Cerpen
Disukai
0
Dilihat
16,504
Buah Dari Perbuatan
Drama

Lisa mengetuk pintu rumah adik perempuannya, tidak ada sahutan dari dalam. Ia membuka resleting jaket kulitnya dan meletakkan helmnya dikaca spion motor maticnya. Kemudian ia mencoba mengetuk lagi namun tetap tidak ada jawaban. Ia menoleh kearah tetangga yang sedang menjemur pakaian. Belum sempat ia bertanya, wanita paruh baya tersebut setengah berteriak berkata.

“Dorong saja pintunya, dia ada didalam”. Lisa pun menuruti intruksinya. Ia terkejut melihat adiknya yang duduk termenung dipojok ruang tamu sambil memeluk lututnya dengan tubuh gemetar. Wanita berusia tiga puluhan itu terlihat jauh lebih tua dari usianya. Beban hidup dan derita batin yang menimpanya membuat senyum telah lama menghilang dari wajah tirusnya. Tidak jauh dari tempatnya anak-anaknya tergolek tertidur pulas tanpa tikar, baju mereka kumal, sisa-sisa ingus yang telah mengering menghiasi wajah-wajah polos mereka yang dekil dan kotor.

‘Rika, kau kenapa?!” Lisa memeluk tubuh ringkih adiknya yang sedari tapi menatapnya tanpa ekspresi. Tatapannya kosong, seolah tak mengenali sosok yang ada dihadapannya. Ia menguncang-guncang tubuh adiknya sambil menangisinya. Tapi ia tetap diam saja, sejenak Liza tertegun melihat tubuhnya yang gemetar hebat karena sudah beberapa hari tak makan. Ia bergegas kedapur mengambil air minum dan mencari makanan tapi ada apa-apa disana, hanya ada singkong rebus setengah basi didalam panci yang masih bertengger diatas tungku. Piring kotor berserakan dimana-mana. Tumpukan baju kotor menggunung disudut dapur. Kotoran cicak baik kering maupun yang basah bertaburan dilantai disertai debu-debu yang tampak tebal. Kelihatan betul rumah ini sudah lama tak disapu.

Lisa menggeleng-gelengkan kepala, apa yang telah tejadi pada adiknya. Kenapa rumah perempuan rajin dan pembersih itu tiba-tiba berubah dekil dan kumuh. Ia mengambil segelas air putih dan meminumkannya kepada Rika, adik bungsunya. Ia juga mengeluarkan bungkusan yang ia bawa, ada beberapa roti sisir disana. Beberapa keponakannya yang terbangun, berlari dan memeluknya sambil menangis. Mereka masih sangat kecil-kecil, ada berumur satu setengah tahun, 3 tahun dan 5 tahun. Yang berumur lima tahun bercerita dengan suara cadelnya, namun sulit mencerna makna dari ceritanya diantara isak tangisnya yang tertahan.

“Kemana kak Nanda?” tanya Lisa menanyakan keberadaan anak sulung adiknya.

“Kak Anda cekolah” jawab Raka anak berumur lima tahun tersebut. 

Tak ada pilihan lain bagi Lisa selain mengorek informasi dari Nanda, keponakannya yang telah berumur 10 tahun. Sayangnya dia belum pulang dari sekolah. Ia pun membaringkan tubuh Rika ditempat tidurnya setelah menyuapinya dengan roti yang dibawanya. Ia pun menyapu lantai, mencuci piring dan memasak. Ia bersyukur sebelum berangkat kemari ia tergerak membawa beras dan kebutuhan pokok lainnya karena benar saja tempat penyimpanan beras kosong hanya ada beberapa butir yang masih tersisa.

Tak lama kemudian Nanda pulang dari sekolah yang letaknya cukup jauh dari rumahnya, ia berjalan kaki. Keringat membasahi seragam merah putihnya yang sudah tidak jelas warnanya antara kuning, putih dan abu-abu. Bocah itu mencium tangan uwaknya dengan takzim. Lalu meluncurlah cerita dari bibirnya yang terlihat pucat. Tentang ayahnya yang sudah berbulan-bulan tidak pulang kerumah karena menikah lagi. Tentang ibunya yang seperti kehilangan kewarasannya. Tentang adik-adiknya dan dirinya yang kelaparan karena kehabisan bahan makanan. Dan seterusnya yang membuat Lisa tak mampu menahan air matanya. Wajahnya memerah menahan marah, jadi ini arti mimpi buruknya semalam. Ia bermimpi melihat adik bungsunya itu mengenakan gaun yang indah berdiri ditepi sungai yang sangat besar dan deras arusnya. Perasaannya tidak enak dan meminta izin kepada suaminya untuk menjenguk adiknya dan suaminya pun mengizinkan namun tak bisa mengantar karena harus bekerja. Jadilah ia berangkat sendiri dengan mengendarai sepeda motor sejauh 40 kilometer dari rumahnya, mereka memang masih dalam satu kabupaten yang sama namun kecamatan yang berbeda.

“Saya hanya bisa mencabut singkong dibelakang rumah dan merebusnya, Wak” ujar Nanda. Ia juga menceritakan para tetangga sering mengirimkan makanan untuk mereka.

“Dan kalau ada yang hajatan saya ikut mencuci piring, pulangnya biasanya dikasih nasi dan lauk pauk” lanjutnya kembali. Lisa memeluk bocah itu, terbayang olehnya tumpukan piring yang menggunung ditempat persedekahan. Ah, anak sekecil itu.

Dengan kemarahan memuncak ia minta ditunjukkan kepada Nanda dimana rumah istri muda ayahnya yang konon baru tinggal mati suaminya. Ia ingin melihat langsung secantik apa wanita yang telah merebut hati iparnya dan membuat adiknya hampir gila. 

Disebuah perempatan jalan terdapat rumah semi permanen dengan warung kopi berdinding papan, banyak pengunjung yang sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi dan penganan lainnya. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan tengah sibuk mengulek bumbu pecel dicobek besarnya. Ia tersenyum kearah Lisa, mengira bahwa ia adalah pembeli yang hendak singgah diwarungnya. Sedikit pun Lisa tak membalas senyuman itu, matanya nanar mengamati sekitar mencari sosok yang menjadi sumber kemarahannya siang ini. Dan benar saja tak lama kemudian muncul wajah yang tidak asing baginya, laki-laki itu keluar dari arah dapur warung mereka dengan membawa bakul berisi sayur mayur rebus. Tanpa basa basi ia langsung menghampirinya.

“Hei, Parto. Disini rupanya kau ya. Jadi wanita ini yang telah membuatmu melupakan adikku. Seleramu rendah juga ya ternyata...” ucap Lisa sambil mendelik sinis kearah istri muda iparnya. Parto hanya diam saja, selain segan dengan kakak ipar perempuannya yang sering membantu mereka ketika kesulitan terutama masalah keuangan, suaminya juga merupakan seorang tentara yang mempunyai kewibawaan yang tinggi dimatanya. Akan berbahaya jika ia berurusan dengan istrinya yang seumur-umur baru kali ini ia lihat kemarahannya. Lisa terus nyerocos menumpahkan kekesalannya membuat kuping siapa pun panas mendengarnya. Para pengunjung bersungut-sungut menyudahi makan mereka dan cepat-cepat angkat kaki dari sana karena takut menjadi sasaran.

“Kuperingatkan kepadamu Parto, pulang!!! Lihat anak istrimu, apakah mereka masih hidup atau sudah mati!!! Tak satupun beras kutemukan didalam karung!!! Istrimu sakit!!! Anak-anakmu terlantar!!! Apakah poligami berat sebelah seperti ini yang dikatakan mengikuti sunah Rasul!!!” teriak Lisa yang membuat para tetangga melongok-longokkan kepala melalui jendela rumah mereka. Mereka tak berani mendekat hanya menonton dari kejauhan mengingat ini adalah perkara sensitif yang rentan terjadi baku hantam antara kedua kubu yang tengah bertikai. 

Berbeda dengan Parto yang hanya diam dan sabar mendengar celotehan Lisa, sang pelakor justru membalas dengan nada sengit.

“Sudah selayaknya bagi seorang suami meninggalkan istrinya yang telah reyot, penyot dan tak berguna. Ajari adikmu itu merawat diri agar suaminya tak berpaling kepada wanita lain. Usiaku sudah mendekati 40 tahun tapi kau lihat sendiri aku terlihat masih muda, tidak seperti adikmu itu masih muda tapi sudah seperti nenek-nenek. Siapapun tak akan...” Plagg. Belum sempat wanita itu menyudahi kalimatnya, sebuah tamparan keras mendarat dipipi mulusnya. Lisa tak mampu lagi mengontrol emosinya yang telah mencapai puncaknya. Ia mendekati wanita itu, bersiap menarik rambutnya, mencakar wajah mulusnya dan merobek-robek mulutnya. Kalau saja salah seorang perangkat desa tak gesit melerai mereka berdua pastilah baku hantam tak bisa terelakkan. Akhirnya mereka bertiga dibawa kerumah kepala desa. 

Sang pelakor bersikukuh memperkarakan Lisa karena telah berani menampar wajahnya. Tanpa rasa takut ia terus berteriak-teriak memaki-maki Lisa, menyumpah serapahi Rika yang sebenarnya lebih layak menyumpah serapahi dirinya. Lisa terkaget-kaget melihat kegarangan istri muda iparnya. Apakah Rika telah kena damprat olehnya hingga ia seperti manusia kehilangan semangat hidup. Batinnya. Luar biasa pelakor satu ini, tak ada rasa bersalah sedikitpun diwajahnya. Benar-benar pelakor sejati. 

Ocehannya terhenti ketika kepala desa tiba, ia yang sedang rapat dikecamatan meminta izin pulang duluan demi melerai pertikaan yang sedang berlangsung.

Beliau berbicara pelan berusaha mendinginkan suasana, mula-mula bertanya kepada Parto, kemudian Lisa barulah yang terakhir Wulan, nama pelakor tersebut. Ketika kesempatan berbicara diberikan padanya dengan pongahnya ia berkata.

“Saya tak terima dia menampar saya, Pak. Saya akan bawa masalah ini ke jalur hukum. Saya akan lapor ke polisi.” ucapnya mantap. Pak kepala desa mengernyitkan keningnya.

“Atas dasar apa kamu mau melaporkannya ke polisi?” ia balik bertanya.

“Atas dasar perbuatan tidak menyenangkan!” lanjutnya lagi.

“Lalu apakah perbuatanmu merebut suami adiknya itu menyenangkan baginya?! Aku yakin kau akan melakukan hal yang sama jika berada diposisinya.” Wulan terdiam mendengarnya, sebuah penyataan yang menyiratkan pembelaan kepada Lisa. 

“Pulanglah. Aku tidak ingin masalah ini terus berlanjut. Aku ingin kalian berdamai sekarang juga. Dan kau Parto, pulang dan tengoklah anak istrimu. Kabar terakhir yang kudengar, mereka ditimpa kelaparan hingga para tetanggalah yang memberi makanan secara bergantian” ucap kepala desa pelan namun terdengar tegas dan jelas ditelinga mereka bertiga.

Diambang pintu muncul siluet lelaki tegap berseragam tentara, entah siapa yang telah menghubunginya hingga ia kemari. Setelah menyalami kepala desa dan yang lainnya, dia duduk disebelah kepala desa, ia menatap wajah Lisa yang duduk tepat didepannya sambil mengeleng-gelengkan kepala disertai senyum tipisnya. Lisa hanya menunduk tak berani menatap mata suaminya.

***


Rika menoleh kepada anak-anaknya yang tengah tertidur pulas didalam kelambu yang tadi dibentangkannya. Wajah-wajah polos mereka menjadi pelipur lara dan sedikit mengobati luka hatinya. Luka hati yang disayatkan suaminya masih terasa nyeri bahkan telah berubah menjadi borok yang entah kapan sembuhnya.

Dimalam yang dingin seperti ini, pastilah lelaki itu tengah bercengkrama dengan istri sirinya yang beberapa bulan terakhir membuatnya lupa bahwa ia telah punya anak dan istri dirumah. Tanpa diduga ditengah kegelapan menjelang pergantian malam, terdengar langkah berat dan ketukan disertai panggilan pelan. Rika bisa mengenali bahwa suara itu adalah milik suaminya. Ia membuka pintu dan membiarkan laki-laki itu masuk. Tak ada cacian dan makian yang keluar dari mulutnya. Cinta yang dimiliki perempuan yang telah kurus kering akibat ulah suaminya itu sungguh luar biasa, tak peduli betapa pun sakitnya ia masih memandangi suaminya itu dengan sorot kerinduan dan berharap ia kembali seperti semula. Memberikan cinta kepada dirinya dan anak-anaknya. Parto pun menatapnya pilu menyiratkan penyesalannya. Memang setelah Lisa, kakak Rika mendamprat mereka beberapa pekan lalu. Istri mudanya itu sering uring-uringan dan marah-marah tak jelas. Parto pun sering menjadi tempat pelampiasannya, membuatnya mulai merasa tak nyaman. Dan malam ini puncaknya, pertengkaran antara keduanya tak dapat dielakkan lagi.

Keesokan harinya Lisa bersama suaminya kembali mengunjungi Rika, ia kini rutin mengunjungi adiknya sepekan sekali ditemani suaminya. Ia sempat terkejut melihat Parto, namun bersikap biasa-biasa saja tak mengungkit pertikaian mereka beberapa waktu lalu. Suaminya mengobrol bersama Parto dan tak lama kemudian memancing ikan disungai kecil tak jauh dari rumah Rika. Kesempatan ini digunakan Lisa untuk menyemangati Rika untuk terus merebut kembali hati suaminya.

“Bagaimanapun kau harus jadi pemenangnya? Kau harus menjadi satu-satunya ratu dihati suamimu. Mahkota yang sempat terlepas dikepalamu harus kau kenakan kembali. Selir menjijikkan itu harus tersingkir” ucapnya antusias. Rika yang semula diam, kini menjawab.

“Bagaimana caranya, kak?”

“Caranya?! Kau hanya dituntut sedikit bersabar. Ingat, dalam setiap hubungan tidak mungkin selalu berjalan mulus pasti ada titik jenuhnya. Dan ketika titik jenuh itu telah mencapai puncaknya, kau bisa mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Pisahkan mereka dengan segala cara?!” Rika sampai terbatuk-batuk mendengar kalimat yang diucapkan kakak perempuannya, tak menyangka ia memiliki pikiran sejahat itu.

“Tapi kak, berdosa bagi kita memisahkan dua orang yang sudah terikat pernikahan” jawab Rika jujur.

“Apa?? Berdosa??! Lalu bagaimana dengannya yang telah berusaha memisahkan seorang suami dan istri serta anak-anaknya?!!” nada suara Lisa terdengar meninggi. Ia menarik nafas panjang, ia pandangi wajah adiknya dengan perasaan marah sekaligus iba. Dalam hati ia bertekad tak akan membiarkan derita terus-menerus menghampirinya. Ia harus mencabut akar permasalahan yang tumbuh dalam rumah tangga mereka. Apalagi pelakor itu telah jelas-jelas tak menunjukkan sopan santunnya, ia adalah tipe wanita jahat yang terbiasa tersenyum diatas penderitaan orang lain. Belum beberapa bulan suaminya meninggal tapi sudah gatal menikah lagi itupun dengan suami orang pula. Seperti tidak ada lagi perjaka atau duda didunia ini hingga laki orang pun diserobotnya. Lisa benar-benar geram dengan wanita tersebut dan ia bersumpah bahwa suatu hari nanti dialah yang kalah dan terhina. Adiknya yang dikatakan seperti nenek-nenek yang tak pandai mengurus diri.

Beberapa bulan kemudian terdengar kabar mengejutkan, Wulan ditusuk oleh orang tak dikenal yang pura-pura membeli pecel. Ia berteriak meminta tolong, warga berlarian mendekati tubuhnya yang bersimbah darah. Sementara pelaku berhasil melarikan diri. Ia dilarikan kerumah sakit terdekat tapi sayang nyawanya tidak tertolong. Setelah melakukan pencarian, aparat kepolisian akhirnya berhasil membekuk pelaku yang tak lain adalah teman selingkuhannya yang cemburu berat karena masih berhubungan dengan Parto. Itulah akhir hidup dari pelakor yang begitu bangganya ketika berhasil merebut suami orang. Ia mati mengenaskan dalam keadaan terhina. Tenyata Rika tak perlu mengotori tangannya untuk mneyingkirkan wanita itu. Ia sudah tersingkir dengan sendirinya akibat perbuatannya.


Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)