Cerpen
Disukai
0
Dilihat
16,446
Bunga Apa yang Kau Masukkan ke Mulutmu?
Drama


Sejak kami pindah ke rumah baru, aku memerhatikan perubahan yang agak mencolok dari watak istriku. Ia mulai kerap mengenakan terusan bermotif kembang dengan potongan dada terbuka. Ia juga lebih sering merias wajah daripada biasanya, meskipun seharian itu ia hanya akan berkutat di rumah saja. Karena kami baru pindah di lingkungan baru, mungkin penting baginya untuk selalu tampil lebih rapi.

Namun aku tak tahu untuk apa dan untuk siapa ia melakukan itu—berdandan.

“Aku tidak berdandan buat siapa-siapa kok, bahkan bukan juga buat kamu,” kata Sofia ketika aku mencoba menggodanya perihal dress dan riasan di wajah. “Aku berdandan buat diriku sendiri.”

Aku mengerti bahwa ia hanya ingin berdandan untuk dirinya sendiri. Namun aku tak mengerti bagaimana ia amat jarang melangkahkan kaki keluar dari pintu depan rumah dan menyambut para tetangga yang mencoba bersikap ramah pada kami. “Apa kata mereka nanti,” aku mengingatkannya suatu hari, “kita tidak bergaul. Kita jarang menyapa.”

Aku sendiri nyaris tak punya waktu untuk berinteraksi dengan para tetangga. Setiap hari aku menghabiskan waktu di kantor selama delapan jam, dan pada akhir pekan, satu-satunya saat aku dapat merenggangkan sendi-sendi ini seharian di rumah, aku manfaatkan untuk bersantai di depan tv atau membaca buku. Sofialah satu-satunya yang punya waktu untuk berinteraksi dengan para tetangga, dia seorang yang dapat kuandalkan. Dulu istriku bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah swasta. Namun sejak aku dimutasi ke kota lain, Sofia bekerja sebagai copy writer untuk sebuah perusahaan properti dan kosmetik. Ia bisa melakukan pekerjaan itu dari rumah saja. Setiap hari ia menulis selama dua atau tiga jam. Setelah itu seluruh sisa waktu adalah miliknya.

Karena itu aku tak mengerti bagaimana istriku, dengan waktu senggangnya yang lebih dari cukup, memilih hanya berkutat di dalam rumah. Ia menonton Netflix, ia membaca Agatha Christie, ia mencuci pakaian lalu menjemurnya, ia menyetrika, ia memasak, ia tidur berjam-jam, lalu menonton serial lagi. Kadang-kadang ia berjalan kaki menuju minimarket terdekat lalu pulang membawa dua kantong belanjaan. Apapun yang ia lakukan, kecuali saat ia bersamaku, ia sendirian.

Lalu suatu hari ia mulai melakukan lagi kegemaran lamanya. Ia membeli tanaman hias atau bibit bunga, beberapa pot plastik, tanah gembur, sekam, pupuk, dan alat penyiram tanaman. Aku tidak tahu dari mana ia memperoleh tanaman dan media tanam itu. Ia berjongkok di sudut halaman, mengisi pot-pot itu satu demi satu dengan tanah bercampur sekam, menancapkan tanaman hias dan bibit bunga berukuran mungil. Mawar, anyelir, aster, sekulen, aglonema, magnolia. Ia menyiramkan air secukupnya. Pot-pot diletakan berjajar di halaman di bawah cahaya matahari. Satu atau dua orang tetangga mencoba memuji atau menanyakan ini itu perihal tanaman. Tapi setelah menyahut seminim mungkin, Sofia kembali beranjak ke dalam.

Rasa sungkan membuatku mengambil tugas dan peran berbasa-basi dengan tetangga. Saat-saat aku bersiap berangkat kerja sambil memanaskan mesin kendaraan di garasi; saat-saat aku membersihkan halaman ketika bisa tiba di rumah lebih awal; atau sekadar kesempatan jalan-jalan sore sambil menghirup udara segar, kugunakan untuk bertukar satu dua kata dengan tetangga.

“Ibu-ibu kompleks nanyain kamu tuh,” kataku pada Sofia saat baru tiba dari luar.

Tanpa melepas tatapannya dari layar monitor, istriku berkata, “Oh, sayang barusan kongkow-kongkow dan bergosip sama mereka ya?”

Pendapat Sofia tentang wanita yang suka berkumpul untuk bergunjing tak berubah dari dulu sampai sekarang. Harusnya aku tahu itu. Harusnya aku ingat bahwa sejak masih di tempat tinggal kami yang lama, Sofia memang tak pernah memiliki banyak teman. Harusnya aku pun mengerti bahwa istriku tetap orang yang sama. Namun pengaruh berada di lingkungan tempat tinggal baru membuatku mengkhawatirkan pendapat orang lain tentang dirinya. Tentang kami.

 

 

Suatu hari hal yang agak tidak biasa pun terjadi. Sore itu aku baru saja kembali dari kantor dan Sofia tak ada di ruang tengah. Ia juga tak ada di dapur ataupun di kamar kami. Aku menemukannya di teras belakang. Yang membuatku cukup kaget adalah karena ia tidak sendirian. Seorang perempuan seumuran istriku menempati salah satu kursi di sisi meja di teras. Aku belum pernah melihat perempuan itu di kompleks rumah kami. Aku juga belum pernah melihatnya di manapun sebelumnya. Ia memiliki rambut panjang ikal yang lebat dan dicat burgandi, ujung-ujung rambut menjuntai di sekeliling bahunya. Kulitnya yang kecokelatan agak lebih gelap dari kulit istriku, membuatnya tampak serasi dengan warna rambutnya. Ketika ia mendongak, tampak olehku ia juga mengenakan lensa kontak warna hijau-kebiruan, seperti warna air danau yang bening. Apakah ia benar-benar manusia atau hanya boneka? Aku ingat berpikir seperti itu.

Sofia mengenalkan temannya padaku. “Ini Magnolia. Dari blok sebelah.”

Pantas saja aku belum pernah melihatnya. Namun aku tidak mengatakan apapun selain, Hai, sambil mengangguk dan bersiap kembali ke dalam. Di luar dugaan, Magnolia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Saat berdiri ia ternyata lebih tinggi daripada dugaanku. Ia mengenakan terusan katun seperti istriku, tapi ujung pakaiannya agak lebih tinggi di atas lutut, memperlihatkan sepasang paha yang jenjang dan mengilat seperti cokelat batang. Aku bertanya-tanya apakah ikal rambutnya asli atau hanya hasil catokan. Menurutku gaya rambut seperti itu sungguh pantas dengan bentuk wajahnya. Saat tersenyum, sepasang lesung pipit muncul di sudut bibirnya. Aku tak menyadari bahwa mataku tertuju pada sepasang lesung pipi itu hingga aku nyaris lupa untuk membalas jabat tangannya.

Telapak tangannya selembut satin, seempuk gumpalan kapas. Entah apa yang terjadi pada diriku. Sejenak kemudian aku buru-buru berpaling dan beranjak dari ambang pintu. Di dalam aku berpikir sejak kapan Sofia berteman dengan perempuan itu. Aku bahkan tak tahu bila ia sudah mulai bergaul.

Di sisa waktu aku tetap menyibukan diri di ruangan lain, sementara Sofia dan Magnolia tetap di teras. Sebentar kemudian kudengar mereka pindah ke dapur, mengobrol di meja makan ditemani camilan. Ketika mereka beranjak ke ruang tengah, secara naluriah aku menurunkan kedua kaki dari pinggiran meja, mengecilkan suara tv, lalu mengambil koran bekas dari bawah meja. Sofia dan Magnolia masih mengobrol tentang bagaimana agar tanaman bisa cepat mengeluarkan bunga, cara mengusir ulat, dan bagaimana membuat permukaan daun selalu tampak berkilat—seperti pahanya. Magnolia punya lebih dari dua referensi tempat di mana mereka bisa menemukan bibit tanaman yang subur dan lengkap. Selama mereka bercakap, aku tetap menancapkan pandangan di halaman koran. Sesaat kemudian, aku mendengar Magnolia pamit pulang dan Sofia berdiri di ambang pintu, melambai singkat.

“Dia jalan kaki?” kataku sambil melipat koran lalu mengembalikannya di bawah meja lagi.

“Bukankah tadi kubilang rumahnya hanya di blok sebelah?”

Aku merangkul pinggang Sofia. “Jadi sudah punya teman ya sekarang.”

Tak sulit membayangkan Magnolia adalah tipe teman yang sesuai dengan kriteria istriku. Magnolia tampaknya bukan jenis yang suka berkumpul hanya untuk bergunjing. Ia tidak menguncir rambut di belakang tengkuk dan tidak pakai daster. Ia tidak bau bawang atau cairan pembersih lantai. Ia memiliki tato berbentuk mandala di bagian dalam pergelangan tangan dan mengenakan gelang batu alam. Lebih dari itu, ia memiliki kecantikan eksotik yang tidak membosankan bila dipandangi berlama-lama. Ia dan Sofia bertemu di minimarket dekat perumahan kami, kelak Sofia bercerita. Istriku melihat seorang perempuan berambut keriting mengantri bersamanya di depan kasir sambil menjinjing sebuah kantong berisi setangkai mawar berwarna jingga, bunganya yang masih menguncup mencuat dari atas kantong. Sofia bertanya dari mana ia mendapatkan bibit tanaman itu. Dimulailah percakapan tentang tanam menanam. Mendengar Magnolia hanya tinggal di blok sebelah, istriku pun dengan senang hati mengajaknya mampir ke rumah kami.

 

 

Sejak saat itu tak jarang ketika aku pulang dari kantor, Sofia tak ada di rumah. Ia akan menghubungiku sesaat sebelum aku tiba di rumah, berkabar bahwa ia sedang bersama Magnolia. Aku tak keberatan pulang ke rumah disambut kesunyian. Aku tak peduli berapa banyak waktu yang ia habiskan bersama teman barunya, ke mana mereka pergi, apa yang mereka lakukan. Bagiku yang terpenting untuk saat ini adalah bahwa sofia akhirnya bisa memiliki seorang teman yang sesuai keinginannya. Kekosongan sesaat yang ia tinggalkan selama beberapa jam di luar sana seolah untuk menebus hari-hari yang ia lewatkan di balik tembok-tembok bisu ini sendirian atau pun saat bersamaku. Aku menatap meja kerjanya dengan perasaan melankolis mungkin seperti perasaan seorang ayah saat menyadari anak perempuannya meninggalkan rumah untuk pertama kali. Sofia membawa laptopnya setiap kali meninggalkan rumah, jadi ia bisa bekerja dari tempat Magnolia, atau dari mana saja ia berada. Aku jarang harus pergi menjemputnya di blok sebelah. Biasanya ia sudah muncul di pintu sebelum jam makan malam, membuatku cepat-cepat menoleh keluar dan menahan mulutku untuk bertanya, “Di mana Magnolia?”

Kadang-kadang bila kudengar suara derum mesin mobil di luar, aku akan keluar ke teras hanya mengenakan piyama, dan bertanya seperti orang putus asa, “Kenapa Magnolia tidak mampir dulu?” saat Sofia sudah turun dari mobil dan melewatiku di teras menuju pintu depan.

Selebihnya aku selalu berupaya menekan dorongan impulsif dan kekanak-kanakan untuk tidak menunjukan dengan nyaris gamblang betapa aku bersemangat ingin bertemu atau sekadar melihat teman istriku. Sofia tak pernah terganggu ataupun curiga ataupun memperlihatkan raut ganjil setiap kali aku menanyakan temannya. Ada semacam kesepakatan tak tertulis di antara kami bahwa temannya adalah temanku, begitu pula sebaliknya. Seandainya ia atau aku tidak menyukai salah satu teman kami, minimal kami mengetahuinya. Namun terhadap Magnolia jelas berbeda.

Karena itu aku merasa bagaikan tersengat ketika suatu malam Magnolia tertahan hujan deras di rumah kami, lalu Sofia memintaku agar mengantarkan temannya pulang. Seperti biasa ia hanya jalan kaki ketika datang. Semula kuduga Sofia akan turut bersama kami. Tapi sementara Magnolia naik ke kursi penumpang di sisiku, Sofia tetap berdiri di teras.

“Aku mau langsung gosok gigi, lalu bobo,” katanya sambil melambai pada kami. Sebelum mobil keluar dari jalan masuk, istriku sudah menghilang ke dalam rumah. Saat mobil mulai bergulir, sesuatu mulai bergejolak di dadaku. Aku merasa gugup luar biasa dan serta merta pertentangan besar berlangsung dalam diriku. Sebagian diriku mendesak agar mengisi hening yang ada saat itu dengan percakapan, sebagian ingin tetap berjarak dalam kebisuan. Barangkali seharusnya aku bertanya tentang keluarganya, pekerjaannya, hobi yang ia jalani bersama istriku, suami atau anaknya—bila ia sudah menikah dan punya anak. Namun aku khawatir ketika aku membuka mulut untuk bicara yang keluar justru hanya geletar dan racauan. Tanganku mencengkram persneling dan dalam sekelabat pandanganku menangkap bidang pahanya, yang hanya berjarak sekian inci dari buku jariku. Ketika aku menarik tangan dari tuas di antara kami, tak sengaja punggung tanganku menyentuh sisi pahanya. Meskipun sudah dapat mengantisapsi sentuhan itu, sesuatu dalam diriku tetap saja bergetar. Aku hampir meminta maaf, tapi sepertinya Magnolia tak menyadari sentuhan itu. Atau ia menyadarinya dan pura-pura tidak merasakannya. Atau ia hanya tidak peduli. Buktinya setelah itu ia tidak memindahkan posisi pahanya dari tuas persneling seolah-olah menantangku untuk melakukan hal yang sama.

Saat itu aku hanya bisa berharap rumahnya terletak di planet mars.

“Ya ampun, aku kelupaan sesuatu,” Magnolia menepuk jidatnya dengan lembut. Saat itu kendaraan baru saja berhenti di depan rumahnya.

“Mau balik atau gimana?” aku menawarkan.

Ia berkata tidak perlu. “Nanti kuambil lain kali.”

Sebelum ia turun aku bertanya, Apa gerangan yang ketinggalan?

“Bukan apa-apa sih. Cuma satu pot magnolia putih yang kami beli minggu lalu. Aku selalu lupa membawanya pulang. Mungkin sekarang bunganya sudah keluar.”

Pengetahuanku tentang tanaman, khususnya bunga, sangat minim. Saat itu aku bahkan tidak bisa membayangkan wujud dari sekuntum magnolia itu seperti apa. Meskipun kebanyakan tanaman di dalam pot di teras dan halaman rumah kami sudah berbunga, di mataku yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah warnanya.

Ketika aku tiba di rumah, Sofia sedang duduk di sisi tempat tidur, mengulum sesuatu di tangannya. Semula kupikir ia sedang mengulum permen loli. Ia mendorong sesuatu keluar masuk mulutnya, sambil memegangi ujung tangkai yang tak rata. Butuh beberapa saat sampai pandanganku menjadi jelas dan melihat apa yang sedang ia lakukan.

“Sayang,” kataku, bergerak satu langkah dari ambang pintu, membuat punggung istriku seketika jadi tegak karena kaget. Saat yang sama ia menjatuhkan sesuatu yang ada di tangannya tadi, lalu buru-buru mengusap bibir seolah-olah aku baru saja memergokinya makan es krim curian. Kulihat setangkai bunga berkelopak putih teronggok di lantai di dekat kakinya. Kelopak-kelopaknya masih berkilat oleh air liur istriku. Selama beberapa waktu, aku tidak memahami apa yang baru saja kulihat tapi aku tetap bergeming, begitu enggan untuk bertanya, untuk meminta penjelasan. Sofia beranjak dari sisi tempat tidur, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia bahkan tidak memunggut bunga itu kembali. Jadi, aku beranjak ke sisi tempat tidur, dan membungkuk mengambil setangkai bunga yang dia jatuhkan. Aku mengembalikan bunga itu kepadanya tapi Sofia terus memalingkan wajah dan sebisa mungkin berusaha menyibukan dirinya. Aku merasa ia terus menghindari tatapanku tapi dapat kulihat salah satu daun telinganya memerah. Dan sebelum aku dapat memanggil namanya, ia sudah menyelinap keluar dari kamar.

Malam itu kami berbaring bersisian dan tidak bicara. Kegelapan merungkup tubuh kami, sementara mataku berusaha menembus langit-langit kamar dengan sia-sia. Kesunyian mengantarkan suara nafas Sofia yang terdengar begitu dekat, sekaligus begitu jauh. Aku hendak bertanya, “Bunga apa yang kau masukkan ke mulut?” Namun tentu saja, aku tahu jawabannya. Tentu saja, itu bunga magnolia.

Sofia bergeser dan berbalik memunggungiku.

 

 

Empat tahun menikah, aku tidak pernah selingkuh. Begitu juga dengan istriku, sejauh yang kuketahui. Pernikahan kami dibangun di atas dasar kepercayaan, kasih sayang, dan ketidaktahuan. Barulah saat ini aku menyadari aku nyaris tidak mengenal Sofia—apakah ia juga sesekali merasa seperti tidak mengenali diriku? Lalu aku pun memahami alasannya. Alasan yang sangat sederhana. Aku terlalu mudah dan terlalu cepat jatuh cinta kepadanya. Kami baru saling mengenal kurang dari satu tahun ketika akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Seorang teman mengenalkan ia kepadaku. Bukan salah Sofia bila aku langsung jatuh hati kepadanya lantas dengan gegabah menutup mataku dari semua perempuan yang lain, tanpa tahu apakah aku sudah siap—atau apakah ia sudah siap.

Selama beberapa waktu Magnolia berhenti datang. Sofia pun tetap berada di rumah setiap kali aku pulang dari kantor. Aku tidak tahu apakah apakah ia pergi ke blok sebelah, apakah mereka bertemu di suatu tempat. Namun ia tak pernah lagi menyebut nama teman perempuannya itu di depanku.

Entah apa yang ia lakukan dengan magnolia putih yang ia jatuhkan dari tangannya malam itu. Di halaman, bunga-bunga mekar dengan sempurna di bawah matahari. Tiada yang bisa menandingi pesona kelopak-kelopak berwarna-warni yang nyaris tampak tak nyata itu. Dan tak ada yang bisa kulakukan selain mengagumi mereka. Aku mencoba menebak bunga milik Magnolia di antara pot-pot magnolia putih yang sedang berbunga. Apakah tanaman itu masih ada di sini ataukah sudah dikembalikan pada pemiliknya? Aku membayangkan Sofia memetik satu kuntum setiap hari dan mengulumnya di sisi ranjang kami ketika ia sendirian. Aku membayangkan rasa nikmat yang hanya dapat ia rasakan, kesenangan manis yang tak bisa ia bagi dengan diriku. Dan karenanya aku enggan merebut itu darinya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)