Masukan nama pengguna
Rembulan menggaung di balik awan yang hitam. Sinarnya yang redup seolah menjadi penguntit yang memiliki maksud lain di balik malam. Aku persis seperti awan hitam itu, menyusuri jalan yang baru kukenal ini dan berharap bisa melupakan semua yang telah terjadi. Satu lagi, rembulan itu persis seperti diriku yang meraba nasib dan tampak tidak yakin dengan apa yang sebentar lagi kujalani.
Terdengar klise? Aku sungguh tidak peduli.
Ditendang jauh dari peradaban modern; terlibat dalam permainan perasaan yang rumit; serta menghadapi kenyataan jika Diska tidak sama lagi seperti dahulu. Untuk alasan yang pertama, mungkin masih bisa kuatasi. Soalnya uang tabungan yang kupunya--setelah menjalani hidup super hemat yang begitu ketat--masih bisa kugunakan untuk bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Yang menjadi masalah paling dilematik adalah dua alasan lain yang muncul secara bersamaan.
Kupikir, tidak ada manusia di bumi ini yang bisa lepas dari jerat yang menyangkut perasaan dan asmara. Jadi, aku memaklumi diriku sendiri ketika menghadapi kenyataan semacam itu.
Hal yang terpikir olehku setelah dihantam oleh dua kejadian tak menyenangkan itu adalah menyingkir ke tepian dan berharap semua usai ketika waktunya tiba.
Pukul sepuluh malam aku tiba di sebuah rumah yang seminggu lalu berhasil kusewa. Rumah semi ruko berlantai dua yang kudapatkan atas rekomendasi dari sebuah situs pencarian di ponselku. Tanpa bertatap muka dengan pemilik rumah, aku berhasil menyewa dengan mudah. Beruntung saja, prosedur rumit semacam akad tidak mesti kuhadapi.
Bersamaan dengan tibanya aku di depan rumah, hujan turun dan bercengkrama dengan atap. Bunyi itu cukup intens memenuhi ruang indera pendengaranku. Kesedihan kemudian muncul memenuhi ruang rasa. Ingatan akan Diska kembali muncul ke permukaan dan memenuhi kepalaku. Di bawah hujan kuredam semua emosi sesaat setelah sedih itu berubah menjadi benci yang cukup dalam. Napasaku terengah cukup panjang, kemudian kuputuskan untuk mengabaikan semua perasaan itu dan bersiap mengemasi barang-barangku yang masih teronggok di bagasi mobil.
"Kau menyewa sebuah ruko di daerah terpencil. Untuk apa?" Pertanyaan itu muncul dari Dicky, teman dekat yang selama ini kujadikan tempat melampiaskan keresahan yang menumpuk dalam kepala.
"Ini hanya pelarian saja kan, Ka? Untuk apa kamu harus pergi sejauh itu?" kata Dian, teman yang sering kupanggil Didin, meski nama aslinya Dianita Pratiwi. Nama yang cantik, secantik wajahnya andai saja enggak rese.
Keputusan ini memang muncul begitu tergesa. Hanya berselang tiga hari setelah aku didakwa untuk tidak bekerja lagi di kantor sialan itu, keinginan untuk lari jauh justru hadir bagai muara di tengah gurun gersang. Begitu sejuk dan satu-satunya pilihan yang harus kujalani.
Sekali lagi kuembuskan napas panjang sebelum mengangkat satu tas besar dari dalam mobil. Hujan dan kilat di luar saling bersahutan seolah diciptakan menjadi parade penyambutanku malam ini.
Saat pintu harmonika kubuka sempurna, aroma khas sebuah rumah yang telah lama tidak dihuni menguar dalam indera penciumanku. Aroma karat yang begitu tajam beradu dengan wangi kayu lapuk yang kentara.
Rumah masih tampak kosong, hanya ada beberapa perabot tua yang mendekam di sudut ruangan yang pengap. Penerangan dalam ruangan juga tidak terlalu cerah. Sekilas aku jadi teringat dengan rumah-rumah khas Amerika yang telah lama ditinggalkan. Warna-warna kain yang menutup jendela seolah terpercik warna lain di beberapa sisi--entah kuning atau justru merah. Cahaya penerangan yang tidak terlalu terang menghambat pandanganku.
Aku mengabaikan pemandangan mencurigakan itu dan beranjak ke lantai dua. Di rumah ini, ada tiga kamar yang siap di huni. Namun, aku memilih kamar di lantai dua supaya dekat dengan rooftop. Sebagai seorang loner, menikmati hal-hal tersembunyi adalah salah satu kegemaranku.
Malam sudah beranjak ranum, suara hujan masih terdengar begitu nyaring. Ketika merebahkan tubuh di atas tempat tidur, aku menyadari ada sebuah lubang di langit-langit kamar. Bentuknya persegi empat dan ukurannya bisa memuat tubuh orang dewasa. Pikiranku tentang penghianatan Diska lebih menguasai isi kepala, hingga aku mengabaikan firasat buruk yang muncul seketika. Aku berusaha untuk memejamkan mata dan mencoba melupakan apa yang telah terjadi.
***
Pagi muncul begitu tergesa, sisa-sisa kepedihan masih menempel di kepala. Aku berusaha bangkit meski sekujur tubuh masih digerogoti kelelahan.
"Astaga!"
Aku melompat dan menghindar dari benda-benda yang berserak di lantai kamarku. Botol-botol yang sudah kehilangan merk; kertas-kertas yang berubah warna; serta cairan berbau aneh, semua memenuhi lantai kamar.
Tanpa pikir panjang, aku berlari ke bawah dan bergegas mengambil alat pembersih. Ketika tiba di kamar mandi, pemandangan tak sedap juga menghampiri inderaku. Lantai kamar mandi terlihat berkarat begitu juga dengan keran yang telah mengering. Saat jemariku memutar keran, tidak ada setetes pun air yang meluncur dari baliknya. Aku kehilangan akal dan beranjak ke halaman belakang. Di sana aku menemukan sebuah ember penampungan yang telah berlumut dan menampung sedikit air. Aku langsung saja mengangkat ember tersebut dengan langkah tergopoh-gopoh menuju lantai dua.
Saat aku tiba di kamar, aku kembali dikagetkan dengan jumlah sampah yang semakin banyak. Dengan kesal kuangkut satu demi satu sampah tersebut. Perasan jijik dalam diriku muncul seketika. Rasa mual hadir sesaat setelah mencium aroma tak sedap dari cairan yang entah bersumber entah dari mana.
Satu jam kemudian, aku berhasil membersihkan lantai kamar dari sampah-sampah tersebut. Kelelahan di sekujur tubuh bertambah sudah. Tanpa sadar, aku kembali tertidur. Satu bunyi yang kusadari menyambangi indera pendengaranku adalah suara hujan yang kembali bergema di di luar sana.
Seperti pengelihatan dalam mimpi, aku merasa berada di tempat lain. Tubuhku berada di ujung sebuah lorong gelap dan pengap. Didasari oleh rasa penasaran, aku mencoba melangkah menelusuri lorong asing tersebut dan berusaha meraba dalam gelap.
Satu cahaya yang kutemukan muncul di ujung lorong. Aku telah berjalan sekian menit sebelum menemukan lorong tersebut. Sebuah senyum lega terpatri di bibirku, berharap ada seseorang yang bisa kutemui di sana.
Saat tiba di mulut pintu ruangan itu, yang kutemukan adalah televisi yang menyala tanpa penonton. Di sudut lain, berjejer puluhan botol susu yang telah menguning. Sebagian dari botol itu masih berisi cairan yang menurutku warnanya cukup aneh yakni perpaduan antara kuning karat dan putih yang buram. Jantungku dipacu cukup kencang. Ruangan itu adalah batas akhir dari lorong. Untuk menemukan jalan keluar, aku harus berbalik dan menelusuri kembali lorong yang tadi telah kulalui.
Menit berikutnya, saat sibuk dengan pikiranku sendiri, aku mendengar suara yang mirip seperti desisan. Seketika itu, sekujur tubuhku merinding, bulu roma ikut bangkit berdiri. Semakin lama semakin dekat. Tidak banyak yang bisa kulakukan. Aku meringkuk di sudut lorong.
Seketika suara desisan itu berhenti. Bukannya lega, aku justru semakin cemas. Kekhawatiran dalam kepalaku berubah menjadi ketakutan.
"Arrghhh!"
Sebuah makhluk dengan rambut terurai panjang tak beraturan. Wajahnya hancur dengan gigi panjang yang kotor, tiba-tiba berdiri di depanku. Aroma tubuhnya membelenggu penciumanku.
Tiba-tiba makhluk itu mencengkram kepalaku dan melemparkannya ke lorong terjauh.
Di saat yang bersamaan, aku bangkit dari tempat tidur dengan napas memburu. Sekujur tubuhku dipenuhi oleh keringat. Seketika mataku disihir oleh lubang di langit-langit kamar, kemudian melihat ke lantai. Lagi-lagi aku menemukan sesuatu. Kali ini, bukan sampah kaleng minuman yang terlihat, tapi genangan cairan berwarna hijau pekat dengan aroma yang menyengat.
Perutku mual, genangan itu bercampur dengan cairan muntahan yang keluar dari mulut.
Diska menghilang dari pikiranku, begitu juga dengan kantor yang telah mendepakku. Otakku kini dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang menakutkan.
Siang itu, di bawah langit gelap dan debur air hujan yang mengguyur, aku memberanikan diri memeriksa lubang di langit-langit. Menurutku, menyisakan satu bolongan seperti ini pada asbes adalah sebuah kesalahan. Selain merajalelanya binatang seperti tikus, bolongan ini bisa juga menjadi sumber terciptanya tindakan kriminal.
Dengan bantuan tangga kayu seadanya, aku bersusah payah untuk menggapai lubang dan berhasil sampai di sana. Bobot tubuh yang ringan membuatku tidak kesulitan untuk memasuki lubang tersebut. Aroma serupa seperti cairan di lantai tercium semakin jelas ketika aku tiba di atas.
Alangkah terkejutnya aku ketika melihat suasana luas di tempat kakiku tengah berpijak. Berjarak tiga meter dari tempatku berdiri, sebuah lampu pijar kecil menyala setengah hati. Persis di depan lampu itu ada pintu kayu yang tengah tertutup.
Aku memberanikan diri untuk membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam. Yang kutemukan setelah itu adalah lorong gelap tanpa penerangan. Aku menarik napas dalam dan mulai berpikir. Rasanya tempat itu tidak asing bagiku. Benar, beberapa jam yang lalu mimpi seolah memberitahuku lebih dulu. Kedua tempat ini persis sama. Di ujung lorong cahaya lampu pijar lain berpendar menciumi dasar lorong yang pengap.
Perasaanku mulai tidak enak. Tapi kakiku terus berjalan mendekati satu-satunya sumber cahaya yang ada di sana. Saat mencapai sumber itu, aku menemukan sebuah ruangan dengan televisi yang menyala meski tanpa penonton.
"Ini benar-benar nyata," bisikku pada diri sendiri. Perlahan, keringat mulau mengucur membasahi tubuh. Detak jantung berirama begitu cepat. Entah pertanda apa yang tengah kuhadapi saat ini. Anehnya, botol-botol susu yang kutemukan dalam ruangan itu telah kosong sepenuhnya. Berbeda dengan apa yang kulihat di dalam mimpi. Satu lagi, lantai ruangan itu dilapisi oleh kain-kain tipis yang telah kehilangan warna, serta beberapa bantal usang yang tercampur dengan cairan yang mengubah warna aslinya. Langkah kakiku yang bergerak diikuti oleh debur debu yang terbang ke udara. Ruangan itu sungguh kotor.
Aku memutuskan untuk kembali. Satu langkah kaki kuayun, ada yang sedang menyambutku di depan pintu.
Aku jatuh terjerembab. Yang kulihat selanjutnya adalah lima mahkluk aneh yang berdiri dengan badan membungkuk di hadapanku. Wajah-wajah mahkluk itu terlihat hancur, begitu pula dengan rambut panjang serta kuku kotor yang terlihat menakutkan. Mahkluk-mahkluk itu telanjang. Buah dada yang menyembul--membesar tergantung transparan tanpa penutup.
"Kami sudah lama menunggumu!" ucap salah satu dari mahkluk itu.
"Botol itu perlu diisi," kata yang lain.
Mataku langsung saja tertuju pada puluhan botol susu berukuran besar--yang tersusun di sudut ruangan. Entah sudah pukul berapa sekarang. Dan aku tidak tahu sudah berapa lama aku terjebak di ruang yang bagiku menjadi portal lain yang menghubungkanku dengan kehidupan lain yang tidak pernah terungkap. Mataku menelisik arah lain, mencari celah untuk kabur dari ruangan itu. Sayangnya, kelima mahkluk itu sedang mengepungku dengan posisi tubuh menutupi pintu keluar.
Salah satu dari mahkluk itu kemudian bergerak menuju sudut tempat botol-botol susu teronggok. Tanpa enggan, mahkluk itu membuka tutup botol dan mengarahkan pada putingnya sendiri. Perlahan tapi pasti, mahkluk itu memeras air susunya sendiri hingga cairan berwarna kuning buram itu mengalir memenuhi botol susu. Empat mahkluk lainnya tertawa riang melihat pemandangan itu. Sementara aku? Aku tengah berpikir jika hidupku akan berakhir di sana.
Satu demi satu, kelima mahkluk itu bergantian mengisi botol susu yang masih kosong. Kesibukan mereka membuatku mendapat peluang untuk kabur dari tempat itu. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, aku bergerak menuju pintu. Napasku tersengal, jantungku memompa darah cukup kencang.
Saat kesempatan itu datang, aku berlari setelah tiba di mulut pintu. Suasana lorong yang begitu gelap tidak menyurutkan langkahku. Yang aku pikirkan hanya satu yakni keselamatan diriku sendiri. Suara desisan di lorong yang pengap sonter terdengar setelah aku kabur. Rupanya kelima mahkluk itu telah menyadari jika aku sudah tidak ada di antara mereka.
Dengan langkah sekuatnya, aku menarik pintu yang menghubungkan langit-langit rumahku dengan lorong gelap itu. Sialnya, sebuah tangan dengan kuku panjang yang hitam berhasil manarik kakiku dan berusaha menyeretku masuk ke dalam lorong. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku melawan, menendang tangan menyeramkan itu dengan kakiku yang lain. Tanganku tengah berusaha menarik pintu meski belum berhasil. Suara-suara desisan itu terus terdengar dan mahkluk itu terus saja mencengkram kakiku. Sesekali aku ditarik masuk lebih dalam ke arah lorong, dan sesekali aku bisa mengubah posisi tubuhku dan hampir menggapai pintu kayu. Meski belum berhasil, namun aku terus berusaha hingga tangan kananku mampu meraih salah satu sisi pintu. Cahaya lampu dan sinar matahari yang masuk dari celah-celah atap membuat makhluk itu menyerah. Tanpa menunggu lagi, aku berlari dan turun ke kamarku dengan tangga kayu yang masih menungguku di sana.
Tanpa pikir panjang, kuraih tas besar berisi baju-baju yang kubawa--yang belum sempat kumasukkan ke dalam lemari. Dengan langkah tergesa kakiku menuruni tangga. Kurasakan sekujur tubuhku mulai melemah oleh rasa takut yang tidak karuan.
Terakhir, kubuka pintu mobil dan segera kabur meninggalkan tempat itu. Aku tidak peduli lagi seberapa tinggi gas mobil yang kugunakan, yang pasti aku ingin tetap hidup.
***
Sekitar empat puluh tahun yang lalu.
Pintu ruangan terdengar berderit, suara langkah kaki membuat nyali lima perempuan yang terkurung bak binatang di dalam kandang. Mereka saling bersitatap tapi tidak ada percakapan yang tercipta. Langkah kaki itu semakin dekat, terdengar dari iramanya yang semakin jelas di telinga dan membuat jantung bergerak cepat.
Wajah seorang pria kemudian terpampang nyata di mulut pintu. Kelima perempuan itu meringkuk ketakutan. Pria itu kemudian duduk di atas lantai beralaskan kain tipis yang disusun sembarang.
"Siapa yang akan melayani aku hari ini?" ucapnya seraya memandang kelima perempuan dalam kandang masing-masing secara bergantian.
Tidak ada sahutan sama sekali. Jelas ini bukan situasi menyenangkan bagi mereka.
"Kamu!" seru pria itu seraya menunjuk wanita yang posisi kandangnya berada di samping pintu masuk. "Kamu yang akan melayani saya."
Pria itu kemudian membuka kandang dan menarik paksa perempuan itu. Di depan empat perempuan lainnya, pria itu mempertontonkan adegan paling tabu dari semua tindakan yang pernah mereka tahu.
Demikianlah yang terjadi setiap hari. Secara bergantian para perempuan itu harus melaksanakan tubas 'wajib' ketika sedang diminta. Hari dan bulan berganti, kelima perempuan itu berubah menjadi sosok yang kuat dan menakutkan. Gelap dan tanpa pemandangan dunia luar telah mengubah mereka. Bayi-bayi yang selalu mereka dambakan sebagai hasil dari perlakukan lelaki itu sama sekali tidak pernah terselamatkan. Keadaan itu akirnya menciptakan rasa rindu dan berubah menjadi murka. Pada suatu masa keberuntungan, mereka berhasil membalaskan dendam pada pria jahanam itu. Hanya saja, rindu pada bayi-bayi malang mereka tidak pernah terobati.
****
Maredan, 12 Oktober 2024