Cerpen
Disukai
16
Dilihat
8,263
Di Balik Layar
Horor

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan tempat, tokoh dan kejadian, bukan unsur kesengajaan 🙏🏿

___________________________

Aku memang pendosa sialan. Menghirup aroma dupa yang digunakan sebagai media dalam prosesi ibadah, membuatku kesulitan untuk bernapas.

Kenyataan pahit yang kualami selanjutnya adalah aku terdampar di tempat orang-orang yang selama ini dikenal sebagai orang suci versi masyarakat. Bayangkan saja bagaimana rasanya seorang pendosa terjepit di antara orang-orang berjubah putih. Mereka yang kumaksud di sini bukanlah yang duduk saja dan melihat semua yang terjadi di sekitar, melainkan mereka yang mendedikasikan diri untuk doa, puasa, dan semua bentuk kebatinan.

Kalian mungkin tidak akan percaya bagaimana bisa aku terpenjara di tempat ini pada akhirnya. Setiap kali ada orang yang bertanya padaku, hanya ada dua kata yang bisa kuwakilkan untuk menjawabnya: ceritanya panjang. Kemudian mereka akan pergi dan berhenti bertanya setelahnya.

Sialnya, ada satu orang yang tidak ingin menyerah untuk bertanya. Setiap kali aku bertemu orang itu, senyum termanis akan terbit di bibirnya. Dan senyum itu serupa senjata--bukan, aku menyebutnya sihir. Karena setelahnya, aku akan menjalani prosesi curhatan panjang dan berakhir dengan pengakuan dosa.

"Dom, jangan lupa membersihkan altar sebelum misa sore berlangsung, ya?"

Mataku langsung saja tersihir. Salahku mengenang orang ini beberapa menit yang lalu.

"Baik, Romo!"

"Tidak perlu kau ubah posisinya, Dom. Kau hanya perlu membersihkannya."

"Baik, Romo."

Dia orang yang kumaksud. Namanya Romo Albert. Seseorang dengan wajah kharismatik yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya akan tersihir. Romo Albert adalah pastor pembantu yang didatangkan langsung dari Spanyol. Romo Albert sudah bertugas di sini sejak dua tahun yang lalu--persis satu tahun enam bulan sebelum aku berada di tempat ini.

Seperti kataku, dosa selalu saja menjadi godaan paling nikmat bagiku. Karena sejujurnya, aku ini seorang pendosa dari awalnya. Keluar dari penjara enam bulan yang lalu, aku dikirim ke tempat terpencil ini oleh seseorang yang tidak kukenal. Semua terjadi begitu cepat. Saat aku melihat matahari pertama di luar jeruji besi, seseorang telah menungguku dengan mobil Chevrolet tua. Tidak ada pembicaraan di antara kami setelah itu, bahkan hingga tiba di tempat tujuan.

Dan di sinilah aku sekarang berada. Di depan altar dengan semua peralatan kebersihan. Indera penciumanku langsung saja dikejutkan oleh aroma asing--yang sebelumnya tidak pernah kucium. Ketika hendak membuka kotak yang terletak di bawah altar, aroma amis menyeruak di sekitar. Rasa penasaran kemudian mendorongku untuk melakukan aksi selanjutnya. Perlahan tapi pasti, tanganku mengangkat penutup kotak kayu itu.

Krekk!

"Tidak perlu diangkat atau dipindahkan, Dom!"

Romo Albert telah berdiri di ujung--pintu masuk--dengan tatapan mata tegas. Meski lelaki itu mengenakan kacamata, aku bisa melihat ketegasan tatapan retinanya.

Tubuhku bergetar saat pandangannya menikam retinaku. Untuk pertama kalinya, pendosa sepertiku dilemahkan oleh tatapan semata. Aku berlutut dan mundur perlahan dari altar.


Doa malam berlangsung dalam misteri. Romo Albert terus menatapku yang entah bermakna apa. Konsentrasiku pecah. Fokusku bukan lagi pada misteri kehadiran-Nya. Sepenuh hatiku tidak lagi milik-Nya. Jika boleh jujur, aku hampir mampu dekat dengan-Nya setelah enam bulan yang berat. Namun, malam ini, semua seperti sirna.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Dom? Saya melihat ketidaknyamanan di wajahmu saat doa malam," ucap Romo Albert. Lelaki itu kini duduk di tepi ranjangku. Aku yang sedari tadi sudah merebahkan tubuh, harus bangkit dan duduk.

"Tidak apa-apa, Romo!"

Romo Albert mengelus pundakku. "Lakukan saja seperti seharusnya. Tidak perlu berlebihan."

Siluet tubuh lelaki Spanyol itu menghilang dalam remang malam. Aku berusaha berdoa dan memohon untuk tidak dipertemukan pada dosa baru.

Sekarang, aku harus jujur mengapa sedari tadi aku mengatakan jika aku ini adalah seorang pendosa. Stigma tentang seseorang yang keluar dari penjara adalah orang jahat, mungkin bisa menjadi penilaian yang tepat untukku.

Sepuluh tahun yang lalu, aku mencoba membunuh seorang lelaki bejat. Lelaki yang membuat seorang perempuan yang tidak lagi memiliki masa depan. Hati-hari perempuan itu justru kelam dan berujung pada keputusasaan. Sementara si lelaki bejat justru menikmati hidupnya dengan semua omong kosong yang bersumber dari mulutnya.

Lelaki itu tidak berhasil kubunuh. Dan kalian pasti tahu hukuman seperti apa yang kuterima pada akhirnya. Aku bukan orang yang sepertinya pantas untuk 'dibela' kala itu. Karena, nyatanya, semua orang justru menyalahkan aku.

"Perempuan itu tidak pantas untuk kau bela Dominikus! Dia itu sundal. Seharusnya dia menikmati permainan dari Basrun."

Aku masih melihat senyum Basrun saat pengadilan memutuskan hukuman sepuluh tahun penjara bagiku. Lelaki biadap itu tertawa di balik wajahnya yang telah robek.

"Anggap saja kau sedang membayar dosa yang pernah kauperbuat," pesan Romo Albert, ketika aku tiba tempat ini.

Tempatku sekarang ini adalah sebuah gereja paroki kecil di pinggiran laut di timur Indonesia. Orang-orang sekitar adalah mereka yang masih taat--yang mustahil menyalahkan ajaran gereja.


Kembali lagi pada saat ini.

Aku terjaga pada masa yang entah sudah pukul berapa. Seketika indera penciuman kembali difokuskan pada aroma yang tidak asing. Aroma yang aku cium siang tadi di bawah altar. Berkat rasa penasaran yang kuat, aku turun dari ranjang kayu dan mencari sumber aroma itu. Saat aku membuka pintu kamar, lampu-lampu di sekitar telah redup, lorong gereja terlihat lengang.

Posisi kamarku dengan tempat tinggal para imam sedikit berjarak. Kamarku berada di pojok paling kanan dari lingkungan paroki, dan untuk mencapai tempat tinggal para imam, aku harus melewati dia lorong berkelok.

Debur suara ombak terdengar bingar di telinga bersamaan dengan embusan angin malam yang dingin. Keduanya menyapu kulitku yang tipis.

Langkahku berhenti ketika tiba di pintu utama gereja. Sinar lampu dari luar menembus sedikit celah dan jatuh tepat di depan altar. Mataku memandang gerak seseorang dalam gelap. Sosok itu berucap lirih dalam bahasa Spanish yang tak kupahami.

"con el fin de crear la paz eterna."

Bunyi serupa tetes air terjatuh ke dalam wadah, terdengar begitu nyaring. Menit berikutnya, terdengar suara erangan kesakitan yang sedikit ditekan, namun gemanya terdengar jelas oleh ruangan yang hening.

Orang pertama yang muncul dalam pikiranku saat itu adalah Romo Albert. Hanya beliau orang Spanyol di tempat ini. Hanya beliau yang paham dengan bahasa itu.

Aku mulai memikirkan posisi paling tepat untuk mengetahui siapa sosok di bawah altar. Suara erangannya perlahan senyap. Terganti oleh cercauan yang tidak kupahami. Saat melihat celah tempat cahaya menembus masuk ke dalam ruangan ibadah tersebut, aku bergerak ke arah sana.

Seperti dugaanku, sosok itu persis sama dengan yang ada dalam otakku sedari tadi.

"Apa yang kamu lakukan di luar tengah malam begini, Dom?"

Perlahan, kuputar kepalaku menuju sumber suara. "Romo Albert?"

Telunjukku perlahan tertuju pada sosok di bawah altar. Ada dua orang yang sama. Ingin rasanya kupukul kepalaku, atau kucubit perlahan kulitku. Nyatanya, aku tidak punya waktu untuk melakukan hal itu. Karena detik berikutnya, sebuah benda besar mendarat di kepalaku dan membuat sekitar gelap seketika.

Aku tidak tahu sudah berapa lama. Saat terbangun, aku menemukan diriku di ruangan gelap yang pengap. Sekujur tubuh sedikit ngilu serta perut keroncongan yang minta diisi.

"No te apresures!"

"Sampai kapan kau akan menunggu? Dewan sudah memaksa. Misi ini harus segera dilakukan di seluruh dunia. Se-ge-ra!"

"Tapi kita harus hati-hati, Roberto! Lingkungan ini tidak akan mudah menerima semua yang terjadi tiba-tiba. "

"Tenang saja, Albert. Orang itu adalah umpan pertama yang sempurna. Kamu bilang dia pendosa, bukan?" kata pria itu seraya menatap penuh minat ke arahku. "Tidak akan ada yang mencarinya ketika kelak dia menghilang."

"Kau harus tahu, Roberto. Pastor kepala bukanlah orang yang sembarangan. Setiap gerak ganjil akan mudah ditebaknya," kata Romo Albert.

"Kita lakukan secepat mungkin. Kita hanya perlu darah orang itu. Dan semua beres."

Inilah aku si pendosa yang akhirnya akan mati sia-sia. Makna dari ucapan Romo Albert enam bulan yang lalu adalah ini. Inilah jawabannya. Aku harus menebus dosa-dosaku di sini. Hari ini.

Lantas, apa yang mereka sembunyikan di bawah altar?

Si pria yang mirip Romo Albert mengambil pisau dan sebuah benda mirip cawan perjamuan. Aku yang diikat di sudut ruangan, hanya bisa pasrah. Bagaimanapun, aku ini seorang pendosa.

"Dom, Tuhan datang bukan memanggil orang benar, tetapi orang berdosa. Supaya mereka bertobat."

Ucapan Romo Sebastian terdengar lirih di telingaku. Bergema berkali-kali--seolah mengingatkan aku tidak boleh mati sia-sia.

Tubuhku lemah. Sangat lemah.

Roberto berjalan ke arahku dengan peralatan lengkap: pisau kecil dan cawan.

"Kau hanya akan merasakan sakit sedikit. Saat pisau ini mendekati pembuluh arterimu, ada perih yang terasa. Ketika darah mengalir hingga memenuhi cawan ini, maka rasa sakit itu akan mereda," jelasnya dengan gamblang.

Aku hanya mampu menatap pasrah. Mataku begitu lemah seolah akan kehabisan daya, segera.

Kata-kata Romo Sebastian terus bergema di telingaku--membangkitkan sisa tenaga yang kumiliki.

Romo Albert memegang kedua kakiku, sementara Robert mencengkram kedua tanganku yang terikat. Sebilah pisau bergerak menuju nadiku dan cawan telah bersiap menampung cairan yang akan mengucur sebentar lagi.

Saat pisau mendarat di kulitku, Roberto menekannya sedikit lebih dalam. Beberapa kali perlawananku menggagalkan tekanan itu. Namun, usaha yang ketiga tidak berarti apa-apa, karena setelahnya ujung pisau berhasil menembus kulitku dan mengalirkan cairan merah yang menurut masuk ke dalam cawan.

Roberto tersenyum, "Para la eternidad."

Darah terus mengalir dari kulitku yang tertembus pisau tajam. Dan semakin lama badanku melemah, mataku redup.


Benar jika Tuhan sejatinya hadir untuk setiap orang berdosa. Pada pagi yang terik, aku menemukan diriku di ruang poli milik paroki. Debur suara ombak dari balik tembok terdengar lembut--selambat detak jantungku yang berdegup.

Mataku menyipit ketika bertabrakan dengan terang cahaya matahari yang menyilau.

"Kau tidak apa-apa, Dom?" tanya Romo Sebastianus.

Aku mengangguk lemah dan menatap pastor kepala cukup lekat.

"Apa yang terjadi, Dom?"

Keningku mengerut. Debar jantungku kembali berpacu. Sebagai pembunuh, aku tidak pernah merasakan takut seperti saat ini. Senyum di bibir Romo Albert membuat tubuhku bergetar.

"Tubuhmu berlumuran darah. Kami belum melaporkan kejadian ini kepada pihak yang berwajib, hingga kejadian ini menemukan titik terang," jelas Romo Sebastian.

"Benar sekali, Romo. Kita tidak bisa bertindak gegabah. Karena citra gereja bisa saja dipertaruhkan," tambah Romo Albert seraya menatapku penuh arti.

Aku merasa berada pada titik bingung yang akut. Semua kejadian yang kualami sehari sebelumnya seperti magis. Nyata, namun tak mampu kugambarkan.

Bahkan hingga suasana kamarku kembali sepi, ketakutan masih saja menyergapku.

Derap suara langkah pada gelap terdengar begitu tegas.

Tepat di bawah sinar lampu yang redup, wajah Romo Albert muncul.

"Dom, jangan cemas. Semua akan baik-baik saja ketika kau menutup mulut. Anggap saja apa yang terjadi ini hanya mimpi buruk. Dan kau berhasil melewatinya," ucapnya seraya tersenyum aneh.

Dari sebelahnya, Roberto ikut muncul. "Terima kasih untuk secawan darah persembahan. Kau telah menghapus dosa-dosamu di masa lalu," bisiknya di telingaku.










Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)