Cerpen
Disukai
8
Dilihat
4,594
Perpisahan Sepasang Kekasih
Drama

Sore itu, hujan turun dengan derasnya. Cukup lama hingga kemudian reda, menyisakan rintik-rintik gerimis yang membuat orang-orang masih enggan melangkahkan kaki keluar rumah. Namun, tidak berlaku bagi Suciani. Wanita itu berjalan cepat menggunakan payung agar tidak kebasahan menuju jalanan sempit di pinggir desa yang merupakan area kebun dan persawahan.

Terlihat oleh Suciani sebuah gubuk kecil di pinggir sawah yang diapit sekelumit kebun sawit milik seorang warga. Di gubuk reot itu telah duduk sesosok Nurdin yang duduk diam sambil merokok menunggu kehadiran kekasihnya, Suciani. Lelaki itu gelisah sejak beberapa jam yang lalu karena khawatir Suciani tidak jadi menemuinya disebabkan hujan deras yang sejak siang hari mengguyur tiada henti. Padahal, mereka telah berjanji untuk bertemu demi melepas rindu setelah hampir dua minggu hanya bisa berkabar lewat pesan elektronik.

Suciani melangkahkan kaki dengan lebih santai sambil menyunggingkan senyum kelegaan. Ia sudah menduga Nurdin akan datang. Lelaki itu memang selalu berusaha menemui Suciani apapun yang terjadi. Hanya saja, karena hujan yang tak kunjung reda justru Suciani yang hampir tidak bisa menemui kekasihnya itu. Syukurlah, akhirnya tinggal gerimis yang masih turun membasahi desa. Sehingga tiada penghalang berarti bagi Suciani untuk segera menghambur ke dalam pelukan kekasih tercintanya.

“Sudah lama menunggu, Mas?” Suciani meletakkan payung di tanah lalu mengangkat tubuhnya masuk ke dalam gubuk yang terbuka.

Nurdin dengan senyum yang menampakkan gigi segera mematikan rokoknya lalu tangannya yang kekar berurat menarik tubuh Suciani untuk dipeluk dan diciumi dengan sangat bergairah. Suciani dengan pasrah membiarkan kekasihnya itu menikmati tubuhnya untuk terakhir kali. Lama, Nurdin dan Suciani bergerak satu sama lain untuk saling memuaskan dengan suara desahan yang tertutupi gerimis yang semakin meningkat. Setelahnya, masing-masing dari pasangan kekasih itu membetulkan pakaian dan merapikan rambut yang acak-acakan.

“Ibu tadi berkeras tidak mengizinkanku keluar. Curiga aku akan menemuimu.”

Nurdin kembali menyalakan rokok dan menghisap rokok itu dengan kasar. Ia tahu persis bagaimana ibu Suciani tidak menyukainya hingga melarang keras Suciani menemuinya lagi. Meski Nurdin sudah berusaha menyenangkan wanita tua itu dengan membawakan martabak setiap kali berkunjung serta rutin memberikan uang belanja yang memang tidak seberapa, tetap saja ibu Suciani tidak tersentuh sama sekali. Menyebabkan ia dan Suciani harus bertemu diam-diam di gubuk reot pinggir sawah beberapa bulan belakangan.

“Surya minggu depan akan pulang kampung. Ibu meminta untuk segera lamaran.”

Napas Nurdin tercekat. Ia menelan ludah berkali-kali. Sejenak, hanya suara gerimis yang memecah kesunyian diantara lelaki itu dan Suciani. Nurdin tidak menyangka akan secepat ini. Dugaannya, bocah kota itu akan datang setidaknya bulan depan. Yang membuat Nurdin bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama Suciani. Namun, ternyata ia salah perkiraan. Harusnya tadi sekalian saja ia tanamkan benih di tubuh wanita itu.

“Baguslah. Lebih cepat menikah akan lebih baik,” ucap Nurdin pada akhirnya.

Suciani menatap Nurdin dengan perasaan bersalah. Ia tidak bermaksud mengkhianati Nurdin yang sangat mencintainya dan telah berusaha memperjuangkan cinta mereka. Namun, dalam hati kecilnya ia merasa bangga karena ibunya yang bersikeras menjodohkannya dengan teman masa kecil Suciani yang telah sukses dan menjadi orang kaya di kota. Wanita itu tentu ingin hidup enak. Punya suami kaya akan menaikkan status sosialnya. Membuat warga desa lebih segan karena menghormatinya. Soal cinta, Suciani yakin bisa menumbuhkannya. Apalagi Surya memang sahabat masa kecil Suciani yang dulu pernah ditaksirnya.

Karena Surya pindah ke kota sewaktu kecil mengikuti orang tuanya, Suciani tidak bisa mengontak lelaki itu lagi hingga akhirnya menjalin kasih dengan lelaki piatu yang miskin dan tidak direstui ibunya yang mata duitan. Nurdin tidak bersalah karena miskin. Lelaki itu seorang pekerja keras, namun nasib belum berpihak padanya. Lagi pula, pekerjaan apa yang menghasilkan gaji besar di desa? Nurdin tentu tidak punya dana untuk membuka usaha.

“Aku minta maaf, Mas. Ini terakhir kali kita bisa bertemu.”

“Iya, tidak apa, Dik. Memang seharusnya begitu. Kamu akan segera menjadi istri orang. Jaga marwahmu.”

Lidah Nurdin terasa geli mengucapkan kata-kata barusan. Setidaknya ia sudah menikmati Suciani sebelum bocah kota sok kaya itu menjamah tubuh molek yang duduk termenung di sampingnya. Surya punya nama besar di desa. Tentu saja karena orang tua bocah itu yang telah sukses membangun gurita usaha di kota. Bermodalkan warisan tanah sesepuh di desa yang dijual untuk menjaring kekayaan yang lebih besar lagi. Mereka keluarga pedagang yang kuat melawan resiko. Sedangkan dirinya hanya pemuda desa yang mewarisi kemiskinan orang tuanya. Dan sesekali mendapat hinaan dari ibu Suciani.

Surya memang kaya, namun hanya mewarisi kekayaan orang tuanya. Meskipun miskin, Nurdin bangga pada dirinya yang tidak minta-minta pada orang tua. Sejak SMP, ia telah ikut bekerja menjadi kuli bersama ayah dan pamannya. Karena memang tidak minat bersekolah, Nurdin pun menghentikan pendidikan yang dirasanya tidak akan berdampak pada masa depan. Baginya, butuh orang tua berduit seperti Surya untuk bisa menjadi orang kaya dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan Nurdin tidak punya itu semua.

“Aku mencintaimu, Mas. Tapi takdir membuat kita harus berpisah.”

Ya, mereka ditakdirkan untuk berhenti menjalin kasih. Melalui ibu Suciani yang tidak mungkin dibantah. Melawan orang tua itu tabu, durhaka. Suciani tentu saja tidak akan melakukannya. Terlebih demi lelaki miskin macam Nurdin.

Hari-hari kemarin dilalui Nurdin dengan penuh semangat, mengukir kenangan indah bersama Suciani yang diusahakannya menjadi calon istri. Mereka seringkali bertemu diam - diam di rumah Nurdin saat ayah dan pamannya sedang bekerja. Karena rumah Nurdin berada di barisan paling ujung dengan kebun karet dan pohon mangga di sekelilingnya, membuat Suciani leluasa main ke sana. Pasangan kekasih itu memadu cinta tanpa takut akan digerebek warga.

Berkali-kali Nurdin menyemprotkan cairan dari tubuhnya tanpa takut Suciani menderita kehamilan. Pengaman selalu mereka sediakan. Meskipun begitu, beberapa kali pula mereka kecolongan yang membuat Suciani harus mengonsumsi obat-obatan pencegah terbentuknya jabang bayi. Hubungan penuh ketegangan namun membahagiakan itu membuat Nurdin dan Suciani ketagihan. Namun, kini mereka harus berhenti karena Suciani akan menikahi bocah kota pilihan ibu Suciani.

“Bagaimana kalau kau buat aku hamil saja, Mas. Supaya kita direstui ibuku dan bisa menikah," usul Suciani di masa lampau.

“Jangan gila kau, Dik. Aku bisa dibunuh paman-pamanmu kalau sampai ibumu jatuh sakit gara-gara kenekatan kita.”

Suciani merengut sambil mengangguk-angguk setuju dengan perkataan Nurdin. Ibunya seorang wanita tua yang penuh drama. Hal sepele saja bisa dibuatnya heboh, apalagi kehamilan yang direncanakan Suciani. Bisa-bisa bukan pernikahan yang didapatnya, malahan tebasan golok paman-pamannya yang akan melayang ke arahnya. Ibu Suciani selalu menjaga gengsi meski keluarga mereka bukanlah orang kaya, bahkan di desa mereka termasuk penerima bantuan sosial. Namun, karena kecantikan Suciani sebagai kembang desa membuat sang ibu semakin sombong saja.

“Aku pamit, Mas.”

Suciani memeluk dan mencium Nurdin untuk terakhir kali. Nurdin berusaha keras menahan sesak di dada. Wanitanya yang ranum telah memutuskan hubungan. Mereka tidak akan bisa bermesraan lagi. Bocah kota yang hanya pewaris itu akan puas menikmati tubuh Suciani setelah menikah nanti. Nurdin mengepalkan kedua tinjunya membayangkan hal sialan itu. Namun, lelaki itu tersenyum menang karena telah menikmati Suciani lebih dulu. Bocah kota itu hanya mendapat bekasannya saja. Suciani telah ditidurinya berkali-kali. Nurdinlah pemenangnya, kehormatan Suciani telah diberikan secara sukarela padanya.

Bocah kota yang malang. Calon istrinya telah dipanjat lelaki lain, puluhan kali. Suciani yang tak suci lagi. Sungguh kasihan nasib si bocah kota bernama Surya mendapatkan wanita yang disangkanya masih menjaga diri. Tapi, rumor tentang pergaulan bebas para pemuda di kota mungkin juga telah menjamah Surya. Mungkin saja lelaki itu juga sama tak sucinya. Ah entahlah. Mau bagaimanapun nasib si bocah kota bersama Suciani bukan urusan Nurdin sama sekali. Hanya saja, Nurdin yakin rumah tangga mantan kekasihnya akan sangat kacau jika si bocah kota itu tidak bisa menerima masa lalu Suciani.

Suciani melepaskan pelukan dan segera beranjak pergi. Nurdin membuang rokoknya yang telah habis dan menyalakan lagi rokok lainnya. Matanya terus memandangi sosok Suciani yang berpayung sedang berjalan cepat meninggalkan jalanan sempit yang kemudian menelan sosoknya di ujung sana. Gerimis masih membasahi pepohonan, jalanan, dan gubuk reot tempat Nurdin dan mantan kekasihnya tadi berteduh. Setelah kepergian Suciani, Nurdin termenung cukup lama memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk menghibur diri. Pekerjaannya cukup baik dan selalu ada orderan. Tinggal mencari siapa wanita yang bisa ia jadikan istri.

Dari sekian banyak gadis di desa, hanya Marlina yang membuka pintu hati selain Suciani. Gadis itu sahabatnya sedari kecil. Mereka punya keadaan ekonomi yang sama, bisa dipastikan Marlina tidak akan banyak menuntut begitu juga orang tuanya. Pernikahan kecil-kecilan bisa dilaksanakan. Marlina tidak mungkin menolak. Gadis itu sudah biasa makan nasi berlauk garam. Meski begitu ijazah sekolahnya lulus sampai SMA. Tapi tetap saja pekerjaan yang bisa didapat gadis itu hanya sebagai honorer penjaga sekolah dengan gaji tidak seberapa.

Nurdin tersenyum lega. Meski Marlina tidak secantik Suciani, setidaknya lelaki itu punya kesempatan segera beristri. Apalagi Marlina perempuan yang menjaga diri. Ada kelebihan juga gadis itu meski hanya sekedar masih perawan. Selain itu, Marlina bisa menjadi pembantu gratisan yang akan merawat Nurdin berikut dengan keluarganya. Memasak, mencuci dan membersihkan rumah akan ia tugaskan pada Marlina. Gadis baik-baik itu tidak akan membantah.

Suciani oh Suciani. Kau dan ibumu yang menyebabkan aku begini, gumam Nurdin. Lelaki yang telah berusaha tidak akan melakukannya lagi. Selain Surya si bocah kota, ada Marlina yang juga mendapatkan sisa. Bahkan Marlina lebih parah, karena Nurdin berniat menjadikannya hanya sebagai pelampiasan saja. Begitulah Nurdin sekarang. Patah hati karena Suciani dan tidak berniat menjadi lelaki baik lagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)