Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,459
Memberi Makan Anjing Betina
Drama

 

 

NORMA merasa tak bisa diam di tengah hujan deras siang itu—ketika kebanyakan rekan kerjanya diam-diam merindukan dekapan selimut, secangkir teh hangat, dan suara berisik TV di ruang keluarga; dengan kata lain, tubuh dan pikiran mereka sudah ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah. Bel pulang telah berbunyi setengah jam lalu, tapi hujan memerangkap mereka di gedung sekolah yang sudah hampir sepi. Bus sedang tidak beroprasi. Norma tidak menumpang bus. Setiap hari ia bergantung pada suaminya untuk pergi dan pulang sekolah. Namun saat itu suaminya belum juga datang. Norma mencari pengalihan dengan membereskan meja. Disortirnya buku-buku absensi, daftar nilai, modul ajar, tugas-tugas makalah dari tahun-tahun sebelumnya, kertas-kertas fotokopian dan kertas-kertas entah apa lagi, dan disurukannya ke dalam rak bawah laci.

Ia sendirian di ruangan guru yang muram—meskipun lampu-lampu dinyalakan. Hampir semua guru sudah pulang. Namun masih ada guru-guru yang berkumpul di perpustakaan; mereka guru-guru muda yang baru bergabung tiga bulan lalu. Norma tidak memahami perasaan komunal yang membuat guru-guru itu suka berkumpul di perpustakaan, bukan untuk membaca, melainkan sekadar berkumpul. Untung bagi mereka perpustakaan adalah fasilitas sekolah yang paling terbengkalai setelah lab komputer. Siswa-siswi tidak berkunjung ke sana kecuali untuk mengambil buku teks pelajaran—selebihnya, ruangan itu tetap terkunci. Sejak semester baru, kepala sekolah menerima empat guru baru menggantikan guru-guru yang telah pensiun. Salah satu guru baru—Rosalie—diangkat sebagai petugas perpustakaan. Ketiga guru baru suka menemuinya di sana. Sejak itulah perpustakaan menjadi tempat mereka berkumpul. Ini otomatis membuat mereka jarang muncul di ruang guru. Diam-diam Norma menilai guru-guru baru itu masih terlalu hijau dan dangkal berbaur dengan guru-guru. Yang mereka obrolkan di perpustakaan tak lain tentang tempat nongkrong paling cozy di pinggiran kota, acara TV kesukaan ibu mereka, krisis belum punya pasangan di usia 20-an—dalam kasus Rosalie dan Moneka—kelucuan anak-anak kecil yang ketagihan tiktok—Chandra dan Erik yang masing-masing memiliki dua putri berusia balita. Mayangkut topik-topik receh semacam itu bukankah seharusnya mereka tidak butuh privasi—kecuali bila ternyata ada topik yang sensitif, seperti tentang penyalahgunaan dana BOS atau tentang guru-guru tua gaptek dengan hak-pantofel setebal tahu.

Barangkali dirinya pun pernah digunjingkan. Norma tidak penasaran, tidak juga peduli apa pendapat para guru tengil itu tentang dirinya. Rosalie dan Moneka hanya setengah dari usianya. Konon mereka belum punya pengalaman kerja saat mereka mendaftar sebagai tenaga pengajar di sekolah ini. Napas dan keringat mereka barangkali masih bau toga. Kenyataan mereka senang menyendiri di ruangan lain menunjukkan bahwa mereka belum bisa menanggalkan kebiasaan perkoncohan ala anak SMA.

Dan—ironis—sekarang mereka menjadi guru SMA. Bayangkan mengajarkan murid-muridmu tentang inklusivitas dan sikap tidak membeda-bedakan orang dalam pergaulan tapi dirimu tidak melakukan apa yang kau ajarkan.

Intinya Norma tidak menyukai guru-guru baru itu kecuali satu orang.

Norma menyeduh teh dari dispenser yang terdapat di sudut ruang guru. Menunggu tehnya hangat, ia keluar ke koridor dan berjalan hingga tiba di depan pintu perpustakaan. Celah di antara daun pintu berjarak sejengkal. Norma mendorong daun pintu itu dan melongok ke dalam. Rosalie dan Chandra mengangkat wajah dari pinggiran meja, membalas tatapan Norma dengan mata sayu menahan kantuk, sedangkan Moneka, bersandar di punggung kursi, menoleh sepintas dari layar ponselnya.

“Oh. Bu Norma juga belum pulang,” Moneka yang berkata.

“Jemputan kalian belum datang?” tanya Norma.

“Tidak juga,” sahut Chandra setelah menguap lebar. “Saya hanya lupa bawa jaket hujan. Tidak menunggu jemputan.”

“Entah kapan hujan bakal berhenti,” Rosalie menggerutu sambil melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

“Ayo minum teh dulu,” Norma berbasa-basi, matanya menyapu penjuru ruangan sebelum mengatupkan pintu perpustakaan kembali. Tidak ada siapa-siapa di sana selain ketiga guru tadi. Ia sengaja tidak mengajukan pertanyaan tentang seseorang yang tak tampak di sana. Toh Pak Guru Erik juga mengendarai motor. Bila si guru Bahasa Inggris tak ada di perpustakaan saat itu, bukan berarti ia sudah pulang, tapi pasti berada di ruangan lain.

Norma berjalan kembali menyusuri koridor yang panjang, langkah-langkahnya lebar dan tegas. Ia telah mengganti sepatunya dengan sandal jepit—tak ada derap langkah yang terpantul di antara dinding-dinding tebal gedung sekolah, lagipula hujan menelan seluruh suara. Norma ragu-ragu sejenak sebelum berhenti di depan Sekretariat Osis. Pada semester baru ini, kepala sekolah juga menyerahkan tugas Pembina Kesiswaan pada guru baru bernama Erik. Pintu ruangan itu masih terbuka lebar. Norma melonggok ke dalam seolah tidak berharap akan melihat siapa-siapa. Erik sedang berkutat di depan laptop.

“Oh. Ternyata masih di sini,” kata Norma datar, mencoba tidak terdengar lega apalagi gembira.

“Masih memeriksa tugas anak-anak,” kata Erik. “Berhubung belum bisa pulang juga.”

“Jaket hujan ketinggalan?” Norma menyeringai, mengutip alasan Pak Guru Chandra masih tertahan di sekolah.

“Lebih bodoh lagi. Belum beli jaket hujan malah.” Erik balas menyeringai, memamerkan lesung pipit sebelah kanan. Norma menimbang-nimbang untuk bergabung di ruangan itu, lagipula ada banyak kursi dan meja kosong. Tetapi ia khawatir Erik akan menganggap tindak-tanduknya tidak wajar. Akhirnya ia memutuskan kembali ke ruangan guru dan menyesap tehnya dengan perasaan syahdu. Pandangannya melayang ke luar jendela. Hujan membuat kaca jendela berkabut. Meskipun jendela-jendela terkatup, angin dingin berhembus dari ventilasi, membuat bulu kuduh Norma meremang. Ia membayangkan dirinya menerobos ke ruangan tadi, berhenti di sisi meja Erik dan melumat bibir guru muda itu. Diusapnya bagian yang menonjol di tengah pantalon, dibukannya ban dan kait celana dan risleting. Ia tidak keberatan memberikan oral seks untuk lelaki muda itu, di belakang lemari, di tengah hujan deras. Tidak ada yang akan memergoki mereka. Tidak ada yang mau repot-repot menenggok ke belakang lemari bila mereka mendapati ruangan kosong. Namun tentu saja Norma tetap berkutat di depan jendela sambil memegangi cangkir tehnya. Tak ada sepercik pun niat untuk mewujudkan imajinasinya. Karena ini dunia nyata, bukan film, bukan juga mimpi basah, batinnya. Cukup baginya membayangkan Pak Guru Erik sambil menyesap teh atau bergelung di ranjang King yang ia bagi bersama suaminya. Entah disadari oleh para rekan guru lainnya, tapi Pak Guru Erik memiliki postur tubuh yang atletis. Berbeda dari Chandra yang pendek dan ringkih, bangun tubuh Erik ideal; tinggi, tegap, dan berisi—tidak gemuk, tidak kurus, tapi berisi. Norma belum pernah berhubungan intim dengan pria yang memiliki bangun tubuh seindah itu. Suaminya juga berisi tapi suaminya pendek dan perutnya mulai buncit—kondisi yang dicurigai Norma sebagai penyebab penis suaminya mengecil. Ia pernah mendengar bahwa postur tubuh pria menentukan ukuran penis mereka. Tak diragukan bahwa penis Erik bisa memuaskan dirinya. Betapa ingin Norma membelai dan mengulum penis itu di mulutnya. Betapa beruntung istri Erik yang bisa membelai, mengulum, dan merasakan penis itu setiap hari.

Seketika Norma menoleh karena getaran ponselnya membuat permukaan meja ikut bergetar. Nama suaminya berkedip-kedip di layar.

 

 

INTERIOR Toyota Avanza itu beraroma pisang basi ketika Norma menyelinap masuk sambil melipat payung yang memercikan air hujan ke mana-mana. Tiba di rumah ia langsung berganti pakaian, menjerang air panas, lalu mandi. Untungnya sebelum pulang Bu Rama meninggalkan nangka santan, tempe goreng, sambal dan ikan goreng di meja makan. Norma makan dengan lahap seperti belum makan tiga hari. Bekalnya tadi di sekolah hanya nasi, dadar dan sambal bawang bikinan sendiri sebab Bu Rama baru tiba sekitar dua jam setelah Norma meninggalkan rumah. Tak heran makan siang selalu terasa seperti pembalasan dendam atas menu sarapan yang terlalu sederhana. Norma menoleh ke arah jam dinding di ruang tengah. Siapa sangka sudah hampir pukul 16.00. Ia tidak perlu tertahan selama dua jam di sekolah jika suaminya tidak terlambat menjemput. Setelah makan Norma bergabung dengan suaminya di sofa, menonton TV. Ia mengira suaminya telah ketiduran sebab lelaki itu bergeming saja sedari tadi. Akbar meliriknya lalu mengedarkan pandangan.

“Di mana anak-anak?” suaranya rendah.

“Bukannya sama kamu sejak tadi?”

“Nabila memang lagi keluar. Ada belajar kelompok atau apa. Wandi lagi main PS. Tapi coba cek di kamar apa dia masih main.”

Norma mengernyit menatap suaminya yang semakin merendahkan suara. “Buat apa sih?”

Akbar tidak mengatakan apa-apa. Tetapi isyarat matanya berbicara dengan amat jelas pada sang istri. Sepasang bola mata itu berpindah-pindah antara wajah Norma dan kamar tidur mereka. Disertai ekspresi wajah memohon dan seringai penuh makna, suaminya jelas sedang ingin mengajak Norma bercinta di tengah hawa dingin di bawah dekapan selimut.

Norma berkata bahwa ia sangat letih. Ia beranjak dari sofa dan menghilang ke kamar Nabila. Saat mencoba tertidur, ia memikirkan kembali percakapan singkatnya tadi dengan Erik di ruangan Osis. Cara Erik mengarahkan seluruh perhatian ke layar laptop. Garis-garis kerutan halus di kedua sudut matanya. Ujung hidungnya yang lancip. Norma tak habis pikir ada orang yang bisa memenuhi semua syarat: tampan, seksi dan cerdas.

Namun hal terbaik dari Erik adalah ia masih sering terlihat di ruang guru. Berbeda dari ketiga guru baru lainnya, Erik lumayan senang mengobrol dengan siapa pun, tak menganggap guru-guru lama terlalu kolot untuk diakrabi. Tentu saja obrolan Norma dengan guru muda itu tak pernah lebih dari sekadar perihal pekerjaan. Namun tidak terlalu janggal mengkhayalkan Erik menginginkan dirinya. Meskipun ia tidak pernah berdandan ke sekolah dan usianya nyaris paruh baya, Norma memiliki tubuh yang cukup ideal untuk perempuan seusianya. Perawakannya yang besar ditunjang tinggi badan yang tak bisa dibilang pendek—untuk ukuran perempuan—meskipun tidak bisa pula dikatakan jangkung. Bukankah dalam perselingkuhan kecantikan menempati posisi ke dua tapi bentuk tubuh adalah nomor satu? Bukan berarti ia berharap ia dan Erik berselingkuh. Namun ketika kau ingin berhubungan intim dengan seseorang tapi tidak bermaksud mengajaknya berselingkuh, hubungan jenis apakah itu namanya?

 

 

NORMA merapatkan ujung cardingannya ketika melangkah melintasi halaman parkiran sekolah yang luas. Ia baru saja tiba. Udara masih lembap dan dingin meskipun hujan tak lagi turun sejak semalam. Norma mengawasi langkah-langkahnya dari genangan air hujan. Saat hendak menaiki undakan tangga menuju lobi, tak sengaja ia melirik jendela perpustakaan. Bagian dalam perpustakaan tampak jelas melalui kaca jendela tanpa tirai. Jendela-jendela itu menghadap halaman sekolah tempat para siswa-siswi, guru-guru, kepala sekolah, atau pun petugas kebersihan akan melintas saat baru tiba atau hendak pulang dari sekolah. Dan berdiri di sana, Norma melihat punggung dua guru baru yang membelakangi jendela, begitu dekat kedua punggung itu sehingga terkesan nyaris berdempetan. Mereka hanya berdua. Norma tidak perlu melihat wajah dan tampak depan tubuh mereka untuk mengetahui kedua guru yang memunggunggi jendela itu adalah Chandra dan Rosalie.

Seolah merasakan tatapan Norma, Rosalie menoleh. Mereka beradu pandang. Norma menunduk, dan seolah baru ingat, buru-buru menaiki undakan dan berjalan melintasi lobi.

Hanya ada empat guru saat Norma tiba di ruangan guru dan meletakkan tas bekal serta tas kerjanya. Ia memeriksa jam lalu mempersiapkan buku teks bahan ajar. Masih ada waktu lima belas menit sebelum jadwal mata pelajarannya dimulai. Norma tidak kesulitan menemukan agenda dan lembar fotokopian yang ia butuhkan dan ia bersyukur ia membereskan meja kerjanya kemarin. Pak Lucky mengomentari mejanya yang bersih. Bu Hamida bertanya di mana Norma membuang semua sampah yang tadinya bertumpukan di sana. “Tidak dibuang kok, masih ada di sini,” Norma menunjuk bawah lacinya.

“Aku curiga setiap guru menderita semacam hoarding disorder, iya gak?” kata Bu Fatiah sembari melayangkan pandangan ke meja-meja guru di ruangan itu. Kebanyakan meja dipenuhi folder-folder, map-map, tumpukan kertas fotokopian dan buku-buku catatan yang tampak tidak tersentuh selama satu abad.

“Jangan-jangan Bu Norma membaca buku tentang kehidupan minimalis,” kata Bu Hamida.

Norma malu mengakui ia tidak membaca buku apa pun sebelum memutuskan merapikan meja kerjanya. Ia memutuskan diam saja agar dikira ia memang membaca suatu buku. Ketika ia hendak mengeluarkan botol air minum dari tas, Rosalie masuk ke ruangan. Meja Rosalie terletak dua meja di belakang meja Norma. Ia harus melewati meja Norma untuk mencapai mejanya. Norma bermaksud menahan tatapannya jika guru baru itu memberikan tatapan dingin kepadanya. Namun Rosalie mengarahkan tatapannya ke depan dengan dagu terangkat seolah tidak terjadi apa-apa. Norma mengendus kepalsuan di setiap perangai hingga ekspresi si guru baru. Betapa memuakkan. Ia meneguk air minumnya beberapa kali berharap dapat mendorong ganjalan di pangkal tenggorokannya seolah ialah yang baru saja dipergoki berduaan dengan suami orang. Ia yakin Rosalie datang untuk mengecek apakah Norma bergunjing tentang apa yang dilihatnya di perpustakaan tadi.

Lima belas menit kemudian, bel pergantian jam berbunyi. Norma mendekap buku teks di depan dada dan naik ke lantai dua. Di tengah koridor yang memantulkan derap langkahnya, ia menoleh ke belakang. Bu Hamida berjalan tiga meter di belakangnya, jelas menuju koridor yang sama. Norma mundur hingga langkah-langkahnya sejajar Bu Hamida.

“Tadi kulihat Rosalie dan Pak Guru Chandra di perpustakaan,” ia berbicara dengan suara rendah hingga hanya mungkin tertangkap oleh lawan bicaranya.

“Itu markas mereka, kan.”

“Ya. Tapi tadi situasinya lain. Mereka cuma berdua. Kedekatan mereka terkesan lebih dari teman.”

Bu Hamida menoleh memandang Norma. “Masa?”

Norma menatap guru senior itu dengan serius sambil mengangguk. “Kecurigaanku mulai terbukti. Ada sesuatu yang membuat mereka suka menyendiri di perpus. Geng guru baru mungkin hanya kedok. Kehadiran Pak Erik dan Moneka di sana pasti hanya tambalan untuk menutupi hubungan Rosalie dan si Chandra.”

Bu Hamida memutar bola mata dan menggeleng. “Sebaiknya jangan cari perkara. Chandra itu sudah menikah.”

Norma menatap Bu Hamida dengan ekspresi seolah-olah kaget. “Justru di situlah keseruannya.”

Bu Hamida cekikikan.

“Aku tidak kolot-kolot amat. Tidak masalah kalau ada guru yang pacaran selama mereka sama-sama lajang,” kata Norma.

“Padahal istrinya cakep.”

“Oh ya?”

“Tapi cemburuan. Dan rada gila.”

“Bu Hamida kenal mereka?”

“Tidak. Tapi dia mantan murid suamiku. Dan bibinya kebetulan teman baikku. Mereka baru menikah tiga atau dua tahun lalu.”

Mereka lanjut berjalan dengan isi benak masing-masing. Sebelum berpisah di depan kelas yang hendak mereka tuju, Bu Hamida berkata, “Kalau toh benar, menurutku kepala sekolah perlu diberitahu.”

 

***

 

BAGI Norma, kenyataan Chandra dan Rosalie tak pernah lagi kelihatan berdua tidak membuktikan bahwa keduanya tak memiliki hubungan khusus. Norma yakin keduanya hanya sedang berhati-hati saat ini, menolak bersikap ceroboh lagi. Toh mereka masih bersama-sama setiap hari, tidak berduaan, tapi tetap bersama-sama dengan geng guru muda. Tak ada yang istimewa di antara Erik dan Moneka dilihat dari sudut pandang mana pun—orang buta pun bisa melihat itu. Sungguh berbeda dari apa yang terpancar di antara Chandra dan Rosalie. Setiap gerak-gerik mereka mengisyaratkan chemistry. Mereka tak bisa membodohi Norma. Bibir mereka mungkin terkatup tapi raut wajah dan perangai mereka menjeritkan perasaan terlarang itu.

“Aku yakin mereka bertemu di luar jam sekolah,” Norma menuturkan keyakinannya ini pada Bu Fatiah suatu hari saat mereka sedang rehat di kantin.

Bu Fatiah berpendapat bahwa jika keduanya bertemu di luar jam sekolah maka itu bukan lagi urusan sekolah.

“Tetap saja itu urusan sekolah. Si Chandra itu kan suami orang. Ini masalah moralitas. Kalau seorang guru tak bisa menjungung moralitas, apakah ia masih pantas dianggap guru?”

“Oh. Kamu benar. Tapi maksudku, jika mereka bertemu di luar jam sekolah, maka itu juga menjadi urusan pasangan mereka masing-masing.”

Norma mencondongkan wajahnya ke arah lawan bicara. “Si Rosalie itu masih lajang. Entah dia punya pacar atau apa, intinya dia belum menikah.”

“Oh, jadi dia biang keroknya di sini.”

“Entahlah. Aku tidak mau bilang begitu,” Norma mencebikkan bibir. “Kita tidak tahu siapa yang menggoda siapa. Tapi intinya, kalau saja dia tidak merespon, ya, kan? Toh dia yang lajang, dia perempuan, harusnya dia yang menghindar.”

Bu Fatiah mengangguk setuju sambil memasukkan suapan besar pisang goreng ke mulutnya. “Itulah kuncinya: menghindar.”

Pak Lucky muncul dengan senampan nasi kuning. Diletakkannya nampan itu di meja lalu duduk di samping Norma. “Hey, emak-emak penggosip,” katanya.

“Semoga ini hanya gosip. Kalau kenyataan, mau jadi apa sekolah kita ini,” kata Bu Norma.

“Gosip atau bukan, tidak ada yang bisa melarang seekor anjing menjadi seekor anjing,” Pak Lucky menyeringai sambil menuangkan kecap ke atas nasi kuningnya.

“Oh, sudah dengar rupanya,” Norma mengangkat kedua alis memandang Pak Lucky.

“Dengar dari Bu Hamida. Guru-guru berkerumun seperti berebutan bansos. Kupikir gosip apaan.”

Norma dan Bu Fatiah bertukar pandang. Mata Norma melebar. “Jadi sudah tersebar,” Bu Fatiah berkata dengan nada genting. “Apa kepala sekolah tahu?”

“Aku tidak bermaksud menyebarkannya.” Norma menggeleng, perasaan kalut tergurat di raut wajahnya. “Bagaimana kalau…”

Bu Fatiah mengangkat kedua lengan ke udara dengan sikap tidak mau tahu. Norma mengangkat botol air minum yang dibawanya dari rumah, menelan beberapa tegukan. Kemudian ia menutup kotak bekalnya, tiba-tiba kehilangan selera makan.

“Kamu jangan takut atau pun merasa bersalah,” Bu Fatiah menghiburnya, tiba-tiba nada suaranya berubah. “Tidak ada kebusukan yang tak akan tercium walau disimpan rapat-rapat.”

“Aku tidak mau dicap sebagai penggosip.”

Bahu Pak Lucky bergetar saat menahan tawa. “Bukankah itu yang kamu lakukan?”

Norma memejamkan mata dan menggeleng. “Bukan. Aku hanya mengatakannya pada Bu Hamida dan Fatiah, bukan semua guru di ruangan.”

Ketika suaminya datang menjemputnya, Norma kembali mengangkat topik tentang dua orang guru baru yang kemungkinan berselingkuh. “Kini hampir semua guru tahu tentang mereka.”

“Karena kamu?” tebak Akbar.

Norma menggeleng tegas. “Karena Hamida. Si Hamida lidah bercabang. Harusnya informasi itu hanya sampai ke dia.”

“Harusnya hanya sampai ke kamu,” gumam suaminya tanpa menoleh dari ruas jalan di depan. “Siapa lagi yang kamu ceritakan?”

Norma memikirkan Fatiah dan makan siang mereka di kantin tadi. Ia menggeleng. “Tidak ada. Hanya Hamida.”

“Interaksi anak muda zaman sekarang amat berbeda. Berdempetan, pegangan tangan, bahkan cipika-cipiki, itu bagian dari pergaulan. Jangan samakan dengan zaman kita.”

Norma tetap berkeyakinan bahwa di zaman apa pun tidak pantas seorang perempuan lajang berdua-duaan dengan laki-laki beristri di ruangan sepi yang pintunya terkatup dan kontak fisik tak terhindarkan.

“Oh. Jadi masalahnya si guru perempuan itu,” kata suami Norma.

“Masalahnya mereka berdua. Aku tidak bilang masalahnya hanya si Rosalie.”

“Menurutku masalahnya adalah si guru laki-laki. Dia sudah menikah. Dialah yang terikat. Bukan si guru perempuan.”

“Kesalahan tidak bisa dibanding-bandingkan seperti itu. Kedua sama-sama pelaku, keduanya sama-sama bersalah.”

“Bagaimana kalau si guru laki-laki berbohong masih lajang agar si guru perempuan mau sama dia?”

Norma yakin ceritanya tidak seperti itu. Siapa pun di sekolah itu saling mengetahui status masing-masing rekan kerjanya. Ia tetap menekankan beratnya kesalahan pada Rosalie, meskipun di depan suaminya dan orang-orang, ia tidak akan mengakuinya. Ia tidak bisa terlalu menyalahkan Chandara. Seperti kata Pak Lucky, tak ada yang dapat melarang seekor anjing menjadi seekor anjing.

 

***

 

TAK jarang Norma pun tak sanggup mengendalikan anjing betina dalam dirinya yang meronta-ronta minta makan. Dan satu-satunya makanan yang ia inginkan adalah tubuh Erik dalam balutan kemeja putih polos agak kekecilan atau jersey klub bola idola lelaki itu. Pakaian-pakaiannya selalu terlihat kekecilan tapi itu bagus, menurut Norma, sebab berhasil menonjolkan kehadiran otot-otot bisep yang majal dan sensual. Bagaimana para pria senang melihat payudara dan bokong wanita, demikian Norma senang melihat bisep dan bahu Erik yang terkesan amat tangguh. Dan kini ia yakin ia bukan satu-satunya guru perempuan yang diam-diam mendambakan sensualitas dari rekan kerjanya itu. Karena itu jika ia memilih memberi makan anjing betina yang meronta-ronta dalam dirinya, Norma tidak merasa bersalah apalagi harus merasa malu sebab, demi Tuhan, hal itu sangat manusiawi. Suaminya juga masih mencari kesenangan lewat pornografi dan siapa yang tahu apa yang Akbar lakukan ketika lelaki itu sendirian di kamar mandi saat Norma tak di rumah. Tanpa bermaksud balas dendam, Norma berpendapat bahwa kini mereka impas, ia dan suaminya. Sungguh ia meraskaan kehadiran anjing betina yang meronta-ronta dalam dirinya, tak akan berhenti hingga keinginannya terpenuhi.

Jemarinya semakin cepat dan telaten memberinya kepuasan itu. Getaran kenikmatan terasa berkali lipat dengan turut mendesahkan nama Erik di antara celah bibirnya, makin jelas makin baik, tak sekadar membayangkan tubuh indah lelaki itu. Nama itu bergetar dari kerongkongan menuju bawah pusar, memberinya kepuasaan aneh. Ia harus mengigit bibir bawahnya dengan keras agar tidak terlalu keras menyebutkan nama itu, meskipun ia yakin suaminya belum pulang dan anak-anaknya sedang keluyuran. Ledakan lembut terjadi dan sesuatu merembes membasahi jari-jarinya. Norma menghela napas dengan perasaan lega. Ia membuka mata dan memandang ke arah jendela dengan tatapan tak terfokus. Ia beranjak dari tempat tidur anak perempuannya lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

 

***

 

GOSIP itu telah tersebar seperti campak. Siapa pun di bawah atap gedung sekolah itu kini mengetahuinya. Bagaimanapun reaksi setiap orang berbeda-beda. Ada yang melebih-lebihkan, ada yang kecewa sebab diam-diam mengidolakan Pak Guru Chandra, banyak yang kecewa sebab diam-diam mengincar Bu Guru Rosalie, ada yang tak peduli. Keduanya dipanggil ke ruang kepala sekolah, ditanyai, dan diperingatkan akan dikeluarkan bila ternyata terbukti memiliki hubungan. Setelah itu, mereka boleh melanjutkan kesibukan masing-masing.

Norma membenci ketidaktegasan dan sikap permisif kepala sekolah. Seharusnya kedua guru diberi sanksi konkret bukan sekadar teguran dan peringatan kosong. Bahkan—menurutnya—sanksi yang paling setimpal adalah dengan membebas tugaskan salah satu atau kedua guru dari pekerjaan mereka. Toh ia sadar betul bahwa sanksi yang sebenarnya sedang dihadapi oleh kedua pelaku, terutama Rosalie. Tak ada sanksi yang lebih kejam daripada sanksi sosial. Para guru wanita menghindari dan mendiamkan Rosalie. Beberapa guru lelaki menatapnya dengan pandangan menggoda seolah ia gadis murahan yang gampang diajak selingkuh. Siswa-siswa kelas XI dan XII diam-diam suka menyelinap ke kamar kecil dan bermasturbasi membayangkan Bu Rosalie disekap dan diikat di antara rak-rak perpustakaan untuk dicumbu. Komentar-komentar cabul, suitan-suitan iseng, hingga kontak fisik yang tak perlu, mulai kerap diterima si guru muda, baik pada jam pelajaran maupun istirahat. Siswi-siwi yang semula segan dan mengaguminya beralih menjadi jutek dan tidak lagi terlalu menganggapnya serius. Pada hari ketika seluruh sanksi itu menjadi beban yang tak sanggup lagi ia toleransi, Rosalie berlari ke salah satu bilik kamar kecil dan memuntahkan seluruh sarapannya. Ia menangis terisak-isak sambil menahan rambut dari kedua sisi wajahnya. Bahkan Moneka tak ada di sana untuknya sebab takut dianggap makcoblang. Kedua temannya, Erik dan Moneka, kini berhenti datang ke perpustakaan dan memilih tetap di ruang guru bila tak ada jam mengajar. Sementara Rosalie tetap menyendiri di perpustakaan, Chandra turut menyendiri di lab komputer selama riak gosip masih terdengar. Keduanya sudah mengaku tak ada hubungan apa-apa, tapi pengakuan itu sia-sia; orang-orang lebih suka mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Maka suatu hari Rosalie berhenti datang ke sekolah. Hanya selama beberapa hari. Ia sadar menghilang hanya akan mengukuhkan dirinya sebagai pelakor dan ia tak rela para penggosip yakin mereka sudah menang. Pada hari ia kembali ke sekolah setelah menghilang nyaris sepekan, istri Chandra menjerit-jerit di halaman sekolah, menantangnya keluar menemuinya atau ia akan menerobos pintu perpustakaan dan menyeret Rosalie ke lapangan. Rosalie terperangkap. Ia menahan pintu perpustakaan dengan meja. Istri Chandra berjanji tak akan meninggalkan sekolah sampai Rosalie menemuinya. Perempuan itu menendang-nendang pintu perpustakaan hingga Chandra dan satpam menahannya dan menyeretnyan kembali keluar. Perempuan itu bersumpah akan membotaki Rosalie bila ia menemukan alamat rumah perempuan itu. Suara perempuan itu memantul-mantul di kepala Rosalie seperti gema dari lorong gelap, membuat kepalanya berdenyut sakit. Betapa kacau, betapa celaka hidupnya. Menahan isak tangis, ia memandang jendela di seberang seolah hendak menyalahkannya, tempat ia pernah memergoki seorang guru berusia paruh baya menatapnya—dan Chandra—dari luar, pada hari lembap berhujan, tak lama sebelum kegilaan itu dimulai.

 

 

SEMENTARA ITU, Norma berdiri di depan jendela ruang guru, menyesap tehnya dengan perasaan tenang. Ia mengangumi bunga-bunga aster mungil dan cerah yang tumbuh di seberang jendela. Bunga-bunga itu belum muncul dua minggu ketika ia menyeduh teh pada hari hujan mengguyur deras. Ia akan selalu mengingat hari itu, untuk satu dan lain hal. Ia menyukai hujan dan hujan belum lagi turun belakangan. Hujan yang memberinya alasan memikirkan Erik berlama-lama. Bukan berarti ia kini berhenti memikirkan guru muda itu di hari yang cerah. Ia beruntung kini Erik sering melewatkan waktu di ruang guru, jika tak sedang di ruang OSIS. Ini memberi Norma keleluasaan memandangi bahkan kadang-kadang mendekati sang guru ketika ruangan tengah sepi. Suatu hari lengan mereka tak sengaja bersentuhan. Di hari lain jari mereka bertemu sekilas. Lalu semakin sering Norma meletakkan tangannya di lengan, bahu, atau pun paha lelaki itu seolah refleks. Bagi Norma gerakan itu menyiratkan keakrabkan dan perasaan keibuannya semata. Ia harap Erik tidak berpikir bahwa ia sedang mengirimkan signal tak senonoh untuk mengetes kesetiaannya. Itu mustahil. Erik terlalu sopan untuk berpikiran buruk tentang orang lain, apalagi tentang seorang guru paruh baya yang diantar-jemput suaminya setiap hari, membawa kotak bekal seperti murid sekolah dasar dan yang hak pantofel bututnya setebal tahu, mustahil wanita seperti itu akan pernah berselingkuh dengan siapa pun. Dan Norma mensyukuri kesan itu tentang dirinya.

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)