Masukan nama pengguna
Martha
Dua minggu setelah bayinya dimakamkan Martha mendapati seruas kaktus tumbuh di sudut halaman rumahnya. Ukurannya tak lebih besar daripada satu ruas telunjuk. Duri-durinya begitu halus hingga sepintas tampak menyerupai bulu. Tanaman itu tidak ada di sana sebelumnya. Seumur hidup Martha tidak pernah menanam kaktus. Jadi dari mana tanaman ini datang? Bagaimana bisa ada di pekarangannya? Siapa yang menanamnya?—jelas bukan dirinya. Bagaimanapun, Martha merasa lebih terpukau daripada bingung. Ia menganggap kehadiran kaktus kecil itu sebagai suatu pertanda.
Mengabaikan seluruh pengetahuannya tentang kehidupan setelah kematian, akal sehat, dan keyakinan agamanya, Martha meyakini tanaman kecil berduri itu membawa jiwa bayinya yang baru saja meninggal. Ia dan Angela, bayi mungilnya, ditakdirkan untuk terus bersama tak peduli sang bayi harus mengambil wujud apapun. Bila Angela harus kembali padanya dalam wujud kaktus, atau seekor anak kucing, itu tak berbeda dengan seandainya bayi itu tetap hidup dan dirawat olehnya dan mereka memiliki masa depan bersama.
Akhirnya ia pindahkan kaktus kecil itu dengan hati-hati dari tanah pekarangan ke dalam pot plastik yang biasa ia pakai menaruh tanaman hias di meja ruang tengah. Sejak hari itu, Martha memutuskan akan merawat dan menjaga tanaman itu seperti makhluk hidup manapun yang membutuhkan kasih sayang. Di malam hari, Martha akan memindahkannya dari atas meja ke sisi tempat tidur. Namun di siang hari, ia akan mengembalikan tanaman itu di luar untuk memperoleh cahaya matahari. Karena ukurannya yang nyaris tanpa bobot dan wujudnya yang mungil dan manis, Martha senang memindah-mindahkan pot kecil itu di mana saja; di ruang tamu, di ruang keluarga, di meja makan, di dapur, bahkan tak jarang di kamar mandi. Suaminya menyelutuk sejak kapan Martha tergila-gila pada kaktus?
Martha tak peduli dan selanjutnya bahkan membawa tanaman itu ke mana pun ia pergi. Misalnya ketika ia berkunjung ke rumah kakak perempuannya selama beberapa hari, berbelanja bulanan di supermarket—pot kecil berisi kaktus ia letakkan di tempat duduk untuk anak di atas troli—ke gereja, menghadiri arisan. Ada yang ikut mengagumi tanaman kecilnya, ada yang memberinya tatapan heran, namun ada yang keberatan seperti ketika ia pergi ke bioskop dan seorang sekuriti memintanya agar menaruh pot tanamannya di tempat penitipan barang. Bila ia harus meninggalkan tanaman itu di rumah, ia akan kepikiran bahkan merasa bersalah membiarkan si kaktus kecil sendirian. Dia bisa merasa kesepian. Dia bisa merasa ketakutan. Tak ada seorang ibu yang sampai hati… Martha ingin terus menemani sang kaktus. Martha ingin kaktus itu menemaninya. Belum pernah ia merasa begitu dekat dengan Angela sejak bayinya meninggal dunia.
Dunianya serasa dijungkir balik manakala suatu pagi ia bangun tidur dan tak mendapati pot serta sang kaktus di sisi tempat tidurnya. Martha yang terkesiap seperti baru saja ditampar telak di pipi. Seketika ia menghambur ke ruangan lain, mencari David. Suaminya nyaris tak menoleh mendengar ia datang dengan tergopoh-gopoh. Suaminya sedang membuat dadar untuk sarapan—aroma wangi telur menguar di udara. Setelah meletakkan sepiring dadar di sisi meja, David berkata, “Aku dengar kamu selalu memanggil kaktus itu dengan nama Angela.”
Martha kehilangan seluruh perbendaharaan kata yang memang tak pernah ia siapkan untuk situasi seperti ini. Perempuan itu hanya membisu.
David berkata, “Martha, Angela sudah gak ada.”
“Aku tahu,” bisiknya.
David mulai menyendokkan dadar ke dalam mulutnya, “Aku barusan dari makamnya pagi ini.”
Martha tidak mengatakan apa-apa.
“Itu hanya tanaman,” kata David, lalu meletakkan sendok dan menatap Martha dengan perasaan kasihan di matanya, “kamu tidak sedang mengkhayal, kan, kalau tanaman itu adalah anak kita?”
“Di… di mana dia?” suara Martha bergetar.
Dia. Seolah-olah Martha sedang menanyakan keberadaan seseorang, bukan sekadar satu pot kaktus. Itu membuat suaminya tertawa getir. David mengacungkan telunjuk kanannya.
“Jariku ini tertusuk duri kaktusmu itu kemarin malam. Aku mau ngambil jam, tapi kepegang tanaman sialan itu.”
“David,” Martha berkata dengan tenang dan penuh tekad, “di mana tanaman itu?”
David menatap istrinya dengan cara seolah ia tak lagi mengenal perempuan itu. Sejenak kemudian tatapan matanya sarat kepedihan. Ia mengalihkan pandangan dari istrinya, menekuri piring sarapan, dan tak bicara.
dr. Alma
Enam bulan lalu, gadis itu melangkah ke ruang praktiknya seperti itik basah yang tersesat. Alma langsung mengenali calon pasiennya. Tanpa sadar ia pun membatin, Sedang apa dia di sini? diikuti pandangan mata refleks ke arah perut. Gadis itu mengenakan kaos oblong yang tampak kedodoran di tubuhnya yang kurus, menyamarkan perut di baliknya. Kelesuan terpancar dari ekspresi dan pembawaaannya, seolah-olah ia belum tidur dan belum makan selama dua hari. Ia terlihat lebih ‘kusam’ daripada saat terakhir kali Alma melihatnya. Wajahnya pias seperti sehelai tisu. Wajah yang polos tanpa riasan. Kedua alisnya yang tidak dilukis membuat wajah gadis itu sepintas seperti cicak.
Pertama kali Alma melihat calon pasiennya itu bersama James di lobi sebuah hotel. Saat itu Alma sendiri sedang mematut diri di sofa di sudut lobi yang sama, dengan wig dan koran untuk menyempurnakan penyamarannya.
Hari-hari itu James, suami Alma, semakin jarang berada di rumah. Diam-diam Martha menyewa seorang reporter lepas untuk memata-matai suaminya, meskipun firasatnya sudah tahu bila James berselingkuh. Si reporter bekerja dengan baik dan jujur sehingga uang sogokan dari Alma tidak sia-sia. Namun kini Alma ingin menyaksikan kecurigaannya itu dengan mata kepala sendiri. Alma sudah mematut diri di sudut lobi selama hampir setengah jam ketika James dan seorang gadis melintasi lobil sambil bergandengan tangan seperti pasangan hendak berbulan madu. Hanya kedua mata Alma yang bergerak mengikuti mereka melalui pinggiran koran. Alma secara khusus memerhatikan gadis belia yang berjalan di samping suaminya. Ia bertaruh gadis itu belum memasuki usia dua puluhan, kemungkinan bahkan masih sekolah. Riasan di wajah dan pakaian gadis itu gagal menyembunyikan usianya. Dilihat dari sisi manapun, gadis itu adalah semua kebalikan diri Alma: rapuh, belum matang, dan tak punya pegangan dalam hidup. Mungkinkah karena itu James jatuh hati padanya? batin Alma. James selalu ingin menjadi pemain dan pengendali, dua peran yang kerap gagal ia mainkan ketika ia bersama Alma.
Di lobi hotel itu, Alma berhasil menguasai dirinya. Ia tidak merasakan dorongan impulsif untuk melabrak suaminya dan menghajar gadis tengil yang sedang menggandeng tangan James. Ia tak berminat membuat kegaduhan di lobi hotel yang mewah dan tenang itu dengan jeritan dan tangis histerisnya.
Sialan, energi dan reputasiku terlalu berharga…
Alma membiarkan keduanya berlalu di hadapannya setelah seorang resepsionis mengulurkan sebuah kunci kepada James, lalu mereka berjalan menuju lift yang perlahan-lahan menelan sosok keduanya dari pandangan Alma.
Kini gadis yang sama hadir di hadapannya, rapuh dan lesu seperti kembang yang mulai layu. Dari kartu pasien yang diantarkan oleh perawat jaga di meja, Alma membaca nama gadis itu, Angela, 18 tahun, keluhan merasa pusing dan mual dan tidak menstruasi selama dua bulan. Alma tahu gadis itu tengah berbadan dua tanpa harus membaca kartu pasien ataupun memeriksanya. Karena kebiasaan dan prosedur, ia menanyakan langsung apa keluhan pasien. Gadis itu pun pasti sudah tahu. Atau setidaknya mencurigai kondisi yang sedang ia alami. Namun ia membutuhkan seorang dokter untuk membenarkan kecurigaannya.
Dia tidak tahu saya istri James; kalau tahu, mustahil dia bisa nyasar di klinik ini. Dan James pasti tidak tahu apa yang sedang dilakukan pacar ingusannya ini; jika tahu ia pasti sudah menyarankan gadis ini menemui dokter kandungan yang lain.
Alma menyadari ia harus berhati-hati. Ia tidak boleh membuka secuil pun identitas dirinya. Ia juga tak boleh seenaknya menyuruh gadis itu angkat kaki dari ruangannya meskipun ia ingin. Kalau dulu ia sanggup menyaksikan gadis ini bersama suaminya di lobi hotel dengan tenang, kini ia pun masih sanggup bersikap profesional. Ia akan memeriksa gadis ini secepat mungkin, meresepkan vitamin, lalu menunggu suster datang membawakan kartu pasien selanjutnya.
Namun di balik ketenangan profesionalnya yang telah terlatih selama bertahun-tahun, Alma menjeritkan luka dan kegusaran di relung dada.
Anjing sundal, siapa bapak dari janin dalam kandunganmu? Anak haram jada tak berguna. Kau dan janinmu tak pantas hadir di dunia ini.
“Dokter,” kata gadis itu dengan malu-malu, “saya mungkin sedang hamil.”
Alma diam saja, menunggu pasiennya melanjutkan.
“Saya mau aborsi.”
Alma tertegun menyadari apa yang sedang ia hadapi. Gadis ini benar-benar sedang tersesat. Ia sedang berada di jalan buntu dan mengira menyingkirkan janin adalah jalan keluar.
Atau itu memang sebuah jalan keluar.
Alma menyadari sebuah kunci yang kini ada dalam genggamannya. Ialah yang akan memutuskan masa depan hubungan suaminya dengan gadis ini, dan masa depan janin yang ia tahu pasti akan mengacaukan dan mengancam keutuhan pernikahannya lebih daripada yang telah dilakukan oleh gadis ini selama beberapa bulan terakhir. Maka ia tinggal setuju dan ganjalan besar pun bisa disingkirkan.
Masalahnya, ia belum pernah membantu seseorang melakukan aborsi tanpa indikasi darurat medis. Janin di rahim gadis itu mungkin sedang bertumbuh dengan sehat. Ia mungkin tak punya alasan yang bisa dibenarkan untuk merenggut kehidupan yang sedang berdenyut di dalam sana. Ia mungkin harus membiarkan gadis itu keluar dari ruangannya dengan si bakal bayi tetap utuh di dalam tubuhnya, menunggu untuk diakui dan diterima oleh pria yang mungkin adalah James.
Alma tak akan membiarkan gadis ini pergi begitu saja. Pertama, ia harus mengulik beberapa informasi pribadi yang tentu saja tak ada dalam prosedur standar pemeriksaan; apakah gadis ini masih berhubungan dengan James, apakah James ayah biologis dari janin dalam kandungannya, apakah si gadis masih berencana menemui suami Alma bila nanti Alma berhasil menyingkirkan si janin. Alma harus memilih dan memilah setiap kata yang akan ia keluarkan dengan penuh pertimbangan dan mengatur nada suaranya agar tidak terkesan seolah-olah ia memiliki kepentingan dalam kehidupan gadis itu. Jangan sampai pasien curiga, heran dan merasa tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaannya. Alma tahu ia akan berhasil; kenyataan si pasien datang sendirian ke ruangannya seperti itik yang tersesat sudah menunjukan kelemahan, dan menjadi keuntungan di pihak Alma—setidaknya dalam situasi seperti saat itu.
Keyakinannya tak meleset; umpan yang ia lemparkan sedikit pun tidak sia-sia. Umpan itu disambut dan dilahap bulat-bulat oleh gadis bernama Angela. Angela yang rapuh dan goyah membutuhkan lebih dari seorang teman curhat; ia membutuhkan sesuatu atau seseorang untuk menuangkan uneg-uneg di hatinya. Pertanyaan demi pertanyaan dari Alma seakan membuka satu persatu sumbatan di mulutnya, membuat Angela tak pernah bersikap begitu terbuka di hadapan seseorang, seolah-olah Alma bukan sekadar dokter kandungan yang baru ia temui untuk pertama kali.
Anak ini benar-benar sendirian dan membutuhkan petunjuk.
Alma menyadari betapa ia hanya membuang-buang waktunya yang mahal bersama selingkuhan James. Namun ia menikmati detik demi detik yang mulai terasa seperti sebuah permainan. Kini ia tak hanya memegang kunci masa depan hubungan Angela dengan James, tapi juga mengendalikan arah hidup gadis itu. Ialah yang akan memutuskan apakah gadis itu harus ke kiri atau ke kanan, atau lurus ke depan atau tetap berkutat di jalan buntu.
Angela menumpukan kedua tangan di sisi meja sambil terisak.
Alma mendorong kotak tisu ke arah pasiennya nyaris tanpa suara. Saat itu sebuah solusi telah terpatri di sudut benaknya, menunggu untuk diungkapkan. Namun ia menunggu sampai Angela sudah tampak sedikit lebih tenang.
Martha
Martha berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang merah dan sembap. Ia telah menangis berjam-jam setelah percakapan terakhirnya dengan David. Tetapi ia menangis karena ia belum juga menemukan pot berisi kaktus kecil kesayangannya. Beberapa saat lalu, Martha menghubungi saudara perempuannya, Alma, dan sambil menangis ia menceritakan apa yang telah terjadi. Untungnya Alma tidak berkata, ‘Tapi kan itu hanya sebuah kaktus! Kamu masih bisa beli atau minta dari tetangga.’ Sikap tenang dan keibuan Alma adalah apa yang paling Martha butuhkan dalam situasi seperti ini. Pada menit-menit terakhir percakapan mereka, Alma terdengar seperti ingin menceritakan hal yang lain kepadanya, tapi alih-alih bercerita sang kakak hanya berkata, “Nanti deh saya telepon kamu lain kali.” Lalu Alma menasihati Martha agar membuat pikirannya jernih sebelum mulai mencari tanaman kesayangannya itu dan tidak menempatkan David sebagai musuh.
Akhirnya Martha menemukan pot berisi kaktus kecilnya di makam Angela. Satu-satunya orang yang paling mungkin melakukan itu adalah David. Tentu saja sebuah pot tidak memiliki sepasang kaki untuk berjalan sendirian ke tempat ini; dan seruas kaktus tidak memiliki sepasang sayap untuk terbang ke manapun ia mau; dan tanaman manapun tentu saja tidak punya kemampuan teleportasi—namun jauh di sudut benaknya Martha lebih mengharapkan sesuatu yang tak dapat dijelaskan: bila kaktus ini memang berpindah dengan sendirinya, kenapa tidak? Seperti ia percaya roh dan jiwa Angela bersemayam di dalam tanaman itu. Selebihnya, ia tak butuh penjelasan lain.
Setidaknya David tidak membuang kaktus ini di tempat yang mustahil bisa Martha temukan lagi. Martha kembali membawanya pulang. Kali ini ia meletakan tanaman itu di tempat yang tak akan mudah terlihat oleh suaminya; di atas lemari, di rak pantri, di suatu tempat di sudut halaman. Ia akan mengambil tanaman itu saat David sedang tak ada di rumah dan tetap memanggilnya Angela, sambil mengusap-usap ujung duri-duri dengan lembut.
Suatu hari jarinya tak sengaja tertusuk duri yang lebih tipis daripada jarum. Martha menyukai rasa sakit yang muncul di ujung jarinya, rasa sakit yang sesaat mengalihkan seluruh perhatiannya dari perasaan kehilangan.
Beberapa hari kemudian, Alma datang bersama seorang gadis yang tak Martha kenali. Martha diberitahukan tentang siapa gadis itu dan alasan kenapa saudara perempuannya yang berprofesi sebagai seorang dokter kandungan menginginkan agar Martha menampung si gadis untuk beberapa bulan ke depan. Gadis itu baru saja lulus sekolah menengah atas dan keluarganya tidak tahu, tepatnya tidak mengharapkan, kehamilannya. Mustahil baginya untuk pulang, baik kepada keluarganya maupun kepada pria yang bertanggung jawab atas kehamilannya itu, karena sang pria adalah suami orang. Si gadis ingin menyingkirkan janin di perutnya lalu kembali pada keluarganya dan menjalani kehidupan yang normal seperti sediakala. Namun Alma tidak menyarankan jalan keluar ini. Ia menyarankan agar gadis itu ‘bersembunyi’ di suatu tempat.
“Saya punya adik perempuan yang baru saja kehilangan bayi dan kemungkinan besar bersedia mengadopsi bayimu nanti jika kamu izinkan.”
Gadis itu langsung setuju bahkan tak sabar ingin segera melahirkan dan menyerahkan bayinya pada adik sang dokter.
Martha sulit memahami alasan Alma ingin menolong seorang gadis yang bukan keponakan mereka, bukan pula anak seorang teman ataupun kenalan. Apalagi ketika mendengar siapa gadis itu dari mulut sang kakak sendiri, ia berpendapat bahwa Alma benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Reaksi pertama Martha adalah menolak gagasan untuk menampung selingkuhan James di rumahnya.
“Jadi kamu mau menyingkirkan dia dari James dan berharap saya mau menampungnya satu atap dengan David? Tidak, terima kasih.”
Alma berkata, “Kalau kamu melihat langsung orangnya kamu tidak akan percaya dia perempuan begitu. Dia seperti kucing basah kuyup.”
“Kita bisa menolong orang lain yang lebih pantas. Kenapa harus selingkuhannya suamimu?”
Alma membutuhkan waktu sejenak untuk memilih kata-kata yang tepat. “Martha,” katanya dengan kesabaran seorang kakak, “kau tahu James selalu menginginkan anak perempuan.”
“Lalu?”
Gadis itu sudah mengaku James ayah biologis dari janinnya. Kalau sampai bayinya itu nanti perempuan, James bisa-bisanya ninggalin saya dan anak-anaku yang semuanya laki-laki.”
“Kamu bilang kamu tidak takut ditinggalkan sama James.”
“Martha, dengarkan aku. Hanya kalau bayinya perempuan, kita ambil. Kalau laki-laki, kita biarkan saja bayi itu sama ibunya dan kita biarkan mereka pergi.”
Martha menyadari hatinya belum sembuh benar. Setiap kali mendengar kata bayi, apalagi bayi perempuan, sesuatu dalam dirinya selalu bergetar. Terlebih ketika mendengar bahwa gadis asing itu bernama Angela, hati Martha nyaris serta merta melunak. Ia ingin menimang bayinya sendiri, terjaga semalaman dan kewalahan oleh buah hatinya sendiri; tetapi bagaimana bila keadaan ini pun suatu pertanda? Tiga bulan telah berlalu sejak bayi Angela dimakamkan dan kini seorang perempuan muda yang sedang mengandung didatangkan ke rumahnya. Jika kaktus kecil dalam pot itu belum cukup untuk meyakinkan David bahwa bayi mereka sedang mencoba mencari cara untuk masuk ke dalam kehidupan mereka kembali, mungkin kehadiran bayi yang lain bisa.
Martha membersihkan kamar tamu, mengganti seprai, dan mengosongkan lemari untuk mengisi pakaian-pakaian Angela. Angela hanya membawa sebuah koper berukuran sedang. Sebelum meninggalkan gadis itu bersama Martha, Alma memperingatkan sang adik lebih dari seratus kali agar mengunci mulutnya merapat-rapat untuk tak mengungkap, baik secara langsung maupun tak langsung, siapa Alma dan siapa suaminya. Album-album foto pernikahan yang dihadiri oleh keluarga besar disimpan ke dalam bufet yang terkunci rapat. David pun sudah diberitahukan agar tidak sekali-kali menyebut nama James dan Alma di depan gadis itu. Dan Martha bersumpah pada suaminya bahwa ia sendiri tidak menduga gadis itu bernama Angela, dengan kata lain, pasti hanya kebetulan. Ia yakin David yang jengkel mendengarnya memanggil kaktus kecil di dalam pot dengan nama Angela juga pasti akan menunjukkan reaksi yang kurang lebih sama. Namun di luar dugaan, suaminya justru bersikap hangat dan terbuka, berharap kehadiran Angela si gadis asing bisa mengurangi ketergantungan Martha akan tanaman berduri itu.
Beberapa hari pertama Angela bersikap canggung dan bingung harus memanggil Martha dan David dengan sebutan apa. Kedua orang itu jelas lebih muda dari kedua orangtuanya, tapi jauh lebih tua dari dirinya. Jadi ia memanggil mereka Om dan Tante. Selama bersama mereka, ia tidak satu kali pun mencoba mengaktifkan ponselnya. Ia tak yakin dirinya sudah siap untuk tidak menghubungi James sama sekali. James sudah tahu tentang kehamilannya lalu mulai menjauh, mengira Angela akan minta tanggung jawab. Ia berjanji setelah bayi itu lahir ia akan keluar dari kehidupan semua orang yang ia kenal saat ini, termasuk Martha dan David, tapi terutama James. Barangkali satu-satunya orang yang masih ingin ia temui setelah bayinya lahir adalah dokter Alma. Ia ingin berterima kasih sedalam-dalamnya karena telah menunjukkan jalan keluar tanpa membiarkan dirinya harus menjadi pembunuh.
Tadinya ia meragukan niat dan tujuan dr. Alma membantunya. Apa untungnya bagi wanita paruh baya itu melakukan apa yang ia lakukan sekarang? Angela bertanya-tanya dengan curiga. Dr. Alma berkata bahwa Angela mengingatkan sang dokter pada anak sulungnya. Namun tentu saja alasan utamanya adalah karena adik sang dokter baru saja kehilangan bayi dan membutuhkan penghiburan: Tante Martha. Jadi sebelum rasa curinganya berlanjut dan berubah jadi besar kepala, ia harus menyadari bahwa dr. Alma membantunya bukan untuk dirinya semata tapi terutama untuk Tante Martha.
Ada saat-saat Martha merasa gadis asing itu ingin bercerita. Namun Angela selalu memilih diam seribu bahasa, terkesan malu-malu dan menjaga jarak. Gadis itu tak pernah bertanya tentang kehidupan Martha, tentang anak atau pun pekerjaan Martha dan suaminya. Namun suatu kali Martha bertanya, “Ibumu tahu kamu di sini?”
Angela menggeleng, berkata, “Ibuku mengira aku dapat beasiswa di luar negeri.”
Martha mengangkat kedua alisnya, tatapan matanya seolah berkata, Yang benar saja!
“Mereka tidak akan mencariku,” Angela meyakinkan.
Setiap malam Martha akan terjaga lebih lama di tempat tidurnya disisi David, memikirkan ada gadis asing di kamar tamu mereka. Ia memercayai suaminya dan merasa beruntung David berbeda dengan James. David tak akan memiliki perasaan terlarang terhadap perempuan yang jauh lebih muda. Namun kenapa ia tidak bisa tertidur nyenyak? Lalu ia sadar penyebabnya bukanlah rasa cemburu. Ia tahu bahwa seharusnya ia membenci gadis bernama Angela. Gadis itu adalah duri dalam rumah tangga Alma. Ia sendiri tak bisa membayangkan berada di posisi kakaknya. Ia tak akan repot-repot mencari jalan keluar, malahan dengan senang hati akan menyingkirkan janin gadis itu andaikata dirinya adalah Alma. Namun Martha berpikir bahwa ia tak bisa membenci gadis itu. Sebab bila janin dalam kandungan Angela adalah perempuan, itu berarti si bayi adalah miliknya.
dr. Alma
Dari seberang ruangan Alma kerap memandangi James yang sedang bercengkerama dengan anak-anak lelakinya. Hati Alma diliputi kehangantan. Belakangan suaminya tak pernah lagi meninggalkan rumah selain untuk urusan pekerjaan. Kadang-kadang Alma memergoki James tampak seolah-olah sedang memikirkan sesuatu dengan ponsel di tangannya. Suaminya tak pernah membagikan isi benaknya dengan Alma. James boleh memiliki rahasia dan dunianya sendiri di luar tembok-tembok rumah ini, pikir Alma. Namun kini lelaki itu tidak bisa lagi berkutik seperti hewan buas kehilangan sepasang taring. Apa yang ada di benaknya? Apakah ia sedang memikirkan gadis bernama Angela? Apakah ia masih ingin mencarinya dan sedang merencanakan sesuatu?
Hampir setiap hari Alma menghubungi Martha untuk menanyakan keadaan Angela. Ia memastikan Martha mengurus gadis itu dengan baik dan memberinya makanan bergizi. Ia mengirimkan uang ke rekening Martha untuk membeli makanan serta vitamin. Lalu Martha akan menggunakan kelebihan uang untuk dirinya sendiri. Alma memastikan Martha tidak meluputkan apapun seperti misalnya apakah Angela masih berkomunikasi secara diam-diam dengan seseorang di telepon.
“Tidak, belum pernah dengar dia bicara di telepon,” kata Martha dengan suara rendah. Ia bahkan tidak tahu apakah gadis itu punya ponsel.
“Kamu harus pastikan dia tidak lagi berhubungan dengan James,” Alma mengingatkan.
Martha menenangkan sang kakak. “Kalau James datang menjemput dia dari sini, aku tidak akan izinkan. Dan kamu orang pertama yang akan aku beritahu.”
Martha berbisik-bisik selama mengobrol di telepon. Rumah Martha tidak seluas rumah Alma dan James di kota. Ia mesti merendahkan suaranya demi tidak terdengar oleh orang lain di ruangan sebelah. Sebaliknya Alma tidak pernah kesulitan memperoleh privasi setiap kali ia ingin berbicara di telepon dengan siapa pun di rumahnya. Namun biasanya ia memilih menelepon Martha ketika ia sedang berada di rumah sakit atau di klinik di ruang praktiknya.
Suatu malam ketika ia dan James baru saja berbaring bersisian, tiba-tiba suaminya memecah kesunyian dengan pertanyaan, “Kalau Radian dan Fabian punya adik lagi, gimana pendapatmu?”
Alma yang tetap memejamkan mata, bergumam, “Kukira yang bisa memutuskan itu adalah aku.”
Ia mendengar James beringsut menghadapnya, “Aku tidak minta kamu hamil lagi. Maksudku coba pertimbangkan untuk adopsi.”
Alma membuka mata dan menoleh, “Bayi perempuan?”
Cukup lama suaminya terdiam. Lalu ia berkata, “Entahlah.”
“Apa maksudmu ‘entahlah’?”
“Belum tahu.” Tiba-tiba James terdengar seperti seseorang yang tak punya pendirian.
“Kalau mau adopsi kita kan bisa pilih jenis kelamin bayinya,” kata Alma.
Akhirnya James berkata, “Maksudku, terserah.”
James bersikap tidak seperti biasanya. Ada keresahan dalam suara dan perangai lelaki itu. Apakah ia sedang menimbang untuk mengambil bayinya dengan Angela? dan Alma harus pura-pura tidak tahu itu bayi siapa. Jantung Alma berdebar keras di balik ketenangan sikapnya. Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi, Alma memutuskan, dan mulai berpikir untuk membuka siapa dirinya pada Angela. Tetapi ia yakin James tak akan mengambil keputusan apapun tanpa persetujuannya.
Martha
Sehari setelah ia dan David mengantarkan Angela ke rumah sakit, Martha tak dapat menemukan kaktus kecilnya di mana-mana. Tanaman itu raib begitu saja tanpa jejak, seperti dulu. Namun kali ini tanaman itu tak ia temukan di makam bayinya. Kembali ke rumah, Martha menanyai suaminya dengan gusar. David menatapnya dengan sepasang alis berkerut seolah Martha sedang kerasukan.
“Dulu kamu menaruh kaktus itu di makam Angela. Jangan heran sekarang kupikir kamu juga sudah memindahkannya di sana.”
“Kamu ini omong apa sih?” David tak tahu apakah harus merasa geli atau kasihan pada sang istri. “Aku tidak pernah memindahkan kaktusmu di makam Angela. Untuk apa aku melakukan itu?” Ia akan menaruh mawar, anggrek, atau pun melati di makam Angela. Tapi tidak kaktus, katanya.
Kini Martha menjadi semakin bingung. Ia mencoba menjernihkan pikirannya seperti nasihat Alma dulu. Namun kaktus kesayangannya tetap tak bisa ditemukan di mana-mana, membuat ia meragukan ucapan David, tapi ingat salah satu nasihat kakaknya juga bahwa ia tak boleh menjadikan suaminya sebagai musuh. Kebingungan ini teralihkan dengan perkembangan kondisi persalinan Angela. Martha menemani gadis itu menunggu pembukaan demi pembukaan dari sore hingga malam. Ia menenangkan gadis itu dari waktu ke waktu sesuai dengan pengalamannya dulu. Pukul sepuluh, ia memutuskan pulang karena terlalu berat baginya berbaring hanya beralaskan tikar di lantai ruang perawatan kelas tiga. Keesokan paginya saat ia kembali ke rumah sakit, bayi Angela ternyata sudah lahir. Martha langsung bergegas menuju ruang khusus bayi tanpa ingat untuk menanyakan keadaan Angela. Bayi mungil berkulit kuning kemerahan sedang tertidur lelap dalam bekapan kain yang dibeli Martha dengan uang kiriman Alma setiap bulan. Ia lega mendapati bayi perempuan itu tidak mirip kakak iparnya sama sekali. Menurutnya bayi itu justru mirip dirinya dan David. Martha menghubungi Alma disertai isak bahagia dan suaranya terbatah-batah ketika ia mencoba menjelaskan sosok sang bayi. Di hari yang sama, Alma menyetir sendirian ke rumah sakit di mana Martha menunggu dengan girang di koridor.
“Perempuan,” itu kata pertama yang meluncur dari mulut Martha ketika melihat Alma muncul di ujung koridor, “bayinya perempuan.”
Sang bayi tak lagi diletakkan di ruang rawat bersama ibunya. Pihak rumah sakit telah diberitahu bahwa atas persetujuan sang ibu, bayi itu akan diadopsi oleh Martha. Ia masuk ke ruangan khusus bayi sementara Alma tetap menempel di sekat kaca di luar. Martha mengangkat bayi dalam bedongan itu dan mengayunnya lembut di antara lengan dan dadanya. Alma membuang muka, tak ingin melihat wajah bayi itu. Namun Martha datang membawa bayi itu kepadanya.
“Jangan khawatir, bayi ini tidak mirip suamimu,” kata sang adik, menggodanya.
Alma pura-pura tak mendengar ucapan Martha. Setelah beberapa saat akhirnya ia bersedia melirik ke arah wajah si bayi yang meringkuk di dada Martha. Alma tak yakin apakah bayi itu benar-benar tidak mirip James ataukah itu hanyalah usaha Martha untuk menghibur diri mereka. Ia menyadari bahwa ia menghindari menatap setiap detail wajah sang bayi terlalu lama, tak ingin menemukan potongan hidung atau bentuk dagu yang ia kenali.
“Saya mau adopsi dia,” kata Martha tanpa keraguan. “David juga mau.”
Alma pun mengurungkan diri untuk mengatakan apa yang sudah ia rencanakan, sesuatu yang menjadi tujuan kedatangannya. Kalau bukan karena James, ia sendiri tak menginginkan bayi ketiga. Dan kini pengakuan Martha membuatnya lega, terlepas dari keterpaksaan itu. Setelah dipikir-pikir sekarang rencana itu memang konyol, bahkan mungkin agak serakah. Bila ada orang yang paling pantas memiliki bayi perempuan itu selain ibu kandungnya, orang itu adalah Martha. Dengan pendirian baru ini di hatinya, Alma merasa lebih tegar untuk menghadapi sang jabang bayi di pelukan adiknya. Dengan hati-hati ia mengulurkan kedua tangan untuk mengambil si bayi dari tangan Martha ke dalam pelukannya. Bayi itu nyaris tanpa bobot dan terasa begitu rapuh.
“James tidak akan pernah tahu,” bisik Martha sambil memandangi bayi perempuannya. “Setelah pulih nanti, Angela akan pergi, mungkin benar-benar melanjutkan sekolahnya...”
Tiba-tiba Alma mengatakan sesuatu, memotong ucapan Martha. Seolah-olah ia tak mendengar perkataan Martha sebelumnya.
“Kamu bilang apa?”
“Ternyata rasanya seperti ini,” kata Alma dengan nyaris berbisik, “menggendong bayi lagi, tapi khususnya bayi ini. Rasanya seperti memeluk sebongkah… kaktus. Begitu rapuh tapi bisa juga menyakitkan.”
Martha memahami perasaan Alma. Ia pernah tertusuk duri kaktus kesayangannya. Rasa sakit bukan yang paling dominan. Hatinya telah sarat dengan kasih sayang sehingga luka dari setitik duri nyaris tak berarti. Tapi bagaimana bila duri itu tak sekadar menusuk ujung jari tetapi seluruh lengan yang sedang menggendong sebuntal bayi? Maka dengan hati-hati Martha mengambil bayi itu kembali dari kedua tangan sang Kakak. Kini pemandangan Martha menggendong si bayi memberati dada Alma dengan rasa haru. Beberapa waktu lalu Martha hanya diberi kesempatan sebentar saja untuk menjadi seorang ibu. Kini Martha diberi kesempatan kedua. Dan Alma pun tahu ia telah menemukan jalan keluar yang tepat, tak hanya untuk si gadis asing Angela tapi terutama untuk adik perempuannya, Martha.