Cerpen
Disukai
3
Dilihat
7,027
ROTI ISI MATAHARI
Slice of Life

MULIA ingin sarapan roti isi matahari. Ibu bingung bagaimana meletakkan matahari di antara roti. Tapi Ibu tidak akan sekalipun menolak permintaan Mulia, terlebih sejak kematian pernah merenggut Mulia.

Kejadian itu sudah begitu lama, namun bagi Ibu serasa baru kemarin saja. Mulia suka ketinggian, meski umurnya belum genap lima. Anak-anak lain minta naik odong-odong, Mulia minta naik bianglala. Anak-anak lain pergi ke Monas untuk melihat sejarah, Mulia pergi ke Monas untuk melihat kota dari ketinggian. Umur tujuh belas itu puncaknya. Mulia ingin ikut lompat trampolin dari atas ketinggian 200 meter. Ibu enggan, tapi tidak menolak. Dan di sanalah Mulia mati. Tubuh hampir remuk terbanting ke bumi.

Barang dua tiga jam belaka. Setelah itu dia bangun lagi, tepat sebelum disucikan. Belum sempat dibungkus. Kain putih dianggurkan dalam lemari. Bunga mawar merah putih layu dalam baskom. Undangan pewarta kematian yang sudah dicetak, akan dikilokan. Pada masa setelah itulah Mulia mulai meminta yang aneh-aneh.

Permintaan pertama adalah tart dari angin. Ibu masih bisa mengusahakan. Ia ambil angin dari puting beliung di kota sebelah. Kemudian mi kuah dari lava pijar. Tidak ada gunung meletus. Ibu pergi ke Kīlauea. Ia ciduk beberapa dengan siwur dan ia masukkan ke dalam gentong. Satu gentong saja cukup. Tapi ternyata kurang. Ia pergi ke Nyirangongo, kali ini ia ambil dua gentong.

Lama dari permintaan kedua itu, Mulia tidak meminta lagi yang aneh-aneh. Ibu pikir Mulia sudah normal. Tapi pada musim hujan semester berikutnya, Mulia minta soda petir. Untung musim hujan. Ibu memetik petir dengan tongkat besi yang ujungnya melengkung seperti kail, hampir membuatnya mati terbakar. Tapi tidak, dia bisa menyajikan soda petir itu dengan sedikit irisan lemon. Belum puas, Mulia ingin makan burger awan. Ibu naik pesawat dan merenggut awan segenggam demi segenggam, mendapat murka dari awak kabin yang cantik-cantik seperti boneka Tionghoa. Mulia minta jus bintang-bintang. Ibu pergi ke Lembaga Antariksa Nasional, bayar sekian, dapatlah ia Alpa Centauri A, Vega, dan Capella A. Kata Mulia yang itu tidak enak, seperti mengkudu busuk. Ibu kembali mengeluarkan anggaran untuk membeli bintang-bintang pada konstelasi sebelahnya. Kali ini Mulia doyan.

Ibu pikir itu permintaan paling sulit yang dapat ia kabulkan untuk Mulia. Ia berharap itu yang terakhir. Nyatanya tidak. Lama tidak meminta-minta, pagi ini, saat Mulia duduk-duduk di rumput di belakang rumah tanpa alas dengan kepala menengadah ke atas bagai mereguk semesta—ia suka bertingkah seperti anjing begitu saat pagi menjelang, tiba-tiba ia berteriak minta roti isi matahari untuk sarapannya. Bintang mudah saja didapatkan. Ada jutaan bintang di atas kepala, mengambilnya beberapa tidak akan menjadi masalah bagi umat manusia. Tapi matahari? Benda itu hanya ada satu. Mengambilnya akan membuat masalah besar. Ibu memutar otak seperti kora-kora.

Hari berganti hari, Ibu belum juga sedia menyediakan roti isi matahari. Mulia murung. Mulia sedih. Mulia mengurus. Mulia melayu. Oh, melihat Mulia begitu Ibu sedih. Ibu murung. Ibu mengurus. Ibu melayu.

Tapi otaknya terus berputar seperti baling-baling.

Akhirnya Ibu mendapatkannya. Ide. Bagaimana cara mengambil matahari. Ia akan mengambilnya saat malam hari, dan mengantinya dengan bintang lain saat itu juga. Ibu senang bisa berpikir demikian. Ibu pun mulai membuat tangga. Sesenti demi sesenti, semeter demi semester, sekilo demi sekilo, bermil-mil jadinya. Orang-orang keheranan. Dipikirnya Ibu beruban itu sudah gila. Tapi tidak ada yang peduli, selama matahari masih bersinar dengan terang.

Mulia hampir mati menunggu Ibu membuat tangga yang seperti tak kunjung usai. Selama itu sarapannya hanya roti isi kacang, atau kadang-kadang kornet lembek. Bukan matahari. Ia tidak selera. Hingga, hari itu Ibu duduk di tepi tempat tidurnya, membilangi dirinya bahwa besok Mulia akan bisa sarapan dengan roti isi matahari.

Diusapnya kepala Mulia sehela demi sehela, sebelum ia ambil tangga dan menunggu tengah malam tiba. Dan itu hanya tinggal beberapa detik lagi.

Tiga. . .

Dua…

Satu…

Orang-orang pastilah sudah lelap. Sudah bermimpi yang aneh-aneh. Andai permintaan Mulia hanya mimpi, pikirnya sedikit mengeluh. Tapi dia sayang Mulia. Dia sudah pernah melihat Mulia mati, dan ia belum siap jika itu terjadi lagi. Dengan tenaga seadanya ia pasang tangga yang panjangnya berdepa-depa, yang ia buat selama ber-Selasa-Selasa, yang lebih panjang dari berkali-kali lingkar perut bumi, yang ia harapkan lebih kuat dari tempurung kura-kura.

Tangga terpasang, langsung menuju matahari. Agak goyah, tapi tubuh Ibu tidak terlalu berat, jadi tidak ada masalah, harusnya. Ia tapaki anak tangga secuil demi secuil hingga tanpa sadar sudah bermil-mil. Semakin ke atas semakin panas. Tapi ia tetap ganas. Matahari harus diambil malam ini atau ia tidak akan melihat Mulia untuk kedua kali.

Tangga bergoyang-goyang, nafas terpenggal-penggal, niat bulat-bulat. Ibu sudah sampai di anak tangga ke-1.903.846.298.987. Matahari sudah sangat dekat, kuduknya sudah gosong akibat ia sering tengak-tengok ke bawah, memastikan tidak ada orang terjaga. Oh, tidak ada. Sukurlah. Ia kembali merangkak. Keringatnya turun menjadi hujan, membuat orang-orang yang seharian lelah bekerja semakin lelap di bawah kelambu mereka. Ngorok dan ngiler.

Rasa-rasanya sudah separuh jalan Ibu mendaki. Tapi matahari masih tampak sama jua. Hanya semakin panas saja, jadi Ibu yakin jalannya sudah benar. Ia siapkan kantong tempat dulu ia mewadahi bintang-bintang. Masih bagus, masih kuat, hanya koyak sedikit, sudah ia tisik. Kain tambal itu harusnya warna coklat kayu jati juga, bukan coklat kayu mahoni, pikirnya tidak penting. Kepalanya tampaknya sudah setengah matang. Ia bahkan sudah melihat kuda-kuda warna merah muda mencium telap-telap berisi sitrun-sitrun. Ibu haus. Apakah kuda-kuda itu akan mengizinkannya menyesap sitrun-sitrun mereka?

“Kuda baik hati, bolehkah saya minta ini dan itu?” Ibu menunjuk-nunjuk. Kuda memandang, seperti hendak menendang. Sementara waktu menggenang.

“Kuda cantik hati, bolehkah hamba minta itu dan ini?” Ibu menunjuk, mengulang. Kuda masih memandang, dengan tatapan hendak menendang lebih keras. Genangan waktu semakin lebar meluap-luap.

“Boleh, dengan satu syarat,” kata salah satu kuda. Entah jantan entah betina.

“Kuda tampan hati, apa itu kiranya syarat yang harus beta penuhi?” Rupanya Ibu mengira itu kuda pria.

“Dua,” kuda merah muda lainya meralat, atau menambahi. Kuda pertama menatap kuda kedua.

“Kamu begitu jambon,” kata kuda pertama tak bermakna.

“Kamu juga,” kata yang kedua, sama nirmaknanya. Mereka saling menatap, cukup lama, membuat genangan waktu sudah berubah menjadi danau kecil dengan cadik di atasnya. Ibu naik ke atas cadik itu karena Ibu belum bisa berenang. Ia sudah mengambil kelas berenang setiap sore kliwon pada hari apa pun itu, asal kliwon, namun rematik dan encoknya sering kambuh akhir-akhir ini, sehingga dia terpaksa absen dan akhirnya lupalah ia pada pelajaran renang sebelum-sebelumnya.

Ibu jadi teringat Ijah, tetangga dua rumahnya yang juga ikut dalam kelas itu. Gatal sekali janda itu. Anaknya dulu teman Mulia, namanya Hamdani, tapi kemudian tidak lagi. Kalau Ibu tidak salah ingat mereka berebut perempuan bernama Riana atau Riyana atau Riani atau Riyani, dia tidak ingat betul. Memang cantik gadis itu, walaupun giginya agak ompong satu. Anak Ijah dan Mulia bergelut. Mulia kalah. Sejak itu bertambah-tambahlah bencinya pada Ijah.

Maka, meludahlah Ibu tepat di atas titik yang ia kira rumah Ijah. Aslinya itu rumah si Kikir Kirihara. Tapi tidak mengapa, Ibu benci juga si Kikir Kirihara yang suka berderma untuk menerima puja. Berarti rumah sebelah itu punya si pelit Romlahiah. Ibu meludah juga di sana, juga di belakangnya yang ia sadari sebagai rumah si pendiam Rita Rita. Rita Rita tidak benar pendiam, karena Rita Rita sebenarnya seorang biang gosip bawah tanah. Gara-gara si Rita Rita pula dia sempat tidak bisa berhutang di tukang sayur langganan. Kalau ingat itu ia menjadi sangat dongkol. Maka meludahlah ia lebih banyak di atas rumah Rita Rita. Kering kerongkongan, ludah terakhir ia telan lagi. Kuda kuda memandangnya jijik.

“Ambillah itu sitrun! Tidak ada syarat! Kami jijik melihat kamu!” kata mereka bersamaan, lantas pergi ke sisi matahari. Menghilang di sana meninggalkan sebingkis nebula hijau muda.

Tanpa mengucap terima kasih, Ibu rakus menjilat sitrun-sitrun itu, meninggalkan tata krama karena panas sekali di tempat itu. Duh, Ibu mengeluh. Itu sitrun plastik. Kuda sialan. Entah tangga entah kepala yang hampir goyah.

Ibu melanjutkan perjalanan.

Sampailah ia di ujung tangga. Matahari ternyata tidak sebesar di ensiklopedia. Tidak sepanas di halaman itu juga. Bahkan matahari sebenarnya agak dingin. Panas pada saat-saat tertentu saja. Ibu berkeringat mungkin karena kecapekan, membikin hujan di bumi semakin deras. Hujan yang rasanya pasti agak asin dan kecut.

Ibu membentangkan karung bintangnya, ia ambil begitu saja matahari yang tidak terlalu besar itu, tanpa drama seperti yang ia pikirkan akan terjadi, kemudian ia mulai menuruni tangga. Kali ini tangga lebih berliuk lampai, membuat Ibu harus lebih berhati-hati.

Sampai di dasar tangga Ibu merasa hari sudah menjelang fajar, sehingga ia cepat-cepat pergi ke belakang rumahnya. Pas, pikirnya senang. Ia langsung menuju dapur, memanggang roti isi matahari untuk sarapan Mulia. Dari sana ia mendengar beberapa tetangganya mengeluh dari kejauhan, kenapa rumah mereka menjadi lengket dan berbau ludah basi. Itu pasti Ijah dan tetangga lainnya yang menyebalkan. Ibu puas, pas saat roti panggangnya matang.

Matahari berpendar di sana, cantik di antara lipatan olahan gandum, agak gosong.

Ia pergi ke samping ranjang Mulia dengan menenteng nampan berisi roti isi matahari yang cahayanya memantul pada segelas susu sapi biasa di atas nampan yang sama, meletakannya di meja kelabu dekat celengan lempung berbentuk kuda diwarna jingga, lantas hendak membangunkan Mulia ketika ia memutuskan untuk membiarkan anak itu tidur lebih lama lagi. Toh, pagi belum menjelang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)