Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,208
Salah Jalan
Slice of Life

Lelaki berusia empat puluhan itu terkejut mendengar keributan didepan rumahnya, terdengar suara teriakan bersahut-sahutan. Menggema diseantero kampung. Belum selesai keterkejutannya, salah seorang warga yang masih kerabat dekatnya dengan sigap menarik tangan dan menyembunyikannya didalam rumahnya. Dia masih belum sadar sepenuhnya dengan apa yang terjadi, efek narkotika yang dikonsumsinya masih membuatku ngefly hingga membuatnya terhuyung-huyung bila berjalan.

Setelah sadar ia baru mengetahui bahwa warga desa melakukan demontrasi besar-besaran meminta agar dia dicopot dari jabatan kepala desa. Wajah-wajah mereka terlihat sangat geram dan muak dengan tindak tanduk pemimpin mereka yang dinilai sudah diluar batas. Kesabaran mereka sudah diatas titik nadir, tak sudi mereka membiarkan sang kepala desa menyelesaikan masa jabatannya yang hanya tinggal setahun lagi.

Para demonstrasi yang didominasi oleh para orang tua baik bapak-bapak maupun ibu-ibu itu sangat marah dengan kepala desa yang telah membuat anak-anak mereka menjadi pencandu narkoba. Anak mereka yang semula penurut dan cerdas disekolah kini menjadi anak bringasan dan selalu sakau serta tak henti-hentinya meminta uang kepada orang tuanya untuk membeli obat-obat terlarang tersebut. Jika tidak diberi, mereka tak segan-segan mengamuk seperti orang hilang ingatan. Tak ada lagi sopan santun seorang anak kepada orang tua. 

Bukan satu dua kali mereka melaporkan kades tersebut kepihak berwajib, tapi dia selalu berhasil keluar tanpa proses lebih lanjut hingga mereka sepakat untuk menghakimi kades tersebut dengan tangan mereka sendiri. Dan hari ini kemarahan mereka sudah berada diubun-ubun. Bersama rombongan itu juga terdapat para penerima manfaat Bantuan Langsung Tunai Dana Desa yang unjuk rasa karena bantuan tersebut belum diberikan kepada mereka enam bulan terakhir ini padahal semua desa tetangga sudah dibagikan dan menurut info yang beredar seluruh dana BLT DD dikecamatan ini sudah tersalurkan dalam artian sudah masuk kedalam rekening desa masing-masing.

“Keluar kades sinting, keluar kades cabul?!” masih terdengar suara teriakan yang mampir sayup-sayup ditelinga sang kades yang mulai diliputi kecemasan. Ia tampak marah dengan perangkat dan petugas kantibmas didesanya. Mengapa mereka tidak mengamankan dan tidak membubarkan demonstrasi tersebut. 

Disatu sisi tanpa diketahui Sang Kades, para perangkat dan petugas kantibmas didesanya bukannya melerai namun justru menganjurkan demontarsi tersebut. Hal ini mereka lakukan karena sakit hati karena gaji mereka tak dibayar dua tahun terakhir. Ada-ada saja alasannya, dana belum cairlah, kinerja kurang baguslah dan lain sebagainya. Mereka bukan satu dua kali mendatangi rumahnya dengan baik-baik dan mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Bahwa mereka butuh uang untuk makan anak istri mereka namun lagi-lagi dia mampu berkelit sehingga mereka pulang dengan tangan hampa dan perasaan kecewa. Mereka sangat miris dengan kondisi kades mereka sekarang ini, pemimpin mereka yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik ditahun pertama kepemimpinannya. Gaji perangkat yang dibayar tepat pada waktunya. Semua dana kelembagaan yang tersalur ke kas masing-masing. Pembangunan yang berjalan baik didesa sesuai dengan RAB yang tertuang dalam APBDes. Pemberdayaan masyarakat pun digiatkan. Namun kebahagiaan warga desa tersebut tidaklah lama, hal itu hanya berlangsung satu tahun pemerintahannya saja. Selanjutnya, kepala desa tersebut berhasil membuat warga desanya menyesal telah memilihnya.

Hal itu bermula ketika salah satu teman sesama kepala desa mengajaknya ke salah satu tempat karaoke di ibukota kabupaten. Ia yang belum pernah ketempat itu, terbelalak melihat para pendamping wanita yang kecantikan mereka diatas rata-rata. Ada satu PW yang membuat jantungnya berdegup kencang sejak pertama kali ia melihatnya. Dan wanita itulah yang membuatnya lebih sering mengunjungi tempat karaoke tersebut. Kisah mereka pun berlanjut yang awalnya hanya saling sapa, saling mengirim pesan pribadi dan saling telpon hingga muncullah benih-benih cinta antara mereka berdua yang semakin lama semakin membara. Ia yang seorang kepala desa tentu tidak mau dinilai miskin oleh pujaan hatinya. Ia harus tampil kaya raya dengan gelimang harta yang tiada putus-putusnya. Ia yang hanya dari kalangan biasa dengan kekayaan standar masyarakat kebayakan harus berjuang keras agar kelihat mapan. Mobil sport mahal, walau ia beli secara second dan harus menjual beberapa bidang tanah pula.

Untuk memenuhi biaya operasionalnya bersama wanita simpanannya tak ada cara lain selain memboyong uang gaji para perangkat, memangkas biaya pembangunan infrastruktur dan menahan biaya berbagai lembaga dibawah naungan pemerintahannya. Ia benar-benar mabuk dengan wanita cantik tinggi semampai yang telah ditinggal mati oleh suaminya itu. Ia tak lagi memikirkan perangkat desa dan rekan-rekan kerjanya. Lewat perempuan itu pula ia mulai mencicipi narkoba dan mengomporinya agar menjadi pengedar. Ia yang sudah cinta mati, bagai kerbau dicucuk hidungnya menerima setiap saran dari wanita jalang tersebut.

Dan inilah akhirnya, hampir seluruh warga desanya turun kejalanan menuntut agar dia mundur dari jabatannya. Keributan diluar rumahnya mulai mereda ketika datang pihak babinsa dan babinkantibmas yang berhasil membujuk warga untuk pulang kerumah masing-masing. Ia bisa sedikit bernafas lega, setidaknya hari ini ia bisa lolos dari kematian. 

Keesokan harinya, pihak inspektorat datang langsung kerumahnya karena ia sangat sulit ditemui dikantor. Terdapat beberapa penemuan dari bangunan infrastruktur didesa. Bangunan yang seharusnya selesai namun dalam pelaksanaannya baru mencapai 50 persen sedangkan dalam pelaporan sudah dilaksanakan 100 persen. Mereka memberikan waktu sebulan dalam penyelesaian pembangunan tersebut. Ia menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Bertumpuk-tumpuk masalah menghampirinya, demonstrasi kemarin, simpanannya yang meminta sejumlah uang pagi ini dengan ancaman akan memberitahu istrinya jika keinginannya tak dipenuhi. Bandar narkoba menagih sisa pembayaran yang belum lunas dan kini datang pihak inspektorat mengatakan bila tidak dilakukan penyelesaian pembangunan pihak Tipikor akan turun. Ia sampai berkeringat dingin mendengarnya.

***

Dibalik jeruji besi, tak seorang pun yang menjenguknya. Simpanan terkasihnya hilang tak tahu rimbanya sejak kasus hukum yang menjeratnya. Istrinya mengajukan gugatan cerai setelah mengetahui perselingkuhannya. Para perangkatnya seolah bersyukur dengan dijebloskannya ia ke penjara. Tak ada rasa simpati yang ditunjukkan mereka yang telah lama menaruh kebencian kepadanya hanya beberapa keluarga dekatnya yang masih membesuknya. Itupun jarang. Ia benar-benar merasa sendiri dan terbuang. Cinta buta pada wanita jalang itu telah menghancurkan hidupnya. Wanita yang telah berhasil menguras harta pribadinya dan dana yang diperuntukkan bagi kemajuan desanya. Bak kata pepatah, habis manis sepah dibuang setelah ia mendapatkan segalanya, maka ia pun pergi. Pergi untuk kembali mencari lelaki bodoh yang jatuh kedalam pelukannya.

Ia termenung dalam kesendiriannya di sel kumuh berbau kecoa. Sambil memeluk lutut ia menyesali perbuatannya. Ia yang dulu dihormati dan terpandang kini menjadi pesakitan yang menghuni hotel prodeo.

“Pak, ada yang membesuk bapak?” ujar sipir penjara sambil membuka gembok selnya. Dia seolah tak percaya. Dalam hati ia bertanya siapa gerangan yang menjenguknya, apakah Lisa istrinya atau Mona simpanannya cuma kedua orang itu saja yang berputar-putar dalam ingatannya. Ia bangkit dengan lesu, tak ada cahaya kehidupan diwajahnya. Ia berjalan dengan wajah menunduk, menapaki satu persatu ubin lantai penjara. Ia pun berhenti diruang yang diperuntukkkan bagi pembesuk. Tak berani mengangkat wajahnya, mentalnya masih belum siap melihat sosok wanita yang telah mengisi hari-harinya.

“Apa kabar, Pak Robin?” terdengar suara bass membahana seisi ruangan. Ia terkejut dan pelan-pelan mendongakkan kepala.

“Pak Zulkarnain....” gumamnya seolah berbicara dengan diri sendiri. Lelaki itu tersenyum kearahnya, kemudian mendekat. Mengenggam erat tangannya dan memeluknya.

“Yang sabar ya, Pak Robin.” Ujarnya sambari menepuk-nepuk pundaknya.

Dia tak bisa menahan airmatanya. Bagaimana tidak, lelaki yang kini berada dihadapannya adalah salah satu perangkatnya yang dulu dipecatnya. Jabatannya sebagai Kaur Keuangan tak terima dengan penyelewengan Dana Desa yang dilakukan kadesnya. Dia berkali-kali menasehatinya dengan pendekatan persuasif tapi hasilnya nihil. Puncaknya ia tak tahan lagi hingga terjadilah perdebatan sengit antara keduanya hingga berakhir pada pemecatan. Sejak saat itu hubungan mereka berdua tidak terlalu baik. Dan hari ini, setelah bertahun-tahun berlalu, lelaki itu datang membesuknya dengan membawa senyum tulusnya. Sikap hangatnya menunjukkan bahwa ia seperti kawan lama seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantaranya mereka membuat mantan kades itu trenyuh.

“Maafkan kesalahan saya dulu, Pak Zukarnain.” Pintanya memelas. 

“Saya sudah melupakannya dan saya juga telah memaafkan Bapak jauh sebelum Bapak memintanya.” Suaranya terdengar lirih. 

Mata Pak Robin memerah menahan tangis mendengarnya. Ia sangat menyesali kekerasan hati dan keangkuhan masa lalunya. Kini, ia harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Ia dikenakan pasal berlapis, sebagai koruptor dan juga bandar narkoba.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)