Cerpen
Disukai
1
Dilihat
10,333
Hentak Mesin Dini Hari
Drama

Untuk Bapakku Daniel Gurning dan Ibuku Aminta Rosalina Lingga. Cinta akan selalu milik kalian.

_____________________________

Bunyi mesin jahit manual di ruang sebelah membangunkanku dari tidur. Sudah hampir dini hari, dan aku terbangun oleh suara gunting memotong. Bisa kubayangkan betapa tajam alat pemotong itu, hingga mampu berjalan lancar di atas kain. Menit berikutnya, mesin bermain lagi dengan irama yang menggetarkan. Begitu cepat--begitu intens.

Aku menarik napas dalam, kemudian tenggelam dalam bunyi-bunyi itu. Dan betapa beruntungnya aku bisa menikmati semua bunyi itu pada dini hari yang masih merangkak.

Hidungku kemudian mencium aroma kain baru yang digaris menggunakan kapur, dan parade pemotongan berlanjut lagi. Garis-potong-jahit. Langkah-langkah itu bermakna demikian saat dicerna oleh pikiranku.

Senyum sumringah terbesit di bibirku. Kucoba menutup mata meski tak tidur, dan aku mulai menikmati.

***

"Kau masih bisa memasukkan benang ini ke lubang jarum?" ucap lelaki itu seraya membenarkan letak kacamatanya yang melorot ke bawah. Ia sadar, hidungnya tidak terlalu mancung untuk menahan alat bantu pengelihatan itu.

"Biar aku coba," kata perempuan yang bersamanya seraya menarik jarum dari tangan lelaki itu.

"Sudah jam dua. Saat matahari naik, seragam ini akan dijemput. Kepala desa ingin semua perangkatnya terlihat rapi di hari pertama kerja, jabatannya."

Perempuan itu mengangguk. Benang berhasil ia masukkan ke lubang jarum. Sejujurnya, matanya tidak lebih bagus dari lelaki itu. Entah trik apa yang digunakan sehingga ia berhasil. Mungkin, kegigihan? Atau rasa sabar? Mungkin juga keduanya.

"Banyak yang tidak setuju dengan terpilihnya dia menjadi kepala desa. Katanya, ada orang lain di belakangnya yang lebih kuat mendorong," ucap perempuan itu kemudian.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum. Matanya fokus pada pola yang baru saja ia buat. "Kita juga tidak memilihnya, tapi ia memberi borongan pengerjaan seragam perangkat kepadaku."

"Semoga saja ini bukan pencitraan. Banyak dari pejabat, terlihat baik di awal masa kerja. Kemudian, rakus setelah beberapa tahun. Tidak mengapa jika kelak dilupakan, hanya saja janganlah membuat rakyat susah, " bantah perempuan itu.

"Tidak apa-apa selama kita masih bisa makan, bisa menyekolahkan anak-anak."

"Aku jadi teringat. Uang kos dan uang sekolah Citra sudah harus dibayar minggu depan. Kuharap kau bisa menyisihkan sedikit untuk itu," ucap perempuan itu lagi. Ia baru saja selesai memasang kancing pada baju ketiga.

"Tak perlu kau ingatkan hal itu. Kau pikir, untuk apa kita harus bekerja hingga selarut ini?" tanya lelaki itu. Ia duduk di samping istrinya dan meneguk isi gelas berisi kopi, hingga tandas.

Ia memandangi istrinya yang begitu khidmat memasang kancing-kancing pada seragam berwarna kuning keemasan itu. Kemudian lelaki itu tertawa saat menyadari jika kacamata istrinya pun ikut terjatuh dan hampir menyentuh lubang hidungnya sendiri.

"Kupikir cuma aku yang terlahir tak mancung. Rupanya kau juga sama," ucap lelaki itu seraya tertawa dan kemudian bangkit.

"Setidaknya hidungku sedikit lebih tinggi darimu," ejek istrinya.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum kembali. Sebelah tangannya menempel di pinggang, dan matanya mengamati pola di atas meja potong.

"Sepertinya orang yang mengenakan seragam ini berbadan bongsor. Ia memakan hampir dua kali lipat bahan yang tersisa."

"Seharusnya kau sudah bisa menebaknya. Bukankah kau yang mengukur badannya tempo hari?"

"Bukan aku. Jordi yang melakukannya," jawab lelaki itu

"Kau menyuruhnya, itu berarti kau telah memberi kepercayaan padanya."

Lelaki itu tidak menjawab lagi. Ia tengah berpikir bagaimana memecahkan masalah yang ada di hadapannya.

"Jordi itu penerusku. Aku mengandalkannya," jawab lelaki itu setelah jeda yang cukup panjang. Ia duduk kembali di depan istrinya. Telinganya mendengar dengung suara radio yang telah mengusaikan jadwal siaran sejak dua jam yang lalu. Radio tua itu adalah salah satu teman favoritnya setelah sang istri. Lagu kesukaannya adalah tembang milik Ruth Sahanaya yang berjudul Kaulah Segalanya. Dan satu lagi, suara lelaki itu lumayan merdu. Tembang-tembang yang muncul dari balik radio tua itu semacam obat lelah baginya.

Bicara tentang Jordi dan keputusan-keputusan yang selalu dibuat oleh suaminya, kerap membuat perempuan itu berpikir. Suatu waktu, putra sulungnya yang diberi nama Jordi Venansius itu sering mengeluh. Katanya, dia diberi pilihan cukup sedikit dibanding saudaranya yang lain. Hal itu membuat perempuan itu terganggu. Ia takut saat mengingatnya.

Berbeda dengan Jordi, Citra si anak kedua justru dibiarkan memilih jalan sendiri dengan kuliah sesuai jurusan yang diminatinya.

"Anak pertama adalah gambaran dari bapaknya. Dia yang akan menjadi penerus dan pengganti sosok bapak bagi adik-adiknya," kata perempuan itu pada anak sulungnya. Begitu selalu. Sejujurnya, ia hanya berusaha membesarkan hati anak sulungnya itu dan berharap Jordi perlahan tumbuh dalam pemahaman yang baik. Ia ingin Jordi menjadi seseorang yang berjiwa besar.

Jordi memang menurut, tapi perempuan itu tidak pernah tahu kapan anak itu akan memberontak.


"Sudah siap? Mataku sudah lelah sekali," ucap lelaki itu seraya memijit-mijit keningnya.

"Ini yang terakhir."

"Baiklah. Aku akan menunggumu."

Perempuan itu bergegas memasang kancing demi kancing. Sesekali ia melirik ke arah suaminya yang duduk sembari terkantuk-kantuk. Sayangnya, siaran pagi di radio akan mulai pukul tujuh, hingga tidak ada cara yang ia temukan untuk mengusir lelah suaminya.

"Kau harus memberi Jordi pilihan, sama seperti Citra," ucap perempuan itu setelah menyelesaikan baju terakhir.

Wajah lelaki itu berubah cerah. "Citra memiliki otak yang encer. Sementara Jordi punya kreativitas dan tanggungjawab."

"Benar. Aku hanya ingin suatu saat dia bisa menemukan jati dirinya," sambung perempuan itu.

Di atas ranjang, keduanya memandang langit-langit dengan posisi ruas jari saling bertaut. Tidak ada obrolan lagi. Mereka hanyut dalam angan masing-masing. Di kejauhan, lolong anjing dan suara kokok ayam saling bersahut. Mereka telah memulai segalanya hari itu dan tidur adalah alasan untuk menghabiskan sisa waktu yang hanya beberapa jam lagi.

***

Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan perlahan ke sumber suara mesin jahit dari ruang sebelah. Saat jemariku menyibak tirai berwarna hijau yang lusuh, yang kutemukan kemudian hanyalah hening.

Di sudut ruangan, mesin jahit milik bapak telah berdebu dan perlahan menua. Kancing-kancing berkumpul rapi dalam sebuah toples transparan--di pojok meja pemotongan. Sementara gunting yang dulu pernah digunakan bapak telah lelah berkarat. Aroma-aroma kain yang tergantung di sisi lain ruangan masih tetap sama ketika bapak masih menggunakan ruangan ini.

Aku menarik napas panjang, bayangan Bang Jordi melintas di dekat meja pemotongan, dan bapak tersenyum puas atas pekerjaannya.

Aku menutup tirai ruangan itu dan di saat yang bersamaan, aroma-aroma yang mengantarku pada kenangan itu usai seketika.

Di depan pintu utama rumah kami yang sederhana, aku menemukan Bang Jordi yang berteriak seraya mengacungkan sebilah parang berukuran panjang ke udara. Di depan Bang Jordi, berdiri bapak dengan wajah beringas dan penuh penyesalan. Di belakangnya, ibu tengah memeluk tubuh bapak. Ibu mencoba melerai perdebatan itu dengan tangis yang mulai mengucur dari pelupuk matanya.

"Aku tidak pernah meminta menjadi anak pertama!" ucap Bang Jordi lantang.

Di saat yang bersamaan, Bang Jordi menghunus parangnya dengan mata tertutup. Seolah, ia tengah memohon jika tindakannya tidak pernah disalahkan.

Suara cicit burung dan ayam yang mulai terdengar riuh, membuatku mengusaikan bayangan itu. Aku berharap semua itu hanyalah bias mimpi dari lelapku yang tak tuntas.

***



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)