Cerpen
Disukai
4
Dilihat
6,319
Ruth Pergi Sendiri ke Surga
Slice of Life

Untuk sesorang yang telah pergi. Aku tidak pernah salah. Dan masih yakin belum salah.

***

Sudah tiga hari dia terbaring. Sudah tidak bernyawa--jiwanya pergi meninggalkan raga. Katanya ke surga. Dalam hidupnya, Ruth adalah perempuan yang taat. Doanya berkumandang nyaring saban hari. Kidung-kidung pujian terdengar nyaring tanpa lelah. Semua tahu itu.

Namun, Ruth pergi sendiri ke surga. Tidak ada kidung yang mengiringi kepergiannya seperti yang dilagukannya selama ini. Hanya ada seorang perempuan tua yang menunggu di ruang beraroma kayu--berlapis asap.

Sepanjang hari, perempuan itu menunggu bersama dengan pintu terbuka--menganga. Dia berharap akan ada yang hadir dan mengantar kepergian Ruth ke surga.

"Apa dosamu, Ruth? Bukankah Tuhan begitu dekat dengan dirimu selama ini? Ke mana perginya doa-doa yang sepanjang hari kauhaturkan dengan khusuk," ujar perempuan tua itu.

Hampir tengah hari, sepasang kaki kemudian muncul di depan pintu. Wajah perempuan tua itu terangkat heran, ada debur harapan yang mengalir dalam darahnya.

"Di mana semua orang? Di Selatan ada sejumlah seribu orang, di Barat sedikitnya ada lima ratus orang karena terhalang lembah sungai Renun yang membelah kampung. Dan di Timur? Penduduk bahkan lebih ramai," ujar lelaki itu dengan tekanan suara yang sangat tenang.

Perempuan tua itu hanya menunduk lesu. Kupluk rajut miliknya terlihat kedodoran karena telah termakan usia. Menit berikutnya, kepala perempuan itu terangkat dan meronda--memastikan apakah lelaki itu benar-benar duduk dan ikut merasakan aura suka dalam rumahnya. Yang ia temukan hanya lelaki tadi. Perempuan itu menangis lagi. Di ujung tangis, ia mengelus dada. Setidaknya masih ada satu orang yang mendoakan putrinya dengan sangat tulus.

***

Pada Jumat Legi setahun yang lalu

Sudah menjelang tengah malam, namun masih terdengar kidung-kidung dari rumah yang berdiri tepat di kaki Simerung itu. Entah sudah berapa lama suara itu menggema. Kalau tidak salah, sudah terdengar sejak maghrib menjelang. Satu kidung diselingi dengan doa yang sangat panjang dan masuk pada kidung selanjutnya.

Kampung di kaki Simerung itu sudah senyap sejak matahari tenggelam. Entah karena orang-orang lebih memilih mendengar suara nyayian dari rumah kayu di kaki bukit, atau mereka lebih memilih tidur setelah merasakan lelah seharian.

Pada pagi harinya, perempuan kampung berbisik di mual*.

"Tidak ada lelahnya dia bernyanyi dan berdoa. Ia melakukannya setiap malam hingga berjam-jam lamanya. Tidakkah Tuhan lelah mendengar seruannya itu?"

"Tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Hanya Ruth yang bisa."

"Menurutmu, apakah suaminya pergi karena Ruth lebih mencintai tuhan-nya? Dan lihatlah, setelah itu tidak ada laki-laki yang berani mendekatinya."

Benar saja. Beberapa waktu yang lalu, Ruth ditinggal pergi oleh suaminya. Tidak ada yang tahu alasan di balik itu. Orang-orang hanya melihat lelaki itu pergi dalam diam. Tanpa amarah, rasa sakit apalagi kecewa. Tidak ada komentar dan tidak ada desas-desus setelah kepergiannya. Kehidupan perempuan itu seolah misteri dan semua orang enggan untuk menyentuhnya.

Ruth melakukan kebiasaaanya--bernyanyi dan berdoa--setelah kepergian lelaki itu. Berjam-jam lamanya perempuan itu melakukannya. Setiap hari tanpa rasa jenuh. Orang-orang sekitar bahkan tidak berniat untuk bertanya. Saat maghrib turun, kampung lebih memilih diam--tertidur bersama kidung-kidung yang dilantunkan oleh perempuan itu. Malam di bawah Simerung serupa domba-domba yang tunduk sembari mendengar dongeng paling mengejutkan dari Ruth. Setelahnya, tidak ada lagi yang mampu berkutik hingga matahari pagi kembali bertandang di bawah bukit itu.

Suatu waktu, ada pendatang bermalam di kampung itu dan merasa cemas dengan keheningan selepas maghrib.

"Ke mana semua orang? Seharusnya di jam seperti ini semua orang kampung paling senang bergurau sapa," ucapnya.

"Terlalu lelah untuk melakukan itu," jawab seseorang memberi alasan.

Pada siang hari, Ruth melakukan pekerjaannya tanpa banyak bicara. Merawat puluhan ekor babi di samping rumahnya. Perempuan itu bahkan membawa talas dari tanah yang curam tanpa berkeluh kesah--tanpa terasa lelah yang dipertontonkan.

***

Perempuan tua itu masih saja menanti siapa yang akan datang menghiburnya atas kepergian Ruth. Nyatanya, hingga senja turun di kaki Simerung, hanya ada dia dan lelaki yang duduk di ujung sana.

Perempuan tua itu berdiri dan mulai bertanya.

"Apa salah anakku?" tanyanya memecah keheningan sore.

Lelaki itu menoleh. Wajahnya terlihat kebingungan. "Kepada siapa kita akan bertanya? Bukankah perempuan ini hidup sendiri selama ini?"

"Aku menantikan doa-doa untuk mengantar kepergiannya. Nyatanya, aku sendiri yang harus menggali kuburnya."

Perempuan itu tidak ingin menangis lagi. Semua sudah hilang ketika senja turun. Ruth harus pergi sendiri ke surga. Matanya yang sayu menatap ke arah barat. Ranum senja berada tepat di atas pelupuknya matanya yang keriput. Perempuan itu bergerak ke mulut pintu. Senja di hadapannya berubah bisu.

"Ternyata dunia telah berubah. Hanya Ruth yang setia dengan kidung nyayiannya," ucap perempuan itu.

Lelaki yang duduk di sudut bangkit berdiri. "Aku sudah menduga. Padahal ada seribu orang di Selatan dan setidaknya lima ratus orang di Barat. Dunia memang sudah berubah. Atau jangan-jangan--"

Perempuan tua itu berbalik menoleh. "Apa yang kaupikirkan?"

Lelaki itu menunduk, rasa enggan berkelebat dalam ekpresi wajahnya. "Mungkin saja kidung yang dilagukan Ruth dipersembahkan pada tuhan yang salah," ucapnya dengan sungkan.

Perempuan tua itu terhenyak. Ia pernah mendengar hal yang sama di suatu pertemuan rohani. Pembicara yang hadir ketika itu begitu luar biasa menyebut tentang Tuhan dan hal-hal yang disukai-Nya. Hanya saja, ada desas-desus yang sarat terdengar jika pembicara itu hanya ingin mendapatkan pundi-pundi rupiah. Setelah pulang dari pertemuan itu, ia berpikir cukup keras. Bagaimana jika tuhan yang ia sebut adalah tuhan lain? Bagaimana bisa pembicaraan itu melakukan hal kotor semacam itu?

Mungkinkah Ruth demikian?

"Tidak mungkin. Ruth tidak hidup dalam ketamakan. Ruth hidup dalam doa-doa yang ia haturkan pada Tuhan yang sesungguhnya," pekik perempuan tua itu lagi.

Diam kemudian menyeruak kembali. Baik perempuan tua itu maupun lelaki yang duduk merenung di sudut ruangan. Mereka kemudian berpikir, akankah Ruth pergi sendiri ke surga? Tidakkah ia akan tersesat nantinya? Siapa yang akan menyambutnya di pintu surga? Ataukah Ruth hanya akan melirik pintu surga kemudian dipindahkan ke tempat lain?

"Apakah Ruth pergi sendiri ke surga?"

Suara itu berhasil membuyarkan lamunan mereka.

"Mengapa kau baru kembali sekarang? Setelah Ruth tidak lagi mampu melihatmu. Mengapa kau meninggalkannya selama bertahun-tahun?"

"Ruth yang ingin pergi sendiri. Meski dia pernah menawarkan untuk pergi bersamaku, namun aku menolaknya. Tentu saja. Bagaimana bisa aku harus melagukan kidung-kidung dengan polos? Aku harus mengosongkan pikiran sepolos tubuhku. Ruth berkata bahwa kesucian adalah cara paling tepat untuk menghadap tuhan," jelas laki-laki itu.

"Mengapa?"

"Baginya, menghadap tuhan laiknya bayi polos yang baru terlahir ke dunia. Tanpa noda, tanpa dosa. Dengan begitu kau akan disebut layak."

Perempuan tua itu melongo.

Lelaki di sudut ruangan menelan ludah.

Ruth harus pergi ke surga seorang diri. Mereka tahu itu, kini.

***


*mual: sungai (bahasa Batak Toba)

**desain cover: Ari S Effendi

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)