Masukan nama pengguna
Seorang anak ditinggalkan ibunya sendirian di rumah saat sedang tidur. Anak itu terbangun menjelang maghrib dan kebingungan karena hanya sendirian di rumah, dalam keadaan rumah yang hampir gelap gulita. Si anak bangkit dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, berjalan ke luar kamar, dan menyalakan lampu ruang tengah.
Anak itu menatap sekeliling, mencari keberadaan ibunya. Tapi, suasana rumah sangat sepi. Si anak pun memanggil ibunya. “Buk… ibu…!”. Tidak ada jawaban. Anak itu lalu berjalan menuju dapur. Namun, niatnya urung karena melihat dapur yang sangat gelap. Si anak berdiri menatap ruang dapur yang tidak ada penghuninya.
“Ke mana perginya ibu ya?” pikir si anak. Dengan perasaan takut kegelapan, si anak pun berbalik berjalan menuju ruang tamu dan hendak membuka pintu menuju ke luar rumah. Tapi, lagi-lagi anak itu tidak berani untuk pergi ke tempat yang gelap. Si anak lalu menyalakan lampu ruang tamu dan juga lampu teras.
Di saat si anak sedang termenung, berpikir apakah ibunya sedang pergi ke luar tanpa pamit, tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup dari arah dapur yang gelap gulita. “Nak…sini nak. Sini sama ibu”. Begitulah bunyi yang terdengar dari dapur yang gelap itu. Anak itu merinding sejenak. Ia ragu dengan apa yang baru saja ia dengar. “Nak… sini nak. Sini sama ibu”. Suara itu kembali terdengar. Si anak mengenali suara itu sebagai suara sang ibu. Anak itu pun berlari mendatangi dapur yang tadi ia takuti.
“Ibuuuu!” panggil anak itu kepada ibunya. Lalu dengan cepat si anak menyalakan lampu dapur dan terlihatlah sosok si ibu yang sedang berdiri di dekat wastafel. “Ibu dari mana saja, kok nggak jawab panggilan aku?”. Si ibu hanya diam saja sambil tersenyum kecil. Anak itu bingung melihat ibunya yang hanya berdiri terpaku lalu mengajaknya duduk untuk makan bersama di meja makan.
Di bawah tudung saji ada sepiring nasi lengkap dengan tambahan semangkuk sambal ayam goreng berjejer berdekatan. Si anak mengambil piring itu dan makan. Ia menawari si ibu namun ibunya hanya menggeleng.
“Aku kira ibu tadi pergi meninggalkanku sendirian di rumah,” ucap si anak sambil makan dengan lahap. Si ibu hanya diam saja menatap anaknya tanpa bergeming sedikitpun. “Aku takut sendirian di rumah kalau malam. Aku 'kan masih kecil, Bu, baru tujuh tahun. Ibu kadang kalau pergi dari sore sering pulangnya sudah lewat jam sembilan. Untung hari ini ibu nggak ke mana-mana,” lanjut anak itu lagi. Si ibu tidak membalas ocehan si anak dan hanya terus menatap anak itu tanpa senyum.
Anak itu hampir selesai makan. Satu suapan terakhir membuatnya geleng-geleng kepala karena masakan ibunya yang enak seperti biasa. “Sudah makannya”. Anak itu bangkit dari duduk dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci piring. Tangannya sudah terbiasa menyabuni dan membilas piring juga sendok dengan mahir. “Ibu malam ini nggak ke mana-mana 'kan?” tanya si anak. Si ibu menjawab dengan gelengan kepala. “Yeaaah, aku nggak sendirian lagi malam ini,” riang si anak yang selesai meletakkan piring ke atas rak.
Ibu dan anak itu beranjak meninggalkan dapur sambil mematikan lampu menuju ruang tengah untuk menonton televisi. Baru saja tivi dinyalakan, lampu mendadak padam.
“Yaaaah, baru saja mau nonton,” seru si anak kesal.
Si ibu menyentuh kepala si anak dalam kegelapan yang membuat anak itu terperanjat kecil. Lalu, si anak mengambil lilin dan menyalakan api sebagai penerangan.
“Lama sekali lampu padam. Enggak enak mati lampu begini. Nggak bisa melakukan apa-apa.”
“Tidur saja kalau begitu,” suara lembut si Ibu memecah keheningan. Si anak menoleh pada ibunya yang terlihat menyeramkan di tengah lampu temaram.
“Enggak ah, Bu. Tadi sore sudah tidur, masa sekarang tidur lagi. Sebentar lagi lah, kan baru saja selesai makan,” bujuk si anak.
Si ibu hanya menatap anak itu tanpa berkedip. Sedangkan si anak entah mengapa merasa merinding kembali. Ada sesuatu yang janggal pada tatapan ibunya. Rasanya suasana rumah tidak nyaman. Agak menakutkan mati lampu kali ini. Padahal, si ibu ada di sampingnya dan menemaninya. Dalam keheningan menunggu lampu menyala kembali, si anak keheranan mengapa ibunya tidak marah-marah seperti biasanya karena anak itu tidak membaca buku pelajaran dan sang ibu malah banyak diam seperti sedang puasa bicara.
Dalam keheningan, si anak merasa bosan tidak melakukan apa-apa. “Bu, aku pinjam handphone,” pinta anak itu. Si ibu menggeleng yang diartikan anak itu sebagai tanda tidak diizinkan. Si anak dengan hembusan napas pasrah kemudian membaringkan kepalanya di pangkuan ibunya. Si ibu mengelus-elus kepalanya lembut. Tatapan anak itu bertemu dengan tatapan tajam si ibu. Lalu anak itu menutup matanya meski belum hendak tidur. Ia tidak tahan menatap mata ibunya yang terlihat menakutkan. Apalagi bulu kuduknya kembali berdiri. Jangan-jangan ada setan di dekat mereka, pikirnya.
Anak itu berlari di tengah hutan, sendirian. Dalam kegelapan yang panjang. Ia mencari jalan keluar ke sana kemari. Namun, berjam-jam lamanya tidak kunjung kelihatan jalan keluar dari hutan. Anak itu menangis dengan napas terengah-engah karena kelelahan. Dan dengan hentakan kaki yang hendak berlari lagi, anak itu jatuh ke dalam jurang yang tidak ia ketahui berada di dekatnya.
Tubuh anak itu tersentak bangun dari tidur. Ibunya menatap dengan sangar dari samping sofa.
“Kamu ini nonton tivi semalaman sampai pagi. Pintu depan tidak dikunci dan tidur pula di sofa. Kalau rumah kemasukan maling bagaimana?” omel sang ibu yang sedang membuka jaket dan kaos kaki, terlihat baru saja pulang entah dari mana.
“Ibu pergi semalam? Kenapa nggak bilang?” balas anak itu kesal.
“Ibu 'kan sudah pamit dari sore kalau ibu mau menemani bibimu di rumah sakit karena sedang lahiran. Kamu bilang iya sebelum tidur. Sudah ibu pesankan ada makanan di dapur dan jangan lupa nyalakan lampu teras dan kunci pintu. Malah tidak kamu lakukan. Nonton tivi saja kamu tidak tahu waktu,” omelan panjang si ibu berlanjut.
“Tapi semalam ibu pulang ke rumah 'kan? Baru setelah aku tidur si sofa saat mati lampu ibu pergi ke rumah sakit?” tanya si anak kebingungan.
Si ibu mengernyitkan dahi sambil minum air putih dari dispenser. “Mana ada. Dari sore hari ibu di rumah sakit. Sudah bawa perlengkapan, tidak perlu pulang ke rumah lagi apalagi sampai menemani kamu tidur.”
“Bu, sehabis maghrib ibu menemani aku makan malam di dapur, lalu saat mati lampu ibu memangku dan mengelus kepalaku sampai tertidur di sofa,” cecar si anak yang mulai merinding.
Kernyitan dahi si ibu semakin dalam. “Kamu ngomong apa sih? Mungkin kamu mimpi tadi. Ibu sudah dari sore di rumah sakit, tidak ada pulang ke rumah baik dari maghrib bahkan hingga pagi tadi.”
Si anak semakin kebingungan dan merinding. Tidak mungkin ia bermimpi. Sangat jelas diingatannya semalam ia ditemani sosok ibunya makan dan ditemani tidur pula di sofa.
“Kalau begitu siapa yang menemani aku semalam?”.
Pertanyaan itu mengambang di antara si ibu dan anak itu. Ibu hanya menganggap si anak bermimpi, sementara anak itu tahu pasti kalau ia menemui sosok lain yang menyerupai ibunya dan bersemayam di rumahnya sendiri.