Masukan nama pengguna
SUDAH hampir satu bulan Nina berada di Jakarta. Selama di sana ia tinggal bersama sepupunya di sebuah kos-kosan yang terletak di daerah perkantoran. Di hari-hari pertama Nina merasa kota besar itu menyambutnya dengan dingin dan memberinya perasaan terasing dari sekitar—walaupun itulah yang sedang ia butuhkan. Minggu-minggu pertama ia hampir tidak mengenal siapa pun selain sepupunya seorang; hampir semua penghuni kos yang kebanyakan pegawai kantoran terkesan saling berjarak dan tak repot-repot ingin berkenalan dengannya.
Setiap hari Nina harus melewatkan waktu sendirian selama sepupunya pergi ke kantor. Saat sendiri, ia akan pergi ke balkon utama yang terletak di lantai dua. Saat-saat seperti itu, biasanya seluruh koridor dalam keadaan sepi dan tenang setelah para penghuni kos pergi bekerja. Dari sisi balkon, Nina suka memandang bubungan atap rumah-rumah warga, kios-kios tempat usaha di seberang jalan, dan gedung-gedung pencakar langit yang tampak di kejauhan. Ingatannya akan terbawa pada memori samar kampung halaman serta kehidupan yang sedang coba ia tinggalkan di belakang. Ia memejamkan mata berlama-lama menyimak keheningan di dalam dirinya. Keheningan meresap dan memenuhinya dari kepala hingga rongga dada. Lalu di ujung hening itu ia akan mendengar suara-suara, semula terdengar jauh, lalu meruyak menjadi dengungan. Suara-suara saudara perempuannya, suara-suara saudara laki-lakinya, suara orangtuanya... semakin lama terdengar semakin banyak suara. Di tengah gaduh itu, satu suara yang lebih lemah namun menonjol muncul. Suara seorang pria. Kehadirannya menenggelamkan suara-suara lain di latar belakangan. Nina membuka mata.
Kadang-kadang ia tergoda ingin membenturkan kepala di tembok untuk menghentikan suara-suara itu. Suatu hari ia membeli obat tidur dari apotek di seberang jalan. Satu, dua, tiga butir, ia masih terjaga. Lalu empat, lima butir... Ketika sepupunya pulang, Nina sedang tidur pulas seperti bayi yang kekenyangan disusui. Bibirnya terbuka secelah dan dari sana meluncur dengkuran halus yang hampir terdengar seperti siulan lirih. Itu pertama kali ia mendengkur dalam tidur. Nina tertidur sepanjang malam. Pagi hari ia masih tidur ketika sepupunya hendak pergi bekerja. Sore hari ketika sepupunya pulang, tidurnya masih berlanjut. Si sepupu mulai khawatir. Diam-diam ia menaruh jari di bawah hidung Nina, memeriksa apakah gadis itu masih bernapas. Oh, dia masih bernapas. Si sepupu mengawasi Nina tidur sambil bertanya-tanya apa yang ada di dalam kepala gadis itu. Apakah dia baik-baik saja? Tengah malam Nina akhirnya terbangun. Dalam waktu lama ia hanya bergeming di sisi tempat tidur sepupunya. Wajahnya pucat dan lesu. Sepupunya masih terjaga di sampingnya, sedang menekuri majalah. Setelah beberapa saat, si sepupu akhirnya menoleh ke arahnya;
Nina sedang memandangi tembok di seberang. Tatapan mata kosong menerawang.
“Kamu baik-baik saja?” tanya sepupunya.
Nina mengerjap dan menyentuh dahinya dengan punggung tangan. “Jam berapa sekarang?”
“Sebelas lewat.”
Ia menoleh, “Malam? Sebelas malam? Rasanya seperti aku sudah tertidur selama bertahun-tahun…” Ia menguap lalu menyentuh dahinya lagi. Ia menatap ke arah langit-langit. “Rasanya ada ruang kosong di dalam diriku. Rasanya jiwaku sudah tidak ada lagi.”
“Itu hanya efek baru bangun tidur,” kata sepupunya, kembali membaca majalah.
“Maksudku, selama ini. Aku selalu merasa kosong, tidak tahu apa yang kuinginkan. Tidak punya tujuan hidup.“ Diam-diam Nina tahu alasannya. “Aku mengambil arah yang salah dan ketika aku mau berbalik, aku sadar kesalahanku terlalu besar sampai rasanya seperti tidak ada jalan keluar. Kadang-kadang kalau sedang sangat bingung, aku ingin tidur dengan siapa saja.”
“Hah?“
Kau tahu maksudku, kata Nina.
Sepupunya mengerjap. “Maksudmu siapa saja?”
Nina menatap sepupunya seolah berusaha mencerna sesuatu. “Aku sudah tidur dengan sembilan atau sepuluh orang.”
Sesaat sepupunya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia ingin kembali menekuri majalah. Tapi topik itu terlalu menarik untuk tak diacuhkan. Lantas sepupunya bertanya dengan ragu-ragu, “Sudah termasuk dengan yang terakhir itu?”
“Ditambah dia berarti sepuluh. Atau sebelas?”
“Bagaimana bisa sebanyak itu?” kata sepupunya dengan nada takjub.
“Aku tidak tahu. Kadang kalau sedang bosan, aku hanya ingin begituan. Kamu sudah berapa kali tidur dengan laki-laki?”
Sepupunya hanya pernah dengan dua orang.
“Sepuluh itu banyak atau standar?”
Sepupunya diam saja, berpikir. Nina menoleh dan menilai raut wajah sepupunya. “Aku membuat kamu jijik?”
Sepupunya tidak menjawab. Sepupunya bertanya, "Apa dia masih suka menghubungi kamu?”
Nina menghela napas sambil melengos. “Tidak.”
Sepupunya tidak percaya. Ia memincingkan mata. “Jangan kuatir, aku gak akan kasih tahu orangtuamu.”
“Tidak. Kubilang tidak, tidak, tidak. Henfonku tidak pernah lagi diaktifkan.”
Sepupunya menuup majalah lalu menghela nafas. “Kamu masih suka memikirkan dia, tidak?”
Nina memandangi tembok di seberang seolah mencari jawaban itu di sana. Kebungkamannya seolah menjawab pertanyaan sang sepupu. Sepupunya lantas berkata, “Kamu tidak takut pada istrinya?”
Nina tertawa dengan refleks. Tawa meremehkan. “Istrinya yang takut padaku."
Sepupunya tersenyum untuk menghiburnya. “Kamu masih muda, Nina. Kamu akan bertemu laki-laki yang jauh lebih baik dan pantas untukmu.”
“Hei, kamu tidak punya teman di tempat kerja yang masih lajang dan bisa dikenalkan padaku?”
Sepupunya mengabaikan pertanyaaan itu, berkata, “Kusarankan sebaiknya kamu cari kesibukan selama kamu di sini. Pergi ke toko buku, ikut kursus bahasa Korea, atau kursus tata rias, membaca berjam-jam di kedai, apa saja yang bisa membuat kamu merasa nyaman dan produktif. Sekadar untuk memyibukan diri. Lama-lama kamu akan berhenti berpikir tentang seks.”
“Kamu pasti mengira aku cabul.”
“Hei, bagaimana kalau kamu mengadopsi hewan peliharaan saja?”
“Memangnya bisa? Di sini?”
“Kamu tidak akan memelihara kuda atau anjing. Kamu bisa memelihara hamster atau kelinci, misalnya.”
Nina membayangkan seekor hamster atau kelinci di dalam kamar bersamanya. Di dalam kandang, si hamster sibuk berlari-lari di dalam turbin kecilnya. Kalau itu kelinci, makhluk itu mungkin hanya akan asyik menggerogoti wortel. Mereka mungkin hanya sibuk sendiri dan tidak hirau dengan kehadiran Nina. Dan mata mereka merah atau hitam semua, seperti tidak memiliki bola mata. Bagaimana Nina tahu apakah hewan-hewan itu sedang menatap dirinya atau ke tempat lain? Dia tidak merasa terhubung dengan hewan yang tak dapat melakukan kontak mata dengannya.
DALAM perjalanan ke balkon Nina biasa melewati sebuah kamar di ujung koridor. Kamar itu dihuni oleh dua orang pemuda. Kedua pemuda tampak berusia sebayanya. Mereka menarik perhatian Nina karena selain mereka, Nina belum pernah melihat pemuda lain di kosan itu—kebanyakan bapak-bapak berumur 30an. Kadang pintu kamar di ujung koridor itu terbuka saat Nima lewat. Sesekali ada sekelompok laki-laki berkumpul di dalam, mengobrol, tertawa-tawa, atau bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitar. Hari-hari ketika koridor sepi, tak jarang kamar mereka satu-satunya yang terdengar ramai. Saat- saat seperti itu Nina merasa tidak sendirian di bangunan kos itu. Suara para pemuda menghiburnya dengan cara yang tak bisa ia jelaskan pada dirinya sendiri.
Nina pernah melihat salah satu pemuda di kamar itu duduk di ambang pintu dan memetik gitar. Pemuda kurus dengan rambut bergelombang. Ia biasa memainkan nada lembut, kadang sambil menggumamkan lirik lagu melankolis untuk dirinya sendiri. Petikan gitar dan suara si pemuda menjangkau seluruh koridor lantai dua yang senyap. Nina akan berhenti dan menyimak bila petikan gitar mulai terdengar. Ia menyimak hingga petikan gitar menyatu dengan perasaannya, dan Nina membayangkan si pemuda menyanyi untuk dirinya. Ia merasa tentram dan sesaat melupakan kehampaan dan alasan ia berada di Jakarta. Setelah beberapa waktu, akhirnya tumbuh rasa penasaran di hati Nina tentang kedua pemuda di ujung koridor itu.
Kelak Nina mulai sengaja pergi ke balkon bila pintu kamar para pemuda itu terbuka. Ia akan membawa majalah atau novel supaya ia bisa berlama-lama di sana untuk membaca, tentu saja, bukan untuk melamun atau menunggu suara-suara yang tak diinginkan itu menggerayangi kepalanya. Bila salah satu pemuda mulai memetik gitar sambil meleseh di ambang pintu, Nina pura-pura tetap menekuri halaman buku atau majalah. Walaupun tampaknya ia sedang membaca, pikiran dan seluruh kesadarannya sedang menyimak. Bila tak dapat menahan diri, ia akan tersenyum sendiri ke arah halaman majalah atau bukunya seperti anak remaja sedang kasmaran. Dan hanya ia yang tahu apa yang terjadi.
Suatu hari selagi ia menikmati alunan petikan gitar itu, seekor kucing di atas langkang sedang menatapnya. Ketika Nina menengadah, beberapa waktu kemudian, sudut matanya menangkap kehadiran kucing itu. Makhluk itu kucing liar yang biasa berkeliaran di sana untuk mengais makanan sisa dari dalam keranjang sampah di depan kamar-kamar. Itu bukan pertama kali Nina melihat kucing liar itu. Si kucing memiliki bulu berwarna jingga dengan totol-totol putih, kotor, dan terdapat koreng di sana-sini. Si kucing menelengkan kepala, memperhatikan Nina dengan saksama seolah memahami sesuatu. Nina merasakan sesuatu yang tak biasa dari cara kucing itu menatapnya. Tatapan misterius, pikirnya. Dia mencondongkan badan ke arah si kucing, berkata, “Kenapa lihat-lihat?”
DI BENAKNYA, Nina masih dapat mendengar pria itu berbisik lembut di telinganya. Masih jelas dalam ingatan hangat napas yang mengikuti suara itu, menggelitik wajah dan tengkuknya disertai bau sepat alkohol. Bau itu tercium semakin keras ketika mereka berciuman pada pagi hari setelah bangun tidur di sebuah kamar hotel murahan. Pagi itulah pria itu menyatakan ajakannya untuk pertama kali. Mereka sudah lelah bersembunyi dari orang-orang yang mereka kenal dan yang melarang hubungan mereka. Karenanya pria itu mengajak Nina ikut bersamanya ke suatu tempat. Mereka akan membangun kehidupan baru di tempat asing yang bisa menerima mereka sebagai sepasang kekasih. Untuk itu, Nina akan harus meninggalkan rumah dan orangtua yang telah menjaganya seperti sebutir telur. Tapi ia bukan satu-satunya yang harus berkorban. Pria itu juga akan mengorbankan hal-hal berharga di hidupnya: pekerjaan, istri, anak, dan nama baik.
“Beri aku waktu satu minggu untuk memikirkannya matang-matang,” kata Nina pagi itu.
Pria itu merengkuh kedua tangan Nina di depan dada. “Kamu tidak perlu berpikir terlalu lama. Kita tahu itu yang sama-sama kita inginkan.”
Nina tahu pria itu benar. Tetapi kenapa ia bimbang setengah mati? Apakah keinginan mereka sepadan dengan pengorbanan yang akan mereka lakukan? Di tengah kebingungan, Nina berbicara dengan sepupunya yang berada di Jakarta. Sementara itu, tiada hari tanpa pria itu menelepon untuk menanyakan keputusannya. Di puncak kebingungan, akhirnya Nina mematikan ponsel, berbicara dengan kedua orangtuanya, dan tak lama kemudian merencanakan perjalanan ke ibu kota.
NINA BERTANYA pada sepupunya tentang dua orang pemuda yang menempati kamar di ujung koridor.
“Tidak kenal,” kata sepupunya.
“Mungkinkah mereka pengamen?”
“Tidak ada pengamen di kosan ini.” Sepupunya tertawa.
“Salah satu penghuninya selalu main gitar.”
“Mungkin penyanyi kafe. Mungkin cuma hobi main gitar.”
“Mereka tidak terlalu sering ada di kos, padahal tidak kerja, seperti aku. Kalau siang, kamar mereka sering sepi, tapi sore dan malamnya baru ramai.”
Sepupunya tidak mengatakan apa-apa, menatap Nina dengan heran. Nina masih bicara, ”Kadang-kadang kalau aku ke balkon tengah malam, sepatu mereka tidak ada di depan kamar. Aku penasaran ke mana mereka.”
Sepupunya mengernyit seolah sedang menelan segumpal garam. “Kamu suka mengawasi mereka?”
Nina tahu kedua pemuda itu meninggalkan kos jam delapan pagi hampir setiap hari. Selama itu dua pasang sepatu mereka, buts dan sneaker, tidak ada di luar pintu. Siang hari Nina mendengar mereka pulang beramai-ramai dengan beberapa pemuda lain; kadang suara mereka sudah terdengar lebih dulu sebelum mereka mencapai koridor. Itu akan membuat Nina merapatkan hidungnya di jendela, atau pura-pura menyapu di depan kamar. Nina lega mereka semua laki-laki. Lalu akan ada kesunyian panjang selama siang hari, yang akan berakhir dengan datangnya sore. Sore hari adalah saat-saat kesukaan Nina karena pintu kamar kedua pemuda akan terbuka dalam waktu lama, tak jarang hingga tengah malam. Saat-saat inilah salah satu pemuda, yang berperawakan kurus dan berambut gelombang, akan duduk di ambang pintu sambil memangku gitar. Lalu Nina akan pergi ke balkon mengapit sebuah buku atau majalah, melenggang melewati pemuda itu. Si pemuda tidak pernah menoleh apalagi menyapa setiap kali Nina lewat, seolah tidak melihat siapa-siapa di koridor. Sikapnya seperti semua orang di kos itu, tak memedulikan orang asing, seolah-olah kehadiran gadis di balkon itu tidak ada hubungan dengan dirinya. Tak lama kemudian pemuda itu beranjak dari ambang pintu dan menutup pintu kamarnya. Sementara itu Nina akan tetap berkutat di sana dan merasa bersalah; mungkin ia membuat pemuda itu malu, mungkin si pemuda tidak percaya diri bermain gitar didengarkan oleh seseorang, mungkin ia mengira Nina akan terganggu, demikian Nina menduga-duga.
Suatu hari Nina masih berkutat di balkon ketika kamar di ujung koridor itu terbuka lalu si pemuda pemetik gitar melangkah keluar. Ia berpakaian rapi dan tampak segar, seperti baru habis mandi, dan hendak ke suatu tempat. Nina mulai beranjak dan diam-diam berjalan di belakang si pemuda dalam jarak tiga atau empat meter. Langkahnya pelan, sesunyi bayangan. Ketika si pemuda menuruni tangga, Nina juga menuruni tangga. Ketika si pemuda keluar ke jalan, Nina juga menuju arah yang sama. Ternyata si pemuda menuju mini market yang terletak hanya beberapa meter dari tempat kos. Di mini market, pemuda itu langsung menuju lemari pendingin dan mengeluarkan sekaleng bir. Sementara itu Nina bersembunyi di balik rak dari mana ia mengintip si pemuda di antara camilan-camilan, masih mengepit majalah yang dibacanya tadi. Sesekali ia harus menunduk atau pura-pura sedang memilih sesuatu, kalau-kalau kehadirannya di sana tampak mencolok.
Sekali waktu ketika ia mengintip kembali, pemuda itu tak ada lagi di depan lemari pendingin. Nina sempat kehilangan jejaknya—di sebuah tempat sekecil mini market, bagaimana bisa? Di luar dugaan mereka berpapasan di ujung rak di mana Nina sedang bersembunyi. Nina kagok dan merasa wajahnya memerah dan hangat. Ia merasa pemuda itu sengaja menghilang untuk memergokinya di sana. Apakah dia tahu aku sedang membuntutinya? Mereka bertatapan sebentar (wajah si pemuda sangat datar) lalu si pemuda berlalu ke arah berlawanan.
“Di film, orang-orang asing gampang sekali membuka percakapan di mana pun mereka berpapasan, lalu tak lama mereka sudah berkencan,” kata Nina pada sepupunya malam itu.
“Mungkin seharusnya kamu yang menyapa dan membuka percakapan lebih dulu.”
“Kenapa aku?”
“Karena kamu yang membuntutinya.”
“Aku tidak tahu harus bicara apa dengannya.”
“Basa basi memuji permainan gitarnya.”
“Dia akan tahu aku suka menguping. Aku sempat terpikir untuk pura-pura bertanya tentang kucing liar yang selalu muncul di balkon itu.”
SATU BULAN terakhir kucing berbulu jingga itu sering muncul di lantai dua, hampir bersamaan dengan kedatangan Nina di kos sepupunya. Hewan liar itu menjadi bagian dari bangunan itu dan pola rutinitas para penghuninya. Ia ada di sana ketika orang-orang pulang dari bekerja di malam hari; ketika penjaga kos mengosongkan keranjang-keranjang sampah di depan kamar-kamar; ketika seseorang naik ke loteng untuk menjemur pakaian; ketika seorang pria hidung belang menyelundupkan seorang selingkuhan ke dalam kamar yang hanya disewa satu bulan; tengah malam buta ketika terdengar bunyi berisik mengais-ngais di depan kamar, itu ia yang sedang mencari makan; orang-orang melewatinya dalam perjalanan pulang dan pergi setiap hari namun makhluk itu seolah tidak terlihat. Seperti rak-rak sepatu, keset kaki, pot-pot tanaman, dan tempat sampah di depan kamar-kamar, si kucing tidak menarik perhatian. Dan seperti benda-benda itu, kehadirannya di sana diterima begitu saja karena tidak mengganggu.
Lebih dari sekali kucing itu ada di balkon ketika Nina sedang menekuri buku atau majalah menyimak permainan gitar. Kucing itu biasa bertengger di atas langkang dalam posisi duduk di atas dua kaki belakangnya, atau mencangkung di atas empat kakinya seperti kelinci, kepala menghadap ke arah Nina, ekor menjuntai ke bawah. Ia kucing yang tenang dan suka menghabiskan waktu bertengger di suatu tempat, mengamati sekeliling. Ia tahu apa yang sedang dipandanginya, ia tahu apa yang sedang berlangsung bahkan hingga jauh ke kedalaman hati seseorang. Dan hati seorang gadis seperti permukaan danau yang tenang.
Si kucing mengangkat satu kaki depannya ketika Nina mengulurkan tangan ke arahnya, menyambut tangan itu. Ia memejamkan mata penuh pengkhayatan ketika Nina membelainya di tengkuk di bagian yang tidak terdapat koreng. Baik Nina maupun si kucing sama-sama menikmati ‘sentuhan- perkenalan’ itu.
Malam hari Nina dan sepupunya sedang bercengkrama di kamar ketika terdengar bunyi ribut mengais-ngais keranjang sampah. Nina membuka pintu dan memergoki si kucing sedang melahap siomay dari kotak styrofoam sisa makan siangnya tadi. Selama beberapa saat, ia mengawasi si kucing makan.
“Kira-kira aku boleh mengadopsinya tidak?” kata Nina.
“Kucing liar itu?”
“Ya, dia liar. Gak punya pemilik.”
“Tapi kenapa?”
“Kamu sendiri yang menyarankan supaya aku mengadopsi hewan.”
“Kalau kamu mau kucing, kita bisa pergi ke pet shop.”
“Buang-buang uang saja. Kucing ini gratis.”
NINA BELUM pernah lagi mengaktifkan ponselnya sejak tiba di tempat kos si sepupu. Ia menggunakan ponsel sepupunya hanya untuk menelepon orangtua, seminggu sekali. Ia bisa saja mengganti nomor telepon dan terbebas dari gangguan pria itu; tetapi ia tahu itu bukan solusi. Sebab kalau bukan pria itu yang menghubunginya, ialah yang akan menghubungi pria itu lebih dulu. Jadi solusi terbaik adalah menjauhkan dirinya dari semua bentuk alat komunikasi.
Ada saat-saat Nina menahan godaan besar untuk menyalakan ponselnya kembali. Tetapi suatu hari godaan itu mengalahkan pertahanan dirinya dan, untuk pertama kali setelah lebih dari sebulan, layar ponselnya menyala kembali. Ada sekurangnya lima puluh pesan pendek, hampir semuanya dari pria itu. Sisanya dari orangtuanya, teman kuliah, dan istri pria itu. Nina langsung menghapus semua sms dari pria iu dan istrinya tanpa repot-repot membacanya. Kelegaan yang tak terkira ia rasakan, namun saat yang sama begitu menyiksa. Lalu hal yang paling ia takutkan pun terjadi. Hanya beberapa jam setelah ia mengaktifkan ponsel, panggilan pertama yang ia terima berasal dari pria itu. Nina dapat melihat dan merasakan tekad orang itu berkedip dan menyala bersama layar ponselnya, berseru-seru memanggil namanya. Oh untung sepupunya sedang tak ada! Nina menguatkan hati, menghela nafas, dan menjawab panggilan.
“Kamu di mana? Aku menelepon kamu seratus kali setiap hari selama satu bulan ini,” kata pria itu, seolah-olah ia pantas merasa jengkel. “Kenapa kamu melakukan ini padaku, Nina?”
Nina tidak tahan mendengar suara itu lama-lama. Ia membenci sekaligus merindukan suara itu.
Setelah sekian detik keheningan, “Bagaimana kabarmu?“ tanya pria itu. “Di mana kamu sekarang?”
Nina menjawab hanya pertanyaan pertama dan mengabaikan pertanyaan kedua. Dari percakapan singkat itu, Nina tidak bisa menyangkal bahwa ia dan pria itu sama-sama masih saling sayang. Lalu pria itu mengungkit kembali tawaran untuk pergi bersamanya. Nina bergeming memikirkan ‘jawaban’, sementara pria itu menunggu dengan sabar di seberang saluran. Sebenarnya Nina tidak sedang memikirkan sebuah jawaban; ia sudah tahu apa jawabannya sendiri. Ia teringat ucapan sepupunya waktu itu. Jadi setelah menghela napas dalam-dalam, ia berkata, “Maaf ya, tapi aku lebih memilih seekor kucing daripada kamu!”
“Seekor—apa?”
Nina buru-buru mematikan ponsel, mengeluarkan kartu, dan melempar benda kecil itu keluar jendela.
NINA MENAMAKAN kucing liar berbulu jingga itu Gwen—tanpa repot-repot memeriksa jenis kelaminnya, ia punya perasaan kucing itu berjenis kelamin perempuan. Perlahan-lahan Nina membiasakan Gwen dengan cara hidup yang baru. Ia menggosok bulunya dengan sikat berbulu lembut, mengobati korengnya dengan salep yang dibeli dari apotek di seberang jalan. Ia membeli makanan kucing, susu, camilan, dan kalung berbandul genta dari pet shop. Tetapi Gwen tidak menyukai makanan ataupun susunya. Sebaliknya setiap kali mulai merasa lapar ia akan kembali mengais ke dalam keranjang sampah, membuat Nina harus menariknya dari sana dan mengingatkan, “Kamu bukan lagi kucing liar. Jangan membuatku malu. Apa kata orang kalau mereka tahu kamu kucingku dan makan dari tempat sampah?”
Sejak itu Nina selalu menyisikan setengah dari makan siang atau makan malamnya untuk Gwen, untuk memenuhi selera si kucing akan makanan sisa. Hanya dengan begitu Gwen bisa berhenti dari kebiasaan mengais keranjang sampah. Suatu hari terpikir olehnya kenapa dia tidak saja memandikan Gwen (ia pernah mendengar mitos dari ibunya kalau kucing tidak boleh dimandikan, atau alam akan murka dan mencurahkan hujan selama tiga hari tiga malam). Namun di Jakarta, mitos dari kampung itu terasa tidak relevan.
Gwen dimandikan seminggu sekali ketika matahari sedang terik- teriknya. Nina mengeringkan tubuh Gwen menggunakan handuk kecil lalu menjemurnya di balkon. Saat kesilauan, Gwen meringkuk di antara lengan dan dada Nina seperti anak kecil takut badut. Ini membuat bokong dan punggung si kucing akan kering lebih cepat daripada perut dan kakinya. Sejak biasa dimandikan, Gwen semakin terlihat seperti hewan peliharaan. Korengnya mulai menyusut dan di area yang sama mulai tumbuh bulu-bulu pendek. Bulunya yang jingga semakin cerah dan totol-totol putihnya terlihat bersih. Seolah-olah ia boneka tua dekil dan kusam yang menjadi tampak baru lagi setelah dicuci. Nina berpendapat Gwen mirip kucing di kalender-kalender dinding.
Dengan kondisinya sekarang, Gwen bisa dengan leluasa bermain di dalam kamar, termasuk berguling-guling di kasur. Malam hari Nina membiasakan Gwen tidur pada waktu yang sama dengan mereka. Selembar keset telah disediakan sebagai alas tidurnya. Namun apa yang Nina tak tahu yaitu bahwa di dalam dirinya Gwen tetaplah kucing liar; ia terbiasa berkeliaran di jalanan tengah malam buta saat orang-orang tertidur pulas. Ia tidak tahan dikurung di dalam kamar, apalagi dalam keadaan gelap. Maka ia mencakar-cakar daun pintu sampai gerusan cakarnya mengganggu si sepupu—dan mungkin para tetangga juga—sehingga Nina terpaksa harus membuka pintu dan membiarkan si kucing keluar. Malam-malam seperti itu, Nina merasa gelisah sepanjang malam dan tidak bisa tidur.
SUATU MALAM Nina menyerah pada perasaannya. Ia beringsut bangun dan keluar dari kamar. Koridor panjang itu sunyi dan hening dan tak ada tanda-tanda kehidupan, sesaat tampak seperti suasana koridor rumah sakit atau bangsal perawatan ketika tengah malam. Lantai ubin memantulkan cahaya lampu, hawa dingin seolah dapat terlihat. Di sisi koridor, beberapa meter dari pintu kamar mereka, bergolek di antara keranjang-keranjang sampah, di sanalah kucingnya. Nina sangat lega dan pergi untuk mengangkat Gwen dari lantai. Ia mengangkat Gwen melalui kedua kaki depannya lantas mengguncang si kucing dengan gemas bercampur lega. Namun Gwen berjengit untuk membebaskan diri sambil mengeram galak. Ketika Nina tak juga melepaskannya, si kucing tiba-tiba menyapukan cakarnya ke wajah Nina. Nina menjerit dan melontarkan Gwen ke lantai. Jeritannya menarik si sepupu dan beberapa tetangga keluar ke koridor, mendapati Nina sedang mengusap pipinya dengan kesakitan. Setelah rasa sakitnya hilang, Nina menyadari Gwen tidak lagi tampak di mana pun di sepanjang koridor. Sejak itu Gwen menghilang. Nina mencari ke mana-mana; di balkon, koridor lantai satu, loteng tempat jemuran, gudang, parkiran, sampai di sepanjang trotoar di depan kos. Ia bertanya pada penjaga kos dan pada hampir semua penghuni, serta penjual-penjual kios dan gerobak di seberang jalan. Tak seorang pun mengaku telah melihat kucing jingga itu.
Tanpa Gwen, Nina kembali pada hari-hari panjang dan monoton yang seolah tak berujung. Tanpa kesibukan, ia kembali pada kebiasaan mematut diri di balkon, menekuri majalah atau buku yang tak benar-benar ia baca, menanti untuk menyimak suara petikan gitar yang sempat hilang dari perhatiannya sejak ada si kucing Gwen.
Si sepupu turut menyayangkan menghilangnya Gwen. Bagaimanapun, kucing itu telah memberi Nina hari-hari yang menyenangkan dan mengubahnya dari seorang pemuram menjadi sedikit lebih ceria. Lebih dari itu, si kucing sempat mengalihkan kebiasaan aneh Nina mengawasi dua orang pemuda asing yang menempati di kamar ujung koridor.
Suatu siang dalam perjalanan menuju balkon, Nina mendengar ada yang mengeong dari dalam kamar kedua pemuda. Saat itu pintu kamar mereka dalam keadaan setengah terpentang, membatasi pandangan siapa pun dari koridor ke dalam kamar itu. Namun, demi Tuhan, Nina mengenali suara mengeong tadi seperti ia mengenali suara sepupunya sendiri. Dalam situasi biasa ia tak akan melakukan apa yang kemudian ia lakukan saa itu: ia mendorong daun pintu lebar-lebar hingga memperlihatkan seisi kamar. Di dalam, sekelompok pemuda sedang bermain kartu, beberapa di antaranya berbaring di kasur dan lantai dengan keadaan bertelanjang dada. Nina tak menghiraukan mereka. Tatapannya tertuju pada kucing berbulu jingga di dekat kasur di dekat kaki seorang pemuda.
“Permisi,” katanya, menunjuk ke suatu arah, “itu kucingku.”
Semua orang menatapnya lalu menatap kucing jingga di dekat kaki teman mereka. Nina membalas tatapan pemuda pemetik gitar. Ia menyentuh luka bekas cakar di pipi di bawah mata kirinya, merasa agak jengah.
“Itu kucingmu?” tanya teman sekamar pemuda pemetik gitar. Ia pemuda bertubuh bongsor dan berjerawat.
“Ya.”
Pemuda itu menaruh Gwen di atas lengannya lalu membawanya pada Nina. “Terima kasih,” kata Nina. Ia melayangkan pandangan terakhir pada si pemuda pemetik gitar sebelum beranjak dari sana. Baru beberapa langkah menjauhi pintu, ia mendengar pemuda bongsor berjerawat tadi berkata, “Tadinya gue pikir itu kucing liar,” pada teman-temannya.
Kejadian itu membekas di benak Nina dalam waktu lama. Ia terus memikirkan bagaimana ia dan pemuda pemetik gitar bertukar pandang. Tak ada ekspresi di wajah si pemuda, hanya sorot ingin tahu atau rasa penasaran yang samar. Nina bertanya-tanya apa yang ada di benak pemuda itu. Dia bertanya-tanya apakah pemuda itu masih ingat mereka pernah berpapasan di mini market. Dia segera merasa bukan kebetulan Gwen menghilang dan ditemukan di kamar di ujung koridor. Nina percaya pada takdir. Dan menghilangnya Gwen sudah dirancang semesta untuk memberi kesempatan baginya dan pemuda itu berpandang-pandangan.
KUCING ITU tahu yang mana di antara kedua pemuda di kamar itu yang membuat si perempuan mabuk kepayang. Dia telah melihat wajah laki-laki itu ratusan kali terpantul di bola mata si perempuan. Dia melihatnya pertama kali ketika dia dan perempuan itu bertatapan di balkon. Tadinya dia tidak memahami apa yang dilihatnya—kenapa perempuan itu terus memikirkan laki-laki yang tidak dikenalnya? Si kucing tahu perempuan itu pergi ke balkon hampir setiap hari untuk laki-laki itu. Namun tindakannya tidak pernah berarti apapun sebab kemudian tak ada yang terjadi dan perempuan itu berakhir sendirian menyimak petikan gitar seperti mendengarkan alunan musik surgawi yang tak terjangkau indra-indranya.
Dia merasakan kerinduan di hati perempuan itu dan perasaan damba yang tak berujung. Perasaan perempuan itu membuat si kucing terpesona. Bagaimana bisa merasakan perasaan demikian kuat pada manusia lain yang tak lebih dari orang asing? Si kucing tidak tahu apa nama perasaan itu dan tak pernah mengalaminya. Namun dia memahami perasaan itu indah dari raut wajah si perempuan dan kebahagiaan yang terpancar dari sorot matanya. Si kucing sudah banyak kali melihat manusia mengalami perasaan semacam itu dan lama-lama dia jadi penasaran—bagaimanakah rasanya mengalami perasaan seperti itu? Apakah dia harus menjadi manusia untuk tahu bagaimana rasanya?
Dia dapat mendengar keinginan di hati perempuan itu untuk menyelinap ke dalam kamar si lelaki dan mengalami kehadirannya seperti udara yang menyatu dengan kulit. Tetapi perempuan itu tak memiliki cukup keberanian untuk mewujudkan keinginannya. Si kucing mengetahui keterbatasan perempuan itu, halangan terbesarnya untuk bertindak. Perempuan itu dan si lelaki hanyalah dua orang asing, dan dalam hubungan antar-manusia yang berbelit, dibutuhkan lebih dari keinginan dari satu orang untuk mewujudkan apa yang ia harapkan dari orang lain. Manusia tidak seperti bangsa kucing. Kucing bisa mengejar lawan jenis yang ia inginkan tak peduli keinginan itu sepihak. Kucing boleh memaksakan kehendaknya dan—untungnya—tak ada larangan atau hukuman akan hal itu. Malangnya manusia yang memaksakan kehendak dan dorongan-dorongan nafsunya pada sesama manusia tak membuatnya sama seperti kucing atau binatang manapun, melainkan lebih rendah dari bangsa binatang. Itulah yang membuat si perempuan sampai detik ini masih menahan diri. Perempuan itu tidak seberuntung dirinya, seekor kucing, yang dapat menyusup ke dalam kamar kedua lelaki kapan saja tanpa canggung ataupun malu. Lagipula kedua lelaki tak menunjukan perasaan terganggu dengan kehadirannya.
Si kucing tahu seberapa besar keinginan perempuan itu untuk bisa berada di dekat salah satu lelaki itu; namun apakah cukup besar untuk membuatnya bersedia melakukan apa saja—apa saja, termasuk menukar tubuhnya dengan tubuh, misalnya, seekor kucing?
AKHIR-AKHIR itu Gwen sering menghilang namun selalu kembali. Selama dia menghilang, Nina bertanya-tanya apakah kucingnya kembali menyelinap di kamar di ujung koridor. Kadang dia mencoba lewat dan melongok ke dalam, mencari kesempatan untuk berbicara dengan salah satu penghuni kamar. Namun hari-hari itu pintu kamar kedua pemuda sering terkatup.
Suatu hari Gwen menghilang lebih lama dari biasanya, dan Nina mulai mencarinya ke mana-mana. Dia menunggu di balkon dengan gelisah, tanpa ditemani majalah. Dia telah berada di sana hampir setengah jam ketika pintu kamar di ujung koridor terbuka dan pemuda pemetik gitar melangkah keluar diikuti seekor kucing berbulu jingga di belakangnya. Nina menatap pemandangan itu sambil tertegun. Perasaan ganjil merayapi rongga dadanya perlahan-lahan lalu dia menyadari sesuatu; pemuda itu tidak tahu ada seekor kucing sedang mengikutinya dari dalam kamar. Diam-diam Nina mengikuti mereka menuju tangga sambil tetap mempertahankan kehadirannya tidak terdengar. Dia tidak memberi Gwen kesempatan mengikuti pemuda itu lebih jauh. Dia menyambar tengkuk si kucing dan memeganginya di antara kedua ketiak, mengguncangnya dengan keras. Dia menatap kucing itu dengan marah. “Kenapa kamu melakukan itu?”
Mereka beradu mata, Nina dan si kucing. Gwen memiliki mata bulat yang besar dan jernih. Kedua bola matanya berwarna kelabu pada siang hari, menatap Nina dengan fokus yang tak tergoyahkan. Bayangan Nina terpantul pada kedua bola mata itu. Nina menatap si kucing lekat-lekat sampai matanya juga terfokus pada bola mata si kucing. Lalu hal yang aneh terjadi. Perlahan-lahan kesadaran Nina terserap pada apa yang tampak olehnya.
Pada kedua bola mata kelabu itu, sesuatu sedang berlangsung. Bola-bola mata si kucing telah berubah menjadi kelabu-gelap sepenuhnya seperti warna layar TV sebelum dinyalakan. Bayangan-bayangan muncul dan bergerak hingga lambat laun serangkaian kejadian mulai terlihat. Si kucing telah merekam semua yang dilihatnya, dan kini ia juga membuat Nina melihat semua itu. Seorang pemuda berbaring tidur, mengobrol dengan teman sekamar, tertawa, makan, memetik gitar di depan jendela. Masing-masing kejadian diambil pada kesempatan berbeda dan berlangsung hanya beberapa detik seperti kaleidoskop. Setiap kejadian berlangsung dalam hitam putih dengan nuansa kelabu-gelap seperti efek bayangan yang terpantul pada kaca layar TV yang tidak menyala.
Kecuali saat sedang tidur dan memetik gitar, pemuda itu melalui rangkaian kejadian tadi bersama teman sekamarnya, tetapi arah tatapan si kucing hanya tersorot pada si pemuda sebagai pusat peristiwa. Satu kejadian memperlihatkan pemuda itu telanjang bulat di dalam kamar sendirian. Dia baru saja melepas pakaiannya untuk mandi. Tetapi pemuda itu tidak langsung menyelinap ke dalam kamar mandi, melainkan berbaring di sisi kasur dan menaruh satu tangannya di antara paha.
Astaga, batin Nina, dia merancap selagi ada kucing di dalam kamar.
Setelah hari itu Nina mengurung Gwen di kamar mandi. Ketika sepupunya pulang bekerja, mereka berdebat karena Nina menolak mengeluarkan Gwen dari kamar mandi. Ketika perdebatan menegang menjadi pertengkaran, akhirnya Nina mengambil Gwen dan menjejalkannya di dalam lemari pakaian.
NINA TERSERANG demam setelah bertengkar dengan sepupunya. Suhu tubuhnya sangat tinggi, wajahnya pucat, dan berhari-hari dia hanya terbaring di kasur. Dia bangun hanya untuk makan atau ke kamar kecil. Selama itu dia tidak bicara. Suatu hari sepupunya terjaga saat dini hari dan melihat siluet punggung Nina yang sedang duduk di tepi kasur. Si sepupu menunggu, tetapi Nina tak kunjung mengubah posisinya seolah dia telah membeku. Sepupunya kembali tidur. Ketika sepupunya terjaga lagi beberapa jam kemudian—di suatu tempat di kejauhan adzan subuh sedang berkumandang—Nina masih dalam posisi yang sama, seperti tak pernah bergerak dari kondisi semula. Akhirnya sepupunya bangun dan menyalakan lampu dan bertanya ada apa. Nina memandang ke arah pintu dengan sorot mata kosong menerawang. Mata itu tak kunjung berkedip. Wajahnya tanpa ekspresi seperti sedang melongo, namun matanya mendelik—dan mulutnya tidak terbuka. Apa yang membuat sepupunya ngeri, Nina tahan tidak berkedip dalam waktu lama.
Si sepupu mencoba mengajaknya bicara (‘kamu kembali merasa kosong dan hampa?’), namun tiada sahutan. Dia menyentuh dahi Nina dan mencoba kembali bicara padanya. Dia bertanya apa yang Nina rasakan, apa yang Nina inginkan, dan apakah Nina masih marah padanya karena pertengkaran mereka. Selebihnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sepupunya merasa Nina tidak mendengar setiap ucapannya. Dengan bergidik dia berpikir gadis yang mematung di sisi kasur itu bukan lagi Nina. Lebih buruk, barangkali itu masih Nina namun jiwanya sudah meninggalkan tubuhnya. Tanpa alasan sepupunya membuka pintu ke koridor yang senyap. Dia sempat mengira akan melihat Gwen, tapi kucing itu tak pernah lagi kelihatan sejak dikeluarkan dari lemari pakaian—tak lama setelah itu pula Nina mulai terserang ‘demam’.
Si sepupu menutup pintu dan walaupun tahu sia-sia, dia menyarankan Nina kembali tidur.
DIA KUCING yang tidak pernah mencari makan di tempat-tempat sampah. Dia mungkin satu-satunya kucing yang makan dedaunan, sayur, dan buah dari pohon yang tumbuh di pekarangan warga. Daun lebih mudah ditemukan, sedangkan sayur dan buah ada hanya bila dia sedang beruntung. Kadang-kadang dari pekarangan, dia tergoda ingin menyelinap ke dalam rumah melalui pintu dapur untuk melihat apakah ada makanan di atas meja atau pantry, tapi dia tidak ingin mengambil risiko dipergoki dan dihajar oleh penghuni rumah. Untuk sementara dia harus puas dengan dedaunan dan apapun yang tumbuh dari tanah.
Di perjalanan kembali dari mencari makan, dia akan bertemu orang-orang dan kendaraan-kendaraan yang membuatnya merasa terancam. Dia akan berkelit dari para pejalan kaki di trotoar dan mengeram saat ada sepeda motor atau mobil melaju terlalu cepat di dekatnya. Dalam wujudnya sekarang dia tidak lagi terbiasa dengan kebisingan dan keramaian jalan. Anehnya itu tidak berlaku dalam situasi yang melibatkan insting-kucingnya. Misalnya dia tidak takut bertemu seekor anjing. Sekali waktu itu terjadi, dia mengambil langkah mundur dengan tenang, berhenti pada jarak yang tepat, lalu melompat ke depan dan dalam sekejap sudah mendarat di atas punggung si anjing. Dia menancapkan cakar-cakarnya pada punggung berbulu itu, dan mencakar-cakar wajah dan mata si anjing hingga melolong kesakitan. Dia satu-satunya kucing yang pernah melakukan perlawanan demikian.
Tetapi dia tidak terlalu sering berada di luar—kecuali bila hendak mencari makan. Kebanyakan waktunya dilalui di tempat kos sepupunya, tepatnya di salah satu kamar di ujung koridor di dekat balkon lantai dua. Sesekali dia pergi ke balkon bila kedua pemuda sedang menutup kamar mereka. Hari-hari itu dia hampir tidak pernah bertemu siapapun selain kedua pemuda itu.
DIA MENGIKUTI aktivitas mereka. Dia ada di sana ketika mereka tidur, berkumpul dengan teman-teman lelaki, ganti baju, mencukur bulu ketiak, sampai merancap di balik selimut. Dia tahu nama pemuda pemetik gitar itu Putra, sedangkan teman sekamarnya Boi. Dia tahu mereka kuliah sambil mengambil kerja sampingan di sebuah restoran cepat saji. Dia tahu di mana mereka menyimpan dompet, apa menu makan siang dan makan malam mereka, dan tahu di mana mereka membelinya. Dia tahu di jurusan mana mereka belajar, mata kuliah favorit dan yang dibenci. Dia tahu jam berapa Boi biasa menelepon pacarnya setiap malam dan tahu Putra tidak punya pacar.
Dia pernah mencoba menggosokan dahinya pada lutut si pemuda. Tapi Putra menjauhkan lututnya lalu mendorongnya dengan kaki. Si kucing menduga pemuda itu memiliki kulit yang sensitif dan mudah merasa geli. Jadi dia menunggu sampai pemuda itu tidur untuk menggosokan dahi atau bagian tubuh tertentu pada si pemuda. Si kucing memandangi wajah yang tertidur pulas itu sepuasnya, menghirup aroma keringat yang mengendap di serat pakaian dan permukaan kulit, sesekali menjilati bagian tertentu. Setelah itu si kucing tidur di samping si pemuda. Dia akan bangun sebelum pemuda itu dan teman sekamarnya bangun, lalu pindah ke sudut atau keluar melalui ventilasi jendela.
Suatu hari, Boi tidak pulang selama dua hari dan itu memberi si kucing kesempatan berdua saja dengan Putra. Si pemuda memetik gitar sepanjang malam, sementara si kucing bercengkerama di lantai di dekatnya. Kini bukan lagi alunan gitar yang terpenting melainkan raut wajah si pemuda selama memainkan gitar. Ekspresinya penuh pengkhayatan, bibirnya hampir tak bergerak namun alisnya berkerut sepanjang waktu. Jemarinya lentik seperti jemari perempuan.
Saat-saat seperti itu waktu terasa berhenti bagi si kucing. Momen sederhana yang memberinya kebahagiaan tak terkira.
Selain melihat dan mendengar Putra bermain gitar, pemandangan yang paling dinantikan oleh si kucing adalah melihat pemuda itu telanjang. Dia bisa berkeliaran di dalam kamar sementara Putra berpakaian. Dalam keadaan telanjang, barulah si kucing menyadari pemuda itu ternyata tidak terlalu kurus (dia masih punya bisep), barangkali karena itu dia lebih enak dipandang tanpa pakaian. Kulitnya terang dan mulus, tungkai-tungkainya berbulu, dadanya agak cekung. Rambutnya menjadi ikal dalam keadaan basah, dan ditambah tatapan dinginnya yang khas, ia makin mirip Rangga dari Ada Apa Dengan Cinta—kecuali wajahnya agak lebih lonjong. Dia punya bulu kelamin yang lebat. Sesekali dia merancap saat tidur siang sendirian. Bila sedang sendirian, dia tidak menutup pinggangnya dengan selimut, sehingga si kucing dapat melihat seluruh aktivitas intim itu dari awal sampai akhir. Pemandangan itu membuatnya gelisah dan berdebar-debar. Dia membayangkan bisa membantu pemuda itu melepaskan ketegangan, menuntun daging keras itu ke dalam tubuhnya. Namun mengingat dirinya kini seekor kucing, tindakan itu tentu mustahil dilakukan.
SUATU MALAM Boi tiba di kos dari tempat pacarnya dan mendapati kamar dalam keadaan gelap. Dia menyalakan lampu. Putra sedang tidur. Pemandangan lain menarik perhatiannya. Sekitar satu jengkal dari Putra, tepat di sisi bahunya, meringkuk kucing berbulu jingga yang biasa datang di kamar mereka belakangan. Kucing itu langsung bereaksi terhadap cahaya dan melompat bangun lalu menyelinap keluar melalui celah pintu di belakang Boi.
Ketika bangun, Putra bersin-bersin.
“Tadi ada kucing tidur di dekat bahumu,” kata Boi.
“Pantas.” Putra menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan.
Tak lama kemudian kucing jingga itu kembali muncul di kamar mereka. Saat itu mereka sedang makan. Pintu ke koridor sedang terbuka. Putra berhenti makan dan menatap kucing itu dari seberang kamar.
“Kenapa dia selalu kemari?” tanyanya.
“Mungkin gak pernah lagi dikasih makan sama pemiliknya,” kata Boi. “Kita juga gak pernah kasih dia makan, tapi dia selalu datang.”
Boi melakukan isyarat dengan tangan untuk memanggil kucing itu mendekat. Si kucing tidak menanggapi panggilan itu. Tatapan matanya hanya tertuju pada Putra. Saat itulah Putra menyadari cara kucing itu menatapnya.
Mereka melakukan kontak mata selama beberapa saat sebelum si pemuda merasa ada yang tidak biasa dengan kucing itu. Tiba-tiba dia merinding.
“Keluarin dia dari sini,” katanya.
“Biarin aja sampai cewek di koridor sebelah datang mengambilnya,” kata Boi.
“Aku gak mau dia kemari.”
“Kenapa?”
“Cewek aneh.”
“Hmm,” kata Boi, “menurutku dia lumayan.”
“Tetap saja aneh.”
“Cewek itu gak pernah lagi kelihatan,” kata Boi, yang diam-diam suka memperhatikan Nina setiap kali lewat di depan kamar mereka. “Dia masih tinggal di sini, kan?”
“Peduli amat.” Putra menekuri makanannya kembali. “Sebaiknya usir saja itu kucing keluar sebelum aku yang menendang dia ke jalanan.”
SUDAH HAMPIR dua minggu berlalu sejak Nina mengalami sakit aneh. Selama itu dia menghabiskan seluruh waktunya hanya berbaring di kasur seperti orang sakit. Tetapi dia tetap dalam keadaan terjaga, pandangan matanya terpaku di langit- langit dan jarang berkedip. Dia tidak bicara, tidak berputar, tidak beringsut untuk sekadar menegakan punggung. Dia tidak pernah lagi makan ataupun ke kamar kecil. Dia juga tak akan tidur sampai sepupunya membantunya menutup mata—seperti mayat saja.
Setelah satu minggu, sepupunya mulai khawatir meninggalkan Nina sendirian di kos. Di kantor, dia kesulitan berkonsentrasi, terus dibayangi kondisi Nina. Akhirnya si sepupu mengambil cuti untuk menjaganya. Sementara itu, dia mencari cara untuk memberitahukan keadaan Nina pada paman dan bibinya (dia sudah tak enak terus menolak panggilan telepon dari mereka).
Si sepupu membeli berbagai macam makanan, cemilan, dan buah-buahan untuk menarik perhatian Nina. Dia berharap sikap kaku dan aneh Nina bisa luluh dengan kehadiran makanan-makanan itu. Tapi Nina tetap tidak menyentuh makanan-makanan itu ataupun sekadar meliriknya. Sepupunya tidak menyerah. Suatu hari, sepupunya mencoba menyuapkan yogurt rasa pisang ke mulutnya. Sepupunya membantunya membuka mulut lalu memasukan sendok. Sesaat tampaknya Nina menerima makanan cair itu di rongga mulutnya. Tapi hanya beberapa detik kemudian tiba-tiba dia terbatuk keras lalu menghamburkan isi mulutnya keluar ke wajah sepupunya.
Malam itu sepupunya baru saja tertidur ketika mendengar ada suara dari sisi kasur. Dia terjaga dan melihat Nina sedang terduduk. Karena lampu tidak dimatikan (yang mulai dibiasakan sejak Nina sakit) dia bisa melihat pandangan mata Nina tertuju lurus ke depan, masih tak berkedip. Tengah malam itulah Nina memperdengarkan suaranya untuk pertama kali. Sepupunya tidak sempat menangkap apa yang dikatakan; yang terdengar olehnya hanyalah suara. Sepupunya menunggu dalam diam untuk mendengarkan kembali. Ketika suara itu akhirnya kembali terdengar, sepupunya sadar Nina tidak mengatakan apapun; dia hanya memperdengarkan sesuatu.
Meonggg…
TERNYATA TIDAK mudah menjadi manusia. Tubuh yang besar dan asing dengan sistemnya yang rumit itu memerangkap jiwanya. Dia tidak tahu cara ‘mengemudikan’-nya. Dia ketakutan dan tidak berdaya sepanjang waktu. Dia seperti orang awam yang terperangkap di dalam pesawat ulang alik dan tidak tahu bagaimana membuat benda itu berfungsi untuk mengembalikannya ke bumi. Dia tidak tahu cara menggerakan anggota-anggota tubuhnya, tidak tahu cara bicara, tidak tahu cara berdiri dan berjalan dengan dua kaki, atau sekadar mengedipkan mata.
Dia seharusnya sudah mengantisipasi situasi ini; mustahil bagi hewan berkaki empat seperti dirinya tiba-tiba dapat berjalan dengan dua kaki dalam semalam (tapi beruntung dia dapat langsung bernapas secara alami segera setelah jiwanya pindah ke tubuh perempuan itu, walaupun sulit baginya membayangkan dia sedang bernapas dengan paru-paru dan lubang hidung manusia). Sekali waktu dia berhasil duduk di tepi tempat tidur di tengah kegelapan kamar. Tetapi ketika si saudara perempuan membantunya berbaring, dia tak dapat menegakan punggungnya kembali. Sejak itu dia hanya terus berbaring dengan mata terbuka (dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mata itu). Untung si saudara perempuan membantunya menutup mata setiap malam. Beruntung membuka mata jauh lebih mudah. Jadi dia bisa membuka matanya kapan saja setiap kali dia mencoba (walaupun setelah itu dia tidak tahu lagi cara menutupnya).
Dia mencoba dan berusaha setiap hari. Dua minggu cukup untuk membuatnya dapat beradaptasi dengan tubuh manusia dan fungsi-fungsi indranya. Tidak hanya terbiasa bernapas dengan paru-paru dan hidung manusia, dia juga mulai terbiasa melihat dengan mata manusia, mendengar bunyi-bunyi dan suara- suara dengan telinga manusia, menghidu bau dengan hidung manusia (walaupun, dia akui hidung itu tidak berfungsi dengan baik—yang benar saja, dia hampir tidak dapat membaui apapun), merasakan aliran udara dengan kulit manusia, merasakan permukaan seprai dan tekstur kasur, merasakan permukaan kayu ranjang dengan telapak tangan, merasakan rongga mulutnya, permukaan bibirnya… Tetapi tanpa bulu, dia merasa telanjang dan kedinginan terus—pakaian yang melekat di tubuhnya tidak cukup hangat seperti bulu.
Dia belajar cara berdiri dan menyeimbangkan tubuh di atas dua kaki. Dia belajar cara berjalan, satu dua tiga langkah setiap hari. Dia belajar cara memegangi dan mengangkat benda. Dia belajar membuka mulut untuk mengeluarkan suara—sampai bisa mendengar meong pertamanya (semuanya dia lakukan ketika si saudara perempuan sedang meninggalkannya sendirian). Walaupun begitu, tak ada yang paling ingin dia pelajari selain caranya jatuh cinta seperti yang dialami oleh perempuan pemilik tubuh itu. Apa atau siapakah yang bisa membuatnya jatuh cinta? Perasaannya tetap datar dan kosong. Tidak ada emosi yang dia rasakan. Dia bahkan tidak tahu cara tersenyum.
Ketika dia mulai dapat menguasai tubuh inangnya, untuk pertama kali dia menyadari dia begitu lapar.
SUATU MALAM si sepupu terjaga dan mendapati Nina tidak ada lagi di tempat tidur. Pintu kamar dalam keadana terbuka. Sepupunya berlari keluar dengan panik. Nina berada di koridor, sedang mengais keranjang sampah di depan kamar tetangga. Dia baru saja menemukan kertas pembungkus makanan dari bawah tumpukan sampah (dia memegangi sampah itu dengan jari-jari tertekuk), dan menemukan serpihan ikan. Dia hendak memasukan serpihan ikan itu ke dalam mulut ketika sepupunya buru-buru menepiskan tangannya. Nina menatap sepupunya dengan marah, matanya mendelik nyalang. Dia mengeram hebat sampai seluruh otot wajahnya berkontraksi, bibirnya membentuk seringai lebar, memperlihatkan seluruh gigi depan. Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dalam sekejap Nina melompat dan mencakar-cakar wajah sepupunya.
Lebak Bulus, 21 Mei 2014 – Dumoga, Oktober 20