Masukan nama pengguna
Andin
JUTAAN waktu aku menunggumu melakukan hal ini, tapi kenapa kamu baru memberikannya sekarang, saat aku sudah menjadi miliknya?
“Senang tidak, kamu?” tanyamu sambil menatapku lumat. Matamu selalu berhasil menenggelamkanku ke dasar arus rasa dahagaku akan pelukmu.
Aku tidak menjawab. Senang tidak, katanya? Momen ini menjadi salah satu dari sedikit hal luar biasa yang pernah terjadi dalam hidupku, nyaris aku tunggu melebihi apapun yang pantas aku tunggu. Jadi sudah pasti aku senang bukan kepalang. Masalahnya, saat ini aku tidak sendiri lagi, Yo. Kamu tidak tahu saja cincin pertunanganku sengaja tidak aku kenakan agar kamu tidak perlu enggan untuk melakukan apa yang barusan kamu lakukan. Bahkan lebih. Sejujurnya memang itu harapanku. Aku ingin tahu sejauh mana aku bisa lepas dari pikatanmu. Nyatanya? Aku pasrah saja saat bibirmu kokoh mengecup seisi duniaku.
Kamu menunggu jawaban dengan mata singa berburu mangsa. Mata yang begitu menggairahkan dan memaksaku untuk mengakui bahwa tidak mungkin aku tidak senang dengan hadiah perpisahan barusan. Ya, perpisahan yang berat hati harus kuikhlaskan terjadi.
Dan aku mengangguk pelan, membunuh ragu. Dia sampirkan anak rambut yang menutupi sebelah mataku, dan perlahan ia kecup keningku yang nyaris membeku. Membeku karena udara Ithaca yang menggila, juga hal lainnya. Namun kini beku itu telah meleleh bagai es-es di kutub, oleh panas gores bibirmu.
Ithaca? New York? Buat apa gadis cheerleader sepertiku mau berusaha keras supaya diterima di kampus seberat Cornell kalau bukan karena kamu? Jutaan waktu Yo, aku menunggu kamu melakukan ini. Jutaan liter darah dan keringat telah aku tumpahkan agar kamu sadar aku bukan hanya ada untuk menyemangatimu di lapangan. Tapi apa? Kamu malah terbang setengah bumi jauhnya tanpa memberitahuku. Katanya aku ini temanmu. Teman? Betapa lebih menyakitkannya kata itu diucapkan oleh bibirmu.
Tanpa sadar, atau mungkin juga sebenarnya aku menyadarinya dengan sungguh, bahwa aku telah membalas kecupanmu. Sekadar menghangatkan bibirku yang kelu karena rindu, dan membiarkan diriku akhirnya kalah dalam desah.
Aryo
JUTAAN waktu aku menunggu untuk memberikan ini kepadamu, tapi kenapa baru terjadi sekarang, saat aku sudah menjadi miliknya?
Kamu terlalu jauh dari jangkauan lengan kecilku, Ndin. Kamu kapten cheerleader, digilai pria-pria sejagad semesta. Sementara aku hanya pemain figuran di tim basket sekolah kita. Dan sekarang, saat aku sudah berhasil merengkuhmu hingga berjarak setulang penghindu, kenapa kamu kelihatan tidak senang? Jangan-jangan aku memang sudah kepedean. Datang jauh-jauh ke Ithaca, berusaha ekstra keras agar prestasi basketku di tingkat nasional mampu membawaku terbang menyusulmu ke Paman Sam, hanya untuk mempermalukan diri di depan tuan putri.
Lagipula aku sudah ada yang punya. Kamu tidak tahu saja aku sengaja menyimpan cincin pertunanganku supaya kamu tidak menolak saat aku memberimu kado istimewa barusan. Bodohnya aku. Harusnya aku tidak langsung mengecupmu. Tunggu sampai kembang apinya dinyalakan terlebih dahulu. Atau paling tidak, saat lagu waltz-nya dimulai.
Tapi aku melihatmu, dengan pipi merona merah bak apel di musim semi, mengangguk tanpa kata seolah mengizinkan semua ini terjadi. Membuatku ingin mengecupmu sekali lagi, dan terus. Dan kali ini kamu membalasnya. Lebih hangat dengan bibirmu yang dingin seperti es lemon di musim panas.
Andin
JUTAAN waktu aku menunggumu di lapangan yang memisiahkan rumah kita hanya untuk sekadar memberi semangat bagi laga-lagamu. Atau paling tidak sekadar setor tampang doang, supaya kamu tahu bahwa aku akan tetap ada di sana, di pinggir lapangan itu, untuk mendukungmu. Tapi rupanya kamu lebih jatuh cinta dengan bola basket merah darahmu daripada kuncir rambut merah daduku yang lucu. Hanya sesekali kamu melihatku, dan sudah begitu saja melepaskan siksa.
Oh, bodohnya kamu kalau sampai mengira aku sendirian. Selalu ada kamu di situ, Yo. Selalu! Dan bodohnya aku yang langsung kabur kembali ke rumah dengan mangkel akan sifatmu yang tidak peka itu. Kalau sudah begitu kadang aku jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa aku jatuh cinta dengan beruang kutub sepertimu? Saat itu aku lupa, justru karena sikap dinginmu itu yang membuat hatiku ngilu. Ngilu yang selalu bikin rindu.
Aryo
JUTAAN waktu aku menunggumu di lapangan yang memisahkan rumah kita. Membanting-banting bola sialanku dengan gila, supaya kamu datang menyapa, atau sekedar melihatku bergaya. Bayangkan saja, sejak SMP aku melakukan itu dan kamu hanya duduk terpekur dengan hand phone terkutukmu. Aku tidak sanggup menyapamu duluan. Adakah di dunia ini budak bersapa kepada tuan putrinya? Kamu tahu, kan, setiap kali aku menatapmu dulu, kamu langsung pergi begitu saja. Semengganggu itukah aku bagimu, Ndin? Atau ada yang salah dengan diriku? Apakah aku tidak boleh menanyakan sedang apa kamu di sana? Padahal aku benar ingin tahu apa yang sedang kamu lakukan di sana. Mencari anginkah? Atau, bolehkah aku membayangkanmu, mencariku?
Sial, aku memang selalu bodoh kalau sudah menyangkut tentang kamu. Harusnya aku bisa belajar lebih hangat lagi. Tapi mau bagaimana lagi, sudah dari sananya aku cuek begini. Kamu pasti tidak suka tipe lelaki kalem sepertiku, ya kan, Ndin? Makanya kamu lebih sering jalan sama Bisma yang supel itu. Tapi memangnya cewek mana yang tidak suka dengan King Kong bersedan BMW—yang kebetulan menjadi kapten basket karena Bapaknya kepala sekolah—itu? Yang lebih kurasa sial lagi, memanglah kalian kelihatan cocok sekali. Iya, kamu sama dia itu. Kalian kan memang Romi dan Julinya sekolah kita. Sementara aku? Sekadar pemegang mikrofon saja dalam drama kalian.
Andin
JUTAAN waktu aku merelakan tubuhku diseret-seret Bisma ke berbagai pertandingannya, supaya aku, yang sudah pensiun dari tim cheerleader SMA kita, masih tetap bisa melihatmu berlaga. Iya kamu, yang membuat jadwal belajarku ke Cornell sedikit terganggu karena pertandinganmu. Kamu enak tidak perlu belajar sekeras diriku karena prestasi basketmu sudah pasti akan membuatmu terlihat lebih menonjol dari puluhan ribu aplikasi yang diterima kantor admisi Cornell. Sementara aku? Hanya keajaibaan maha besar yang akan sanggup membawaku ke kampus impianmu itu. Tapi melewatkan lengan-lenganmu yang kokoh menyarangkan bola ke keranjang lawan sama saja melewatkan hari tanpa sepiring nasi. Aku lapar, Yo, kamu tahu itu?
Eh, bukannya melihatku, kamu malah melihat sekertaris klubmu yang jahanam itu, dan melemparkan senyum magnetmu ke dia, si centil Rita dari kelas dua. Pantas saja kamu tidak melirikku, bokongku aja tidak segede dia.
Lagian, kenapa kamu harus pergi ke Cornell sih? Jauh amat. Di sini kan banyak kampus yang bagus juga. Harusnya kita daftar kuliah ke Yogya saja sama-sama. Menikmati manisnya gudeg dan wajahmu.
Dan kenapa aku tahunya harus dari temanku yang temannya temanmu itu? kenapa kamu tidak memberitahuku langsung kalau kamu memilih pergi ke Amerika, Yo? Padahal kamu tinggal berbisik saja lewat jendela kamarmu dan aku akan medengarnya lewat hembusan angin.
Kamu keterlaluan, Yo. Selalu keterlaluan.
Aryo
JUTAAN waktu aku merelakan saat bermainku terganggu dengan kemesraanmu bersama gorilamu itu. Dan kenapa si—siapa nama sekertaris klub yang baru itu? Rita?—harus terus-terusan memberikan instruksi yang tidak jelas dengan melambai-lambai centil? Ke mana Pak pelatih?
Demi mengejarmu ke Cornell, aku berprestasi gila-gilaan. Kenapa sih, kamu harus memilih Cornell? Jauh amat. Di sini kan banyak kampus yang bagus juga. Aku, kan, jadi harus menelan getir ludahku sendiri setelah menolak tawaran Pak Semedi tentang gagasan gilanya mendaftarkanku ke Cornell ini itu. Aku pikir kamu mau kuliah di Yogya, dan aku pikir sudah bagus begitu. Menikmati matahari tenggelam pada ujung Parangtritis dan cakrawala parasmu yang ayu.
Dan kenapa aku harus tahu dari temenku yang temennya temenmu itu? Padahal kamu tinggal berbisik dari balik gorden kamarmu dan aku akan langsung mendengarnya melompati ranting kering yang menjalar di tepian rumah kita.
Kamu keterlaluan, Ndin. Selalu keterlaluan.
Andin
JUTAAN waktu aku mengambil banyak kelas yang sama denganmu hanya untuk sekadar mengambil kesempatan bertukar kehangatan ‘hai’ denganmu, di tengah dinginnya salju Ithaca. Tapi kamu malah asyik berbincang dengan si blonde Miranda yang dari Italia. Tidak tahukah kamu sudah jutaan waktu aku berkorban banyak hal, termasuk kelas-kelas menyiksa yang sama sekali tidak aku suka ini, memantengi setiap biji mata kuliah yang ada kamu sedang online di dalamnya, berspekulasi kamu mengambil mata kuliah itu juga, hanya untuk sekadar memupuk keberanianku mengungkapkan perasaanku terlebih dahulu?
Jelas kamu tidak tahu. Dan aku benci kenyataan itu, Yo.
Aku tidak akan begitu kalau sejak SMP dulu, dulu sekali, saat pertama kamu pindah ke sebelah rumahku dan menguasai lapangan basket tempatku biasa berlatih cheerleading (yang pada akhirnya aku relakan juga karena melihatmu berdansa dengan bola ternyata lebih menyenangkan daripada caraku bermanja dengan pompom-ku) kamu sudah menangkap semua kode yang aku berikan. Bahkan hadiah kemenangan dariku pun seringnya malah kamu berikan ke si kapten Bisma. Untuk tim, katamu? Jelas-jelas hanya inisial namamu yang ada di situ. Atau sejelek itukah tulisanku sampai kamu tak sanggup membacanya?
Kalau dipikir-pikir lagi, kesalahan terbesar dari jutaan pedihku ini adalah rasa yang aku ciptakan sendiri untuk mengagumi setiap incimu.
Aku menyerah saja, deh, Yo. Aku menyerah.
Aryo
JUTAAN waktu aku mengambil banyak kelas yang sama denganmu hanya untuk sekadar mengambil kesempatan bertukar kehangatan ‘hai’ denganmu, di tengah dinginnya badai Ithaca. Kamu tahu, kan, berapa jumlah mata kuliah yang dibuka setiap semester? Aku harus melototin itu semua sampai mataku berurat demi memastikan kamu online di mata kuliah mana saja setiap semesternya. Demi Tuhan! Aku hanya ingin ber ‘hai’ ria saja dengan mu setiap awal kelas. Tapi kamu malah sibuk dengan si Tommy Tiny Winnie Bity itu! Apa boleh buat, aku jadi terpaksa menyapa temanmu si Miranda dari Italia itu.
Rasa-rasanya aku harus mulai sadar diri, Ndin. Sudah separuh dunia pun aku kejar, kamu sudah berpindah ke Bulan. Jangan-jangan kalau ku kejar dirimu ke Bulan, pun kamu lebih memilih untuk terbakar di matahari.
Aku menyerah saja, deh, Ndin. Aku menyerah.
Andin & Aryo
JUTAAN waktu aku menunggu, kenapa baru malam ini kita bisa berdansa, duduk-duduk menikmati malam berbintang Ithaca, dan menyaksikan kembang api perpisahaan itu bersama-sama? Di sini kan dingin sekali. Aku ingin mengajakmu masuk. Tapi di dalam masih terlalu ramai untuk menghabiskan waktu berharga seperti ini. Waktuku yang benar-benar terasa ada bersamamu. Karena setelah ini, setelah perpisahan ini, aku harus meninggalkanmu.
Rasanya aku ingin mengulang jutaan waktuku yang sudah lalu. Tapi besok kita sudah harus berpisah dalam pesta wisuda, dan setelah itu kita akan menjalani hidup kita masing-masing. Kamu tidak perlu tahu itu. Yang perlu kamu tahu, saat ini aku hanya ingin begini. Jadi, ayo kita lakukan ini sekali lagi!
Cukup sekali lagi, sebelum semuanya menjadi abadi.
Tapi, dosakah aku yang menginginkan lebih, dan lebih lagi? Jutaan kali lagi, mungkin?
Dan aku hanya ingin tinggal pada pelukan dan kecupan ini.
Aku sungguh ingin, lebih dari jutaan waktuku yang lain. Bahkan, bila mungkin, lebih beberapa juta dari selamanya.
Bisma
JUTAAN waktu aku menunggumu. Aku ingin segera menikah denganmu. Punya jutaan anak darimu, menyantap jutaan sarapan yang kamu sediakan sebelum aku berangkat kerja, dan, terutama sekali, memelukmu pada jutaan pagi. Pelukan yang lebih erat dari jutaan waktu yang sudah kita lewati bersama. Tapi, kapan kamu akan pulang dari Amerika, Ndin?
Rita
JUTAAN waktu aku menunggumu. Aku ingin segera menikah denganmu. Melahirkan jutaan anak darimu, menyediakan jutaan sarapan yang kamu santap sebelum berangkat kerja, dan, terutama sekali, mengecupmu pada jutaan malam, lebih hangat dari jutaan waktu yang sudah kita lewati bersama. Tapi, kapan kamu akan pulang dari Amerika, Yo?