Cerpen
Disukai
2
Dilihat
17,042
Secangkir Kopi Untukku
Drama

Aku terduduk disini, disebuah batu ditepian sungai Alas. Tenangnya arus sungai terusik oleh gemerciknya air yang disapu kaki-kaki gajah. Nun jauh disana pemandangan alam terbentang luas dihadapanku, bak permadani hijau yang terhampar luas berlatar gunung Leuser yang menampakkan keanggunannya. Sejauh mata memandang hanya hijau yang terhampar berbaur birunya langit bersih tanpa setitik awan. Menyejukkan mataku. Mengembangkan senyumku. Semilir angin pegunungan mempermainkan kerudung jinggaku. Hangatnya mentari pagi tak jua mampu membuatku melepaskan syal yang terkalung dileherku.

Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas 1.094.692 hektar, terbentang dihadapanku. Dengan enam kabupaten kota yang mengelilinginya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Kota Subussalam, Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang. Sebuah Taman Nasional yang menyandang status berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai World Herritage pada tahun 2004. Kedua status itu ditetapkan oleh UNESCO dan World Herritage Committee.

Populasi gajah yang terancam punah, bisa hidup diekosistem yang baik disini. Seperti itulah yang dikatakan Leonardo Dicaprio lewat panfage pribadinya saat mengunjungi Taman Nasional Gunung Lauser ini pada 29 Maret 2016 bersama teman dan sejumlah kru. Aktor pemeran Jack difilm terlaris dan termahal sepanjang tahun 2008, Titanic. Aktor Hollywood dengan segudang prestasi itu akhirnya mendaratkan kakinya disini, dibumi Serambi Mekkah. Kendati tanah ini pernah mengalami kejadian tragis, Tsunami Aceh yang terjadi dipenghujung Desember 2004.

Menyusuri lekuk demi lekuk Nagari yang pernah dipimpin oleh seorang raja kharismatik, Sultan Iskandar Muda memang tak kan ada habisnya. Seorang sultan yang memegang tampuk kekuasaan selama 29 tahun di Kesultanan Aceh Darussalam sepanjang tahun 1602 sampai tahun 1636. Sultan tampan, muda dan cerdas ini mampu menghantarkan Aceh dipuncak kejayaannya kendati menduduki tahta diusianya yang masih sangat belia, 14 tahun. Dalam catatan sejarah, selama beliau memerintah kolonialisme tak mampu menembus wilayah yang dipimpinnya. Sikapnya yang tegas dan berani menjadi benteng paling kokoh untuk melindungi wilayah-wilayah yang berada dibawah naungan kekuasaannya.

Aceh, pesonamu tak pernah pudar. Batu giok seberat 20 ton yang ditemukan di hutan lindung, penghasil gas alam nomer satu dinegeri ini, penghasil kopi terbaik. Kekayaan alammu melimpah walau begitu banyak cerita duka saat diberlakukannya Daerah Operasi Militer semasa Orde Baru. Bumi Serambi Mekkah yang begitu memikat dengan Tari Samannya.

Aku termenung disini, menikmati pemandangan yang menyejukkan mata. Lukisan alam. Hasil karya Sang Pencipta. Teman-temanku sibuk ikut memandikan gajah bersama pawangnya, sebagian yang lain sibuk berselfie ria dengan tongsist yang menjulur kesana kemari disertai tawa lepas mereka. Liburan akhir tahun yang menyenangkan bersama rekan-rekan sekantorku. Aku lebih sering memilih menyendiri, sebenarnya aku tipe periang tetapi karena permasalahan hidup membuatku menjadi lebih pendiam. Setidaknya untuk saat ini. Sebagian dari teman-temanku membawa pasangannya juga anak-anak mereka tetapi aku tidak. Belahan jiwaku hilang tanpa pernah kuduga sebelumnya. Aku begitu percaya bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan aku. Aku begitu percaya pada janjinya dimalam pertama pernikahan kami, bahwa aku adalah istri pertama dan terakhirnya. Bahwa aku adalah tulang rusuknya. Bahwa aku adalah bidadari dunia dan akhiratnya. Bahwa aku adalah ratu dalam hidupnya yang tak kan tergantikan. Bahwa dia tak kan menikah lagi walau aku telah meninggal. Tapi ternyata semua hanya bualan semata. Pedih bila aku menngingatnya. Bahkan terkadang tak sanggup untuk sekedar mengenangnya walau hanya selintas. 

Aku memiliki seorang putra yang masih sangat belia. Ia lucu dan pintar. Dialah cahaya hidupku. Dialah alasan mengapa aku tetap bertahan. Sesulit apapun. Sesakit apapun. Aku harus tetap hidup demi putraku. Aku harus segera bangkit dari keterpurukan. Bertahun-tahun aku berjuang menjadi single parent. Aku tak tahu apakah aku bahagia atau justru menderita lepas darinya yang jelas aku iri melihat kebahagiaan mereka. Mereka terlihat sangat bahagia dan serasi. Tuhan adilkah ini. Apa mungkin ada cinta sejati dan abadi dari sebuah penghianatan. Mereka bahagia diatas penderitaanku. Sejak bertahun-tahun lalu tanpa pernah kutahu. Cantik dan rapinya cara mereka menghianati aku. Tetapi serapi dan serapat apapapun menutupi bangkai, lama-lama tercium juga bahkan disaat mereka belum siap rahasia keduanya terbongkar. Bodohnya aku yang selama ini sangat percaya kepada mereka. Suamiku tercinta dan sahabat terbaikku.

Segala bentuk upaya untuk menyelamatkan muka pun mereka lakukan. Termasuk bersumpah atas nama Tuhan didepan Al-Qur’an. Zaman sekarang orang tak lagi takut akan dosa. Nama baik jauh lebih penting ketimbang azab yang telah menyintai. Beraninya mereka mempermainkan sumpah. Menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai untuk menguatkan kebohongan mereka. Sayang bangkai itu terlalu busuk untuk ditutupi walau upaya membersihkan nama giat dilancarkan. Yang membuatku merasa terhina bukan karena dihianati tetapi hanya karena cinta buta mereka yang tidak jelas bagaimana ujungnya mereka berani bersumpah atas nama Allah yang membuat semua orang sempat percaya kepada mereka. Tetapi Allah Maha Tahu Segalanya, mudah baginya membuka aib kendati penghianatan mereka tersusun rapi dan nyaris tak meninggalkan jejak. Aku berhadapan dengan pakar-pakar nomer wahid yang telah malang melintang didunia perselingkuhan. Nyaris tanpa jejak, nyaris tanpa bukti selain pengakuan-pengajuan jujur yang kadang terlontar tanpa mereka sadari. Manusia ibarat wayanglah, semuanya atas kehendak Tuhanlah, manusia tak berhak menghakimi kamilah. Ah, sudahlah. Aku berlepas diri dari orang-orang munafik seperti ini. Hidupku berharga. Aku tak butuh para penghianat berada disekitarku.

Kadang aku berfikir, mengapa mereka tega menyakitiku begitu dalam. Tak hanya diriku tetapi juga anakku, ibuku, ayahku dan keluargaku. Sebegitu kuatkah cinta mereka hingga ikatan suci pernikahan dan persahabatan tak lagi penting. Aku tergugu, pasrah dengan takdir yang sudah digariskan untukku. Susah payah aku bangkit. Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Berbulan-bulan aku terpuruk, berat badanku turun drastis, anakku tak terurus. Banyak yang mengatakan pandangan mataku kosong. Sebagian menyarankan agar aku mendatangi paranormal. Menurut mereka kemungkinan besar jiwaku dibawah pengaruh magic, entahlah aku tak terlalu percaya dengan hal-hal berbau mistik.

“Shafira, kemari” teriak Ellen sambil menyemburkan air kearahku. Dia ikut memandikan gajah bersama Erika, Ria, Putra dan Angga. Yang lain ikut melambaikan tangan. Aku hanya tersenyum. Nun disebelah kiriku, sahabat-sahabatku tengah berselfie ria diatas rerumputan nan hijau. Gunung Leuser terlihat kokoh dibelakangnya. Mereka pun berkali-kali terlihat melambaikan tangan agar aku ikut bergabung. Inilah teman-temanku yang sedikit banyak tahu kenapa aku bercerai, mereka selalu berusaha menghiburku.

“Boleh aku duduk disini?” Aku menoleh kearah suara yang walaupun pelan tapi sempat mengagetkanku. Kulihat senyuman khas dan tatapan sopannya. Aku mengangguk.

“Ini untukmu. Ambillah. Masih hangat.” Dia menyodorkan secangkir kopi kearahku. Sebenarnya aku tak suka kopi, teh atau apapun. Aku lebih suka air putih, tapi aku tak bisa menolaknya.

“Minumlah, mumpung masih hangat. Ini kopi luwak. Kopi asli negara kita tapi sudah terkenal hingga ke manca negara.” Lagi-lagi aku hanya tersenyum. Kayak iklan kopi aja. Gumamku dalam hati. Seperti biasa aku lebih banyak diam, sambil menikmati secangkir kopi ini. Rasanya hangat dan segar. Tidak terlalu manis dan sedikit gurih. Mungkin karena dicampur krimer atau susu hingga warnanya putih.

“Shafira, boleh aku ngomong sesuatu?” tanyanya.

“Apa?” sahutku.

“Tapi, kira-kira kamu marah nggak ya???” wajahnya terlihat ragu.

“Ngomong aja dulu. Nantikan khan ketahuan aku marah atau tidak.” Jawabku santai.

“Itu dia masalahnya. Ha... ha... ha...” Kamipun tertawa lepas. Namanya Salman Al-farisi, seperti nama sahabat Rasul dari Persia yang punya ide cemerlang dalam perang Khandaq yaitu membuat parit sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh. Kami biasa memanggilnya Fariz. Aku sudah lama mengenalnya. Aku menoleh kearahnya, mimik wajahnya tak seperti biasanya. Terlihat pucat dan tegang, persis mirip Jack yang panik saat Titanic akan tenggelam. Aku tak bisa menahan tawa.

“Kamu mau ngomong apa, Fariz? Bilang aja, apapun yang bisa kubantu akan kubantu. Asal jangan bilang mau pinjam uang karena untuk masalah yang satu itu belum ada solusinya untuk saat ini” ujarku sedikit melucu, mencoba mencairkan suasana.

Dia tersenyum, mungkin sedikit protes dalam hatinya karena seumur-umur dia tak pernah meminjam apapun dariku tak terkecuali uang. Sesaat lamanya dia hanya diam dan tertunduk. Sesekali melemparkan pandangannya kedepan. 

“Aku mencintaimu, Shafira. Sudah sejak lama. Aku ingin menikahimu? Apa Kau mau?” ucapnya tegas setengah gemetar. Deg. Jantungku hampir copot. Kopi yang sedang kuhirup menyembur tanpa dapat kutahan. Tubuhku gemetar. Aku yakin kini giliran wajahku yang pucat pasi. Tak salah dengarkah aku. Dalam keadaan sadarkah dia berbicara seperti itu. Aku diam tak tahu harus berkata apa.

“Aku sangat mencintaimu, Shafira. Sejak bertahun-tahun lalu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia walau bukan hidup denganku. Tapi, dibalik keceriaan yang selalu kau tunjukkan aku tak menyangka bahwa kau semenderita ini.” Sorot matanya terlihat pilu.

“Aku pasti kuat dan bisa menjalaninya” jawabku lirih.

“Tidak Shafira!! Aku tahu kau tak sekuat seperti yang kau tunjukkan pada orang-orang. Aku tahu kau tak setegar seperti yang sering kau katakan. Kau rapuh, Shafira. Sangat rapuh. Kau butuh orang untuk melepaskan tangisanmu. Kau butuh orang untuk menghilangkan bebanmu.” Kulihat matanya memerah.

“Tidak Fariz, aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk melupakan semuanya. Aku pasti bisa.” suaraku terdengar tegar walau terkadang aku tak yakin dengan kata-kataku sendiri.

“Menikahlah denganku, Shafira. Aku berjanji, aku akan terus berusaha untuk membahagiakanmu. Percayalah padaku. Aku tak kan pernah menyakiti dan menyia-nyiakanmu. Percayalah...” tatapnya serius. Aku hanya tersenyum tipis.

“Kehidupan seperti apa yang akan kau berikan padaku, Fariz? Sebagai istri kedua. Sebagai perempuan yang dicap perebut suami orang. Tidak.” Ucapku tegas. Dia terdiam.

“Cintaku bukan cinta biasa. Aku butuh cinta yang bulat utuh hanya untukku. Tak terbagi dengan yang lain” lanjutku.

“Kalau begitu, aku akan menceraikan istriku” terdengar tegas dan jelas namun bagai petir menyambar ditelingaku. Ah, laki-laki sama saja ternyata begitu mudah larut dalam pesona. Berani meninggalkan yang terbaik demi sesuatu yang terlihat sempurna.

“Tega kau mengatakan itu padaku” ucapku sedih.

“Kenapa?? Kau juga mencintai aku khan?? Kau juga menginginkan dan mengharapkan aku khan?? Kau ingin hidup denganku khan??? Apa salahnya??? Kita sama-sama saling mencintai.” Dia mulai membabi buta.

“Ya, Benar.” Jawabku tegas tak bisa membohongi diriku sendiri. Bahwa selama ini aku juga diam-diam menaruh hati padanya. Aku bersyukur kami masih bisa berjalan dikoridor yang benar, tidak memperturutkan hawa nafsu. Berjuang dari waktu ke waktu untuk menepis rasa yang tak sepantasnya kami miliki.

“Aku tidak tahu ini cinta atau panah setan. Yang jelas aku benci penghianatan. Tidak mungkin sesuatu yang kubenci akan kulakukan. Aku telah merasakan bagaimana dihancurkan. Walau aku belum pernah bertemu dengan istrimu tapi aku tahu betapa sakitnya ia. Akan sulit baginya untuk bangkit, seperti yang sedang kujalani sekarang.” Tak terasa mataku basah.

“Kau menyiksaku, Shafira. Tahukah kau dengan sikapmu yang seperti ini membuatku semakin sayang dan rasa cintaku semakin besar padamu. Kenapa orang sepertimu harus mengalami hal buruk. Kenapa kau tak menyambut uluran tanganku. Genggamlah tanganku, Shafira. Aku aku sanggup lagi dengan semua ini. Katakanlah apa yang kau mau, jika kau tidak mau menjadi istri kedua aku siap menceraikanya untukmu. Atau jika kau tidak mau, aku akan terus membujuknya agar dia bisa menerimamu. Katakanlah...” untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis.

“Fariz, aku percaya kau mencintaiku. Tanpa mengatakannya pun aku bisa meihatnya dari sorot matamu dan sikapmu selama ini. Tapi kita dilahirkan bukan untuk selalu menuruti keinginan kita. Kita dikaruniai akal fikiran. Bagaimanapun logika harus tetap berjalan. Kau punya istri, anak, orang tua dan keluarga besar yang berdiri dibelakangmu. Kita tidak boleh menyakiti hati mereka hanya karena cinta buta yang selalu mengatasnamakan kehendak Tuhan.” Aku menghentikan kalimatku, menghirup kopi yang mulai terasa dingin.

“Kau tahu shafira, apa arti secangkir kopi yang kuberikan untukmu? Sebuah kehangatan cinta yang kusuguhkan untukmu. Aku tak kan lelah dan mengantuk mencintaimu. Aku tak kan lelah menantimu. Pintu hatiku selalu terbuka untukmu sampai kapanpun. Hanya untukmu, Shafira.” sangat puitis namun terdengar pahit ditelingaku. Siapa yang tidak menginginkan dirimu Fariz. Ketampanan diatas rata-rata, tubuh yang tinggi semampai. Kau juga hasil lukisan alam. Rambut hitam lurus, hidung mancung lancip sempurna, bibir tipis yang selalu terkembang, sorot mata setajam elang dengan alis tebal bertaut. Itu dari segi fisik, belum dari segi akhlak. Pemahaman agamanya baik, rendah hati, dermawan, sangat sopan dan setahuku dia punya kesetiaan yang tinggi terhadap pasangan terbukti banyak wanita yang mengejar-ngejarnya tetapi diacuhkannya saja. Tapi mengapa kini image lelaki setia itu seakan menghilang. Dan kenapa juga cintamu berlabuh pada wanita seperti aku, dengan wajah pas-pasan bahkan cenderung dibawah standar. Sebenarnya kau cinta atau kasihan padaku, Fariz. Ucapku yang hanya sampai ditenggorokan.

“Aku sangat mencintaimu, Shafira. Percayalah aku....” dia menghentikan kalimatnya.

“Aku tidak ingin menyakiti orang lain, Fariz. Cinta tak harus memiliki. Setinggi apapun khayalku untuk hidup bersamamu semuanya harus kita kubur disini. Jalanilah takdir kita dengan adil karena kita tidak bisa berjalan diatas muka bumi ini sekehendak kita. Ada Tuhan diatas sana yang siap menghakimi setiap perbuatan hamba-hamba-Nya. Aku takut karma.” Aku tidak tahu mendapat kekuatan darimana sehingga aku bisa berkata seperti itu.

“Tapi, aku tak bahagia bersamanya. Aku menginginkanmu.” ungkapnya jujur.

“Kebahagiaanku hanya bersamamu, Shafira. Hanya denganmu. Aku yakin itu.” tambahnya lagi.

“Aku juga yakin bahwa aku akan bahagia hidup denganmu, bahkan walau aku menjadi yang kedua. Yang kutakutkan bukan karena kau tidak akan berlaku adil tapi justru sebaliknya. Walau aku yang kedua, kau akan menomersatukan aku dalam segala hal. Dari segi kasih sayang, cinta, perhatian, materi. Segalanya Fariz. Kau tak kan mampu berlaku adil. Kau sangat mencintaiku, begitu juga aku. Kita tak kan terpisahkan. Dan dia akan kalah dalam segala hal, segala bentuk perhatiannya padamu tak kan berarti bagimu dibanding aku. Sekuat apapun dia mencoba menarikmu dariku tetap tidak akan bisa. Dia akan terpuruk Fariz, dia akan nelangsa, dia akan menangis sendirian, dia akan kehilangan pegangan. Jangan lakukan itu padanya. Jika kau benar-benar mencintaiku, jagalah dia untukku. Aku tidak ingin dia mengalami nasib sepertiku. Kau tahu rasanya Fariz, menyakitkan. Sangat menyakitkan.” Aku mulai terisak.

“Shafira. Aku mencintaimu. Kenapa waktu mempertemukan kita tidak sejak dari dulu? Kenapa cinta datangnya terlambat?” ungkapnya seakan menyesali keadaan.

“Berhentilah mengatakan cinta. Cinta tidak harus memiliki. Cinta itu putih dan bersih. Jika ada persahabatan, persaudaraan dan nurani diantara cinta maka aku akan memilih ketiganya. Aku akan lebih mengedepankan hati nurani diatas segalanya. Aku akan lebih memilih persahabatan dan persaudaraan. Tak kan kukorbarkan persahabatan, persaudaraan dan kepercayaan yang telah diberikan padaku hanya karena cinta buta yang akan menerjunkanku kejurang kehinaan. Aku memang bukan wanita sempurna, tutur kataku tak sehalus sutera, nada bicaraku tak sesopan perempuan Jawa tetapi aku punya prinsip hidup. Aku tak mau bahagia diatas penderitaan orang lain.” Aku menghentikan kalimatku sejenak, menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah Fariz, aku sangat berterima kasih padamu karena sudah mengungkapkan perasaanmu padaku. Setidaknya, aku pernah bertemu dengan orang yang mencintai aku dan aku juga mencintainya. Dan dia adalah dirimu. Ini lebih dari cukup. Secangkir kopi yang kau berikan padaku hari ini akan kukenang seumur hidupku. Secangkir kopi yang hangat dan segar, semoga bisa membuatku tak cepat mengantuk dan tak mudah lelah menjalani hidupku. Menjadikanku pribadi yang kuat dan tak mudah menyerah dengan keadaan. Sesulit apapun. Terima kasih banyak sahabatku, terima kasih banyak untuk semuanya” tandasku mantap sembari berlalu.

 

Selesai







Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)