Masukan nama pengguna
“HOSH-HOSH-HOSH”
Kudekap koper hitam di tanganku dengan dada naik turun. Suara teriakan masa di belakangku semakin mendekat. Akupun semakin merapatkan diri di balik puing-puing bangkai kapal bekas tsunami 4 tahun lalu, berharap tak satupun dari mereka mencium jejakku.
Panas sang raja siang memanggang ubun-ubunku, tapi tak akan kuhiraukan, takut mereka mengetahui posisiku. Pistol tergenggam erat di tangan kiriku, sama eratnya dengan genggaman koper di tangan sebelahku. Seseorang datang mendekat diikuti dengan langkah sang malaikat maut. Bayangan pria itu datang terlebih dahulu, menaungi ubun-ubunku yang mungkin sudah berubah bentuk. Keringat membanjiri sekujur tubuhku yang gemetar. Bagaimanapun aku hanyalah seorang pedagang kaki lima yang sedang terjebak di antara roda-roda kehidupan yang bergerigi tajam.
Aku bimbang. Apakah aku harus terus bersembunyi dan menunggu peruntunganku, atau kutembak saja sosok pemilik bayangan itu dengan resiko ketahuan yang mungkin akan berujung pada penembakan-penembakan berikutnya. Ah, memegang pistol saja baru hari ini, mau sok menembak.
Jadi aku memutuskan untuk terus meringkuk dan menunggu sampai dimana Tuhan menulis di atas kertas hidupku. Ternyata Tuhan masih menyukai tema hidupku, sehingga Dia membuat bayangan itu menjauh, begitupun dengan suaranya. Aku mengintip melalui tepian papan yang melindungi sosokku untuk memastikan keadaan. Kulihat punggung-punggung itu menjauhi pesisir pantai dengan putus asa. Aku pun segera pulang ke rumah dengan hati campur aduk. Tak lupa kutanggalkan topeng yang sudah melindungi aibku.
***
Kurengkuh tubuh mungilnya. Saat itu dia sedang khusuk mengaji. Aku segera menciumnya dan mengabarkan berita gembira itu pada Andin, putri dan hartaku satu-satunya di dunia ini.
“Ada apa, to, Pak?” tanyanya keheranan. Aku segera mendudukannya di tepi ranjang dan kuusap pipinya yang sudah tidak setembem dulu lagi.
“Besok kamu bisa masuk sekolah lagi, Nduk,” kataku, menimbulkan binar bahagia di kedua matanya.
“Benarkah, Pak?” serunya kegirangan sembari meraup leherku dengan lengan-lengan mungilnya. Aku membalasnya dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Akhirnya kudapatkan rona yang hilang itu lagi.
Akan kulakukan apa saja untuk kebahagiaanmu, Nduk, batinku setengah perih.
Tiba-tiba Andin melepaskan pelukannya dan menatapku nanar. Kemudian dari bibir mungilnya meluncur sebuah pertanyaan. “Bapak sudah punya uang?” Kuperhatikan setiap guratan pada gadis sepuluh tahunku. Mukenanya yang lusush sedikit miring ke kanan, mengimbangi hidungnya yang tidak begitu simetris.
Segera kutunjukkan koper yang barusaja aku dapatkan dengan susah payah dari seorang nasabah Bank ABC. Padahal dia masih berada di lingkungan bank. Menggelikan memang, mengingat di sana ada dua orang satpam yang menjaga dengan lena.
Sebenarnya berat bagiku menyentuh gemerlap kertas merah jambu ini. Namun tak dapat kupungkiri bahwa gelegak kebahagiaanku terus meluap saat melihat putri semata wayangku itu ternganga senang setengah tidak percaya.
“Pak,” katanya,” sebenarnya Andin sudah boleh masuk ke sekolah. Begitupun dengan teman-teman Andin yang tidak mampu. Tadi Nisa ke sini dan mengabarkan bahwa Andin dan beberapa teman Andin yang tidak mampu mendapat beasiswa dari Bank ABC. Tapi beasiswanya dibatalkan. Ibu Guru yang baru mengambil uang tersebut dari bank, dirampok,” cerita bidadari mungilku. Ini yang aku tidak suka. Melihat guratan-guratan merana yang sempat tergantikan dengan rona bahagia itu muncul lagi.
Sebutir peluru menusuk jantungku, menembus setiap sel sarafku, mengoyak dan melumpuhkannya. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Sepertinya aku tahu siapa yang sedang dibicarakan oleh Andin anakku.
“Jahat sekali, ya, Pak, perampok itu. Padahal dari uang itulah masa depan Andin dan teman-teman Andin ditentukan. Kenapa ya Pak ada orang sejahat itu?”
Aku tak mampu menjawab pertanyaan malaikat kecilku. Bahkan menatapnya pun aku tak sanggup. Tiba-tiba terselip lagi butiran-butiran bimbang di hatiku.
“Sudahlah,” kataku sambil mengusap pipinya lagi. “Toh, sekarang Andin sudah bisa membayar sekolah lagi, kan? Sekarang ayo makan. Bapak bawakan makanan lezat buat Andin.”
“Iya, sih, Pak. Tapi bagaimana dengan teman-teman Andin?”
Astaga. Anak sekecil ini saja tidak berpikiran egois. Andinku memang berbeda. Tapi bagaimana dengan bapaknya ini?
Aku mengelus kepalanya tanpa bisa berkata-kata lagi, kemudian meletakkan koper penuh uang itu di atas lemari pakaian dan menggendong putri kecilku itu ke meja makan dengan pikiran masih penuh.
Semoga makanan lezat ini dapat menghapusnya.
***
Aku tidak bisa memejamkan mataku. Gelisah memenuhi benakku. Kutatap langit-langit dan kuadukan semua masalahku kepada-Nya. Ombak berdebur di sela-sela rintik hujan yang menghiasi bulan November. Sekali lagi kutatap putriku yang meringkuk nyenyak di sebelahku dan kembali sesuatu menusuk setiap neuron di kepalaku.
Ada berapa anak, ya, yang seperti Andin di luar sana?
Aku bangkit, duduk dan menatap ke luar, berharap ada jawaban di sana. Lalu kejadian tadi siangpun kembali melesat di kepalaku. Wajah guru itu. Teriakan minta tolongnya. Dan semua derap langkah kematian itu.
Kugenggam kepalaku erat-erat. Apa yang harus aku lakukan? Saat ini pasti ada benyak orangtua sepertiku yang sedang jungkir balik memikirkan pendidikan putra-putrinya, padahal mereka sebenarnya tidak perlu secemas itu kalau…ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
Kucoba memaksakan diri untuk tidur, tapi gagal. Di luar petir masih mengamuk. Kembali kutatap koper hitam di atas lemari dengan sejuta pertanyaan. Di sana terkunci masa depan teman-teman putriku. Dan di sana pula terdapat pintu nerakaku.
Jantungku mulai berdegup tak beraturan. Dengung melodinya semakin membebani punggungku, menusuk-nusuk nuraniku.
Kalau aku kembalikan koper ini, apa mungkin Andin masih bisa mendapatkan beasiswa? Dapat pun pasti cuma sampai lulus SD. Padahal di dalam koper itu pendidikan Andin bisa lebih terjamin, setidaknya sampai jenjang menengah pertama. Tapi jika tidak kukembalikan, bagaimana dengan nasib teman-teman Andin? Dan bagaimana perasaan Andin sendiri kalau bapaknya yang sudah tua inilah yang telah merenggut masa depan teman-temannya.
Kepalaku berdenyar, dan hujan di luar semakin lebat.
Kembalikan…
Tidak…
Kembalikan…
Tidak…
***
Mataku perih tertimpa air hujan. Malam sudah sangat larut dan tak ada satupun orang yang mau keluar dari selimutnya, apalagi berlari di sepanjang pesisir pantai kecuali orang bodoh. Dan akulah orang bodoh itu.
Kudekap koper hitam itu sambil terus berlari menyibak hujan. Hati nuraniku tidak rela kalau putriku harus makan dan mendapat ilmu dari uang yang tidak sehat. Kalaupun nanti tidak ada rezeki bagiku untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi aku berniat untuk mengajarinya sebuah keterampilan. Berdagang misalnya. Daripada menjadi seorang Doktor dari uang yang tidak halal. Bisa-bisa nanti dia malah melakukan kejahatan dengan ilmunya itu.
Ah mikir apa aku ini…
Setibanya di bank aku menengok ke kanan dan kekiri, memastikan bahwa pengamanan di sini benar-benar longgar. Aku segera memanjat gerbang dan tak satupun tampak penjaga. Pengamanan di bank ini benar-benar sangat longgar.
Kuletakkan koper hitam itu di depan pintu kacanya, agak tersembunyi di balik pot. Tak lupa kutempel sebuah kertas berisi pesan di atasnya, sebelum berjalan pulang dengan langkah yang jauh lebih ringan.
Yth. Pemilik koper
Maafkan saya karena sudah mengambil koper ini tanpa izin.
Saya sudah terlanjur mengambil beberapa lembar di dalamnya. Saya akan menggantinya dengan mendidik putri saya menjadi orang yang jujur.
Kertas itu segera basah dan luntur. Ah, tidak luntur pun mungkin tidak akan ada yang bisa membaca tulisan dari seorang mantan mahasiswa kedokteran yang dikeluarkan karena tidak bisa bayar kuliah ini.