Cerpen
Disukai
1
Dilihat
13,750
Mutiara Terpendam
Drama

"Keluar kamu dari rumah ini, hari ini juga kamu saya talak. Talak tiga.” suara Bram terdengar tegas ditelinga Tania. Laki-laki itu tak menghiraukan tatapan sendu wanita yang telah melahirkan dua anak untuknya. Tania terduduk lemas karena tahu pupus sudah harapannya untuk tetap mempertahankan rumah tangganya ketika seorang suami menyebutkan kata talak. Tak tanggung-tanggung pula, talak tiga ia sebutkan. Itu berarti kecil harapan mereka untuk bisa hidup bersama kembali. Terbayang oleh Tania senyum mengembang dibibir wanita yang telah berhasil mencuri hati suaminya tanpa sisa hingga ia tak lagi menghiraukan wanita yang telah mendampinginya dalam suka dan duka.

Diiringi deraian airmata kedua anaknya yang masih kecil-kecil, ia keluar dari rumah dengan membawa sebuah koper. Hanya itulah yang bisa ia bawa. Pedih hatinya harus kehilangan suami sekaligus kedua putranya untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Ia harus menanggung derita akibat ulah suaminya yang jatuh cinta lagi dengan salah seorang pengasuh anaknya. Gadis itu memang masih muda, manis dan terlihat polos. Namun keluguannya ternyata mampu memporak-porandakan rumah tangga majikannya. Bagai wanita yang tak punya prinsip hidup ia mau saja diajak berhubungan terlarang oleh tuannya. Uang dan hadiah-hadiah yang diberikan Bram secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan istrinya telah membuat gadis itu bertekuk lutut padanya. Gadis belasan tahun yang sedang mekar-mekarnya itu membuat Bram mabuk kepayang dibuatnya.

Tania mengelap pipinya yang masih basah, ia merapatkan jaket kulitnya. Dinginnya udara malam terasa menusuk tulang. Rinai rintik hujan masih jatuh satu-satu. Ia duduk dibangku tunggu di stasiun kereta api yang lengang hanya terdapat satu dua orang disana. Ia tidak tahu kemana tujuannya. Apakah kembali kerumah orang tuanya yang telah renta atau pergi menemui kerabatnya. Bunyi peluit menandakan kereta api akan masuk, namun ia tak bergeming hingga dua sampai tiga kali kereta api berlalu ia masih belum beranjak dari tempat duduknya.

Seorang wanita paruh baya yang sedari tadi mengamatinya, menyodorkan tisu kearahnya. Berharap sikap empatinya bisa sedikit mengobati luka wanita yang ada disampingnya. 

“Kau mau kemana?” tanyanya. Tania hanya menggeleng. Ia masih mengelap tetesan air matanya yang tak henti-hentinya mengalir. Wanita itu mendekat dengan lembut ia berkata.

“Boleh aku tahu masalahmu??” ia menatap Tania dengan penuh simpati.

“Bagilah deritamu padaku, ada apa?” lanjutnya lagi.

“Suamiku baru saja menceraikanku. Talak tiga. Ia mau menikahi mengasuh anakku” jawab Tania serak, suaranya parau karena terlalu banyak menangis.

“Lalu bagaimana dengan anakmu?” tanyanya seraya menatap Tania dengan tatapan sendu. 

“Dia melarang aku membawa anak-anakku” jawab Tania sesenggukan. 

Wanita itu menarik nafas panjang. Ia memejamkan sembari menghembuskan karbon dioksida pelan-pelan melalui hidung bangirnya. Sejurus kemudian ia kembali menatap Tania dan mengelap air mata yang masih tersisa diwajah cantiknya.

“Jangan bersedih, bersabarlah. Karena dibalik kesulitan ada kemudahan. Kau akan melewati masa-masa sulit ini. Aku juga seorang ibu, aku tahu bagaimana pedihnya terpisah dari anak-anak. Bersabarlah adikku, akan tiba masanya anak-anakmu akan kembali padamu. Dan percayalah, suatu hari nanti akan ada lelaki yang tulus mencintaimu. Selalu menjaga hati dan perasaanmu. Dia yang memiliki segalanya akan menjadikanmu satu-satunya ratu dalam hidupnya. Dia akan memberikanmu surga dunia yang membuatmu lupa akan rasa sakitmu dimasa lalu” ucapnya lirih dengan suara bergetar. Tania masih diam terpaku ditempat duduknya.

“Dan berjanjilah bahwa malam ini adalah malam terakhirmu menangis karena mereka. Air matamu terlalu mahal kau tumpahkan untuk penghianat cinta seperti mereka. Lupakanlah mereka, anggap mereka tak pernah ada. Mereka bahkan tak layak walau hanya sekedar mendapat rasa benci darimu. Mereka hanyalah onggokan debu yang harus kau buang jauh-jauh.”

Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan wanita yang hingga kini tak diketahui siapa namanya. Kata-kata yang diucapnya disepertiga malam terakhir, ditengah dinginnya udara malam tanpa bintang itu selalu tergiang ditelingan Tania. Ia laksana obat ketika Tania mulai lelah menapaki jalan hidupnya. Dan sekarang, setelah sepuluh tahun berlalu kata-kata yang diucapkannya benar-benar menjadi kenyataan. Anak-anaknya yang sudah beranjak besar satu persatu kembali kedalam pelukannya. Anak-anak yang secara sah hak asuh jatuh ketangannya namun tak bisa ia ambil kala itu karena keegoisan hati mantan suaminya. Sekarang mereka sudah besar dan ia mendapatkan sorot penuh rasa cinta dari mata kedua buah hatinya. 

Dan pelan namun pasti putaran nasib membawanya pada cinta sejatinya. Lelaki yang sudah lama mencintainya dalam diam sejak mereka masih sekolah berhasil meluluhkan hati yang telah lama patah. Hati yang nyaris tak percaya akan cinta sejati didunia ini. Hati yang sempat benci dengan makhluk berjenis laki-laki. Dengan kebulatan tekad tanpa pantang menyerah ia berhasil menghalalkan wanita itu dengan menyebut nama Tuhannya, didepan penghulu dan para saksi. Ia bawa wanita pujaan hatinya terbang tinggi dengan kedua sayapnya. Ia muliakan wanita itu seperti ia memuliakan ibunya. Ia sayangi anak-anak sambungnya bagai anaknya sendiri. Ia berikan seluruh jiwa, raga dan harta yang dimilikinya untuk wanita yang sempat berfikir untuk mengakhiri hidupnya. 

Dan kebalikan 180 derajat terjadi pada mantan suaminya yang kini bangkrut. Tak lama setelah bercerai, beberapa perusahaan laki-laki itu gulung tikar. Satu per satu ia menjual aset-asetnya hingga hanya menyisakan satu rumah dan beberapa kendaraan. Istri keduanya yang cantik dan montok itu ternyata pembawa sial. Memang ia sangat jago urusan diranjang, tapi hanya itu saja bisanya bahkan memasak pun ia tak pandai. Ia menghabiskan uang suaminya dan bergaya hidup layaknya sosialita yang bergelimang harta. Ia sibuk merawat tubuhnya hingga anak-anaknya pun terbengkalai. Baginya merawat tubuh lebih penting dari segalanya agar suaminya tak berpaling darinya. Wajah yang harus tetap kinclong dan awet muda, rambut yang selalu disemir hitam agar uban tak terlihat, tubuh yang harus tetap singset dan menjaga kedua aset paling berharganya yang menyebabkan suaminya meninggalkan istri pertamanya dulu. Wanita itu tak ubahnya seperti pelacur yang tak punya pekerjaan lain selain mengencangkan dada dan merawat bagian sensitifnya. 

Dan suaminya yang telah terpuaskan oleh urusan ranjang, seolah tak peduli dengan berbagai kekurangan yang melekat padanya. Baginya wanita itu adalah makhluk paling seksi didunia. Semua terlihat seksi dimatanya hanya jempol kakinya saja yang tak terlihat seksi. Walau kadang ia harus mengakui bahwa istri pertamanya dulu memiliki banyak kelebihan. Dan anehnya walau sudah belasan tahun berlalu, masih terbesit rasa cemburu serta timbul perasaan tak rela saat ia mendengar kabar mantan istrinya itu menikah lagi. Terlebih ketika mengetahui bahwa suaminya itu memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Berbanding terbalik dengan dirinya yang mulai melarat.

Hari berganti hari, bulan dan tahun, bak jatuh sudah tertimpa tangga atau juga mungkin karma, istrinya secara tak sengaja berkenalan dengan pengusaha kaya yang kebetulan adalah temannya. Keduanya saling kepincut hingga melupakan pasangan hidup masing-masing. Bertahun-tahun menjalin hubungan terlarang sampai pada akhirnya bangkai tersebut tak mampu lagi mereka tutupi. Hubungan mereka tercium juga akhirnya. Bram tidak menyadari bahwa istrinya yang sangat ia cintai sanggup menghianatinya. Tetapi bukankah cinta mereka berdua dulu berawal dari sebuah penghiatan juga. Ia kini baru menyadari betapa sakitnya hati Tania saat ia mengetahui penghianatan mereka. Seseorang memang baru akan merasakan sakit yang sama saat ia sendiri yang mengalaminya.

Sadar bahwa ia tak mampu lagi memisahkan mereka berdua, ia memilih mundur dengan menceraikan Dila. Wanita itu pergi dengan meninggalkan ketiga buah hati mereka. Ia tertawa cekikikan bersama suami barunya diatas derita mantan suami dan istri pertamanya. Demi uang ia rela menjadi istri simpanan. Bermodalkan dada montok dan keahlian diatas ranjang nampaknya tak lama lagi suaminya itu akan menceraikan istri sahnya demi dirinya seorang.

Bram tertunduk lesu menyesali keputusannya menikahi perempuan yang dahulunya terlihat lugu dan polos namun ternyata sangat binal. Ia menatap ketiga buah hatinya yang masih kecil-kecil, akankah ia mengurus buah hatinya sendirian. Masih beranikah ia menikah lagi setelah mendapat luka yang begitu dalam. 


***


Derita sepertinya belum mau beranjak dari kehidupan Bram, atas berbagai pertimbangan ia kembali memutuskan untuk menikah kembali. Pernikahannya kali ini bukan atas dasar cinta membara namun lebih kepada kebutuhan. Ia akhirnya menjatuhkan pilihan kepada seorang janda beranak dua. Wanita tersebut awalnya baik, namun lama kelamaan sifat aslinya terlihat juga. Ia sering marah-marah diluar batas kepada ketiga anaknya ketika ia sedang tak berada dirumah. Ia juga sering menyiksa mereka. Setidaknya itulah berita yang ia dengar dari para tetangga. Ketiga anaknya yang tak pernah bercerita karena takut ancaman ibu tiri mereka. Mereka terlihat sayu dengan badan yang kian kurus tak terurus.

Bram seperti berada dititik nadir, kondisi kejiwaannya mulai terganggu. Ia yang selalu mendapat tekanan oleh atasan tempatnya bekerja, kondisi anak-anaknya yang memprihatinkan, istrinya yang seolah tak peduli yang hanya menghargainya jika ia pulang membawa uang, belum lagi rasa sakit hatinya bila ia teringat Dila, istri keduanya dulu. Semua itu membuat pertahanan mentalnya ambruk. Ia sering tertawa-tawa dan berbicara sendiri bahkan tak jarang berteriak-teriak bersekeliling komplek sambil mengejar anak-anak yang sedang bermain akhirnya ia dibawa ke rumah sakit jiwa oleh warga dengan alasan keamanan.

Istrinya yang menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa diharapkan dari suaminya, bergegas angkat kaki dari rumah tersebut dengan meninggalkan ketiga anak tirinya yang antara bersyukur dan cemas ditinggalkan ibu tiri mereka. Bersyukur karena mereka terbebas dari penderitaan, namun cemas dan takut karena tak ada orang menjaga mereka dirumah.

Awalnya biaya rumah sakit Bram ditanggung saudara-saudaranya, namun seiring berjalannya waktu karena kondisi Bram yang tak kunjung membaik, para iparnya mulai protes dan meminta supaya menghentikan bantuan dana untuk pengobatan Bram. Selain itu mereka sudah lama memendam rasa benci kepada Bram sejak ia mengusir Tania dan memisahkan keponakan mereka dengan ibunya. Akhirnya Bram dikeluarkan dari rumah sakit dan dipulangkan ke rumah. Ia tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah dimasukkan ke panti asuhan. Jadilah ia gelandangan yang sering menyusuri jalan hingga larut malam. Pekerjaannya adalah memulung dan memunguti sisa makanan ditempat sampah. Tubuhnya dekil dan kotor. Rambutnya panjang tak terurus. Kukunya hitam dan busuk. Sekilas orang tidak akan mengenali bahwa ia adalah Bram pemilik beberapa perusahaan ternama yang selalu tampil rapi dan elegan.

Dan disuatu pagi sepertinya Tuhan ingin menunjukkan kondisi memprihatinkan mantan suami Tania kepadanya. Wanita itu tergerak untuk pergi kepasar menggantikan rutinitas asisten rumah tangganya kurang enak badan. Ia berniat membeli kebutuhan dapur. Sudah lama sekali ia tak kepasar. Ketika hendak pulang, ia melihat sesosok lelaki bercelana kumal tanpa mengenakan baju. Ia duduk kelelahan sambil memegang karung plastik ukuran besar dengan isinya yang belum mencapai setengah. Awalnya Tania ikut memberikan uang kecilnya kepada lelaki tersebut seperti kebanyakan pengunjung pasar lainnya. Namun jantungnya berdetak kencang ketika ia mengenali laki-laki tersebut. Hidung mancungnya, bibirnya yang masih ia kenali walau sebagian ditutupi kumis. Rambut lurusnya yang panjang tak terurus dan tanda lahir hitam ditangan sebelah kirinya yang membuatnya yakin bahwa ia adalah mantan suaminya. Cepat-cepat ia bergegas pulang dengan mengucapkan istighfar berkali-kali.

Tania tidak ingin memendam bebannya sendirian, ia ceritakan hal tersebut kepada kedua anaknya yang sudah beranjak besar.

“Ibu tidak bisa membantunya karena hubungan Ibu sudah terputus dengan Ayah kalian, selain itu ibu tidak yakin Papa kalian akan setuju. Tapi kalian, kalian adalah anak-anaknya. Ditubuh kalian mengalir darahnya. Sampai kiamat pun ia tetap Ayah kalian. Kuserahkan keputusannya kepada kalian. Apakah akan membantunya atau tidak” ujar Tania setelah menceritakan pertemuan tak sengajanya dengan Ayah mereka. Kedua anaknya terdiam sejenak sebelum pergi untuk melihat langsung kondisinya. Sepulangnya dari sana, putra bungsunya sedikitpun tak menunjukan sikap empati. Ia mengatakan padanya bahwa sudah selayaknya ayahnya mendapat balasan seperti itu, rasa sakit hatinya karena terpisah dari ibunya ketika masih berusia 4 tahun serta merasakan pedihnya dibawah pengasuhan ibu tiri membuatnya tak menaruh iba pada ayahnya. Sebaliknya, putra sulungnya yang jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya mengatakan bahwa dia yang akan mengurus ayahnya dengan mengobatinya ke rumah sakit sampai dia benar-benar sembuh. Ia memang telah berkerja sekarang. Tania memeluknya dengan linangan air mata.

“Terberkahilah hidupmu wahai anakku” ucap Tania lirih. Putra sulungnya tak mampu menahan air mata.

Dan Tania pun memeluk putra bungsunya, bagaimanapun ia tak bisa menyalahkannya. Derita batin dan trauma putranya yang terpisah dari ibu yang sangat menyayanginya disaat ia masih membutuhkan dekapan hangatnya, peluk penuh cinta dan kasih sayang darinya namun harus terpisah karena keegoisan ayahnya. Kini anak itu sedikitpun tidak memiliki cinta untuk ayahnya. Hanya ada dendam dan sakit hati. Ia tak bisa melupakan saat ibu tirinya memukulinya hinga terkencing-kencing. Atau ketika dilain waktu wanita itu mengurungnya didalam kamar mandi seharian dan tak diberi makan. Ia yang kecih dan lemah dijadikan bulan-bulanan dan pelampiasan amarahnya. Rasa trauma sering membayangi dirinya hingga ia tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, pemalu serta mudah curiga kepada siapapun.

“Jika sekarang Ayah menjadi gelandangan, sudah sepatutnya ia mendapat balasan seperti itu. Aku tidak perduli padanya, jangan sebut-sebut namanya lagi dihadapanku!” teriaknya garang sembari berjalan setengah berlari kearah kamarnya. Mereka berdua terdiam melihat penolakan yang begitu rupa.

“Biarkan saja dia Bu, mungkin hanya waktu yang bisa menyembuhkan luka” ujar Rian, putra sulungnya.

“Biarlah aku yang akan mengurus Ayah, walau bagaimanapun juga beliau adalah Ayahku. Seburuk apapun dia aku akan tetap memaafkannya” ucapnya tulus menatap ibunya yang tampak bersedih. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia melihat sifat putra sulungnya lebih mirip dengan ayahnya yang baik hati. Hanya saja kelemahan terbesarnya adalah tak tahan rayuan wanita. Ia akan lupa daratan bila menyangkut hal itu. Nasehat orang tua dan sanak saudara tak dihiraukannya, dimatanya sang pelakor bak seorang wanita sholehah yang cantik sempurna. Tetapi harus tetap diakui ia memiliki sisi baik, baik kepada keluarganya sendiri maupun keluarga istrinya. Masalah uang misalnya, bila ia memberi uang kepada orang tuanya ia juga memberi sejumlah uang yang sama kepada mertuanya. Hal tersebut juga berlaku bagi adik-adiknya dan adik iparnya. Hal ini yang membuat Tania terkadang masih sering mengingat kebaikannya walaupun kini ia telah menikah dengan lelaki yang nyaris tanpa cela. Dan sekarang beginilah nasibnya, menjadi gelandangan setengah gila dipasar. Andai waktu bisa diubah, andai pelakor itu tidak datang mungkin hidupnya tidak setragis sekarang. Dan kini, Tania heran mendapati dirinya menangis miris melihat keadaan mantan suaminya. Mungkinkah ia masih mencintainya. Tidak. Tidak mungkin aku mencintai lekaki yang sudah menceraikanku dengan talak tiga pula dan mengusirku dari rumah, memisahkan aku dan anak-anakku. Tidak mungkin. Aku yang sudah tidak waras jika masih mencintai laki-laki seperti itu. Batinnya.

“Ibu sebaiknya istirahat. Ayo kuantar” ucap Rian pelan membuyarkan lamunannya. Ia mengangguk dan membiarkan putranya memapahnya ke kamar. Sebelum anaknya menutup pintu pelan ia berujar.

“Rian, papamu tidak perlu tahu tentang masalah ini” anak itu pun mengangguk.

***

“Siapa kalian?” hardik lelaki kumal itu. 

“Mau dibawa kemana saya?! Saya tidak mau!” ia mencoba melepaskan cengkraman dua petugas dinas sosial yang menuntunnya menuju mobil yang telah mereka siapkan. Karena tidak ditanggapi dan tak bisa melepaskan diri, sebagai bentuk ekpresi kekesalahanya ia meludahi keduanya secara bergantian. Rian melihatnya dari kejauhan dengan tatapan sedih, dialah yang meminta bantuan dinas sosial agar membawa ayahnya kerumah sakit jiwa untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Ia pernah mendekatinya tapi belum apa-apa ayahnya sudah memaki-makinya dengan kata-kata kotor, gangguan kejiwaannya kian berat. ia mengoceh sepanjang hari dipasar, terkadang menghardik orang-orang yang lewat. Para penghuni pasar mulai ketakutan dibuatnya.

Setiba dirumah sakit, dia masih belum bisa didekati. Barulah setelah seminggu kemudian emosinya mulai stabil. Rian mencoba berbicara pelan dan dari hati ke hati. Memantik ingatannya bahwa ia memiliki dua putra dari istrinya yang bernama Tania. Lambat laun, ingatannya berangsur pulih. Dua puluh tiga hari kemudian dia diperbolehkan pulang, Rian telah menyiapkan rumah mungil untuknya lengkap dengan perabotannya. Bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Bersyukur memiliki anak sebaik itu. Ia laksana mutiara terpendam yang dulu pernah diabaikannya. Ia menyesali masa lalunya yang begitu mudah tergoda pelakor hingga anak-anaknya menjadi korban.

“Maafkan kesalahan Ayah, Rian.” ujarnya lirih. Pemuda itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum, matanya memerah. Tak menyangka ayahnya memanggil namanya. Mengingatnya.

“Dimana ibu dan adikmu? Bagaimana keadaan mereka sekarang?” pandangannya menerawang jauh, menembus taman bunga dilengkapi kolam kecil berlatar perbukitan hijau mengelilingi komplek perumahan sederhana yang kii ditempatinya.

“Alhamdulillah, ibu dan adik baik-baik saja.” Jawabnya singkat. Tidak panjang lebar menjelaskan bahwa ibunya dan mereka telah lama hidup bahagia, ia takut melukai perasaan ayahnya.

“Ayah. Aku mohon izin pulang karena besok aku harus bekerja. Semua kebutuhan sudah kusiapkan, bahan makanan dan lauk pauk juga sudah tersedia dikulkas. Ini juga ada uang untuk Ayah. Mulai hari ini ayah tidak perlu bekerja, aku yang akan menanggung kebutuhan Ayah setiap bulannya. Oh ya, kalau ada apa-apa silahkan hubungi aku” ia meletakkan lembaran uang pecahan seratus ribu rupiah berserta sebuah ponsel berwarna gold diatas meja.

“Terima kasih untuk semuanya, Rian” ia menatap putranya dengan mata berkaca-kaca.

“Sama-sama, Ayah” jawabnya sambil memeluk erat lelaki yang telah membuatnya ada didunia ini. Ia paham, seburuk apapun dia dimasa lalu, ia tetaplah surganya yang harus ia jaga sampai kapanpun.

Selesai


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)