diri. Di siang hari pun banyak orang dusun dibuat ketakutan dengan penampakan makhluk mengerikan yang mengincar makanan di dusun tengah hutan itu.
“Bu, aku haus,” rintih sang putri.
Diah memberikan putrinya segelas air minum. Gadis manis yang baru berusia tujuh tahun itu tampak sangat lemas dan sedikit pucat. Namun, dengan permintaannya untuk minum membuat Diah sedikit lega dan yakin bahwa putrinya akan segera sembuh.
Bidan dusun tinggal cukup jauh. Rumah antar tetangga dusun saja berjarak satu kali putaran lapangan sepakbola di kampung. Apalagi rumah bidan yang sangat dihormati, lokasinya ada di tengah perkampungan yang lebih maju. Untuk masuk ke kampung itu pun harus ada persetujuan para warganya. Karena orang-orang dusun di tempat Diah dibesarkan sudah lama diasingkan sebab dianggap sebagai keturunan yang dikutuk.
Kutukan yang dipercaya akibat memenggal seorang ahli nujum terkemuka pada zaman dahulu. Yang menyebabkan makhluk-makhluk mengerikan haus darah masih terus berkeliaran hingga zaman sudah maju. Beruntungnya, para makhluk pemenggal kepala itu hanya beraksi di malam hari dan hanya sekadar menampakkan diri di siang hari.
Orang-orang dusun sebenarnya sudah tidak betah. Namun, mereka tidak bisa pindah ke kota karena orang-orang di kota menolak keras kehadiran warga dusun yang dianggap datang dengan membawa kutukan. Padahal, orang-orang kota itu punya senjata api untuk pertahanan diri. Tapi, kepada sesama manusia mereka tidak mau melindungi.
Diah kadangkala merasa sangat khawatir dengan masa depan. Meskipun ia dan keluarganya sudah terbiasa dengan teror dan kematian yang disebabkan makhluk-makhluk mengerikan itu. Namun, ia juga ingin merasa aman dari gangguan. Sekalipun sudah berpuluh-puluh tahun dusunnya dipagari dengan garam bermantra pelindung, tetap saja ia was-was ketika malam tiba.
Diah ingin sekali pindah, paling tidak ke kampung sebelah. Yang lebih ramai dengan manusia dan tidak sunyi sepi seperti dusun kelahirannya. Tapi ia tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa. Darahnya yang terkutuk hanya akan membuatnya mati di tempat lain. Kecuali di kota, di mana makhluk-makhluk mengerikan itu tidak bisa menjangkau keramaian dan mengalahkan hebatnya senjata.
Suami Diah sebenarnya sedang mempersiapkan pelarian keluarga mereka di kota. Harus sangat hati-hati agar warga kota tidak curiga dan mengucilkan mereka yang dianggap darah terkutuk. Dan tentunya mereka juga harus sembunyi-sembunyi agar orang-orang dusun tidak menghalangi atau sampai menumbalkan mereka karena dianggap pengkhianat.
Tidak ada yang menolong dusun itu. Orang-orangnya dibiarkan hidup dalam pengasingan dan kutukan. Hanya saja akses ke sekolah dan fasilitas kesehatan mereka diizinkan. Sumber bahan makanan memang cukup dan tidak akan kekurangan. Sawah dan sungai selalu makmur dan subur juga berlimpah. Namun, hidup dalam ketakutan membuat Diah dan sang suami tidak tahan lagi. Apalagi untuk menikmati malam hari, mereka hanya bisa bermenung di dalam sepi.
Lampu minyak masih berdiri kokoh di tengah ruangan dengan memancarkan api yang cukup terang. Membantu Diah menyuapkan sedikit demi sedikit makanan ke mulut putrinya yang mengunyah pelan. Sang putri menggeleng di suapan ke empat. Diah tidak memaksa dan segera menyimpan lagi sepiring nasi beserta ikan asap ke dalam tudung saji anyam.
Perasaan Diah tidak nyaman. Guruh sudah terdengar sejak sore hari. Harapannya, hujan hanya turun sebentar saja. Jangan sampai semalaman karena biasanya akan ada angin kencang. Lampu bisa padam jika angin masuk lewat sela-sela pintu. Diah dan anaknya akan berpelukan semalaman seperti hari-hari kemarin dengan perasaan was-was jika makhluk-makhluk itu mengelilingi gubuk mereka karena garam penangkal yang pudar.
Sudah lama dusun itu tidak membiarkan jatuhnya korban. Garam penangkal masih terus disebar. Namun, hujan sangat mungkin membuat garam-garam itu hilang terbawa air. Para tetua butuh menunggu siang untuk kembali menebar garam perlindungan. Dahulu, korban-korban berjatuhan akibat tidak sabaran membuka pintu rumah mereka di subuh hari hanya karena tak sanggup menahan buang air. Mereka mengira makhluk-makhluk pemburu kepala itu sudah pergi. Dan yang terjadi, makhluk-makhluk itupun berhasil mendapatkan makanan. Tubuh tanpa kepala yang cukup membuat sedih juga murka seluruh penghuni dusun. Namun, tentu saja para tetua tidak bisa melakukan apa-apa untuk memutuskan kutukan.
Malam semakin larut. Diah merasakan kesunyian yang tidak biasa. Ada perasaan kalut yang menyerangnya. Gelisah yang tidak bisa dijelaskan. Insting Diah mengatakan akan jatuh korban. Pikirannya melayang ke masa lalu, lima belas tahun yang lalu.
Kala itu, Diah masih remaja tanggung yang merasakan hidup aman dan damai di dusun. Namun, untuk pertama kalinya ia mendapat kabar buruk dari legenda dusun yang diceritakan turun-temurun. Di pagi hari telah tersebar kabar seorang bapak tua yang mati dengan kepala hilang dan tubuh yang terputus tergeletak di dekat sungai. Setelah 15 tahun hidup, Diah baru merasakan kengerian yang dirasanya selama ini hanyalah bualan pengantar tidur yang selalu diceritakan ibunya.
Dongeng tentang dusun mereka yang terkutuk dan terror yang kembali datang hingga benar-benar jatuh korban. Diah yang dulunya tenang pun telah berubah menjadi seorang ibu yang selalu cemas. Menunggu-nunggu sembari berdoa agar teror itu tidak pernah datang lagi. Namun, belakangan justru teror itu kembali. Saat Diah harus mengurus anak seorang sendiri.
Bertahun-tahun setelah menikah dan punya anak, Diah sangat berhati-hati menjaga keselamatannya juga keluarga. Suaminya pun sangat melindungi juga berusaha keras membawa Diah dan anak mereka keluar dari dusun yang kian mencekam. Setiap malam tiba Diah selalu mencemaskan kedatangan makhluk-makhluk yang sewaktu remaja dianggapnya hanya penampakan tidak nyata.
Putrinya telah tertidur kembali. Diah mengganti kompres dengan kain yang baru. Mencoba menenangkan diri, Diah mengusap-usap kepala anaknya dengan penuh sayang. Ia terus meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya akan segera sehat kembali. Dan sang suami akan segera pulang. Entah sampai kapan Diah dan anaknya akan bertahan. Hidup dalam ancaman sudah cukup membuatnya tidak pernah merasa aman.
Diah ingin segera memutus kutukan. Ia tidak mau anak dan cucunya merasakan kekhawatiran yang diwariskan turun temurun. Keadaan dusunnya pun tidak kunjung ada perubahan. Mereka para orang dusun tetap saja ditinggalkan, dianggap manusia terkutuk yang harus membayar hutang kutukan. Meski kampung-kampung yang lain menerima dan melayani berbagai keperluan orang-orang dusun di mana Diah tinggal, tetap saja akses ke desa-desa tetangga lumayan jauh untuk ditempuh.
Sejujurnya, Diah juga ingin melenyapkan stigma terkutuk dari hidupnya beserta keluarga. Ia bertekad menjadi seperti orang lain yang hidup damai di kota. Semua serba ada dan jauh dari gangguan. Dikejar kutukan pun keluarganya bisa meminta bantuan. Sedangkan di dusun, semua orang sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Guntur kembali menyambar. Membuat Diah terlonjak kaget. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari jauh. Diah tahu telah jatuh korban lagi setelah bertahun-tahun dusun diselumuti malam yang sunyi. Diah bisa menebak siapa korban itu dan mengapa ia terbunuh. Pak Sabir, si lelaki tua dan gila yang harusnya diikat kuat di dalam gubuk, pastilah berhasil kabur hingga pergi keluar rumah.
Semua orang tahu bagaimana ketakutannya bapak tua itu yang keluarganya pernah menjadi korban sebelumnya. Lelaki itu pun akhirnya menyusul menjadi korban selanjutnya. Dan semakin kuatlah tekad Diah untuk segera pergi. Karena kalau bukan jasadnya yang akan mati, maka jiwanya lah yang akan menjadi seperti Pak Sabir dan beberapa orang dusun yang tidak kuat menahan perasaan takut hampir setiap waktu. Diah bisa membayangkan bagaimana ngerinya keadaan tubuh lelaki tua yang kepalanya telah hilang terpenggal dan menjadi makanan para makhluk pengintai manusia terkutuk.