Masukan nama pengguna
BUKAN mimpi buruk yang membuat Senja terbangun tengah malam dan terjaga sepanjang pagi setahun ini, akan tetapi sebuah kesadaran bahwa pria yang lelap di sebelahnya itu juga pernah—dan mungkin masih—lelap di samping perempuan lain. Bahkan mungkin, lebih lelap lagi dengan dengkurannya yang manja. Lebih buruk lagi dari mimpi buruk paling mengerikan yang pernah ia alami adalah, ia mengetahui itu langsung dari pengakuan Evan, suaminya itu, yang merasa harus jujur kepada perempuan baik sepertinya.
“Aku ingin bercerai,” begitu kata Evan seminggu lalu sesaat sebelum berangkat ke luar kota. Senja, yang merasa selama ini rumah tangganya baik-baik saja—bahkan bisa dibilang super harmonis—jelas kaget mendapat pernyataan yang tiba-tiba begitu. Tangannya terlepas dari dasi suaminya yang sedang ia betulkan, tidak kuat menahan beban yang tiba-tiba menghantamnya bagai sebuah pesawat perang yang salah mendarat di atap rumahnya lalu memporak-porandakan segalanya.
“Kamu bicara apa, Mas?” entah pertanyaan entah bantahan. Ia membetulkan kembali dasi suaminya, pura-pura kalimat dari suaminya barusan tidak pernah keluar. Terlebih, pagi ini terlalu cerah untuk sebuah omong kosong menyakitkan seperti barusan.
Evan menangkap lengan istrinya, menghentikannya dari merapikan dasi yang sebenarnya sudah terlalu rapi untuk dirapikan kembali, lalu melemparkan tatapan yang susah ditebak maksudnya. Mungkin semacam tatapan memohon.
“Sepulang dari luar kota, kita bicarakan lagi. Aku harus mengejar pesawat,” kata lelaki 41 tahun itu, kemudian berlalu dengan koper kerjanya. Tanpa ciuman. Tanpa salam pamit. Hanya meninggalkan seribu tanya dan perasaan cemburu yang tiba-tiba menyeruak.
Dengan siapa kamu ke luar kota, Mas?
Semenjak itu, sampai suaminya kembali dari luar kota, Senja nyaris tidak pernah tidak menyisipkan kegiatan melamun dalam setiap aktivitasnya. Lamunannya selalu berujung pangkal ke sebuah pertanyaan: Apa yang membuat Mas Evan ingin bercerai denganku? Bukankah selama ini aku sudah menjadi istri yang baik? Atau, sudahkah? Apa merelakan karir sebagai manajer bank untuk kemudian menjadi ibu rumah tangga yang baik (yang mana hal ini nyaris tidak pernah diimpikan oleh kaum perempuan di era modern seperti ini), masih belum cukup? Belum cukupkah pengabdianku untuk melayanimu, bahkan saat aku sendiri sebenarnya sedang ingin diperlakukan sama?
Senja jadi menyadari sesuatu yang sekarang ini jadi terasa jauh menyakitkan. Dalam nyaris sepuluh tahun pernikahan mereka, rasa-rasanya dia belum pernah menerima perlakuan yang romantis dari suaminya selain yang sewajarnya. Maksudnya, sebagai perempuan terkadang dia ingin mawar merah pada sebuah makan malam istimewa. Tapi itu tidak pernah terjadi, di hari ulang tahun pernikahan mereka sekalipun. Evan, tentu saja lelaki yang baik. Hanya saja sekarang dia baru menyadari, dalam kehidupan berumah tangga, baik saja tidaklah cukup. Perlu ada bumbu untuk membuatnya tetap selezat kaldu. Tapi benarkah perlu? Senja tetap merasa selama ini pernikahannya baik-baik saja. Awalnya dia ragu melepaskan diri sebagai wanita karir. Namun sejak Bianca lahir, disusul kemudian Aldo, dia merasa pengorbanannya sangat pantas. Terlebih tidak pernah, seidaknya sebelum pagi itu, ada yang perlu dikhawatirkan dalam rumah tangganya yang harmonis tersebut.
Lalu apa kirannya yang membuat Evan gila dengan mengatakan cerai secara tiba-tiba begitu? Adakah alasan lain selain yang dipikirkan Senja, bahwa ada perempuan ketiga dalam kehidupannya? Perempuan yang bisa merapikan dasi lebih rapi daripada dirinya? Perempuan yang bisa membersihkan rumah lebih bersih daripada dirinya? Atau perempuan yang bisa membuatkan kopi lebih nikmat daripada buatannya?
Segala kecamuk perasaan yang membuat malam-malam Senja terasa lebih nestapa terjawab pada kepulangan Evan dua minggu kemudian.
“Aku tidak pernah mencintai kamu, Senja,” begitu katanya. Singkat saja, seperti tegukan kopi terakhirnya malam itu.
Senja tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Kata-kata itu sudah terlanjur keluar dari seorang pria yang begitu ia cintai sampai rela melakukan segala yang tidak akan pernah sanggup ia lakukan untuk pria lain. Senja hanya menelan ludah. Getir sekali rasanya.
“Kamu punya perempuan lain?” tanya Senja dengan nada lebih ke arah takut daripada marah. Takut kehilangan tepatnya.
Tanpa enggan Evan mengangguk. Hati Senja resmi remuk.
“Siapa?” tuntut Senja dengan suara yang nyaris hilang terhisap rasa yang tidak bisa dia definisikan saking campur aduknya.
“Helena.”
Dari sekian perempuan, sangat masuk akal jika Helena yang tersebut dari pengakuan suaminya. Bahkan nama itu sudah ribuan kali melintas dalam setiap mimpi buruknya. Meskipun begitu, tetap saja menyakitkan rasanya mengetahui perempuan itu adalah orang dekatnya sendiri.
Senja meneguk kopinya yang sudah dingin dalam dua kali tegukan. Ampasnya ikut ia telan, berharap rasa pahitnya mampu menandingi perasaan laranya malam itu. Namun nyatanya tidak. Lukanya malah semakin melebar ditarik-tarik oleh sebuah ingatan kelu betapa dulu Evan pernah menjadi kekasih Helena lebih dari enam tahun. Sebagai saudara pungut Helena, dia tahu betul kisah kasih itu.
Kisah cinta yang bisa jadi lebih romantis daripada Romeo dan Juliet itu harus berakhir gara-gara aku.
Evan dan Helena sudah menjalin kasih sejak semester pertama di bangku kuliah. bahkan kalau dipikir-pikir mereka sudah saling suka sejak bangku SMA. Lebih lama lagi, mungkin sejak kecil, sejak mereka bermain di bak pasir bersama, yang mana waktu itu Senja masih tinggal di desa bersama ibunya yang buruh cuci dan belum dipungut Pak Wardoyo, majikan Bapaknya, untuk disekolahkan di kota. Senja tahu betul itu. Sebagai saudara sekaligus sahabat Helena, dia selalu menjadi orang pertama yang tahu apa saja yang Helena rasa dan lakukan. Termasuk ciuman pertama dia dan pangerannya secara diam-diam di belakang rumah saat mereka bertiga belajar bersama.
Sebenarnya Senja ingin juga merasakan apa yang Helena rasakan. Hanya saja Senja tidak ingin menjadi tokoh antagonis yang merebut kekasih orang. Namun sejak Helena pindah ke Singapura ikut dengan Bapaknya yang korupsi sepak bola itu, semuanya berubah. Senja mulai berani—kalau tidak bisa dibilang kurang ajar—mencuri masuk ke kehidupan Evan yang dirundung sepi, menggantikan sosok Helena, dengan berbagai cara. Belajar bersama salah satunya.
Witing tresna jalaran seka kulina.
Maka, rasa cinta Evan yang tidak pasti kepada Helena tidak mampu membendung laju waktu yang terus membawanya ke masa dimana seorang lelaki sekalipun dituntut untuk segera berkeluarga dan memberikan cucu untuk Ibu Bapaknya. Singkat cerita, Evan mulai melupakan Helena—yang ternyata ia sadari tidak pernah bisa—lalu mulai mengikuti saran dari orang tuanya: menikah dengan Senja, perempuan baik-baik, manajer sebuah Bank.
Helena mendapat kabar itu langsung dari Evan. Dan hubungan Evan, Helena, dan Senja kemudian tak lagi sama. Terutama yang disebut dua belakangan.
Begitulah pada akhirnya Senja harus mengakui bahwa sebaik apapun peran yang dimainkannya, dia tetap akan menjadi antagonis. Meski begitu, mengetahui posisinya sebagai penjahat dalam kisah ini tidak lantas membuat Senja maklum. Bagaimana pun, kisah Pangeran Evan dan Putri Helena sudah lama berakhir. Atau benarkah begitu? Bagaimana kalau ternyata selama ini hanya perasaannya saja yang menganggap demikian?
Senja merasakan ngilu yang begitu menusuk. Ternyata selama ini pengabdiannya yang begitu khidmat tidak pernah mampu memalingkan suaminya dari sang mantan. Dan mengetahui selama ini dia hidup dengan lelaki yang tidak pernah mencintainya begitu membuatnya ingin melakukan apapun asal jangan duduk berdua di dapur dan melihat indah mata suaminya, yang hanya akan membuatnya semakin susah menerima kenyataan pemilik mata indah itu ternyata tak pernah memiliki perasaan yang sama dengannya.
Senja tidak ingin menangis, karena harusnya dia sudah tahu ini akan terjadi, melihat sikap suaminya yang semakin tidak hangat, tidak pernah menjamahnya lagi sekian lama. Terlebih semenjak bertemu Helena pada liburan keluarga di Singapura akhir tahun kemarin, Evan nyaris bukan Evan lagi. Harusnya dia langsung sadar diri bahwa posisinya tidak akan pernah spesial bagi Evan.
“Kamu serius, Mas? Setelah waktu yang begitu lama ini?” Senja masih tampak tidak percaya. Ditambah ampas kopi yang menyangkut di tenggorokkan, membuat suaranya terdengar semakin getir saja.
“Maafkan aku Senja. Aku sudah mencoba selama sepuluh tahun, tapi ternyata aku masih belum bisa mencintai kamu,” sebuah pengakuan yang menyakitkan meluncur tanpa tersendat dari bibir suaminya.
Lalu apa? Hanya karena kamu tidak mencintai aku lantas kita harus pisah? Tolol sekali kamu, Evan. Hanya demi cinta monyetmu kamu rela mengorbankan anak dan istrimu? Kamu anggap aku ini apa? Selingan hidup supaya kamu tidak dicap perjaka tua?
Dalam hati, perempuan desa itu merutuk. Hanya saja dia terlalu lembut untuk mengutarakannya. “Anak-anak bagaimana, Mas?” hanya itu yang keluar dari mulutnya, berharap keberadaan dua malaikat kecil mereka mampu menyelamatkan biduk rumah tangga mereka yang sedang diombang-ambingkan badai bernama Helena, sepotong badai yang lebih kuat dari Badai Katarina sekalipun.
“Kita bagi dua.” Mudah saja Evan berkata, seolah membagi hak asuh anak seperti membagi coklat batangan menjadi dua. Tinggal mematahkannya saja beres. “Tidak,” tapi tiba-tiba dia meralat. “Aku pikir sebaiknya Bianca dan Aldo tetap bersama kamu.”
Tega! Anak pun tak kau pikirkan jua!
Tidak ada yang bicara lagi selain dekut burung perkutut. Senja menunduk begitu dalam, membuat Evan tersiksa juga. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti Senja. Bagaimana pun kehidupan yang ia jalani dengan istrinya itu tidak pernah tidak baik. Bahkan dia pikir kehidupannya terlalu sempurna. Memiliki istri yang begitu patuh, anak-anak yang pintar dan manis. Tapi entah kenapa hatinya tidak pernah bisa tertambat pada Senja, seolah dia hanya musafir yang menemukan telaga kecil di tengah sahara. Tapi yang dia inginkan adalah lautan luas pada Helena, cinta sejatinya. Sejak pertemuan pada libur natal akhir tahun kemarin, Evan menyadari bahwa selama ini Helena bukan sekedar cinta pertamanya, tapi juga satu-satunya.
“Kalau keputusanmu sudah bulat. . .” Senja tidak sanggup melanjutkan. Dia terlalu lembut untuk membentak. Yang jelas, terlalu cinta untuk membenci.
Evan menghamipirinya dan mendekapnya erat dengan lengannya yang kuat melindungi, menenggelamkannya ke bidang dada yang pasti akan dirindukannya, walaupun tempat hangat itu sudah bukan miliknya semata.
Sekejap muncul pikiran untuk menjadi yang kedua. Demi anak-anak. Tapi Senja tahu dirinya tidak akan kuat melayani suami yang sudah dilayani oleh perempuan lain. Terlebih perempuan itu Helena, sang Ratu.
“Dengar, Senja. Sebagaimanapun menyakitkan ini, ini lebih baik. Kamu bisa mencari lelaki lain yang benar-benar mencintaimu, tempatmu bisa bersandar sepenuh hatimu,” kata Evan, lembut.
Mencari pria lain di usia nyaris empat puluh? Kamu gila, Evan! Lalu kamu anggap aku ini apa? Penghias rumahmu seperti lampu yang baru kamu beli dari Maroko itu? Lampu hiasmu itu bahkan tidak bisa menyediakan kopi lezat untukmu! Masih dalam hati Senja tentu saja.
“Tapi aku dan Helena tidak akan menikah dalam waktu dekat. Setidaknya sampai Bianca dan Aldo sudah bisa memahami situasi ini. Aku tidak ingin mereka mengira Ayahnya tidak mencintainya.” Memang tidak! Tukas Senja dalam hati. “Yang penting kamu sudah tahu rencana kami,” kata Evan melanjutkan dengan enteng, seolah rencana-rencananya itu biasa saja ada dalam buku agendanya.
Dan manusia seperti apa sebenarnya Senja, yang mengangguk saja menahan luka? Wanita mana yang mengizinkan lelakinya berselingkuh begitu saja? Perempuan manusiakah engkau Senja?
Senja perempuan normal. Senja hanya berharap anggukannya barusan mampu menghapus kesalahannya yang sudah mencuri kekasih saudaranya. Dan dia merasa cukup kuat untuk menjalankan akting sebagai ibu rumah tangga yang tinggal di keluarga baik-baik saja, sampai dua malaikat kecilnya yang terlelap di kamar sebelah sanggup memahami bahwa ada manusia yang rela mengorbankan segala yang ia punya demi sesuatu yang pernah ia punya. Dan orang itu adalah Ayah mereka.
Dua anak tak berdosa itu nyenyak saja dalam mimpi indah, begitu jauh dari kenyataan pahit yang akan mereka hadapi dalam sepembukaan mata saja esok hari.
Setahun berlalu tanpa hal berarti di mata kedua anaknya yang belum bisa menatap jauh ke dalam hati Ibu mereka—Ibu mereka yang masih membetulkan dasi Ayah, menatakan baju Ayah setiap hendak pergi jauh, membikinkan kopi Ayah setiap senja tiba. Anak-anaknya memang menganggap keluarga ini biasa saja, tapi Senja tahu semuanya tak lagi sama. Pamit Evan keluar kota. Pamit Evan entah kemana yang ia tahu sebenarnya ke mana. Pesan-pesan penuh canda mesra suaminya dengan sang belahan jiwa. Tante Helena yang sering diajak ke rumah dan mulai dikenalkan Evan ke anak-anak dengan cara yang membuat anak-anak jadi suka dengan Helena. Semuanya mengarahkan ke jurang ketidak bahagiaan. Hanya masalah waktu dia, dan bisa jadi anak-anak juga, tercemplung masuk ke dalamnya.
Kejadian ‘biasanya yang tidak biasa’ yang ia jalankan setahun ini menyeret Senja pada sebuah kesadaran bahwa ternyata dia tidak pernah akan bisa melepas Evan. Egois ia akui bukan karena anak-anak, tapi untuk dirinya sendiri. Harum tubuh suaminya sehabis mandi sudah menjadi candu bagi pikirannya. Hangat nafas Evan, dan lain lainnya itu pasti akan ia rindukan setengah mati. Dan kesadaran itu juga yang malam ini menguat menjadi sebuah niat. Niat untuk hidup bersama selamanya. Dia, suaminya, dan dua bintang kecilnya.
Senja menengok ke arah jam. Tiga lima belas. Cukup wajar kah seorang istri membuat sarapan sepagi ini? Tapi senja tidak peduli. Ia pergi ke dapur, menyiapkan sarapan dengan resep rahasia. Resep yang akan mengakhiri malam-malam panjangnya. Malam-malam panjang mereka semua.
Sementara itu, di dalam brankas dokumen Evan yang paling rahasia, terselip sebuah map berisi dokumen-dokumen dari setiap perjalanan luar kotanya. Dokumen-dokumen dari Rumah Sakit Tan Tock Seng Singapura itu menyatakan Mr. Evan Tanujaya, yang positif HIV/AIDS, kondisinya ‘tidak terselamatkan’. Semua dokumen itu ditandatangani oleh dokter Helena Wardoyo, MBBS.
Di sebelah map putih itu, tergeletak sebuah surat. Surat wasiat penuh cinta untuk Senja dan anak-anaknya.