Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,117
Detik Penentu
Aksi

Arista terpisah dari anaknya. Saat hendak kabur dari kejaran zombie yang entah bagaimana bisa tahu keberadaan mereka bersama puluhan orang lainnya yang berlindung di rumah tua pinggiran kota, Arista dan Sierra terpisah karena ditarik-tarik untuk menyelamatkan diri. Viona yang fisiknya lebih kuat dari Arista berhasil menarik tubuh wanita itu menjauh dari para zombie buruk rupa yang berjalan dengan menyeret-nyeret kaki. Namun, Viona menyesal karena kehilangan jejak Sierra.

Dua wanita tangguh itu pun menyelinap keluar dari bangunan yang sebagiannya telah runtuh untuk secara perlahan dan sembunyi-sembunyi mencari keberadaan Sierra. Tressa, si anak bawang yang fisiknya lemah pun bergantung pada jaket ibunya untuk berjalan lebih cepat tanpa suara. Viona pun dengan erat mencengkeram baju anaknya yang bersandar di punggungnya.

“Lewat sini!” bisik Arista pada Viona.

Ketiga orang itupun bergerak serentak memasuki sebuah gang kecil yang cukup gelap. Matahari tidak lagi bersahabat karena awan mendung sudah menebal dan menutupi kawasan terjangkit itu. Viona dengan cemas mencari tempat perlindungan seperti lorong kecil atau jendela yang terbuka jika sewaktu-waktu ada sekumpulan zombie yang muncul dari arah masuk gang. Sedangkan Arista dengan waspada melihat sekeliling jika ada tanda-tanda Sierra sedang bersembunyi.

Suara seretan kaki para zombie tidak terdengar lagi. Begitu juga dengan orang-orang yang berlari dan berpencar entar ke mana. Arista, Viona dan Tressa sudah sampai di rumah terakhir, jalan pun buntu dan mereka tidak juga menemukan Sierra. Dalam keheningan yang panjang, mereka tahu kalau Sierra pastilah pergi jauh mengikuti orang-orang yang berlari tanpa henti dari kejaran zombie. Hanya saja Arista tidak tahu siapa yang tadi menarik tubuh Sierra hingga terpisah darinya.

“Kita harus berjalan jauh menuju kota. Sekalian mencari tempat perlindungan yang baru.”

“Ya, kau benar. Di sini sudah tidak layak huni. Tinggal menunggu serbuan kawanan zombie yang masih berjalan di belakang,” cemas Viona sambil jemarinya terus menggenggam baju Tressa.

“Karena desa akan dikuasai, perbekalan kita pasti menipis. Bahan makanan akan semakin sulit. Termasuk juga obat-obatan. Padahal, aku bergantung pada obat herbal sekarang. Entah siapa yang sudah memancing zombie-zombie itu ke desa ini.”

“Nanti kita pikirkan itu. Sekarang bantu aku menemukan anakku. Sierra sedang terancam.”

Viona mengatupkan bibir mungilnya dengan gelisah lalu berjalan menyeret Tressa di punggungnya mengikuti Arista yang dengan mantap menuju kota Hegemonia yang sudah porak-poranda.

***

Malam pun tiba. Arista membantu Viona membuatkan tempat tidur yang nyaman untuk Tressa yang tidak tahan dingin. Jaket Arista pun diberikannya pada anak sahabatnya itu untuk dijadikan tambahan selimut.

Siang hari tadi mereka terlalu panik untuk bisa berpikir jernih sejenak dan membawa perlengkapan darurat. Padahal, baik Arista maupun Viona sudah menyiapkan segala perlengkapan dengan matang. Gara-gara serangan mendadak sekawanan besar zombie yang datang tanpa suara lalu melahap brutal apapun yang bisa dikunyah di sekelilingnya, dua wanita tangguh itu pun hanya mampu berlari sambil menarik anak-anak mereka yang baru beranjak remaja dengan kepanikan luar biasa.

Sepanjang penglihatan, tidak ada satupun dari penghuni tempat perlindungan itu yang tertangkap dan tertular virus. Hanya saja, mereka yang telah menjadi teman akrab bahkan keluarga harus berlari menyelamatkan diri dengan berpencar untuk mengecoh para zombie. Sialnya, Arista yang telah lelah dengan napas tersengal gagal mempertahankan Sierra yang tangannya ia genggam erat selama berlari. Baik Arista maupun Sierra sama-sama ditarik orang lain untuk bersembunyi.

Beberapa detik sebelum masuk ke bangunan yang dipilih Viona untuk berlindung, Arista sempat melihat Sierra yang terus berlari mengikuti sekelompok orang yang saling melindungi menuju pusat kota. Untuk itulah, Arista menyusun rencana berjalan dengan berhati-hati menuju pusat kota yang telah sepi dengan membawa Viona dan Tressa bersamanya. Namun, malam itu ia tidak bisa melanjutkan perjalanan mencari Sierra karena Tressa yang sangat lemah harus beristirahat. Dan Arista tidak mungkin meninggalkan Viona juga anaknya yang pastinya membutuhkan bantuannya.

***

Pagi menjelang. Arista tidak bisa tidur sama sekali. Meski telah dicobanya untuk tenang, kegelisahannya tidak juga bisa diredam. Instingnya berkata Sierra dalam bahaya. Siapapun yang telah membawa Sierra pergi belum tentu mampu melindungi putrinya itu. Meski gadis itu sudah diajari banyak hal tentang pertahanan diri, tetap saja Sierra hanyalah seorang remaja yang belum begitu kuat secara fisik. Arista tidak mampu membayangkan bagaimana jadinya Sierra jika tertangkap dan menjadi makanan para zombie atau jika gadis itu cukup beruntung hanya terkena gigitan lalu terinfeksi dalam waktu beberapa hari. Arista sekuat tenaga berusaha mengenyahkan pikiran negatifnya itu.

Viona sudah menyiapkan Tressa untuk bersandar pada jaket dan punggungnya. Sambil mengunyah sebungkus roti yang selalu ia simpan di saku jaketnya, tiga orang yang berjalan menuju pusat kota itu pun makan dan minum tanpa suara. Karena kewaspadaan selalu harus dilakukan. Satu atau dua zombie mungkin saja ada yang tertinggal atau terselip di sekitaran reruntuhan. Tanpa suara, bisa saja seonggok zombie sudah tiba di dekat mereka.

Perjalanan lancar tanpa menemukan satu jasad zombie pun. Di dalam gedung yang cukup kokoh, Arista mengajak Viona dan Tressa beristirahat sejenak. Viona memberikan obat herbal pada putrinya yang selalu terdiam lemas. Sambil menghitung persediaan obat yang dibawanya dan juga perlengkapan kecil lainnya di saku jaket serbaguna, keresahan akan segera kehabisan obat membuat Viona tidak bisa merasa cukup lega dengan persediaan yang masih cukup banyak.

Sementara itu, Arista berjalan keluar gedung demi bisa melihat area sekitaran kedai burger ternama yang sudah lama hancur. Ia tahu kalau wilayah itu sebentar lagi akan segera dihuni. Karena pengungsi yang tadinya aman dan nyaman hidup di desa telah diganggu dengan datangnya kawanan zombie. Kota akan ramai kembali. Datangnya para pengungsi akan membuat kota bisa ditinggali. Arista menerawang ke ujung jalan. Kalau-kalau ada kelompok perusak ketenangan yang menjadi penyebab para zombie pergi ke arah pedesaan.

Kelompok-kelompok bodoh dan tidak tahu diri yang tidak mau diajak membangun tempat perlindungan. Yang mereka lakukan justru menjadikan para zombie sebagai senjata pembunuh sesama pejuang. Mungkin bagi para bedebah itu hidup ini hanyalah mainan. Sehingga mereka tidak takut mati dan malah membuat orang-orang lainnya dalam bahaya juga. Arista pun terbayang pada Sierra yang bisa kapan saja bertemu dengan para bedebah dan keselamatannya akan sangat terancam.

Setelah cukup beristirahat, Arista membantu Viona menarik Tressa untuk melanjutkan perjalanan. Terik matahari membuat mereka bertiga sangat kehausan. Lalu Arista pun dengan sigap mengambil air mineral yang tergeletak di jalanan. Sisa-sisa barang jualan dari toko kelontong yang sudah tak terselamatkan. Beruntung bagi Viona, Tressa tidak menunjukkan tanda-tanda keletihan parah. Beberapa botol air mineral bisa menjadi penyelamat bagi mereka semua untuk beberapa hari ke depan.

Sepertinya para pengungsi tidak ada yang sampai ke wilayah itu. Karena tidak mungkin air mineral itu akan tergeletak begitu saja jika sudah ada orang yang pernah singgah. Arista sejenak merenung, jika ia sudah salah jalan. Namun, mungkin saja para pengungsi berlari ke arah lain dan mencapai pusat kota tanpa melewati area yang sedang dijajakinya. Viona menenangkan Arista karena pencarian Sierra belum juga mendapatkan hasil meski malam kembali datang.

***

“Selamatkan aku, Mama!”.

Arista tersentak bangun dari tidurnya dan langsung berdiri. Dengan sempoyongan ia akan berlari. Mujur, Viona segera menangkap tubuhnya dan menyadarkannya.

“Bangun Arista!” sentak Viona.

“Sierra… dia ditangkap para bedebah untuk dijadikan makanan zombie!” jelas Arista dengan napas tersengal.

“Kau bermimpi, Arista. Itu tidak nyata. Sierra pasti baik-baik saja!” hibur Viona sambil mengusap keringat di dahi sahabatnya.

Arista berangsur-angsur menjadi tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, ia sangat gelisah. Ketakutan akan kehilangan Sierra untuk selamanya selalu membayangi setiap detiknya. Wanita itu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sementara sebelah tangan lainnya menggenggam tinju penuh kemarahan. Arista merasa tidak berdaya. Dua hari sudah putrinya pergi, dan ia sebagai ibu hanya bisa terus mencari tanpa henti. Harapannya kuat untuk menemukan Sierra di pusat kota.

Subuh pun menjelang. Tanpa menunggu matahari, Arista mengajak Viona dan Tressa segera bergerak menuju kota harapan. Baterai senter mereka masih cukup banyak. Perlahan-lahan dengan alat penerangan, mereka bertiga menyusuri gedung-gedung runtuh dengan mengambil sisa-sisa makanan yang masih layak dikonsumsi.

Hingga siang menjelang, Arista semakin menjadi tidak tenang. Mimpinya semalam sangatlah nyata. Sierra dalam bahaya. Dan Arista tidak juga tahu pasti di mana keberadaan anaknya. Sedangkan Viona malah meminta untuk berkali-kali beristirahat demi Tressa.

“Aku tidak punya banyak waktu, Viona. Sierra bisa saja dalam bahaya saat ini!” bentak Arista pada Viona yang sedang mengusap wajah anaknya menggunakan air dan handuk kecil.

“Kau hanya bermimpi. Itu hanya ketakutanmu. Sierra pasti aman saat ini. Bersama saudara-saudara kita yang lain,” hibur Viona.

“Semoga saja. Tapi bagaimana jika Sierra tertangkap oleh para bedebah atau terkepung kawanan zombie? Apa yang akan kulakukan dengan hidup ini?” rengek Arista pedih.

“Sabarlah. Kau harus menjaga pikiranmu agar tetap tenang. Jangan berpikiran macam-macam. Sierra pasti bisa menjaga diri”.

Arista berusaha menenangkan pikirannya dengan menghela napas panjang berkali-kali. Lalu ia kembali bertanya pada dirinya sendiri. “Bagaimana jika Sierra benar-benar tertangkap atau tenyata telah menjadi zombie?”.

Tanpa berpikir dua kali Viona pun berucap, “Maka itu takdir.”

Arista tiba-tiba merasakan ketidaksukaan yang besar pada sahabatnya itu. Ia muak pada Viona dan anaknya yang menyusahkan. Viona hanya memikirkan dirinya sendiri. Memang, wanita itu menyelamatkannya dari maut dimakan zombie. Tapi, Viona jugalah yang membuatnya terpisah dari Sierra.

“Takdir katamu? Begitu mudahnya kau mengatakan itu takdir?” cerca Arista yang menahan amarah.

Viona menelan ludah. Ia sadar kalau sudah mengatakan sesuatu yang salah. Dalam kondisi kalut, Arista tentu menjadi sensitif. Apalagi ia sadar kalau langkah Arista terhambat karena kondisi Tressa.

“Aku minta maaf, Arista. Aku tidak bermaksud…”.

“Bagaimana jika Tressa yang menjadi zombie? Atau menjadi bulan-bulanan para bedebah? Apakah itu takdir?”.

Viona menahan ketersinggungannya. Ia sadar kalau dirinyalah yang salah telah memancing Arista untuk membalas. Wanita itu pun memilih untu membawa Tressa menjauh dari Arista. Mereka beristirahat di sudut lainnya, sedangkan Arista memilih berdiri untuk menerawang dari balik pintu bangunan usang. Syukurlah bangunan itu tidak runtuh dan bisa menjadi tempat istirahat yang lebih aman. Namun, suasana di dalam ruangan itu terasa sangat tegang. Tiada suara apapun. Bahkan permintaan maaf juga penerimaan hanya menggantung di udara yang mengandung debu.

***

Arista lagi-lagi bermimpi buruk tentang Sierra. Ia tidak bisa menahan diri dari menangisi ketidakberdayaannya. Sebagai seorang ibu yang telah bersusah payah melakukan segala hal untuk menjaga anaknya tetap hidup dan baik-baik saja. Kali ini, Arista merasa gagal. Tiga hari yang panjang tidak membuatnya puas menyesali kelalaiannya dari menggenggam erat sang putri. Mereka terpisah jauh dan tidak tahu apakah bisa saling menemukan kembali. Arista membenci dirinya sendiri, diam-diam juga membenci Viona meski wanita itu adalah sahabatnya dan berjasa telah menolongnya. Firasatnya kuat mengatakan kalau Sierra benar-benar sedang dalam bahaya.

***

Sepuluh hari berlalu dan sampailah mereka di pusat kota. Viona semakin resah karena obat-obatan Tressa semakin menipis. Sedangkan ia belum juga mendapat gantinya. Toko obat-obatan yang mereka singgahi sepanjang perjalanan tidak ada yang berfungsi lagi. Obat-obatan yang tersisa pun tidak lagi layak dikonsumsi. Tidak ada keterangan kadaluarsa dan sepertinya sudah banyak yang digigit tikus.

Arista menghampiri Viona dan Tressa yang sedang duduk beristirahat sambil makan roti. Dengan napas sedikit tersengal, ia segera menggigit roti jatah makan siangnya dengan sangat lahap. Lalu minum air mineral yang didapatnya dari minimarket terbengkalai.

“Roti itu dulu dikabarkan tidak layak konsumsi. Mengandung banyak pengawet,” ujar Viona pada Arista.

Hubungan kedua sahabat karib telah membaik. Mereka saling bahu-membahu demi bertahan hidup. Arista sadar ia tidak boleh egois karena perasaannya yang terus ingin segera bertemu Sierra. Fakta bahwa Viona lah yang telah bersusah payah menyelamatkan nyawanya pun membuat Arista termenung beberapa hari terakhir hingga meminta maaf pada sahabatnya. Viona pun juga meminta maaf karena menjadi penghalang Arista untuk berjalan lebih cepat. Namun, Arista tidak ingin mendengar penyesalan Viona yang tidak perlu itu. Mereka sepakat untuk terus berjalan semampu mereka tanpa membuka lagi pertengkaran yang telah lalu. Tujuan mereka dalam mencari Sierra adalah yang paling penting untuk dipikirkan.

“Dan barang-barang seperti inilah yang pada akhirnya dibutuhkan di masa-masa darurat. Bahkan untuk bertahun-tahun ke depan,” balas Arista sambil terus mengunyah.

Viona tersenyum dan mengangguk setuju. “Aku rindu sekali makan mie instan,” keluhnya manja.

Arista mengangguk mantap namun tidak menjawab. Matanya awas melihat sekeliling sambil terus mengunyah dengan cepat. Ia kembali merasa gelisah karena setelah sampai di pusat kota pun Sierra tetap saja tidak ditemukan. Bahkan kelompok pengungsi yang disangkanya membuat tempat perlindungan di sana ternyata tidak ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali.

“Ke mana kira-kira saudara-saudara kita pergi dan membuat tempat mengungsi? Aku tidak tahu harus berjalan ke mana setelah ini. Kukira mereka akan membuat rumah perlindungan di sini,” ujar Arista pada Viona yang termenung dengan dahi berkerut dalam.

“Mungkin kita harus berjalan beberapa kilometer lagi untuk menemukan gedung yang masih cukup kokoh sebagai tempat pelindungan. Barangkali saudara-saudara kita tidak jauh dari sini. Dan Sierra pun ada bersama mereka.”

Arista mengangguk mantap dan segera menghabiskan rotinya. Namun, belum sempat ia meneguk air yang digenggamnya, sepucuk moncong senapan laras panjang telah lebih dulu menempel di pelipisnya. Arista yang terkejut pun hanya mampu melirik ke samping di mana si penodong berdiri.

Gerombolan bedebah bersenjata api mengepung Arista, Viona dan Tressa. Mereka bertiga digelandang ke sebuah gang sempit yang gersang. Mereka berjalan jauh semakin dalam. Arista yang diikat tangannya berjalan dengan napas tersengal dan tidak bisa melawan sama sekali apalagi ditambah todongan muncung senapan di belakang punggungnya. Sementara Viona dan Tressa diseret tanpa ikatan. Mereka dirasa aman dan tidak akan berani melawan.

Mata Arista menangkap keberadaan sebuah bangunan yang utuh dan hanya sedikit terkikis oleh gempa yang tiba-tiba mengguncang sebelum wabah zombie datang setahun yang lalu. Itu adalah sebuah tempat ibadah. Arista, Viona dan Tressa didorong masuk ke dalam bangunan itu.

Di sana ada banyak pengungsi yang terlihat ketakutan dan sebagiannya diikat di kursi kayu juga disumpal kain bercorak. Tapi, Arista menyadari kalau kain-kain yang berada di mulut para tawanan itu bukanlah corak, melainkan darah. Para bedebah itu sudah menganiaya saudara-saudaranya.

Mata Arista mengawasi sekeliling dan menangkap tatapan saudara-saudaranya. Mereka para sahabat yang sudah seperti keluarga terlihat lusuh dan juga kurus. Lalu, terlihatlah oleh matanya sesosok gadis remaja yang diikat di kursi dengan mata tertutup. Arista segera menghambur ke arah gadis itu namun dicegah para bedebah hingga ia ditarik jatuh.

“Arista!” panggil seorang saudara dengan panik.

Moncong senjata segera diarahkan ke pemilik suara. Suasana pun menegang. Arista dengan susah payah berusaha membujuk si bedebah penembak untuk menyelamatkan saudaranya.

“Tolong bebaskan anakku. Biar aku saja yang menjadi gantinya. Ikatlah aku dan sumpal mulutku. Tapi tolong bebaskan anakku!” pinta Arista sambil merangkak menuju kaki si bedebah itu.

Saudaranya selamat dari ancaman tembakan. Namun, para bedebah tidak mau kompromi. Sierra tetap dijadikan tawanan, sedangkan Arista diperintahkan untuk bergabung bersama para ibu sebagai pengelola bahan makanan. Para bedebah itu hendak menjadikan gedung tua yang telah mereka tinggali selama beberapa hari sebagai tempat pengungsian dengan para bedebah itu sebagai pemimpin.

“Aku akan mengikuti apapun yang kalian mau asalkan putriku dibebaskan. Aku mohon,” pinta Arista dengan sangat memelas.

“Kami tidak bisa diperintah wahai wanita. Kau ikuti perintah kami atau kepala anakmu taruhannya!”.

Arista pun menangis mendengar ancaman itu. Ia sangat rindu pada Sierra dan sangat ingin memeluknya. Namun, ia harus menahan diri demi keselamatan Sierra.

“Bawa dua wanita ini ke belakang. Mereka harus segera mengolah makanan,” tunjuk si bedebah lainnya pada Arista dan Viona. “Dan ikat gadis lemah ini di sana. Kita jadikan dia yang lebih dulu sebagai percobaan untuk hari ini!” lanjut bedebah itu.

Viona dan Arista terkejut mendengarnya. Dalam benak mereka penuh tanya tentang percobaan apa yang dimaksud si bedebah itu. Apakah anak-anak mereka sedang dipersiapkan menjadi wadah virus zombie atau malah penawarnya. Viona bahkan histeris mengetahui putrinya akan dijadikan kelinci percobaan. “Jangan sakiti anakku!” teriaknya.

Seorang bedebah lalu menampar Viona berkali-kali hingga bibir wanita itu pecah untuk meredam teriakan Viona yang meminta Tressa dibebaskan. Arista pun ikut panik setelah mengetahui rencana para bedebah yang berhasil menangkap para pengungsi untuk dijadikan media percobaan serum penjinak virus. Firasatnya benar, Sierra dalam bahaya dan akan segera dieksekusi. Bahkan Tressa pun juga sama saja nasibnya.

Arista menunduk hingga berlutut di hadapan para bedebah demi bisa membujuk mereka agar Sierra dibebaskan. Namun, seperti apapun Arista menawarkan dirinya sebagai pengganti, para bedebah itu tidak peduli sama sekali. Mereka malah tertawa keras mendengar isakan tangis Arista yang memohon diikuti dengan Viona.

“Beritahu kami di mana keberadaan pengungsi yang lebih banyak. Mungkin saja setelah kami tahu, anakmu akan kami bebaskan,” ujar salah satu bedebah yang tertawa paling keras.

Arista menoleh pada saudara-saudaranya. Mereka semua diam dengan mata sedih. Tidak ada yang terlihat bersemangat. Moncong senjata selalu diarahkan ke kepala mereka. Namun, bukan itu penyebab para pengungsi terlihat begitu pasrah. Arista tahu kalau anak-anak mereka telah menjadi korban percobaan beberapa hari sebelumnya. Dan mungkin saja anak-anak itu telah mati.

Para bedebah itu telah merenggut cahaya hidup mereka. Para pengungsi dipaksa bertahan dalam kemalangan. Dan mereka diberikan pertanyaan dengan janji palsu di dalamnya. Sialan! Umpat Arista dalam hati. Para bedebah itu benar-benar biadab.

“Bagaimana?” tanya salah satu bedebah. “Jika tidak bisa menjawab, maka anakmu akan kami suntikkan serum penjinak saat ini juga,” lanjut bedebah itu dengan senyum riang.

Arista mendadak panik dan gemetar. “Jangan!” cegahnya. “Beri aku waktu beberapa hari untuk mencari tahu ke mana yang lainnya pergi.”

“Kami tidak menunggu wahai wanita. Kami memburu. Dan sekarang lihatlah bagaimana reaksi obat ini pada anakmu.”

Salah satu bedebah dengan membawa jarum suntik beserta botol serum di tangannya berjalan menuju Sierra. Arista berusaha melepaskan diri dari cengkraman bedebah lainnya dengan terus berteriak agar bedebah itu tidak menyakiti anaknya. Viona pun menangis dan tidak berdaya melakukan apa-apa untuk menolong saudaranya. Bahkan para pengungsi pun hanya mampu diam karena senjata siap sedia diledakkan ke kepala mereka.

Arista yang bertubuh tinggi dan juga pandai berkelahi sekuat tenaga membenturkan kepala ke wajah si bedebah yang mencengkeramnya. Bedebah itu terkejut dan membuat Arista bisa merebut senjatanya. Detik-detik penentuan membentang di hadapan wanita itu. Saat si bedebah telah siap menyuntikkan cairan serum, jari-jari kuat Arista dengan cepat menarik pelatuk ke tubuh si bedebah itu.

Namun terlambat. Lelaki itu berhasil menyuntikkan serum lebih dulu ke tubuh Sierra sebelum akhirnya sebuah peluru menembus punggungnya dengan ganas. Dan terbelalaklah Arista juga Viona. Sierra bergerak tiada henti hingga melepaskan penutup mata dan kain yang tercabik dari dalam mulutnya. Beruntung, ikatan tangannya di kursi masih cukup kuat untuk menahan kekuatan zombienya. Dan Arista pun sadar, Sierra bukan lagi manusia.







Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)